Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 197082 dokumen yang sesuai dengan query
cover
C. Hirania Wiryasti
"Stroke adalah penyakit kronis yang mempengaruhi berbagai aspek kehidupan penderitanya. Sebagai akibatnya penderita stroke akan mengalami sties. Untuk dapat menangani stresnya, penderita stroke membutuhkan dukungan sosial. Efektifitas dukungan sosial dalam membantu penanganan stres penderita stroke dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu persepsi terhadap tipe dukungan sosial dan kepuasan terhadap sumber dukungan sosial.
Penelitian dilakukan untuk menemukan hubungan antara persepsi terhadap tipe dukungan sosial dan kepuasan terhadap sumber dukungan sosial dengan stres pada penderita stroke (N=39). Ada tujuh tipe dukungan, yaitu: Keterikatan. Integrasi Sosial, Penghargaan. Hubungan yang Dapat Diandalkan, Bimbingan, Kesempatan Untuk Mengasuh, dan Instrumental. Selanjutnya, ada tiga kategori sumber dukungan: Pasangan Hidup, Keluarga, dan Non-Keluarga. Untuk mendapat gambaran yang lebih mendalam, maka hendak diketahui pula hubungan antara persepsi terhadap tiap tipe dukungan dan kepuasan terhadap tiap kategori sumber dukungan dengan stres pada penderita stroke.
Pengambilan data dilakukan dengan Kuesioner Stres Pada Penderita Stroke* Modifikasi Social Provisions Scale, dan Kuesioner Kepuasan Terhadap Sumber Dukungan Sosial. Proses face validity dilakukan terhadap ketiga alat tersebut dengan menggunakan experl judgment. Selanjutnya, terhadap dua alat pertama juga telah dilakukan uji reliabilitas dengan metode koefisien alpha Cronbach pada program SPSS 10.01.
Uji signifikansi dilakukan dengan metode korelasi producl-inomenl Pearson pada program SPSS 10.01. Hasil perhitungan menunjukkan, hipotesa adanya hubungan antara persepsi terhadap tipe dukungan sosial dengan stres pada penderita stroke diterima, dan hipotesa adanya hubungan antara kepuasan terhadap sumber dukungan sosial dengan stres pada penderita stroke tidak diterima. Selanjutnya, persepsi terhadap tipe dukungan yang berhubungan dengan stres pada penderita stroke adalah Integrasi Sosial, Kesempatan Untuk Mengasuh, dan Bimbingan. Sedangkan, kepuasan terhadap tiap kategori sumber dukungan tidak ada yang berhubungan dengan stres pada penderita stroke.
Kesimpulannya, tidak semua tipe dukungan dapat membantu penanganan stres penderita stroke. Hal ini tergantung pada kebutuhan masing-masing penderita. Selanjutnya, merasa puas terhadap sumber dukungan ternyata tidak mempengaruhi tingkat stres yang dirasakan oleh penderita stroke. Peneliti menyarankan, agar lingkungan sosial memahami dengan baik kebutuhan dari penderita stroke yang menerima dukungan darinya. Terakhir, untuk penelitian selanjutnya disarankan agar dilakukan perbaikan alat dan metodologi penelitian."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2002
S3143
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fadhilah Rizka Utami
"Stres akibat kesulitan berkomunikasi tidak hanya dialami pasien stroke yang mengalami afasia, tetapi keluarga yang melakukan perawatan juga merasakan stres. Stres ini dapat dipengaruhi oleh pengetahuan tentang afasia dan dukungan sosial yang dimiliki keluarga. Tujuan penelitian ini untuk melihat hubungan antara tingkat pengetahuan tentang afasia dan dukungan sosial dengan tingkat stres pada keluarga pasien stroke yang mengalami afasia. Penelitian ini menggunakan desain cross sectional dengan 79 anggota keluarga pasien stroke yang mengalami afasia pada dua rumah sakit di Bukittinggi. Instrumen yang digunakan yaitu kuesioner tentang afasia, The Medical Outcome Study Social Support Survey dan Perceived Stress Scale. Hasil penelitian dengan menggunakan uji Spearman Rank didapatkan adanya hubungan yang bermakna antara tingkat pengetahuan tentang afasia dengan stres keluarga p=0,006. Kemudian tidak terdapat hubungan yang bermakna antara dukungan sosial dengan stres keluarga p=0,883. Penelitian ini merekomendasikan pentingnya menilai stres pada keluarga pasien stroke dengan afasia dan meningkatkan pengetahuan keluarga tentang afasia sehingga stres dapat diatasi.

