Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 27363 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Panjaitan, Novalin Cahaya Difa Elizabeth
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2010
S3543
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Nilma Maaruf
"Pada masa remaja mulai timbul dorongan seksualitas. Melakukan hubungan seksual pranikah (premarital sexual intercourse) merupakan salah satu bentuk tingkah Iaku seksual yang dapat muncul sehubungan dengan adanya dorongan seksual. Akan tetapi penyaluran itu tidak dapat begitu saja ditampilkan karena adanya aturan-aturan di masyarakat Monks dan Knoers (1984) mengatakan bahwa tidak ada alasan bagi remaja untuk melakukan tingkah laku seksual karena adanya norma agama dan masyarakat yang hanya membolehkan hubungan seksual dalam perkawinan. Adanya hambatan dan lingkungan yang masih memegang adat ketimuran seperti masih mempertahankan kegadisan seseorang sebelum memasuki pemikahan serta akibat negatif lain yang disebabkan oleh hubungan seksual pranikah (cemas, malu, merasa bersalah, merasa berdosa dsb), menyebabkan pada diri remaja puteri tersebut akan mengalami apa yang disebut nonfitting relations atau juga disebut dengan hubungan yang tidak sesuai antara elemen-elamen kognitif yang ada pada dirinya. Hubungan yang tidak sesuai ini secara teoritis akan menimbulkan keadaan yang disebut Pengurangan Disonansi Kognitif yang terwujud dalam perubahan-perubahan kognisi, tingkah Iaku dan penambahan elemen kognitif baru yang sudah diseleksinya terlebih dahulu.
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran keadaan Disonansi Kognitif pada remaja puteri yang telah melakukan hubungan seksual pranikah dan meningkatkan pemahaman tentang faktor-faktor yang menjadi pemicu keterlibatan mereka dalam hubungan seksual pranikah dan berusaha mencari upaya untuk mengatasi masalah ini. Penelitian ini dilakukan dengan cara studi kasus terhadap 5 remaja puteri yang telah melakukan hubungan seksual pranikah, berusia 17-24 tahun dan bertempat tinggal di Jakarta dan sekitarnya. Penelitian dilakukan dengan cara wawancara mendalam (depth interview).
Dari penelitian ini didapatkan bahwa penyebab terjadinya Disonansi Kognitif sebagai akibat dari hubungan seksual pranikah adalah karena semua subyek menyadari akan adanya norma-norma masyarakat dan agama yang melarang seorang remaja yang belum menikah untuk melakukan hubungan seksual (pada Logical inconsistency, cultural mores dan opinion generality) serta pentingnya keperawanan bagi seorang wanita, dan dampak yang diterima pelaku seksual pranikah dari masyarakat berupa hinaan dan cemoohan (pada past experience). Hal ini juga teriihat pada perbedaan tingkat kepentingan elemen-elemen kognitif pada setiap subyek penelitian, yang mempengaruhi kadar Disonansi Kognitif (tinggi atau rendah). Dan untuk mengurangi Disonansi Kognitif, semua subyek penelitian melakukan pengurangan Disonansi dengan cara menambah elemen kognitif baru dan dua subyek yang mengubah elemen tingkah laku. Pengurangan Disonansi Kognitif digunakan subyek agar dapat menghilangkan perasaan perasaan yang secara psikologis tidak menyenangkan dan dapat menjadikannya kembali pada keadaan yang stabil ( konsonan).
Faktor lain penyebab terjadinya perilaku seksual pranikah adalah adanya faktor emosional dan situasional. Faktor emosional seperti rasa cinta kepada pacarnya, ingin mengekspresikan rasa sayangnya serta ingin mengikat pasangannya kedalam hubungan yang lebih permanen. Sedangkan faktor situasional yang didapatkan adalah faktor suasana rumah yang sepi, orang tua yang sibuk, orang tua yang suka bertindak kasar kepada anaknya dan gangguan komunikasi antara orang tua dengan anaknya."
