Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 200767 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Irlan Darma Saputra
"DKI Jakarta sebagai ibukota negara, berkembang dengan cepat pembangunannya (Industri, Permukiman, Perkantoran dan lain-lain) karena ditunjang dengan aksesibilitas (transportasi) yang baik. Hal tersebut berdampak terhadap lingkungan udara Jakarta yang semakin tercemar. Oleh karena itu, untuk melihat tingkat kekritisan kualitas udara Jakarta dapat diperoleh dari polutan (SO2, NO2 dan PM10) yang merupakan penghasil polutan terbesar di Jakarta (BPLHD, 2006).
Berkaitan dengan hal tersebut, maka permasalahan yang dikemukan adalah Bagaimana Fluktuasi Indeks Polusi Udara (IPU) di DKI Jakarta Tahun 2001 - 2006 ? Bagaimana pengaruh Penggunaan Tanah (Industri dan Bangunan), Curah Hujan dan Angin terhadap IPU di DKI Jakarta Tahun 2001 - 2006. Metode yang digunakan adalah IPU di Jakarta dan melihat pengaruh Penggunaan Tanah (Industri dan Bangunan), Curah Hujan dan Angin.
Analisis yang digunakan yaitu analisis Komparatif dengan membandingkan IPU setiap tahun berdasarkan tingkat kekritisannya. Pengaruh Penggunaan Tanah (Industri dan Bangunan) menggunakan analisis statistik sedangkan Curah Hujan dan Angin menggunakan analisis Deskriptif yaitu membandingkan IPU dengan Curah Hujan sebagai pencuci polutan dan Angin sebagai faktor kontrol peryebaran polutan setiap tahunnya. Hasilnya IPU cenderung stabil (termasuk dalam kategori cukup sehat) dari Tahun 2001 ? 2006 dan Penggunaan Tanah berpengaruh Terhadap IPU kecuali tahun 2001.

DKI JAKARTA as state's capital, grows swiftly its the development ( Industry, Setlement, White colars and others) because supported with good accessesibility (transportation). The thing impact to air environment in Jakarta which increasingly impure. Therefore, to see level of criticality of quality of obtainable Jakarta air from pollutant ( SO2, NO2 and PM10) which is the biggest pollutant producer in Jakarta (BPLHD, 2006).
Relates to the thing, hence problems is How Air Pollution Index ( IPU) in DKI Jakarta 2001 - 2006 ? What influence Land Use ( Industry and Build up area), Rainfall and Wind to IPU in DKI Jakarta 2001 - 2006. Method applied is IPU in Jakarta and sees influence Land use ( Industry and Build up area), Rainfall and Wind.
Analysis applied that is analysis comparative by comparing IPU every year based on level of its the criticality. Influece of Land Use ( Industry and Build up area) applies statistical analysis while Rainfall and Wind applies analysis Descriptive that is comparing IPU with Rainfall as pollutant detergent and Wind as control factor dispersion of pollutant every year. Result of of IPU tends to stable ( included in category enough healthy) from 2001 - 2006 and Land Use influential to IPU except the year 2001.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2008
S34082
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
"Salinity represents one of many character of surface layer that is important for biological life,inclusive mangrove forest with its association....."
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Osha Ombasta
"Penggunaan transportasi udara di Indonesia selalu meningkat setiap tahun. Antara tahun 2003-2009 terjadi peningkatan jumlah penumpang angkutan udara mendekati 100%. Peningkatan penggunaan transportasi udara berakibat kepada pertambahan beban emisi di sekitar bandar udara oleh aktivitas LTO pesawat.
Pada penelitian ini, parameter pencemaran dari transportasi udara yang diukur adalah oksida nitrogen atau NOx yang terdiri atas NO dan NO2. Digunakan empat titik pengukuran mengelilingi Bandar Udara Soekarno-Hatta untuk memahami karakteristik penyebaran emisi dari tahap-tahap LTO pesawat.