Stress due to communication difficulties is affecting both stroke patients with aphasia and family member who takes on caregiver role. The stress may be affected by knowledge on aphasia and social support of family. This study aimed to identify relationship between family's level of knowledge on aphasia, social support, and stress level in family of stroke patient with aphasia. The study design was cross sectional with total sample of 79 families of stroke patients with aphasia in two hospitals in Bukittinggi. Questionnaire of aphasia, The Medical Outcome Study Social Support Survey and Perceived Stress Scale were employed in this study. The result of Spearman Rank analysis indicated that there was a significant correlation between family's level of knowledge on aphasia and family stress p 0,006 and there was no significant correlation between social support and family stress p 0,883. This study suggested the significance of stress assessment on family of stroke patient with aphasia and improving family's knowledge on aphasia in order to cope with the stress perceived.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2017
S67368
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1992
S2358
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ratulangie, Bunga
"Perubahan banyak memakan biaya dan tenaga, namun harus dilakukan apabila perusahaan tidak ingin tertinggal dari perusahaan lain. Untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensinya perusahaan harus mengubah cara-cara lama yang digunakan untuk menjalankan perusahaan. Salah satu bentuk perubahannya adalah restrukturisasi perusahaan. Dalam melakukan perubahan, unsur terpentingnya adalah manusia yang bekeija di perusahaan karena merekalah yang menjalankan perubahan. Untuk itu perlu diperhatikan bagaimana sikap individu terhadap perubahan. Sikap individu terhadap perubahan tidak terlepas dari pengaruh berbagai hal, salah satunya adalah stressor dalam lingkungan kerjanya. Bagaimana individu mempersepsikan stressor dapat mempengaruhi sikap terhadap perubahan organisasi.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui gambaran hubungan antara stressor dalam lingkungan kerja dengan sikap terhadap perubahan organisasi. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif. Penelitian ini dilakukan dengan mengambil sampel dengan menggunakan tehnik non probability sampling tipe Occidental sampling. Subyek Penelitian ini adalah pegawai di perusahaan BUMN X dan BUMN Y sebanyak 135 orang, dengan pendidikan terakhir SLTA/ sederajat, dan telah bekerja minimal 2 tahun.
Metode pengambilan data dengan menggunakan kuesioner dengan skala 1-6. Penelitian ini menggunakan 2 kuesioner, yaitu kuesioners stressor dalam lingkungan kerja yang dibuat berdasarkan teori Ivancevich & Matteson (1982) dan kuesioner sikap terhadap perubahan organisasi yang dibuat berdasarkan teori dari beberapa tokoh. Stressor dalam lingkungan kerja yang ingin dilihat hubungannya dengan sikap terhadap perubahan organisasi adalah dimensi stressor organisasi, stressor kelompok, stressor pekerjaan, stressor karir.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara stressor dalam lingkungan keija dengan sikap tehadap perubahan. Untuk dimensi stressor kelompok, stressor pekerjaan, stressor karir juga tidak terdapat hubungan yang signifikan. Untuk dimensi stressor organisasi, terdapat hubungan negatif signifikan pada sikap terhadap perubahan organisasi. Hal ini berarti bahwa semakin tinggi stressor dalam organisasi maka semakin rendah penerimaannya terhadap perubahan.
Penelitian ini masih memerlukan penelitian lanjutan dengan menambah jumlah item kuesioner sehingga jumlah item setiap dimensi seimbang. Selain itu masih diperlukan perbaikan-perbaikan pada alat ukur, metode pengumbulan data juga perlu dilakukan wawancara dengan pegawai yang perusahaannya mengalami perubahan. Hal ini diharapkan dapat memberikan data kualitatif yang cukup mendalam dan menunjang hasil penelitian yang lebih baik. Selain itu juga perlu dilihat pengaruh/ peran faktor-faktor lain pada sikap terhadap perubahan organisasi."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2002
S3127
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Rina Rakhmawati
"ABSTRAK
Darah adalah jaringan tubuh yang sangat vital bagi kehidupan. Hampir seluruh tubuh manusia dialiri oleh darah melalui pembuluh darah. Kehilangan darah dalam jumlah yang cukup banyak dapat membahayakan jiwa seseorang. Kehilangan darah dapat dipicu bila terjadi luka pada tubuh seseorang. Untuk mencegah kehilangan darah dalam jumlah banyak, tubuh memiliki faktor pembeku darah yang membantu dalam proses pembekuan darah. Kekurangan faktor pembeku darah dalam tubuh dapat mengakibatkan penderitanya mengalami perdarahan terus menerus. Kelainan darah seperti ini dikenal dengan hemofilia. Hemofilia adalah salah satu penyakit genetik yang sering di temui di Indonesia, selain thalassemia dan sindroma down (Femina, No.35/XXX, 2002). Satu-satunya pengobatan yang dapat dijalani penderita hemofilia adalah dengan melakukan transfusi plasma (darah) seumur hidup.