Depok: Universitas Indonesia, 1998
S2709
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sharina Ariane Judin
"ABSTRAK
Pengasuhan anak seringkah dianggap sebagai tugas ibu, meski banyak penelitian
menunjukkan bahwa ayah memiliki pengaruh yang signifikan dalam pengasuhan
anak. Menjalani proses pengasuhan, ayah mempunyai peran sebagai tokoh dimana
anak, baik perempuan maupun laki-laki, belajar mengenai peran dan keterampilan
sosial. Masalahnya memasuki masa remaja, perubahan fisik yang terjadi pada
anak perempuan seringkah melatarbelakangi perubahan perilaku ayah terhadap
remaja putri tersebut, seperti menarik diri dari remaja putri. Namun, perubahan
perilaku tersebut terjadi seiring dengan timbulnya kesadaran ayah bahwa
diperlukan kemandirian diri remaja. Kaitannya dengan perkembangan
kemandirian, mendorong remaja untuk membentuk kelekatan dengan teman
sebaya. Hal ini menjadi sumber kekhawatiran orangtua. Berbeda dengan pendapat
umum,
mendukung remaja mengatasi masalah yang dialaminya, berkaitan dengan
perubahan yang terjadi pada aspek biologis, kognitif, serta psikososial yang
dialaminya dalam masa transisi ini.
Perlakuan ayah dalam pengasuhan remaja putri diukur melalui 3 dimensi,
penciptaan kehangatan, penetapan peraturan, serta pembentukan kemandirian
psikologis anak, dengan alat ukur yang diisi secara self-rating. Pengukuran
melibatkan 86 partisipan yang berdomisili di Jakarta.
Selanjutnya untuk kelekatan remaja putri dengan teman sebayanya diukur dengan
alat ukur yang merupakan modifikasi dari Inventory of Parent Peer Attachment
subscle Peer Attachment (Armsden & Greenberg, 1987). Indikator kelekatan
adalah: kualitas komunikasi, tingkat kepercayaan, serta keterasingan dari
kelompok. Inventori diberikan kepada 86 remaja putri (dari ayah yang diberi
kuesioner di atas),.
Terhadap kedua alat penelitian ini dilaksanakan proses uji keterbacaan dengan
menggunakan expert judgment. Selanjutnya, juga telah dilakukan uji reliabilitas
dengan metode koefisien alpha Cronbach pada program SPSS 10.01.
Weiss (1982) menyatakan bahwa kelekatan merupakan faktor yang
Uji signifikansi dilakukan dengan metode korelasi product-moment Pearson
menggunakan program SPSS 10.01. Serta uji diferensiasi menggunakan metode
unrelated t * tes t . Hasil perhitungan menunjukkan perlakuan ayah dalam
pengasuhan remaja putri berhubungan positif dengan kelekatan remaja putri
dengan teman sebayanya. Dari tiga dimensi pengasuhan yang diukur, dua dimensi yaitu kehangatan dan penetapan peraturan, ditemukan memiliki hubungan yang
positif dengan kelekatan remaja putri dengan teman sebayanya. Pembentukan
kemandirian psikologis tidak memiliki hubungan. Dalam perbedaan persepsi
antara para ayah dan remaja putri mengenai perlakuan ayah dalam pengasuhan
remaja putrinya, dalam 3 dimensi pengasuhan yang diukur, ditemukan perbedaan
persepsi dalam 2 dimensi, yaitu : penciptaan kehangatan dan penetapan peraturan.
Para ayah mengaku mengasuh dengan gaya otoritatif. Disarankan agar ayah
menjajaki hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan remaja putrinya agar lebih
terlibat dan menunjukkan kepedulian."
2002
S2918
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vonyca Dovis
"Lokalisasi merupakan tempat transaksi seksual antara penjual dan pembeli jasa seksual. Remaja putri menjadi pihak yang paling rentan terhadap situasi di lokalisasi karena organ reproduksi yang belum matang dan dampaknya terhadap kesehatan reproduksi remaja di masa yang akan datang. Studi fenomenologi dipilih untuk mengidentifikasi pengalaman sepuluh remaja putri yang tinggal di daerah lokalisasi dalam menjaga kesehatan reproduksinya. Hasil riset dengan thematic content analyzis ditemukan tujuh tema (1) Persepsi partisipan tentang lokalisasi adalah tempat perempuan nakal dan kegiatan seksual bebas yang berakibat penyakit kelamin sehingga memengaruhi jiwa remaja (2) Cara menjaga kesehatan reproduksinya adalah dengan menjaga pergaulan, kebersihan diri, tidak melakukan hubungan seksual bebas, menjaga makanan dan melakukan pemeriksaan rutin (3) Dukungan informasi diperoleh dari keluarga, petugas kesehatan, media dan guru (4) Dukungan emosional dari keluarga dan teman-teman, (5) Hambatan yang dirasakan adalah jauhnya fasilitas kesehatan dan pelayanan yang tidak sesuai keinginan, (6) Kebutuhan partisipan adalah adanya pelayanan kesehatan reproduksi dan lingkungan yang bersih, (7) Harapan partisipan adalah adanya penyuluhan kesehatan dan pelayanan puskesmas yang intensif dengan perawatnya yang ramah. Hasil riset merekomendasikan perlunya sosialisasi cara menjaga kesehatan reproduksi remaja yang intensif khususnya di lingkungan berisiko.

