Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 170233 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ina Marta Fauzia
"Salah satu karakteristik sekolah adalah ditinjau dari komposisi jenis kelamin muridnya, yaitu sekolah co-edukasi dan non co-edukasi. Sekolah co-edukasi adalah sekolah yang muridnya terdiri dan laki-laki dan perempuan, sedangkan sekolah non co-edukasi adalah sekolah yang muridnya hanya Iaki-Iaki atau perempuan saja. Lingkungan sekolah merupakan salah satu sarana sosialisasi peran jenis kelamin sehingga peneliti berasumsi bahwa perbedaan Iingkungan sosial dan interaksi antar murid di kedua sekolah tersebut akan berakibat pada kecenderungan penghayatan peran jenis kelamin siswinya, karena corak interaksi siswi dengan murid Iaki-laki akan berbeda dengan corak interaksi dengan teman sesama perempuan. Di sekolah co-edukasi siswi cenderung Iebih menjaga tingkah lakunya dengan kehadiran murid Iaki-laki serta kurang mendapat kesempatan dalam kegiatan-kegiatan yang biasanya didominasi murid Iaki-Iaki. Namun demikian mereka mungkin juga dapat mempelajari karakteristik maskulin dari teman-teman laki-lakinya. Sedangkan di sekolah non co-edukasi, interaksi di antara sesama perempuan dapat mendorong siswinya untuk memiliki ciri feminim yang kuat. Akan tetapi mereka juga dapat Iebih bebas bertingkah Iaku di antara sesama perempuan dan menampilkan diri dalam berbagai aktivitas tanpa ada keteriibatan murid Iaki-Iaki. Berbagai kemungkinan tersebut dapat muncul tetapi disini ada bentuk interaksi antar murid yang berbeda, dimana di sekolah non co-edukasi mereka hanya berada di tengah sesama perempuan, sedangkan di sekoiah co-edukasi mereka berinteraksi dengan teman laki-laki. Hal itu membawa peneliti pada asumsi bahwa ada perbedaan pada peran jenis kelamin siswi dari kedua sekolah tersebut.
Di samping itu beberapa penelitian melaporkan adanya pengaruh positif sekolah non co-adukasi pada prestasi perempuan. Perempuan cenderung menurun prestasinya bila bersaing langsung dengan laki-laki dalam hal prestasi akademis. Guru pun kadangkala memberi kesempatan lebih besar pada murid laki-laki dalam aktivitas belajar di kelas sehingga murid perempuan tidak mendapat dorongan yang kuat untuk berprestasi. Untuk menghindari hal demikian maka pemisahan murid perempuan dan laki-Iaki dinilai akan memberi efek yang lebih baik bagi murid perempuan. Penelitian menyebutkan bahwa atmosfer akademis di sekolah non co-edukasi berkembang Iebih baik daripada di sekolah co-edukasi. Penelitian Iain juga menyebutkan prestasi akademis siswi non co-edukasi lebih tinggi daripada siswi co-edukasi. Prestasi tidak terlepas dari tingkat aspirasi akademis. Orang yang memiliki tingkat aspirasi tinggi termotivasi untuk mencapai sasarannya sehingga akan berprestasi tinggi bila berhasil. Sebaliknya orang dengan tingkat aspirasi akademis yang rendah tidak terdorong untuk berusaha optimal sehingga prestasinya cenderung Iebih rendah. Oleh karena itu peneliti berasumsi bahwa tingkat aspirasi akademis siswi di sekolah co-edukasi dan non co-edukasi juga berbeda. Berkaitan dengan peran jenis kelamin dan tingkat aspirasi akademis, maka peneliti ingin melihat kecenderungan tingkat aspirasi akademis siswi yang memiliki peran jenis maskulin, feminin, androgyn dan undifferentiated. Penelitian ada yang menyebutkan bahwa tingkat motivasi orang androgyn dan maskulin Iebih tinggi daripada orang feminin, karena prestasi dan keberhasilan Iebih sering dianggap sebagai kualitas maskulin dan bukan kualitas feminin. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik purposif, yaitu siswi-siswi kelas 3 SMU co-edukasi dan non co-edukasi swasta Katolik/Protestan. Alat pengumpul data berupa dua buah kuesioner yang bertujuan mengukur peran jenis kelamin dan tingkat aspirasi akademis.