Penderita hemofilia sebagian besar adalah laki-laki. Berbagai aktivitas fisik yang berat dan memicu terjadinya perdarahan sebaiknya dihindari oleh penderita hemofilia. Penyakit hemofilia ini membuat penderitanya merasa dibatasi aktivitas fisiknya. Keterbatasan fisik ini dapat menimbulkan stres pada penderitanya. Selain itu menurut Kelley (1999) di masyarakat terdapat anggapan bahwa penderita adalah seseorang yang rapuh. Sedangkan menurut Parsons (dalam Sarwono, 1997) pada umumnya kepribadian yang diharapkan dari laki-laki berdasarkan norma baku yang berlaku dimana pun adalah dominan, mandiri, kompetitif, dan asertif. Didukung oleh penelitian Lerner, Orlos, dan Knapp (dalam Atwater, 1983) yang menyebutkan bahwa pria lebih cenderung menekankan kompetensi fisik atau apa yang dapat mereka lakukan dengan tubuh mereka agar dapat memberikan dampak yang bermakna bagi lingkungan. Anggapan masyarakat dan keterbatasan fisik yang dimiliki ini tentunya dapat mengganggu perasaan penderita hemofilia.
Selain masalah keterbatasan fisik, masalah lain yang mungkin mengganggu penderita hemofilia adalah pengobatan yang harus dijalaninya seumur hidup. Selain itu berbagai masalah juga akan muncul seperti memenuhi tuntutan tugas perkembangan dewasa muda, seperti mandiri, mencari keija, dan menikah serta membentuk keluarga. Berbagai masalah yang dihadapi penderita hemofllia, terutama penderita hemofilia usia dewasa dapat menimbulkan tekanan bagi mereka. Bila tekanan tersebut melebihi kemampuan yang dimiliki individu, maka menurut Lazarus (1976) individu tersebut dapat mengalami stres. Salah satu usaha coping stres yang dapat dilakukan adalah mencari dukungan sosial.
Dukungan sosial dapat berbentuk dukungan emosional, harga diri, instrumental, informasi, dan dukungan jaringan. Dukungan sosial dapat diterima seseorang dari keluarga, teman dekat, tenaga profesional, maupun dari organisasi dimana individu itu tergabung. Penelitian ini ingin melihat bagaimana gambaran stres, coping, dan dukungan sosial pada penderita hemofilia dalam menghadapi penyakit hemofilia yang diderita seumur hidup ini.
Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif. Sedangkan metode pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara dan observasi.
Hasil dari penelitian yang diperoleh adalah reaksi awal ketika ketiga penderita didiagnosis memiliki penyakit hemofilia adalah menerima. Masalahmasalah yang dihadapi ketiga penderita adalah masalah biaya, pekerjaan, dan berkeluarga. Ketika responden mengatasi masalah-masalah tersebut secara berbeda-beda, tergantung pada sumber daya yang dimilikinya. Ada responden yang mengatasinya dengan strategi problem-focused coping atau dengan emotion focused coping. Ketiga responden mengatasi masalah biaya dengan strategi problem focused coping. Masalah pekeijaan oleh responden NO dan AF diatasi dengan strategi problem focused coping. Sedangkan responden AG mengatasinya dengan strategi emotion focused coping. Untuk masalah berkeluarga ketiga responden mengatasinya dengan strategi emotion focused coping. Bentuk dukungan yang diharapkan oleh penderita hemofilia adalah dukungan instrumental, harga diri, dukungan informasi dan emosional. Dukungan tersebut diharapkan diterima dari keluarga, teman, tenaga medis dan pemerintah."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2003
S3204
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andrini Evianty
"ABSTRAK
Manajer madya sebagai salah satu posisi yang tergolong eksekutif (Schultz,
1987)dalam organisasi merupakan posisi strategis yang didambakan setiap orang.