Hasil pengukuran dan pengolahan data menunjukkan emisi fase LTO pesawat mempengaruhi konsentrasi NOx udara ambien yang dibuktikan dengan korelasi r antara 0,211-0,76 dan kontribusi rata-rata 28%. Nilai konsentrasi NOx yang terukur rata-rata berada di bawah baku mutu 400 μg/m3. Namun, pada kondisi cuaca tertentu, nilai ini dapat meningkat sampai kisaran 434,59-962,8 μg/m3. Ditemukan pula bahwa pesawat penyumbang emisi terbesar di Bandar Udara Soekarno-Hatta adalah Boeing B737-900ER, B737-800 and B737-400 dikarenakan jumlahnya yang besar dan seringnya penggunaan tiga varian pesawat tersebut.

The use of air transportation in Indonesia tend to grow every year. An increase to almost 100% was recorded between the year 2003 and 2009. This increasing trend of air transportation lead to an inevitable addition of environmental burden due to aircraft emission during the LTO activities.
In this study, the pollution parameter measured is oxides of nitrogen (NOx) which consist NO and NO2, with four points of measurement circling the Soekarno-Hatta Airport which enabling researcher to understand the characteristic of emission dispersion due to each phases in LTO activities.
The result shows that the emission during LTO phases affects the NOx concentration in ambient air as evidenced by r coefficient between 0,211-0,76 with average contribution of 28%. The NOx values measured were in average below the national standard of 400 μg/m3. Nevertheless, in some wheather condition, it can increase to a range of 434,59-962,8 μg/m3. The study also reveal the aircraft with the highest emission contribution for Soekarno-Hatta Airport, which are Boeing B737-900ER, B737-800 and B737-400 due to their large number and frequent use.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2012
S1432
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
"Agricultural land conversion accured as a logical consequence of development activites in a particular region....."
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Wijaya
"Analisis burial geohistory merupakan salah satu bahan kajian dalam analisis cekungan secara kuantitatif yang terintegrasi selain thermal history dan analisis hydrocarbon generation. Data dasar yang dihasilkan berupa parameter tektonik sedimentasi yang kemudian digambarkan dalam bentuk rekonstruksi sejarah pemendaman. Selain itu akibat pembebanan sedimen, maka terjadi perubahan porositas dan permeabilitas yang berpengaruh terhadap aliran fluida dalam batuan. Sehingga arah migrasi dan keberadaan hidrokarbon di daerah penelitian dapat ditafsirkan.
Perubahan proses sedimentasi yang terjadi di daerah penelitian dapat dikaji dari data di setiap sumuran. Pada awal pengendapan Formasi Belumai sampai dengan akhir pengendapan Formasi Baong Tengah (10,1 juta tahun lalu) terbentuk endapan transgresif. Sistem pengendapan tersebut ditandai dengan kecepatan sedimentasi yang lebih lambat dibanding kecepatan penurunan dasar sedimen.
Endapan regresif terjadi sejak awal pengendapan Formasi Baong Atas yang ditandai percepatan sedimentasi sangat besar (4-5 kali kecepatan sebelumnya). Proses tersebut terjadi karena berkaitan dengan aktivitas tektonik Miosen Tengah, sedangkan batuan sumber berasal dari Bukit Barisan yang telah terangkat sejak 12 juta tahun lalu. Periode selanjutnya terjadi perlambatan sedimentasi tetapi sedimen masih regresif dan berakhir pada 4,5-4,8 juta tahun lalu (akhir pengendapan Formasi Seurula bagian bawah).
Proses pengendapan yang terjadi sejak 17,8 juta tahun lalu tersebut di atas mengalami perpindahan pusat sedimentasi (depocentre) yang dikendalikan oleh aktifnya patahan regional. Batuan dasar paling dalam (depocentre) bergeser dari timur ke barat (tengah daerah penelitian) bersamaan dengan pengendapan Formasi Baong Atas. Sehingga formasi tersebut mempunyai ketebalan awal maksimum di bagian tengah daerah penelitian (775 m) (Sumur SW-5).
Batuan dasar paling dalam di SW-5 tersebut berlangsung terus sampai sekarang, sehingga berpengaruh terhadap keberadaan hidrokarbon di sumur tersebut. Posisi Formasi Belumai yang menumpang di atas batuan dasar paling dalam telah menyebabkan berkurangnya porositas dan permeabilitas batuan, sehingga tidak memungkinkan adanya migrasi hidrokarbon ke SW-5. Seandainya hidrokarbon dapat terbentuk di bagian bawah formasi tentunya telah bermigrasi ke selatan. Hal ini disebabkan aliran fluida akibat kompaksi sangat berhubungan dengan faktor ekspulsi dan sangat berpengaruh terhadap proses diagenesa serta migrasi hidrokarbon.
