Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 154443 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Yunita Faela Nisa
"ABSTRAK
Alasan pentlngnya penelitian skrlpsi in! adalah pertama, untuk
melihat apllkasi Social Identity Model of Deindividuation Phenomena
(SIDE) dalam menjelaskan tingkah laku penjarahan massa terhadap
pertokoan karena selama in! penjelasan terhadap tingkah laku kerumunan
sebagian besar menggunakan tech Le Bon. Kedua, secara kuantitatif, aksi
penjarahan massa pada pertokoan sangat besar sehingga menimbulkan
kerugian yang besar. Dan disamping kedua alasan di atas, sedikitnya
penelitian tentang penjarahan massa di Indonesia menjadikan pentingnya
mengadakan penelitian tentang penjarahan massa agar peristiwa
penjarahan massa dapat diantisipasi dan ditangani di kemudian hari.
Skripsi menggunakan metode kualitatif dengan mengambil kasus
penjarahan massa di wilayah Menteng Jakarta. Skripsi menggunakan
Metode Triangulasi Data. Adapun data yang dipakai adalah pertama: hasil
laporan wawancara dengan responden (penjarah, saksi kejadian dan
satpam), kedua: artikel koran dan majalah tentang kejadian dan ketiga: foto kejadlan dan klip video tentang penjarahan massa di wilayah Menteng
Jakarta pada peristiwa Mei 1998. Dengan menggunakan Trianguiasi Data
diharapkan hasil peneiitian akan iebih baik dan lebih dapat dipercaya.
Skripsi berusaha menguji tiga hipotesis yang dibuat berdasarkan teori
SIDE, hipotesis keempat dan hipotesis kelima yang dibuat Reicher (1996).
Berdasarkan dari uraian pada Bab Analisis Data dan Interpretasi
hasil skripsi menunjukkan bahwa "Orang-orang yang berada dalam
kerumunan di sekitar Menteng Prada pada peristiwa Mei 1998 tidak
kehilangan identitas dirinya". Hasil skripsi juga menunjukkan bahwa
"Orang-orang dalam kerumunan beramai-ramai masuk toko dan
mengambil barang cenderung bukan karena adanya persepsi bahwa
selama ini orang-orang pribumi tertindas oleh orang-orang Tionghoa akan
tetapi karena kecenderungan adanya persepsi bahwa selama ini orangorang
pribumi mendapat perlakuan tidak adil dari pemerintahan Orde
Baru". Yang terakhir, "Adanya perasaan sesama in-group membuat
individu-individu dalam kerumunan saling membantu dan saling
mendukung dalam tingkah laku penjarahan massa".
Berdasarkan hasil skripsi, beberapa saran untuk peneiitian
selanjutnya adalah penggunaan kombinasi metode kualitatif dan kuantitatif
untuk meneliti tingkah laku penjarahan massa, perlu dilakukan peneiitian
tentang peta identitas sosial yang mungkin dibangkitkan dari tiap-tiap
daerah di Indonesia Selain itu, serta program intervensi untuk dapat
mengantisipasi kerusuhan dan penjarahan yang dilatarbelakangi persepsi
terhadap suku tertentu. Program itu berupa ikian di media massa tentang
persatuan, kebersamaan dan pendidikan masyarakat yang bisa
mengembangkan sikap yang menganggap bahwa keanekaragaman itu
positif dan merupakan aset/modal nasional."
1999
S2685
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rina Dialina
"Maraknya aksi unjuk rasa yang dilakukan oleh pekerja akhir-akhir ini banyak menarik perhatian orang. Banyak pengamat memberikan analisanya dan sebagian besar mengatakan bahwa penyebabnya masih berkisar pada rendahnya upah minimum (UMR). Dari data yang diperoleh menyebutkan dari tahun 1990 sampai 1996, telah terjadi 903 kali aksi unjuk rasa di wilayah DKI Jakarta. Puncaknya terjadi pada tahun 1996 dengan 350 kali dan tidak mustahil pada tahun ini akan terus meningkat, mengingat semakin seringnya hal itu terjadi akhir-akhir ini (Laporan Analisa Aksi Unjuk Rasa & Pemogokan Kerja Depnaker, 1996).