Meskipun mendapatkan imbalan yang potensial berupa kekuasaan, uang, status,
tantangan dan pemenuhan kebutuhan diri yang besar, para manajer madya juga
memiliki beban tugas dan tanggung jawab yang berat, yang menyebabkan mereka
seringkali harus mengorbankan sebagian besar waktu dan energinya untuk
pekerjaan dan kekurangan waktu untuk keluarga maupun rekreasi (Kofodimos,
tahun tidak terselusuri). Masalah lainnya yang khas pada manajer madya adalah
posisi mereka yang berada ditengah antara manajer puncak yang menetapkan
kebijakan perusahaan dan manajer lini (supervisor) yang mengoperasionalisasikan
kebijakan-kebijakan tersebut, sehingga seringkali membuat mereka merasa terjepit
dan tertekan (Schultz, 1987).
Tekanan-tekanan yang dihadapi manajer madya ini potensial menjadi
sumber stres kerja yang berdampak negatif bagi mereka yang tidak dapat
mengatasinya dengan baik.. Salah satu cara yang banyak disarankan untuk
mengatasi stres kerja adalah dukungan sosial. Oleh karena itu pada penelitian ini
ingin dilihat gambaran stres kerja, gambaran dukungan sosial yang diperoleh, serta
gambaran hubungan antara stres dan dukungan sosial pada manajer madya pria di
Jakarta.
Sejauh ini penelitian-penelitian tentang stres kerja telah dititikberatkan pada
konsep-konsep seperti role ambiguity dan role conflict sebagai penentu utama
reaksi stres (Beehr, 1985, Fisher & Gitelson, 1983, Jackson & Schuler, 1985,
dalam Spielberger, 1991). Namun studi yang dilakukan oleh Jackson & Schuler,
1985 menunjukkan tidak ada hubungan antara tingkatan organisasi, role conflict
dan role ambiguity. Berdasarkan penelitian tersebut Spielberger mengemukakan 2
aspek penyebab stres kerja, yaitu tekanan pekerjaan dan kurangnya dukungan dari
organisasi maupun orang-orang di lingkungan kerja (Spielberger, 1991). Pada
manajer madya orang-orang disekitarnya mempunyai peran yang besar dalam
menimbulkan stres maupun membantu mengatasinya. Banyak penelitian yang telah membuktikan besarnya manfaat dukungan sosial, terutama dalam perannya sebagai
penahan (buffer) stres. Dari beberapa jenis dukungan sosial yang diajukan peneliti-
peneliti sebelumnya, peneliti memilih 7 jenis dukungan (instrumental, informasi,
evaluasi, emosi, model, penghargaan, jaringan) untuk digunakan pada penelitian
ini.
Subyek penelitian ini adalah 58 orang manajer madya pria dari berbagai
perusahaan, di Jakarta, yang di ambil dengan menggunakan teknik incidental
sampling. Alat ukur yang digunakan adalah job stress survey (ISS) untuk
mengukur stres kerja dan kuesioner dukungan sosial untuk mengukur dukungan
sosial yang diperoleh dan sumber dukungan. Pengolahan data dilakukan dengan
menghitung persentase (deskriptif statistik) dan korelasi Pearson Product Moment
untuk melihat hubungan antara stres dan dukungan sosial.
Hasil penelitian menunjukkan gambaran stres kerja yang dialami para
manajer madya pria di Jakarta secara keseluruhan, intensitas maupun frekuensinya
tergolong sedang, baik yang disebabkan aspek tekanan pekerjaan maupun
kurangnya dukungan. Terlihat juga bahwa 3 stresor yang memiliki pengaruh
relatif terbesar merupakan stresor tekanan pekerjaan (berurusan dengan situasi
krisis; harus memenuhi tenggat waktu; dan bekerja melebihi batas waktu yang telah
ditetapkan). Gambaran dukungan sosial yang diperoleh manajer madya
menunjukkan hasil yang tergolong sedang, secara total maupun pada setiap jenis
dukungan sosial. Sernentara orang-orang yang paling diandalkan subyek sebagai
sumber dukungan sosial di lingkungan kerja adalah atasan langsung (dukungan
instrumental, informasi, evaluasi, model dan penghargaan), bawahan (dukungan
instrumental), rekan kerja setara (dukungan informasi dan jaringan). Di
lingkungan keluarga dukungan sosial terutama diperoleh dari istri (dukungan
evaluasi, emosi dan jaringan), serta orang tua (dukungan model). Orang-orang
yang dipilih subyek sebagai peringkat kedua paling banyak memberi dukungan
adalah rekan kerja setara (semua jenis dukungan). Sebagian besar hubungan antara
dimensi/subdimensi stres dengan dimensi-dimensi dukungan sosial tidak signifikan.
