Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 83508 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Nina Setiawati
"ABSTRAK
Stroke adalah salah satu penyakit yang mempunyai resiko kematian yang
tinggi. Tiemey, dkk (2000) mengatakan bahwa di Amerika stroke merupakan
penyakit urutan ketiga penyebab kematian dalam kurun waktu 30 tahun terakhir
ini dimana sekitar 70 - 80% penderitanya merupakan penderita hipertensi.
(Soen, 1994). Menurut Bagian Neurologi Fakultas Kedokteran UI, penyakit
Stroke di Indonesia cenderung meningkat. Data Rumah Sakit dari Departemen
Kesehatan Republilk Indonesia di tahun 1996 menunjukan stroke menempati
urutan ketiga dari penyakit yang dirawat di rumah sakit dan masih merupakan
salah satu penyakit tersering yang mengakibatkan kematian pada penderitanya.
Stroke terjadi karena adanya kerusakan pada beberapa area di otak akibat
supply darah ke otak tersebut terganggu sehingga area tersebut tidak mendapat
oksigen (Sarafino, 1998) Dampak dari stroke umumnya bersifat jangka panjang
dan tingkat keparahannya beragam, yang paling parah kematian.
Tindak pencegahan terhadap penyakit stroke perlu untuk dilakukan.
Anjuran medis atau medical regimen dari dokter perlu dijalankan oleh pasien
dengan disiplin. Karena stroke sangat terkait dengan gaya hidup seseorang,
medical regimen yang sering diberikan kepada pasien stroke umumnya juga
menyangkut gaya hidup misalnya merubah pola makan, berhenti merokok atau
melakukan olahraga.
Dalam menaati anjuran-anjuran tersebut, respon tiap pasien stroke
berbeda-beda, ada beberapa yang mematuhi, ada juga yang tidak. Studi
menunjukan bahwa pasien sulit menaati nasehat dokter untuk mengubah gaya
hidup dibandingkan dengan menaati nasehat dokter untuk minum obat (Haynes
dalam Sarafino, 1998). Perbedaan respon terhadap perilaku patuh ini dicoba
dijelaskan dengan berbagai teori, salah satunya yaitu health belief model yaitu
teori yang dikembangkan oleh Rosenstock pada tahun 1966. Ada dua komponen di dalam teori tersebut yaitu yang pertama adalah derajat dimana pasien
mempersepsikan ada atau tidaknya general health value, perceived susceptibility
dan perceived severity. Faktor yang kedua yaitu persepsi bahwa suatu health
practice tertentu akan efektif mengurangi ancaman tersebut. Faktor yang kedua
ini dibagi lagi menjadi dua. Yang pertama yaitu apakah seseorang yakin atau
tidak bahwa health practice akan efektif melawan penyakitnya dan faktor yang
kedua adalah benefit dan barriers yang didapatkan dari melakukan tindakan
kesehatan tersebut.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memberikan gambaran kepatuhan
pasien stroke terhadap medical regimen berdasarkan teori health belief model.
Metode penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif dengan
wawancara sebagai metode pengambilan data.
Hasil dari penelitian yang diperoleh adalah bahwa kedua subyek yaitu M
dan H yang mengalami stroke dengan dampak yang cukup lama mengatakan
bahwa peristiwa stroke tersebut telah mengubah pandangan mereka terhadap
makna kesehatan. Arti kesehatan semakin terlihat penting dalam hidup mereka.
Berbeda dengan subyek S yang mengalami stroke dengan dampak jangka
pendek yaitu kurang dari 24 jam. Bagi S kesehatan tetap merupakan sesuatu
yang tidak penting. Selain tingkat keparahan, faktor benefit dan barriers juga
menjadi faktor yang penting untuk menentukan apakah seseorang akan
memutuskan untuk mengambil suatu tindakan untuk mencegah atau melawan
suatu penyakit atau tidak. Ketiga subyek menyetujui bahwa jika suatu medical
regimen dijalankan dengan benar, maka akan efektif dalam mencegah atau
melawan suatu penyakit. Hanya subyek S yang memutuskan untuk tidak
menjalankan medical regimen yang dianjurkan dokter karena ia merasa kenyamanan hidupnya akan terganggu jika ia mematuhinya."