Akibat tejadinya aksi unjuk rasa inipun sangat merugikan kedua belah pihak, baik para pekerja maupun pengusaha Kerugian dapat bersifat fisik dan psikologis (ldroes Kompas, 27 September 1995). Ia menyatakan bahwa kerugian akibat berbagai aksi unjuk rasa sangat besar dan luas, baik secara fisik, material, mental maupun moral. Masalah aksi unjuk rasa ini merupakan masalah yang sangat serius, seperti yang dikemukakan oleh Pasaribu dan Kwik Kian Gie (Kompas, 1996). Masalah ketenagakerjaan juga merupakan masalah yang sangat vital dan strategis, serta menyimpan ancaman yang besar jika tidak diselesaikan secara tuntas, karena itu harus segera diambil kebijaksanaan dan langkah-langkah penyelesaian serta antisipasinya (Idroes, Kompas 27 September 1995).
Walaupun upaya-upaya terus dilakukan, tetapi masih sering kita membaca di media massa, aksi unjuk rasa itu terjadi. Hal ini menimbulkan banyak pertanyaan dalam diri peneliti, ?Bagaimana hal ini dapat terjadi? Apakah upah merupakan masalah yang utama? Beberapa kalangan pengamat masalah-masalah sosial, menilai terjadinya bukan disebabkan oleh masalah fisik semata, tetapi juga masalah-masalah yang lebih bersifat sosial dan psikologis. Selama ini masalah pekerja selalu dipandang dari sudut ekonomi. Para pengamat mencoba untuk lebih melihat masalah ini dari sudut sosial dan psikologis, seperti yang diteliti oleh Komalasari (1995) bahwa pemogokan kerja yang terjadi pada tahun-tahun belakangan ini Iebih melibatkan hal seperti lingkungan kerja, penilaian kerja dan beban kerja.
Salah satu teori yang cukup komprehensif dalam menjelaskan timbulnya collective behavior (selanjutnya akan disebut dengan tingkahIaku kelompok) adalah teori dari Smelser (1962). Aksi unjuk rasa yang dimaksud di sini merupakan salah satu bentuk dari tingkahlaku kelompok, yang berorientasi pada perubahan norma (Smelser, 1962). Timbulnya tingkahlaku kelompok didasarkan pada satu keyakinan umum bahwa situasi perlu dan dapat diubah. Dalam menentukan timbulnya suatu tingkahlaku klompok, Smelser mengemukakan enam determinan. Determinan-determinan ini adalah (1). Kekondusifan struktural, (2) Tekanan Struktural, (3) Pertumbuhan Keyakinan, (4) Faktor Pencetus, (5) Mobilisasi Partisipan dan (6) Penerapan Kontrol Sosial. Determinan-determinan ini disusun secara berurutan, sehingga determinan yang terdahulu merupakan syarat bagi timbulnya determinan yang berikutnya, tetapi tidak harus selalu berurutan sauna kronologis atau dalam urutan waktu.
Dikaitkan dengan teori yang dikemukakan oleh Smelser (1962), masalah penelitian ini adalah bagaimana dinamika terjadinya aksi unjuk rasa didasarkan pada teori Smelser? Pembahasan akan difokuskan pada perbedaan determinan-determinan yang merupakan syarat untuk timbulnya suatu tingkahlaku kelompok, dalam hal ini aksi unjuk rasa. Agar dapat diadakan perbandingan, dalam penelitian ini digunakan dua kelompok pekerja, yaitu kelompok pekerja yang melakukan aksi unjuk rasa, dalam hal ini pekerja swasta dan kelompok pekerja yang tidak melakukan aksi unjuk rasa, dalam hal ini pegawai negeri. Digunakannya sampel pegawai negeri dengan pertimbangan secara keseluruhan keadaan di antara kedua profesi tersebut tidak jauh berbeda, baik dilihat dari segi upah, jam kerja maupun intensitas pekerjaannya.