Tetapi terdapat beberapa hubungan yang signifikan, yaitu antara indeks kurangnya
dukungan dari stres dengan dukungan sosial total, dukungan instrumental, evaluasi,
emosi dan jaringan; serta antara subdimensi frekuensi kurangnya dukungan dari
stres dengan dukungan instrumental dan evaluasi.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan mengenai stres
kerja dan peran dukungan sosial dalam mengatasi stres kerja, khususnya pada
manajer madya pria, di Jakarta sehingga selanjutnya dapat dimanfaatkan untuk
menentukan cara yang sesuai dan efektif bagi usaha-usaha maupun program-
program yang dibuat dengan tujuan mengatasi stres kerja."
1997
S2383
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maulida Zawir Simon
"Penyakit Jantung Koroner (PJK) merupakan salah satu penyakit kronis yang menjadi penyebab kematian utama di negara-negara industri modern (Sarafino, 1990; Taylor, 1995). Khususnya di Indonesia, selain menduduki peringkat pertama sebagai penyebab kematian (Survey Rumah Tangga Departemen Kesehatan, 1992), PJK juga menyebabkan penurunan kualitas hidup bagi individu yang menderita PJK (Jatiputra, 1993).
Manifesfasi klinis dari PJK yang paling ditakuti adalah Infark Miokard Akut (IMA), karena serangan jantung yang terjadi mengakibatkan kematian pada otot-otot jantung (Hurst, 1990; Sarafino, 1990; Taylor, 1995). Individu yang dapat hidup setelah mengalami serangan jantung, disebut sebagai penderita pasca-IMA. Bagi penderita pasca-IMA, serangan jantung yang dialaminya akan menimbulkan berbagai masalah, meliputi masalah fisik, psikologis, dan sosial (Jatiputra, 1993). Masalah-masalah yang ada seringkali dirasakan mengganggu kehidupan penderita (Jatiputra, 1993) dan merupakan sumber stres baginya (Holahan & Moos, 1997). Dengan kata lain, penderita pasca-IMA mengalami stres.
Para ahli menemukan bahwa stres merupakan salah satu faktor risiko yang dapat memicu terjadinya serangan jantung (Perhimpunan Kardiologi Indonesia 1988; Taylor, 1995). Oleh karena itu, penting bagi penderita pasca-IMA untuk mengatasi stres agar tidak terkena serangan jantung kembali (Sarafino, 1990; Jatiptra, 1993; Taylor, 1995). Usaha mengatasi stres dikenal dengan istilah coping. Dalam melakukan usaha. coping, penderita pasca-IMA dapat memecahkan masalah secara aktif (coping terpusat masalah) dan/atau dengan mengatur perasaannya (coping terpusat emosi).
Akan tetapi, penderita pasca-IMA mungkin saja melakukan coping secara tidak efektif karena kekuatan fisik dan mentalnya terbatas. Dengan demikian, penderita pasca-IMA membutuhkan faktor dari luar dilinya yang dapat membzmtunya untuk mengatasi masalah-masalahnya, yaitu dukungan sosial. Dukungan sosial dapat memberikan efek positif terhadap kesehatan dan kesejahteraan individu, serta membantu individu coping terhadap masalah-masalahnya (Heller, dkk, 1986; Thoits, 1986; Sarafino, 1990; Pierce, Sarason, & Sarason, 1992; Taylor, 1995). Dukungan sosial disini Iebih berarti sebagai dukungan sosial yang dipersepsikan, bukan dukungan sosial yang dirasakan secara obyektif. Dukungan sosial yang dipersepsikan ini meliputi persepsi individu mengenai jumlah sumber dukungan yang tersedia dan tingkat kepuasan terhadap dukungan yang ada (Samson, dkk, 1983).
Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk melihat beberapa jauh hubungan antara dukungan sosial yang dipersepsikan dengan coping yang dilakukan oleh penderita pasca-IMA, khususnya hubungan antara jumlah sumber dukungan soaial maupun tingkat kepuasan terhadap dukungan sosial dengan coping terpusat pada masalah dan coping terpusat pada emosi.
Subyek penelitian ini adalah 30 orang penderita pasca-IMA dari Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati Jakarta., yang diambil dengan menggunakan tehnik non probability sampling tipe incidental. Alat pengumpulan data menggunakan kuesioner Social Support Questionnaire (SSQ) dari Sarason, dkk (1983) yang mengukur jumlah number dukungan sosial yang dipersepsikan maupun tingkat kepuasan terhadap dukungan sosial dan Ways of Coping Questionnaire (WCQ) dari Folkman., dkk (1984) yang mengukur coping terpusat pada masalah dan coping terpusat pada emosi. Pengolahan data dilakukan dengan analisa deskriptif dan korelasi. Keseluruhan pengolahan data dilakukan dengan bantuan program SPSS.