Faktor ekstensi kerak ternyata paling besar dijumpai di Sumur SW-6 (1,054) sedangkan sumur yang lain berkisar antara 1,01-1,03. Faktor ekstensi kerak tersebut hanya berpengaruh terhadap awal pembentukan cekungan di daerah penelitian, yaitu dengan terbentuknya depocentre di SW-6. Periode berikutnya deformasi tektonik lebih berpengaruh terhadap perubahan bentuk arsitektonik cekungan. Hal ini terbukti Sumur SW-5 yang menempati cekungan paling dalam sejak 9,6 juta tahun lalu faktor ekstensi keraknya lebih kecil dibanding SW-6.

Burial geohistory analysis is one of the integrative method in quantitative basin analysis as same as thermal history and hydrocarbon generation analysis. The resulted data is sedimentation tectonic parameter which is displayed as burial geohistory reconstruction. Because of sedimentary loading, there was a change in porosity and permeability which were influence the fluidity flow in the rock. Therefore the migration pathway and hydrocarbon occurrence in the study area can be predicted.
The sedimentary process changes in the study area can be assessed from the data in the well transgressive sediment was formed since the early time of Belumai Formation deposition until the end of Middle Baong Sedimentation (10.1 Million Years Ago). This depositional system was characterized by slower sedimentation rate than rate of base sedimentation subsidence.
Regressive deposition took place in the early sedimentation of Upper Baong Formation characterized by huge sedimentary acceleration (4-5 times from previous rate). This process correlated with Middle Miocene tectonic activity. The source rocks came from the uplifted Barisan Mountain since 12 MYA. In the next period, reducing of sedimentation rate occurred and finished at 4.5 - 4.8 MYA (in the end of Lower Seurula Formation deposition), but the sediment was still in regressive phase.
Centre of sedimentation (depocentre) of mentioned above sedimentation process began since 17.8 MYA, was moved from the original position. The movement was controlled by activation of regional fault. The deepest basement (depocentre) moved from East to West (middle part of study area), at the same time as deposition of the Upper Baong Formation. Therefore, this formation has early maximum thickness (775 m) in the middle part of the study area (SW-5 Well).
The basement in SW-5 well is still the deepest in the study area until present-day. It influence the hydrocarbon occurrence in this well. The Belumai Formation which is immediately overlies the deepest basement has porosity and permeability decrease that made it was not possible for oil to migrated to SW-5 well. if the hydrocarbon could be generated by the lowest part of the Belumai Formation, it would migrated to the South. In this case because the fluidity flows as a result of compaction is very correlate with expulsion factor and strongly influence to diagenetic process and hydrocarbon migration.
The highest value of crustal extension (1.054) is occurred in SW-6 Well,whilst in others wells are in range of 1.01 to 1.03. The crustal extension just influenced the early forming sedimentary basin in the study area. It influenced the depocentre in SW-6. In the next period, architectural form of sedimentary basin was more influenced by tectonic deformation. It is proved by the position of SW-5 (it's crustal extension value lower than SW-6) which occurred in the deepest part of the basin since 9,6 MYA.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2001
T9967
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Universitas Indonesia, 2009
TA1355
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Solikin
"Perubahan struktural perekonomian Indonesia, terutama pada periode pasca-krisis ekonomi 1997, yang dibarengi oleh fluktuasi dan keterkaitan yang kurang stabil antara beberapa indikator makro utama, serta perkembangan yang tidak sejalan antara sektor keuangan dan sektor riil, menyebabkan upaya pencarian pijakan baru dalam manajemen pengendalian moneter di Indonesia menjadi sesuatu yang sangat penting. Sementara itu, dalam situasi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih dari permasalahan yang timbul sebagai akibat krisis ekonomi 1997 tersebut, tantangan bagi penerapan paradigma kebijakan moneter yang baru juga semakin berat dan kompleks. Di sisi lain, dengan mendasarkan pada beberapa kajian teoritis dan studi empiris, disimpulkan bahwa apapun alternatif kerangka kerja kebijakan yang akan dipilih, kebijakan moneter harus diterapkan dengan tetap mengacu pada kaidah-kaidah yang terkait dengan prinsip manfaat dan kerugian, dan senantiasa diarahkan untuk mengacu pada prinsip-prinsip keoptimalan.