Penelitian dilakukan terhadap sampel pekerja dengan menggunakan alat ukur kuesioner yang terdiri dari beberapa bagian dan mengukur determinan-determinan yang bepengaruh. Penyusunan alat ukur didasarkan pada hasil elisitasi terhadap sejumlah orang yang sesuai dengan karakteristik subyek penelitian. Sedangkan analisis data yang digunakan adalah analisis perbedaan mean antar determinan, dengan membandingkan mean antara kelompok pekerja yang melakukan aksi unjuk rasa (pekerja swasta) dengan mean kelompok pekerja yang tidak melakukan aksi unjuk rasa (pegawai negeri).
Berdasarkan hasil penelitian utama diperoleh hasil bahwa terdapat perbedaan yang Signifikan dalam terjadinya perilaku aksi unjuk rasa pada pekerja swasta dengan pegawai negeri. Dari hasil yang diperoleh diketahui bahwa Tekanan Struktural merupakan determinan yang paling berpengaruh, dengan demikian dapat dikatakan bahwa dalam penelitian ini, Tekanan Struktural dirasakan paling besar oleh kelompok pekerja yang melakukan aksi unjuk rasa, dalam hal ini pekerja swasta dibandingkan dengan determinan lainnya. Selain itu, dari pengolahan yang dilakukan juga dapat diketahui bahwa, dalam penelitian ini, upah bukan merupakan faktor utama dalam menimbulkan aksi unjuk rasa pada pekerja swasta. Dari hasil yang diperoleh diharapkan, penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan masukan untuk melakukan evaluasi serta penyempurnaan lebih lanjut bagi pihak-pihak yang terkait dengan masalah ini."
Depok: Universitas Indonesia, 1997
S2691
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mulia Ade Zulfadlan
"Aksi kolektif oleh mahasiswa merupakan hal yang sering terjadi di Indonesia. Penelitian-penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa kecenderungan tersebut dapat muncul akibat identifikasi kelompok yang dimiliki oleh individu. Temuan lain juga menemukan bahwa faktor eksternal, seperti pengaruh dari media dapat mendorong terbentuknya keinginan untuk mengikuti aksi kolektif, terutama tercermin dalam bentuk hostile media perception. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah hostile media perception dapat memoderasi hubungan antara identifikasi kelompok dan kecenderungan untuk mengikuti aksi kolektif. Penelitian ini dilakukan secara daring kepada 163 mahasiswa aktif yang berada di wilayah Jabodetabek. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah Group Identification Measure (Doosje, Ellemers, dan Spears, 1995; α = 0,92), Hostile Media Perception Scale (Hwang et al., 2008; α = 0,76), dan Collective Action Tendency (van Zomeren et al., 2004; α = 0,90). Penelitian ini menemukan bahwa hostile media perception tidak memoderasi hubungan antara identifikasi kelompok dan kecenderungan aksi kolektif mahasiswa (t = .0019, p<.81). Temuan dari penelitian ini menunjukkan pentingnya identifikasi mahasiswa terhadap suatu kelompok demi memunculkan keinginan mengikuti aksi kolektif.

Collective action by university student happened regularly in Indonesia. Previous research has shown that this tendency comes in response to group identification that an individual has. Another research also found that external factors, such as media interference might increase this tendency, mainly in the form of hostile media perception. This study aims to examine the moderating role of hostile media perception on the relationship between group identification and collective action tendency. This study was conducted online on 163 active university students in Jabodetabek area. Instruments used in this study are Group Identification Measure (Doosje, Ellemers, dan Spears, 1995; α = 0,92), Hostile Media Perception Scale (Hwang et al., 2008; α = 0,76), dan Collective Action Tendency (van Zomeren et al., 2004; α = 0,90). This study found that hostile media perception did not moderate the relation between group identification and collective action tendency (t = .0019, p<.81). The findings of this study show how group identification in university students could incite collective action tendency."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
PaPiere, Richard T.