Berdasarkan data yang diperoleh dari penelitian ini, diperoleh hasil bahwa penderita pasca-IMA menggunakan coping terpusat pada masalah dan coping terpusat pada emosi sama seringnya dalam mengatasi masalah-masalahnya. Selain mempersepsikan banyak sumber dukungan sosial, penderita pasca-IMA juga merasa puas terhadap dukungan sosial yang diterimanya. Dengan sendirinya, tidak ada hubungan yang bermakna antara banyaknya jumlah sumber dukungan sosial maupun besarnya tingkat kepuasan terhadap dukungan sosial dengan coping terpusat pada masalah dan coping terpusat pada emosi yang dilakukan oleh penderita pasca-WIA.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi yang berharga kepada pihak rumah sakit, penderita penyakit jantung dan keluarganya, mengenai pentingnya dukungan sosial bagi penderita jantung, khususnya penderita pasca- IMA. Selain itu, berdasarkan banyaknya jumlah sumber dukungan, dapat pula diketahui lingkungan sosial disekitar penderita pasca-IMA, baik yang berasal dari dalam maupun luar keluarga yang dipersepsikan sebagai sumber dukungan untuk membantunya dalam mengatasi masalah-masalahnya.
Saran untuk penelitian selanjutnya, sebaiknya digunakan metode wawancara yang lebih mendalam sehlngga dapat diketahui kepuasan terhadap dukungan sosial secara subyektif dan dianjurkan untuk mengikutsertakan variabel kepribadian yang juga berpengaruh pada coping yang dilakukan oleh penderita pasca-IMA."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1999
S2594
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marina Magdalena
"Hingga saat ini SLE (Systemic Lupus Erythematosus) masih belum populer di telinga masyarakat luas walaupun beberapa media massa telah memuat artikel mengenai penyakit ini. Jumlah penyandang SLE memang masih terhitung kecil bila dibandingkan jumlah penderita penyakit lainnya. SLE sendiri adalah penyakit autoimmune yang kronis atau berkepanjangan yang berakibat pada timbulnya peradangan pada berbagai sistem organ dan/atau jaringan tubuh seperti kulit, persendian, ginjal, paru-paru, dan lain-lain. Autoimmune adalah gangguan pada mekanisme pertahanan tubuh di mana antibodi dihasilkan untuk menyerang jaringan tubuh sendiri (Concise Medical Dictionary 1990). Padahal antibodi diproduksi oleh sistem kekebalan kita untuk melindungi tubuh kita dari benda asing. Karena penyebab SLE belum diketahui secara pasti, hingga kini belum ditemukan obat yang dapat menyembuhkan SLE (Wilson, et al., 1991). Oleh sebab itu yang dapat dilakukan saat ini adalah mempertahankan mana remisi (masa di mana SLE tidak aktif) selama mungkin sehingga penyandang SLE dapat hidup dengan normal.
Dalam perawatannya, penyandang SLE tidak hanya membutuhkan dukungan medis tetapi juga dukungan psikologis seperti dukungan sosial. Dukungan sosial adalah informasi yang diperoleh dari orang lain bahwa seseorang itu dicintai, diperhatikan, dipercayai, dan dihargai (Cobb, 1976, dalam Taylor, 1995). Ada beberapa bentuk dukungan sosial, yaitu appraisal support, tangible assistance, emotional support, dan informational support (dalam Taylor, 1995). Namun bagi mereka yang menderita suatu penyakit yang cukup serius, dukungan emosional dan informasional dirasakan lebih penting (Wortman & Dunkel-Schetter, 1987, dalam Sarafino, 1994). Itulah sebabnya dukungan sosial yang diteliti pada penelitian ini difokuskan pada kedua dukungan tersebut.
Pada penelitian ini ingin diperoleh gambaran mengenai dukungan sosial, emosional dan informasional, yang diterima penyandang SLE dmi lingkungan sosialnya, yaitu keluarga dan pasangan hidup, dokter, teman akrab, dan Iingkungan pergaulan. Yang dimaksud dengan lingakungan pergaulan di sini adalah lingkungan kerja, kuliah, sekolah, dan teman-teman lain selain teman akrab. Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif; dengan menggunanakan teknik kuesioner dan wawancara. Subyek penelitian adalah penyandang SLE dalam usia subur dan pernah atau masih berkonsultasi dengan dokter. Penelitian kuantitatif dilakukan kepada 31 subyek sedangkan penelitian kualitatif dilakukan kepada lima subyek yang juga sudah mengisi kuesioner sebelumnya.