2003
S3264
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amie Firshanti
"ABSTRAK
Diabetes mellitus adalah penyakit kronis dimana tubuh tidak mampu memproduksi atau memanfaatkan hormon insulin secara optimal (Taylor, 1999), sehingga beipotensi mengakibatkan berbagai komplikasi. Ada tipe diabetes tertentu, yaitu diabetes tipe I, yang menyerang anak-anak dan remaja. Regimen penanganan diabetes tipe I intinya meliputi 3 aspek, yaitu suntikan insulin, diet (pengaturan makanan), dan olah raga. Regimen penanganan diabetes sangat rentan terhadap perilaku ketidakpatuhan, dimana pasien tidak menjalankan regimen dengan tepat atau tidak sama sekali (DiMatteo & Martin, 2002). Tingkat ketidakpatuhan tertinggi terjadi pada kelompok usia remaja karena regimen diabetes dapat bertentangan dengan tugas perkembangan remaja. Menurut Charron-Prochownik dan Becker (1998), ada 2 faktor utama yang berpengaruh positif terhadap kepatuhan remaja pengidap diabetes, yaitu faktor psikososial dan faktor kognitif. Faktor psikososial meliputi keterlibatan orang tua dalam regimen, fungsi keluarga, dan dukungan sosial. Sedangkan faktor kognitif meliputi kematangan kognitif, pengetahuan, sikap dan kepercayaan (belief) tentang kesehatan, dan self-efficacy. Karena keterbatasan waktu dan rumitnya meneliti keadaan psikososial di sekitar pengidap, maka penelitian ini akan lebih memfokuskan pada faktor-faktor kognitif. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang berperan dalam kepatuhan remaja pengidap diabetes tipe I. Metode yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif dengan melakukan wawancara dan observasi terhadap 3 orang remaja berusia 10-19 tahun yang mengidap diabetes tipe I. Hasil penelitian ini adalah bahwa dukungan sosial, sikap dan kepercayaan tentang kesehatan, serta self-efficacy merupakan faktor-faktor dominan yang mempengaruhi kepatuhan remaja pengidap diabetes. Penelitian ini menunjukkan pentingnya peran keluarga dan teman-teman pengidap, perlunya pengidap mengembangkan sikap dan kepercayaan yang positif terhadap regimen dan perlunya meningkatkan self-efficacy dalam mematuhi regimen."
2004
S3376
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Evanytha
"Penelitian ini ingin melihat ada tidaknya pengaruh komponen Health Belief Modal dan dukungan social terhadap kepatuhan medis pada individu pengidap hipertensi. Komponen HBM meliputi persepsi keparaha, persepsi kerentanan, ersepsi manfaat, persepsi hambatan dan isyarat bertindak. HBM digunakan sebagai model teoritik karena merupakan model yang dianggap paling baik untuk menjelaskan kepatuhan medis.
Subyek penelitian ini adalah 52 pria dan wanita yang mengidap hipertensi minimal satu tahun, berusia 40 sampai 65 tahun, berpendidikan minimal SMA dan merupakan pasien rawat jalan di RSCM. Penelitian ini menggunakan kuesioner tertulis dan wawancara untuk memperoleh data penelitian. Ada tiga kuesioner yang digunakan, yaitu kuesioner yang mengukur komponen HBM, kuesioner dukungan sosial dan kuesioner kepatuhan medis.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa persepsi hambatan dan persepsi kerentanan berpengaruh terhadap kepatuhan medis 17% varian kepatuhan medis bisa dijelaskan oleh variabel persepsi hambatan. 26% valian kepatuhan medis bisa dijelaskan oleh variabel persepsi hambatan dan persepsi kerentanan. Variabel bebas lain, yaitu persepsi keparahan. persepsi manfaat, isyarat bertindak dan dukungan sosial tidak berpengaruh terhadap kepatuhan medis.