New York: McGraw-Hill Book Company, Inc., 1938
301.1 LAP c
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Rr. Dyah Ayu Chandrika
"Kemanjuran kolektif dari aspek konstruksinya adalah perbaikan pada langkah-langkah intervensi mekanisme sosial di suatu komunitas dibandingkan dengan yang digunakan dalam usaha untuk mengukur disorganisasi sosial. Artinya, ukuran ini menangkap dan menggabungkan tindakan dan hubungan spesifik yang mencerminkan kohesi (kepercayaan, kedekatan, menolong dan nilai bersama) dengan keterlibatan aktif dalam kontrol sosial informal. Tulisan ini akan memberikan kontribusi terhadap penelitian, kebijakan dan praktik berkenaan dengan teori kemanjuran kolektif dan relevansinya untuk pencegahan kejahatan berbasis komunitas. Tulisan ini juga akan berkontribusi pada pengetahuan dan menghasilkan area untuk penelitian lebih lanjut dengan memeriksa bagaimana kemanjuran kolektif bekerja di komunitas dengan berfokus pada kohesi sosial dan kontrol sosial. Untuk tujuan ini, maka tulisan ini dibuat untuk memahami (i) norma, proses dan hubungan yang mendefinisikan kontrol sosial dan kohesi di masyarakat terpilih, (ii) hubungan antara kohesi sosial dan kontrol sosial, dan (iii) faktor-faktor yang bertanggung jawab atas menghasilkan kohesi sosial dan kontrol sosial di komunitas terpilih.

Collective efficacy as a construct is an improvement on the measure of intervening social mechanisms in communities compared with those used in attempts to measure social disorganization. That is, this measure captures and combines specific actions and relationships that reflect cohesion (trust, closeness, helpfulness and shared values) with the active engagement in informal social control. This paper will contribute to research, policy and practice related to the theory of collective efficacy and its relevance for community based crime prevention. This paper will also contribute to knowledge and generate areas for further research by examining how collective efficacy works in communities with focus on social cohesion and social control. In the end, this paper try to understand (i) the norms, processes and relationships that define social control and cohesion in selected communities, (ii) the relationship between social cohesion and social control, and (iii) the factors responsible for generating social cohesion and social control in selected communities."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2017
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Kelly, Caroline
[Place of publication not identified]: Caroline Kelly, 1996
302 KEL s
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Gianisha Mahardini
"Selfie merupakan sebuah fenomena kontemporer meskipun sejarahnya menyebutkan bahwa konsep selfie sudah terjadi bahkan sejak lebih dari 200 tahun yang lalu. Penelitian ini dilakukan untuk memberikan gambaran aspek self melalui pola kecenderungan untuk membandingkan diri dengan orang lain (Gibbons & Buunk, 1999) dan motives of self-evaluation (Sedikides & Strube, 1997; Tesser, 2003) dari pelaku selfie yang berada di tiga tahap perkembangan berbeda. Penelitian ini melibatkan 154 responden yang menjawab survei dalam jaringan. Hasil penelitian menggambarkan adanya pola yang linier negatif antara usia perkembangan dengan skor frekuensi selfie dan social comparison orientation. Dorongan untuk menonjolkan diri ketika melakukan selfie tampak dominan pada kelompok remaja yang frekuensi selfienya berada di atas rata-rata total responden.

Selfie is rather a contemporary phenomenon yet its history says otherwise; that it‟s been established since almost more than 200 years ago. This study was conducted to describe the aspects of the selfie-doers‟ self through the trend of dispositional tendency to compare with other people (Gibbons & Buunk, 1999) and the motives of self-evaluation (Sedikides & Strube, 1997; Tesser, 2003). 154 respondents who answered to online survey were involved in this study. The results say that there‟s a negative linear trend between the developmental age and the selfie frequency, as well as between the developmental age and the social comparison orientation score. The self-enhancement motive is found dominant within the adolescence respondents whose selfie frequency is the highest among other groups."