Penelitian ini menyimpulkan tidak ada perbedaan yang signifikan pada peran jenis kelamin siswi SMU oo-edukasi dan non co-edukasi. Nampaknya perbedaan komposisi jenis kelamin dan interaksi antar murid di kedua sekoiah ini tidak memberi dampak yang berbeda pada penghayatan peran jenis kelamin siswi-siswinya. Hal kedua yang dapat disimpulkan adalah tidak ada perbedaan tingkat aspirasi akademis siswi dari kedua jenis sekolah tersebut. Artinya siswi dari kedua jenis sekolah tersebut mempunyai kecenderungan yang sama untuk memiliki tingkat aspirasi tinggi maupun rendah. Untuk kesimpulan terakhir ternyata ditemukan adanya perbedaan tingkat aspirasi akademis antara siswi dengan peran jenis feminin, maskulin, androgyn dan undifferentiated dimana tingkat aspirasi akademis yang tinggi dimiliki oleh siswi maskulin dan androgyn sedangkan siswi feminin memiliki tingkat aspirasi akademis yang paling rendah. Dari peninjauan terhadap data kontrol ditemukan bahwa subyek yang merupakan anak pertama dan pemah mencapai peringkat 1,2,3 dan 5 besar kebanyakan memiliki tingkat aspirasi akademis yang tinggi. Subyek anak terakhir dan tunggal serta pernah menduduki peringkat 10 besar dan di luar 10 besar kebanyakan memiliki tingkat aspirasi akademis yang rendah.
Saran yang dapat diberikan dari penelitian ini antara lain berkaitan dengan ditemukannya faktor-faktor Iain yang dapat mempengaruhi tingkat aspirasi akademis, antara Iain prestasi yang pernah dicapai dan urutan kelahiran. Untuk itu mungkin perlu dilakukan penelitian lan}utan mengenai hubungan antara faktor-faktor telaebut dengan tingkat aspirasi akademis. Selain itu akan menarik pula bila dilakukan penelitian Ianjutan dengan sampel murid laki-Iaki sehingga bisadiketahui apakah ditemukan hasil yang berbeda pada murid Iaki-Iaki."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2000
S2961
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mira Fitria
"Pada tahun 1970. Broveman dan rekan-rekan melakukan penelitian terhadap klinikus dan hasilnya menunjukkan bahwa klinikus memiliki standar ganda dalam kriteria kesehatan mental bagi pria dan wanita. Sejak itu di Amerika Serikat telah dilakukan berbagai penelitian terhadap klinikus dalam konteks kesehatan mental dan dalam setting klinis. Di Indonesia sendiri khususnya di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, penelitian yang dilakukan terhadap klinikus dalam konteks kesehatan mental maupun dalam setting klinis masih sangat langka. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan dengan tujuan menambah pengetahuan tentang rnasalah jender dalam konteks kesehatan mental.
Penelitian ini berusaha untuk mengetahui apakah ada perbedaan antara kriteria pria. Wanita dan manusia sehat mental pada psikiater. Selain itu akan dilihat juga mengenai perbedaan antara psikiater pria dan wanita serta perbedaan antara psikiater yang menganut ideologi peran jenis kelamin tradisional dan modern. Subyek penelitian adalah psikiater yang masih aktif melalukan praktek dalam bidang klinis di Jakarta.
Metode penelitian yang digunakan adalah gabungan antara metode kuesioner dan wawancara. Alat pengumpul data kuantitatif berberntuk kuesioner, yaitu Attitude Toward Women Scale (AWS) dan Bem Sex-Role Inventory (BSRI). Berdasarkan hasil pengolahan data, individu dapat dikelompokkan ke dalam kelompok penganut ideologi peran jenis kelamin tradisional dan modern. Kemudian, dilakukan wawancara terhadap beberapa subyek yang djanggap mewakili kelompok-kelompok yang ada.
Hasil yang didapat menunjukkan bahwa dari 60 karakteristik yang terdapat dalam ESRI, ditemukan perbedaan signifikan anlara kriteria pria, wanita dan manusia sehat mental pads 13 karakteristik. Pada 47 karakteristik lainnya tidak ditemukan perbedaan signifikan. Kemudian, perbedaan signifikan antara psikiater pria dan wanita ditemukan hanya pada 1 karakteristik saja untuk kriteria pria sehat mental. Pada karakieristik dan kriteria lainnya tidak ditemukan perbedaan signifikan. Terakhir, ditemukan perbedaan signifikan antara psikiater yang menganut ideologi peran jenis kelamin tradisional dan modern pada 4 karakteristik untuk kriteria wanita sehat mental, dan pada 1 karakteristik untuk masing-masing kriteria pria dan manusia sehat mental. Sementara hasil wawancara menunjukkan bahwa perbedaan pandangan tidak semata-mata disebabkan oleh perbedaan jenis kelamin dan perbedaan ideologi peran jenis kelamin saja.