Mengenai persepsi keparahan, sebagian besar subyek mempersepsi keseriusan dampak hipertensi terhadap kondisi fisik dan psikologis, namun tidak banyak subyek yang mempersepsi keseriusan dampak hipertensi terhadap kelancaran kegiatan sehari-hari. Mengenai perspektif kerentanan, mayoritas subyek mempersepsi dirinya rantan terhadap hipertensi yang lebih parah bila tidak minum obat hipertensi, merokok, mengkonsumsi makanan yang tinggikadar garam dan kolestarolnya serta tidak berolahraga secara teratur. Mayoritas subyek mempersepsi manfaal menja!ankan naslhat medis untuk menanggulangi hipertensi. Mengenai persepsf hambatan, hanya sebagian kecil subyek yang menyatakan terganggu dengan efek samping obat hipertensi. Faktor ekonomi tampaknya tidak menjadi kendala ulama. mungkin karena adanya program Askes. Sumber informasi utama mengenai hipertensl adalah dokter. Hanya sebagian kecil subyek yang memperoleh banyak informasi dari media massa, perawat dan seminar kesehatan. Mayoritas subyek menyatakan keluarga memperhatikan kesehatan mereka, ada orang yang dapat diajak berdiskusi mengenai hipertensi. Hanya sedikit subyek yang menjadi anggota kelompok pemerhali masalah~masalah hipertensi. Hasil penelitian ini juga menunjukkan pentingnya penerapan perspektir biopsikososial dalam penanggulangan penyakit (hipertensi) dengan memahami kondisi sehat dan sakit sebagai konsekuensi dari saling keterkaitan antara faktor biologis. psikologis dan social."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kartika Aristiani
"ABSTRAK
Gaya hidup yang tidak sehat seperti kebiasaan merokok, minum-minuman beralkohol serta mengkonsumsi makanan yang berlemak tinggi dan berserat rendah dapat memicu terjadinya kanker. Menurut perkiraan Departemen Kesehatan, jumlah penderita kanker serviks di Indonesia hingga saat ini ada sekitar 200 ribu kasus setiap tahunnya. Kanker serviks
cenderung menyerang wanita-wanita setengah baya (middle age) atau yang usianya sudah di atas 45 tahun. Penyebab terjadinya kanker serviks hingga saat ini belum diketahui secara pasti, namun ada beberapa faktor yang diduga mempengaruhinya, dua diantaranya adalah menikah di usia muda dan memiliki banyak anak. Dampak penyakit kanker serviks dapat mempengaruhi aspek fisik dan psikologis penderitanya. Menurut Kubler-Ross ada beberapa tahap reaksi yang biasa dialami pasien-pasien penyakit terminal dalam menghadapi kematiannya. Penelitian ini dilakukan untuk mendapat gambaran mengenai reaksi penderita kanker serviks
terhadap penyakitnya. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dan data diperoleh melalui metode wawancara dan observasi. Hasil penelitian pada 3 orang subyek: Subyek ke-1, ibu L berusia 60 tahun, menikah pada usia 20 tahun dengan 5 orang anak, sudah menopause, bekerja sebagai pedagang. Menderita kanker serviks stadium II B dengan gejala klinis kelelahan, keputihan dan pendarahan sentuh. Hampir semua tahap reaksi Kubler-Ross telah
dialami oleh subyek ke-1, kecuali tahap penerimaan.
Subyek ke-2, ibu S berusia 40 tahun, menikah pada usia 23 tahun dengan 3 orang anak, belum menopause, ibu rumah tangga. Menderita kanker serviks stadium II A dengan gejala klinis keputihan dan pendarahan sentuh. Subyek ke-2 mengalami semua tahap reaksi Kubler-Ross, kecuali tahap penerimaan. Subyek ke-3, berusia 63 tahun, menikah pada usia 18 tahun dengan 8 orang anak, telah menopause, bekerja sebagai tukang cuci pakaian dan memasak. Belum lama ini, subyek ke-3 kehilangan suaminya yang meninggal akibat kanker prostat. Subyek ke-3 menderita kanker serviks
stadium IV A dengan gejala klinis keputihan, pendarahan spontan, nyeri di bagian pernt dan pinggang. Subyek ke-3 mengalami semua tahap reaksi Kubler-Ross. Dari penelitian ini diketahui bahwa tidak semua subyek mengalami kelima
tahap reaksi Kubler-Ross, dan umumnya semua subyek yang menderita kanker serviks memiliki lebih dari 2 orang anak, bahkan diantara mereka ada yang menikah di usia muda (18 tahun). Semua subyek mengalami gejala klinis keputihan dan pendarahan sentuh atau spontan. Saran, sebaiknya setiap wanita menghindari faktor-faktor resiko penyebab kanker serta segera lakukan pemeriksaan dini bila merasakan gejalagejala kanker. Dukungan sosial dari keluarga, teman, staf medis dan masyarakat dapat memotivasi para penderita kanker serviks untuk menghadapi penyakitnya. Bagi peneliti yang ingin melakukan penelitian terhadap pasien rawat inap, sebaiknya meminta izin untuk meminjam ruang khusus (jika ada), serta mempersiapkan diri sebelum melakukan proses wawancara."