Localization is a place of sexual transactions for sexual services. Girls are the most vulnerable to these localization situation because of their immature reproductive organs and the impact on their reproductive health in the future. Phenomenological studies is used to explore experiences of ten young women living in this areas in maintaining their reproductive health. Result of study by thematic content analyzis showed seven themes (1) Participants' perception of localization is the place of naughty women and free sexual activity that can transmit the STD and influences the psychological of adolescent, (2) The way participants keep their health reproductive organs are maintain the friendship, avoid free sex, personal hygiene, maintaining food intake and routine checks up, (3) Information support obtained from family, health care, media and teachers, (4) Emotional support from family and peer group, (5) The barrier by adolescent are unreachable healthy facility and under expected service, (6) Participant needs are reproductive health services and clean environment, and (7) Their expectation are health education and intensive service with friendly nurse. It is recommended to socialize how to maintain intensive adolescent reproductive health, especially in risk environment.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2017
T48418
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alma Rahima
"Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran utuh pengalaman remaja Jakarta sebagai biseksual dengan tipe penelitian fenomenologis. Pengumpulan data pun dilakukan dengan wawancara fenomenologis mendalam. Sebagai remaja biseksual yang tinggal di Jakarta, kedua partisipan mengalami kebingungan, perasaan takut dan berdosa akibat sisi homoseksual dan memiliki kecenderungan untuk lebih tertarik pada satu jenis kelamin. Selain itu keduanya juga memiliki keinginan untuk mengakhiri salah satu ketertarikan seksual dan mengalami kesepian. Sebagai remaja biseksual di kota Jakarta, kedua partisipan juga mengalami berbagai macam masalah, seperti masalah keluarga, masalah isolasi, masalah hubungan romantis dan masalah identitas seksual yang belum terselesaikan. Gaya hidup kedua partisipan sebagai remaja biseksual yang tinggal di Jakarta ternyata memiliki peran dalam pengalaman biseksualitas pada kedua remaja tersebut.

This research aims to get the full description of adolescents in Jakarta as Bisexual with phenomenology type research. Data collection was done with phenomenology-depth interview. The result of this research is as bisexual adolescents who live in Jakarta, they feel confuse, fear and sinful because their homosexual side as bisexual. They also tend to more interest with one sex. Both of them want to end their attraction to one sex or to choose one sex to be loved and they also feel loneliness. As bisexual in Jakarta, they experience many problems such as family problem, isolation, romantic relationship problem and sexual identity problem that has not been resolved yet. Researcher also found that their lifestyle as Jakarta adolescents has a role in their experience as Bisexual."
Depok: Universitas Indonesia, 2009
S3533
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Dessy Susanti
"ABSTRAK
Fungsi orang tua adalah mengasuh anak. Meskipun pengertian orang tua
meliputi ayah dan ibu, namun masyarakat umum seringkali menganggap peran
orang tua dalam pengasuhan anak sinonim dengan peran ibu, yang secara
tradisional berbeda dari ayah.
Seiring dengan berjalannya waktu, pandangan tradisional tersebut mulai
mengalami perubahan. Peran ayah dalam pengasuhan anak, baik secara
psikologis mauan fisik, mulai diakui. Selain itu turut sertanya ayah dalam
pengasuhan anak akan menguntungkan bagi orang tua dan anak. Lamb (1981)
mengatakan turut sertanya ayah dalam pengasuhan akan membantu
perkembangan kepribadian anak yang positif serta perkembangan peran sex dan
identitas gender remaja putra dan putri. Bahkan Bigner (1994) menyebutkan anak
yang kurang mendapat asuhan ayah akan mengalami kesukaran penyesuaian diri,
perkembangan kepribadian dan perkembangan sosial.