Saran yang dapat diberikan demi perbaikan dan untuk penelitian lanjutan adalah menambah jumlah sampel menjadi lebih besar serta melakukan wawancara terhadap seluruh subyek dan menambah variasi kelompok."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2000
S2967
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
cover
Andriati Reny Harwati
"Remaja yang tidak dibekali dengan informasi yang benar mengenai pengetahuan tentang seksual dapat terjerumus ke dalam tindakan hubungan seksual pranikah yang berakibat semakin meningkatnya angka kehamilan di Iuar nikah dan penyakit menular seksual (Suarta, 2002). Penelitian ini berjudul "Tingkat Pengetahuan Remaja Tentang Pendidikan Seksual" bertujuan untuk mengidentifikasi tingkat pengetahuan remaja tentang pendidikan seksual. Penelitian ini menggunakan desain deskriptif sederhana dengan alat pengumpul data berupa kuesioner. Penelitian dilakukan di SMU Negeri I Bekasi dengan jumlah sampel 92 responden. Sampel diambil dengan menggunakan metode convenience sampling. Analisa data yang digunakan adalah distribusi frekuensi dan presentase. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lebih dari setengah responden (56,5%) memiliki pengetahuan tinggi tentang pendidikan seksual dan selebihnya (43,5%) memiliki pengetahuan sedang. Rekomendasi penelitian ini adalah dilakukannya penelitian lebih lanjut dengan memperbanyak responden."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2006
TA5415
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Sigit Shiamtafa
"Siswa SMA berada pada tahap tumbuh kembang remaja tengah memiliki keingintahuan yang tinggi terhadap perkembangan seksualnya Sehingga UKS sebagai wadah formal sebenarnya dapat menjadi senjata ampuh dalam pendidikan kesehatan termasuk juga pendidikan seksual. Sehubungan dengan hal tersebut evaluasi ataupun gambaran persepsi siswa terhadap peran UKS dalam pendidikan seksual perlu diketahui. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui persepsi siswa SMA yang terbentuk di memori siswa terhadap peran UKS dalam pendidikan seksual di SMA 81 Jakarta Timur dengan model penelitian deskriptif sederhana. Pengambilan responden dilakukan secara acak sederhana dimana diperlukan 97 responden. Data dikumpulkan dengan pengisian kuesioner dan kemudian diolah dengan analisa deskriptif atau univariat. Hasil penelitian menunjukan 52% siswa memiliki persepsi positif dan 48% siswa memiliki persepsi negatif terhadap peran UKS dalam pendidikan seksual di SMA 81 Jakarta Timur. "
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2004
TA5348
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Unggul Yudanira
"Tugas karya akhir ini membahas tentang analisis terhadap kebijakan/usaha pendidikan seksual yang sudah diupayakan baik melalui inisiatif lokal maupun pemerintah khususnya untuk para siswa SMA/sederajat. Membahas mengenai hambatan budaya yang mengakibatkan sulitnya penerapan pendidikan seksual komprehensif, termasuk anggapan bahwa pendidikan seksual itu adalah hal tabu, baik oleh orang tua, tokoh masyarakat/agama, maupun pemerintah. Penelitian ini diperlukan mengingat terdapat bukti kebutuhan pendidikan seksual baik dalam konteks nasional maupun global dilihat dari jumlah infeksi HIV, kasus pornografi, cybercrime, seks pranikah, dan pelecehan seksual pada remaja. Kemudian, belum ada regulasi khusus yang mengatur pendidikan seksualitas di Indonesia, serta belum siapnya tenaga pendidik dalam mengajarkan materi pendidikan seksual komprehensif secara tepat. Metode yang digunakan untuk melakukan analisis ini adalah metode tinjauan pustaka. CSE oleh UNESCO menjadi salah satu inspirasi kurikulum pendidikan seksual komprehensif yang dapat diterapkan di Indonesia. Dalam melaksanakan upaya pendidikan seksual komprehensif dapat menerapkan kompetensi budaya, salah satu konsep yang banyak dikenal dalam kajian ilmu kesejahteraan sosial. Merupakan upaya menghargai keberagaman, mengetahui norma dan tradisi yang ada di masyarakat.