2004
S3505
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
England: John Wiley & Sons, 2003
158.7 HAN
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
London: Sage, 2000
613.15 HEA
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Washington, DC: The American Psychological Association,
150 HPS
Majalah, Jurnal, Buletin  Universitas Indonesia Library
cover
Liem, Andrian
"Jumlah remaja yang mencoba rokok di Indonesia semakin tinggi dan usia kali pertama mencoba juga semakin dini. Penelitian ini ingin menjawab pertanyaan “Siapa atau apakah yang menjadi pendorong utama remaja Indonesia, khususnya di Daerah Istimewa (DI) Yogyakarta, untuk merokok?” menggunakan Teori Pengaruh Triadis (lingkungan budaya, situasi sosial, dan personal). Penelitian ini hanya berfokus pada pengaruh agen lingkungan budaya (media massa) dan situasi sosial (keluarga dan teman). Sebanyak 390 remaja menjadi sampel dan diambil dengan convenience sampling yang berasal dari 12 SMP di DI Yogyakarta. Rerata usia subjek adalah 14 tahun dengan komposisi putra:putri adalah 55,6%:44,4%. Data dikumpulkan melalui kuesioner anonim yang terdiri dari tujuh bagian. Analisis data dilakukan dengan statistik deskriptif, tes Chi Square, dan regresi logistik. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa teman memiliki pengaruh paling kuat terhadap perilaku merokok remaja DI Yogyakarta dibandingkan dengan media massa dan keluarga. Di antara berbagai sub-agen media massa, bukanlah televisi melainkan billboard yang lebih berpengaruh terhadap perilaku merokok remaja. Pengaruh orang tua tidak lebih besar secara signifikan dibandingkan saudara kandung dan anggota keluarga lain terhadap perilaku merokok remaja. Teman sekolah tidak lebih berpengaruh secara signifikan dibandingkan teman di lingkungan rumah dan teman selain di sekolah dan lingkungan rumah terhadap perilaku merokok remaja. Berdasarkan hasil temuan tersebut, usulan intervensi yang dapat diterapkan adalah denormalisasi konsumsi rokok dan intervensi yang berdampak sistemik, seperti peningkatan harga rokok, pembatasan iklan dan promosi, serta regulasi penjualan rokok.

The number of youth who try smoking is increasing, and the onset is getting earlier. This study tries to answer “Who or what are the main reasons of smoking for Indonesian adolescents, especially in DI Yogyakarta?” through Theory of Triadic Influences (cultural environment, social situation, and biology/personality). Current studies have focused nly on cultural environment (mass media) and social situation (family and friends) influence. The sampling was conducted through convenience sampling method to 390 adolescents from 12 junior high schools in DI Yogyakarta. The average age of the subjects is 14 years old, with male to female ratio 55.6%: 44.4%. The data were collected through anonymous questionnaires consisting of seven parts. Descriptive analysis was applied to the collected data by means of Chi Square test and logistic regression. The result showed that friends’ influence was the strongest compared with mass media and family to adolescents’ smoking behavior. Among several sub-agents of mass media, it was not television but billboards that had stronger influence. Parents’ influence was not significant compared with siblings and other family members. School friends’ influence was not significant compared with friends from school and other friends. Based on the findings, the applicable proposed interventions are denormalization of cigarette consumption and systematic intervention, such as raising the tobacco price, limiting advertisement and promotion, also regulating tobacco sales."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2014
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Amanda Trixie Hardigaloeh
"Latar Belakang: Diabetes melitus masih menyebabkan tingginya angka morbiditas dan mortalitas di seluruh dunia. Capaian kontrol glikemik masih merupakan masalah di Indonesia. Perilaku kesehatan pada DM tipe 2 yang tercermin dalam rutinitas aktivitas perawatan diri memegang peranan penting dalam keberhasilan terapi.