Hasil yang diperoleh pada penelitian ini adalah bahwa sebagian besar subyek memiliki persepsi yang positif terhadap dukungan emosional dan informasional yang diterima dari keluarga dan pasangan hidup, dokter, dan teman akrab. Sedangkan subyek yang memiliki persepsi yang positif terhadap dukungan emosional dan informasional yang diterima dari lingkungan pergaulan lebih sedikit dari pada subyek yang memiliki persepsi positif terhadap dukungan yang diterima dari pihak-pihak lain.
Pada umumnya keluarga, pasangan hidup, dan teman akrab memberikan dukungan seperti mengerti, memberi semangat, membantu pengobatan, memberikan perhatian, memberikan kesempatan bagi subyek untuk menyampaikan keluhan dan masalahnya, juga memberikan informasi mengenai SLE dan saran-saran untuk subyek. Namun ada juga subyek yang disalahkan dan diangap aneh oleh keluarga, pasangan hidup, dan teman akrab.
Dokter memberikan dukungan dengan mengerti, memberi semangat, memberikan perhatian, memberikan kesempatan buat subyek untuk menyampaikan keluhan dan pertanyaan, menenangkan subyek, bersikap sabar, tidak bersikap kaku (misalnya bercanda), juga memberikan penjelasan mengenai SLE (dengan cara yang dapat dipahami), memberikan kesempatan untuk bertanya jawab, dan memberikan saran-saran. Subyek yang berkonsultasi dengan dokter seperti di atas memiliki persepsi yang positif terhadap dukungan yang diterima dari dokter. Sebaliknya subyek yang berkonsultasl dengan dokter yang bersikap terburu-buru, lebih banyak diam, bersikap kaku, tidak memberikan penjelasan, memiliki persepsi yang negatif.
Lingkungan pergaulan pun memberikan dukungan seperti mengerti, memberi semangat, membiarkan subyek bekerja seperti biasa, memberi perhatian, juga memberi informasi mengenai SLE dan saran-saran untuk subyek. Namun ada juga lingkungan pergaulan yang bersikap menyalahkan, menganggap subyek aneh, dan menanyai subyek terus menerus. Subyek dengan lingkungan pergaulan seperti ini memiliki persepsi yang negatif terhadap dukungan yang diterima dari lingkungan pergaulan.
Saran untuk penelitian lanjutan adalah agar dapat diteliti hubungan antara persepsi penyandang SLE terhadap dukungan yang diterima dengan kondisi penyandang SLE, penelitian dilakukan dengan jumlah subyek yang lebih besar, menghindari pertanyaan yang mengarahkan subyek. Saran Iain adalah perlunya diberikan penjelasan mengenai penyakit kepada lingkungan sosial pasien, dan perlunya pemahaman bagi para dokter mengenai pendekatan psikologis dalam proses penyembuhan selain pendekatan media."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2000
S2963
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Widayatri S.U.