Mengingat pentingnya keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak, kini
banyak para ayah yang ikut terlibat dalam pengasuhan anak. La Rossa (1986
dalam Bigner, 1994) menyebutkan saat ini para ayah berusaha untuk
menghabiskan lebih banyak waktu dengan anak igan anak-anak mereka. Keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak tidak menghilangkan peran ayah
sebagai pencari nafkah keluarga. Dunia pekerjaan tidak dapat dipisahkan dari diri
ayah, tetap menjadi bagian dalam hidupnya. Parson (1954 dalam Benson, 1972)
mengemukakan bahwa kehidupan pria dan kehidupan rumah tangga dapat
dianggap sebagai dua aspek dari serangkaian peran yang sama.. Benson (1972)
mengemukakan bahwa pekerjaan atau pendidikan pria penting dalam menentukan
pola pengasuhannya sebagai seorang ayah. Hal-hal yang biasa dilakukan oleh
ayah dalam melakukan pekerjaan ditransfer ketika berinteraksi dengan anak.
Penelitian ini hendak melihat bagaimana pola asuh ayah dikaitan dengan
jenis pekerjaannya. Jenis pekerjaan yang dikhususkan adalah pekerjaan sebagai
tenaga pendidik ABRI. Masyarakat umum menganggap bahwa pola asuh ABRI
terhadap anaknya cenderung autoritarian. Ott (1978, dalam Turner dan Heims,
1990) mengemukakan pendekatan autoritarian merupakan cara yang biasa
diterapkan oleh ayah militer dalam menerapkan disiplin pada anak-anaknya. Akan
tetapi, dapatkah disimpulkan bahwa tenaga pendidik ABRI juga mengasuh
anaknya secara autoritarian. Karena, walaupun memiliki persamaan dengan ABRI
umumnya, namun mereka juga berperan sebagai pendidik orang dewasa seperti
layaknya guru/pengajar di lembaga pendidikan.
Tenaga pendidik ABRI sendiri berdasarkan jenis tugasnya dapat dibedakan
menjadi 2 bagian yaitu guru militer dan instruktur. Guru militer lebih banyak
memberikan materi yang sifatnya teori, pekerjaan mereka lebih bersifat konseptual,
sedangkan instruktur lebih banyak bekerja di lapangan untuk mengajarkan
praktek/ketrampilan yang sifatnya praktis.
Untuk melihat pola asuh ayah yang bekerja sebagai tenaga pendidik ABRI
digunakan alat berbentuk kuesioner berisi 39 item yang terdiri dari 15 item
menggambarkan pola asuh autoritatif, 12 item menggambarkan pola asuh
autoritarian, dan 12 item menggambarkan pola asuh permisif. Hasil penelitian
menunjukkan ayah yang bekerja sebagai tenaga pendidik ABRI lebih autoritatif
dibandingkan permisif dan autoritarian dalam mengasuh anaknya. Selain itu dalam
penelitian ini juga tidak dilihat perbedaan yang signifikan dalam pola asuh autoritatif, autoritarian, dan permisif antara tenaga pendidik yang guru militer dan
tenaga pendidik yang instruktur.
Perhitungan nilai rata-rata subyek berdasarkan perbedaan karakteristik data
kontrol yaitu jenjang kepangkatan, jumlah anak, dan pendidikan umum, tidak
didapatkan perbedaan yang signifikan pada pola asuh autoritatif, permisif dan
autoritarian, kecuali pada pembagian kelompok subyek berdasarkan perbedaan
usia.
Hasil yang tidak signifikan dari penelitian ini mungkin dapat disebabkan
karena banyak faktor-faktor lain yang mempengaruhi pola asuh, bisa juga karena
alat ukur yang digunakan belum menggambarkan aspek pengasuhan secara
keseluruhan.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, saran terutama ditujukan untuk
mengontrol hal-hal lain yang mempengaruhi pola asuh dan menggunakan alat ukur
lain yang sebelumnya telah diuji coba sebelum penelitian, agar dapat mengganti
item yang tidak baik."
1997
S2733
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2003
S3253
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Savitri Sayogo
Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
641.1 SAV g
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Savitri Prayogo
Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedoktern Universitas Indonesia, 2006
641.SAV g
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>