Tujuan: 1) Mengetahui rerata aktivitas perawatan diri pasien DM tipe 2 yang menjalani edukasi dan 2) Mengetahui gambaran faktor ancaman, manfaat, hambatan dan efikasi diri pasien DM tipe 2 yang menjalani edukasi dalam melakukan aktivitas fisik dan olahraga serta pemantauan gula darah mandiri (PGDM)
Metode: Penelitian ini merupakan studi potong lintang yang menggunakan pendekatan data mixed methods desain sekuensial eksplanatori. Penelitian kualitatif dilakukan dengan design fenomenologi, pengambilan data wawancara semi terstruktur dengan panduan health belief model. Analisis dilakukan dengan menggunakan thematic analysis.
Hasil: Olahraga dan PGDM (n=71) memiliki nilai median SDSCA paling rendah yaitu 1 dan 3.5 hari. Sebagian besar memiliki tingkat pengetahuan yang tinggi (73.2%), tingkat distress emosi sedang-tinggi (61%) serta HbA1c > 7% (75%). Wawancara olahraga (n=21) memberikan tema keyakinan tidak melakukan aktivitas fisik dan olahraga dapat memengaruhi kesehatan, aktivitas fisik dan olahraga memberikan manfaat pada kemampuan fisik, psikologis dan penampilan, hambatan dan stimulus dalam melakukan aktivitas fisik dan olahraga serta efikasi diri yang dapat memengaruhi rutinitas olahraga. Sedangkan wawancara PGDM (n=4) memberikan tema tidak melakukan PGDM akan memengaruhi kesehatan, PGDM memberikan manfaat bagi kesehatan dan kemudahan pengobatan, hambatan dan stimulus pasien dalam melakukan PGDM serta efikasi diri memengaruhi rutinitas PGDM.
Kesimpulan: Diperoleh gambaran keyakinan ancaman, manfaat, hambatan, stimulus serta efikasi diri dalam melakukan aktifitas fisik dan olahraga serta PGDM yang merupakan komponen aktifitas perawatan diri dengan nilai median hari yang paling rendah.

Introduction: Diabetes mellitus still cause high morbidity and mortality in the world. Glycemic control is still a challenge in Indonesia. Health behaviour in type 2 DM reflected by self-care activites play an important role in successful therapy.
Aim: 1) Knowing the value of self-care activities in type 2 DM patient undergoing education. 2) Knowing about the perceived threat, benefits, barriers and self-efficacy in type 2 DM patients undergoing education in performing exercise and self monitoring blood glucose.
Method: This is a cross sectional study using mixed methods explanatory sequential design approach. The qualitative phase of this study was a phenomenological study design and used semi-structured interview based on health belief model. Analysis was done by thematic analysis.
Result: The first phase in this study involved 71 respondents. Self monitoring blood glucose (SMBG) and exercise had the lowest median SDSCA scores being 1 and 3.5 days, respectively. Most of them had a high level of knowledge (73.2%) with moderate to high levels of diabetes distress in 61% patients. There were 75% of patients with HbA1c levels > 7%. Qualitative research on exercise involved 21 respondents while SMBG involved 4 respondents. Five themes in exercise, namely not doing exercise can affect health, exercise provide benefits on physical, psychological and appearance, patient barriers and stimulus factors in performing exercise and self-efficacy can affect exercise. While five themes in SMBG include not doing SMBG can affect health, SMBG provides health benefits and ease of treatment, barriers, and stimulus factors for patients in doing SMBG and self-efficacy can affect SMBG.
Conclusion: We obtained a descriptive data on perceived threats, benefits, barriers, cues on action and self-efficacy in doing physical activity and exercise among diabetic patients, alongside SMBG activity which is a component of self-care with the lowest median number of days.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>