"Setiap anak, baik anak normal maupun terbelakang mental, semuanya memiliki hak yang sama. Dalam Konvensi Hak-hak Anak (dalam Unicef, 1990) juga disebutkan bahwa setiap negara harus memperhatikan hak-hak setiap anak tanpa diskriminasi. Orang tua sebagai pengasuh utama anak memiliki tanggung jawab utama memberikan pengasuhan yang semaksimal mungkin bagi anak terbelakang mental. Salah satu jenis keterbelakangan mental yang cukup banyak menimbulkan masalah dalam pengasuhan adalah down's syndrome. Menumt Harris & McHale (dalam Atkinson, Chisholm, Dickens,Goldberg, Scott, Blackwell, Tarn, 1995) kehadiran anak down's syndrome dapat memberikan masalah pengasuhan yang cukup besar bagi orang tua. Hall dan Hill (1996) menjelaskan bahwa down's syndrome mempakan salah satu abnormalitas yang sebagian besar disebabkan oleh adanya penambahan jumlah kromosom pada kromosom ke-21. Agar pengasuhan bagi anak down's syndrome dapat diberikan semaksimal mungkin, ibu tentunya tidak dapat melakukan tugas tersebut seorang diri. la memerlukan dukungan untuk menjalankan tugas pengasuhan ini. Tetapi terayata dalam kenyataannya individu-individu yang ada di sekitar ibu tidak hanya menyumbangkan dukungan tetapi juga dapat menimbulkan stres. Belle (dalam Cochran dkk, 1990:9) menyatakan bahwa seseorang tidak hanya akan menerima dukungan tetapi juga akan mempunyai resiko memperoleh stres dari lingkungannya. Cochran (dalam Cochran dkk, 1990) menggunakan istilah jaringan sosial untuk menjelaskan tentang individu-individu yang berperan sebagai sumber dukungan dan sumber stres ini. Dalam penelitian ini ingin digali mengenai jaringan sosial baik sebagai sumber dukungan maupun sebagai sumber stres bagi ibu yang memiliki anak down's syndrome. Mengingat kemungkinan banyaknya anggota jaringan sosial yang dimiliki ibu maka penelitian akan dibatasi pada individu-individu yang mempengaruhi kehidupan ibu dalam 6 bulan terakhir ini, dan minimal berhubungan 1 kali sebulan dengan ibu dari anak down's syndrome. Sumber dukungan dari jaringan sosial yang ingin dilihat dibagi ke dalam dukungan instrumental, emosional, informasi, dan companionship. Sedangkan sumber stres yang ingin dilihat dibagi ke dalam tekanan, fhistasi, konflik, dan kecemasan. Tetapi karena dalam hidup sehari-hari sangat sulit memisahkan antara masing-masing pembagian ini (Atwater, 1983) maka dalam interpretasi peneliti cenderung tidak secara pasti membagi sumber stres ke dalam empat bagian tersebut. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif dengan metode wawancara mendalam (in depth interview) dan observasi. Wawancara mendalam dilakukan terhadap empat ibu yang memiliki anak down's syndrome Pemilihan subyek dilakukan dengan pendekatan purposif dimana sampel diambil berdasarkan kriteria tertentu yang sudah ditetapkan oleh peneliti. Dari penelitian ditemukan bahwa dukungan instrumental yang diberikan kepada keempat subyek dalam penelitian ini lebih banyak diberikan oleh anggota keluarga. Bantuan yang diberikan meliputi bantuan dalam mengeijakan tugas rumah tangga; mengurus anak down's syndrome, mengantar, menunggu atau menjemput anak down's syndrome di sekolah; menjaga anak down's syndrome bila subyek tidak ada di rumah; dan bantuan keuangan. Walaupun demikian jenis bantuan yang diberikan pada masing-masing subyek berbeda-beda. Dukungan emosional diberikan oleh suami, teman-teman yang juga memiliki anak tuna grahita. Tetangga yang mengerti kondisi anak down's syndrome menjadi dukungan emosional pula bagi subyek. Dukungan informasi diperoleh dari guru, dokter, teman, dan suami. Dukungan companionship diperoleh dari suami dan anak. Sedangkan sumber stres dari jaringan sosial subyek meliputi dua subyek merasakan kurangnya dukungan dalam mengawasi anak down's syndromenydi. Kurangnya dukungan sangat dirasakan oleh satu subyek yang kebetulan juga bekerja, ketika secara bersamaan subyek harus melakukan tugas rumah tangga, bersiap-siap untuk mengajar, sekaligus harus mengawasi anaknya yang juga hiperaktif. Satu subyek merasa kesal karena anak-anaknya kurang membantunya dalam mengawasi anaknya yang down's syndrome. Sering subyek merasa kelelahan harus menjaga dan mengawasi anaknya supaya tidak keluar rumah. Selain itu subyek juga mengatakan bahwa aktifitas mengajar ngaji juga terhambat karena harus menunggu salah satu anaknya pulang supaya ada yang menjaga anaknya yang down's syndrome. Rasa fhistasi akibat tidak menemukan orang yang dapat diajak bercerita dan berkeluh kesah karena suami yang sibuk bekerja dan anak-anak yang sibuk bekerja dan kuliah kadang-kadang dirasakan oleh satu subyek. Omongan saudara dan anggota keluarga yang menyakitkan juga menjadi sumber stres bagi tiga subyek. Selain itu dua subyek kadang-kadang juga merasa sedih dan prustasi atas ucapan teman-teman yang berhubungan dengan anaknya yang down's syndrome. Dua subyek yang sudah memasuki akhir usia middle adulthood juga merasakan kecemasan yang berhubungan dengan siapa yang akan mengasuh anak down's syndrome bila subyek sudah tidak ada."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1999
S2672
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>