Depok: Universitas Indonesia, 2014
S56938
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Azmi Nisrina Umayah
"Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat pengaruh empati emosional terhadap perilaku prososial yang dimoderasi oleh jenis kelamin pada mahasiswa. Empati emosional diartikan sebagai dorongan secara otomatis dan tanpa disadari untuk merespon keadaan emosi orang lain Rogers, Dziobek, Hassenstab, Wolf, Convit, 2007 dan perilaku prososial diartikan sebagai tindakan yang dilakukan individu untuk membantu orang lain Baron, Branscombe, Byrne, 2008 . Instrumen yang digunakan untuk mengukur empati emosional dengan menggunakan Positive Affect and Negative Affect Scale PANAS yang dikembangkan oleh Watson, Clark, Tellegen 1988 dan dilakukan induksi empati menggunakan tayangan video. Pengukuran perilaku prososial dilakukan dari jumlah donasi yang diberikan oleh partisipan. Responden penelitian ini merupakan 126 individu laki-laki dan perempuan yang berusia 18-25 tahun. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan antara empati emosional terhadap perilaku prososial, namun pengaruh jenis kelamin terhadap perilaku prososial memiliki hasil yang tidak signifikan.

This study was conducted to examine whether emotional empathy could predict prosocial behavior if it rsquo s moderated by gender among college students. Emotional empathy defined as automatically and unconsciously impulse that responds to the emotions of others Rogers, Dziobek, Hassenstab, Wolf, Convit, 2007 . Prosocial behavior defined as an action that individuals do to help others Baron, Branscombe, Byrne, 2008 . Emotional empathy measured by Positive Affect and Negative Affect Scale PANAS which was developed by Watson, Clark, and Tellegen 1988 and empathy induction was conducted by showing a video to participants. Measurement of prosocial behavior is based on the amount of donation given by each participant. Participants of this study consist of 126 college students and aged 18 ndash 25 years old. The result of this study pointed out that emotional empathy could predict prosocial behavior. However, there is no gender effect on prosocial behavior.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2017
S68997
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anastasia Gabrielle
"Penelitian eksperimen ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana efektivitas pemberian media pembelajaran terhadap perilaku prososial yaitu perilaku yang dilakukan untuk memberikan keuntungan kepada orang lain, dengan menerapkan proses belajar social learning theory. Penelitian diberikan kepada tiga kelompok berbeda, dengan melibatkan 51 partisipan yang berusia 9 hingga 11 tahun dengan latar belakang status ekonomi sosial yang rendah. Tiga kelompok perlakuan, yaitu 1 kelompok tayangan media audiovisual , 2 kelompok buku media visual , serta 3 kelompok kontrol. Perubahan perilaku prososial diukur dua kali pre-test,post-test menggunakan alat ukur Skala Perilaku Prososial. Dengan menggunakan teknik ANOVA dalam membandingkan skor rata-rata, didapatkan hasil bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara kelompok yang diberikan media audiovisual, kelompok yang diberikan media visual dan kelompok kontrol F = 0.492, p >0.05, p = 0.614.

This experimental study aimed to recognize the effectiveness of giving media on prosocial behavior, an act that benefit other people, by applying social learning theory. This study were given to three different groups that involved fifty one participants from nine to eleven years old with low socioeconomic status. The three treatment groups are 1 shows group audiovisual media , 2 book group visual media , and 3 control group. The change of prosocial behavior was measured twice pre test,posttest with ldquo Skala Perilaku Prososial instrument. With ANOVA in comparing the mean score, the result showed that there was no difference significantly affect prosocial behavior between watching shows group audiovisual media, reading books group and control group F 0.492, p 0.05, p 0.614."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2017
S69105
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>