This final project discusses the analysis of sexual education policies/efforts pursued through local and government initiatives, especially for high school students/equivalent. Discuss the cultural barriers that make it difficult to implement comprehensive sexual education, including the notion that sex education is taboo, both by parents, community/religious leaders, and the government. This research is needed considering that there is evidence of the need for sexual education in both national and global contexts seen from the number of HIV infections, cases of pornography, cybercrime, premarital sex, and sexual harassment in adolescents. Then, there is no special regulation that regulates sexuality education in Indonesia, and the educators are not yet ready to teach comprehensive sexual education materials appropriately. The method used to conduct this analysis is the literature review method. CSE by UNESCO is one of the inspirations for a comprehensive sexual education curriculum that can be applied in Indonesia. In carrying out comprehensive sexual education efforts, cultural competence can be applied, one of the concepts that is widely known in the study of social welfare science. It is an effort to respect diversity, to know the norms and traditions that exist in society."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Arina Isyalhana
"Banyak ibu yang sudah merasa bahwa edukasi seks penting untuk diberikan sejak dini, namun ibu belum memiliki pengetahuan yang baik mengenai edukasi seks bagi anak. Penelitian ini bertujuan untuk menguji efektivitas program Psikoedukasi “A-B-Se” (Ayo Bicara Seks!) dalam meningkatkan pengetahuan ibu mengenai edukasi seks bagi anak prasekolah. Program ini terdiri dari 2 sesi dengan durasi 90 menit pada setiap sesi. Desain penelitian ini adalah one group pre-test post-test design. Partisipan penelitian adalah 13 ibu yang memiliki anak berusia 3-5 tahun. Materi psikoedukasi diadaptasi dari tema pengetahuan ibu mengenai edukasi seks oleh Martin et al. (2018). Alat ukur yang digunakan dikembangkan oleh peneliti berdasarkan studi literatur serta melewati uji validitas dan reliabilitas. Hasil olah data pre-test dan post-test 1 dengan metode Wilcoxon signed-rank test menunjukkan signifikansi nilai p sebesar 0,012 (p<0,05). Berdasarkan hasil tersebut, psikoedukasi “A-B-Se” efektif untuk meningkatkan pengetahuan ibu mengenai edukasi seks bagi anak prasekolah secara signifikan. Setelah jeda 20 hari, hasil post-test 2 menunjukkan sedikit penurunan rata-rata skor partisipan namun hasil uji signifikansi tidak menunjukkan hasil yang signifikan. Berdasarkan hasil tersebut, pengetahuan ibu dapat ditingkatkan dengan mengikuti program ini, namun perlu dilakukan tindakan lebih lanjut agak pengetahuan ibu dapat bertahan setelah program selesai

Many mother knew that children need sex education from an early age, but do not have adequate knowledge about this matter yet. This study aims to test the effectiveness of the “A-B-Se” Psychoeducation Program (Let’s Talk about Sex) in increasing mother's knowledge about sex education for preschool children. This program has 2 sessions with 90 minutes duration in each session. The research design is a one group pre-test post-test design. The participants of this study were 13 mothers who have children aged 3-5 years. The materials for this psychoeducation were adapted from the theme of mother’s knowledge about sex education by Martin and colleagues (2018). The data was collected using a measuring tool for mother's knowledge about sex education for preschool children which was developed by researcher based on literature studies and has passed validity and reliability tests. The result of pre-test and post-test 1 data analyzed using the Wilcoxon signed-rank test method showed a significant p value of 0.012 (p<0.05). Based on the result, the psychoeducation program "A-B-Se" is effective in increasing mother's knowledge about sex education for preschool children significantly. After 20 days of interlude, the mean score of post-test 2 showed slight decrease, but the result of significance test did not show significant change in mother’s knowledge. Based on there results, mother’s knowledge about sex education for preschool children can be increased by participating in this program, but further measures need to be taken with the aim that mother’s knowledge can sustain even after the program has finished"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
New Delhi: Sage, 1994
658.834 8 GEN
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Bornstein, Robert F
APA: Washington D.C, 2002
150.195 PSY
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>