Penelitian ini ditujukan untuk menganalisis isu-isu strategis yang terkait dengan penerapan kebijakan moneter yang optimal di Indonesia, baik dari tataran kerangka strategis, kerangka operasional, maupun respons kebijakan moneter. Secara khusus, penelitian ini ingin menjawab tiga pertanyaan yang belum pernah diajukan sebelumnya. Pertama, bagaimana implikasi perubahan struktural ekonomi pada penetapan prioritas sasaran akhir kebijakan moneter: pertumbuhan ekonomi atau inflasi?. Kedua, bagaimana implikasi perubahan struktural ekonomi pada pemilihan sasaran operasional kebijakan moneter: besaran moneter atau suku bunga?. Dan ketiga, bagaimana merumuskan kerangka kerja kebijakan moneter yang optimal, yang dikaitkan dengan perumusan respons kebijakan yang sesuai dengan karakteristik dasar perekonomian Indonesia?. Strategi permodelan diarahkan pada pengembangan model makro stuktural jangka panjang Structural Cointegrating Vector Autoregression (VAR). Sementara itu, kaidah keoptimalan dirumuskan dengan merepresentasikan baik respons kebijakan jangka panjang maupun jangka pendek dengan mekanisme pengkoreksian kesalahan (error correction). Selain itu, dengan diperhitungkannya pengaruh shocks spesifik dalam permodelan tersebut, respons kebijakan yang dihasilkan pada dasarnya mencerminkan respons kebijakan yang optimal, "state-contingent rule", sebagaimana pemikiran yang disampaikan oleh J.M. Keynes tujuh dasa warsa yang lalu.
Hasil studi menunjukkan bahwa "State-Contingent rule" dapat merepresentasikan rumusan policy rule yang optimal bagi perekonomian Indonesia. Dari hasil studi diperoleh beberapa temuan penting terkait dengan pembuktian hipotesa yang diajukan, yaitu mengenai: (i) terjadinya pergerakan bersama (comovement) dengan arah positif antara output dan harga dalam jangka pendek, yaitu periode 1-2 tahun, serta dengan arah negatif dalam jangka menengah-panjang; (ii) dimungkinkannya penerapan kebijakan moneter dengan titik berat pada pengupayaan pertumbuhan ekonomi yang relatif lebih besar dibandingkan dengan stabilitas harga; (iii) relatif superiornya suku bunga SBI sebagai indikator sasaran operasional, dibandingkan dengan uang primer; (iv) pengidentifikasian panjang lag pengaruh kebijakan moneter rata-rata 1.5 tahun; (v) adanya kekurangoptimalan penerapan respons kebijakan moneter pada beberapa periode, terutama yang terkait dengan terlalu ketat atau longgarnya respons kebijakan; dan (vi) relatif superiomya State-Contingent rule, dibandingkan dengan simple policy rules lain yang lazim digunakan.
Beberapa temuan tersebut memberikan implikasi kebijakan yang mendasar bagi pelaksanaan kerangka kerja kebijakan Inflation Targeting di Indonesia. Sebagai suatu saran adalah bahwa kerangka kebijakan moneter yang relatif optimal untuk kasus Indonesia dapat diterapkan dengan mengakomodir fleksibilitas terukur, yang dapat dijabarkan sebagai berikut. Pertama, dalam jangka pendek pereferensi kebijakan moneter dapat diarahkan dengan perhitungan tertentu untuk dapat mendorong proses pemulihan ekonomi, sementara dalam jangka menengah-panjang pengupayaan kestabilan harga terus dijaga agar dapat mendorong pertumbuhan ekonomi. Kedua, orientasi kebijakan moneter harus difokuskan, selain pada penetapan sasaran operasional suku bunga, juga langkah pre-emptive berdasarkan keberadaan bagi pengaruh kebijakan moneter sekitar 1 sampai dengan 2 tahun. Ketiga, dalam dinamika perekonomian cukup tinggi dan transisi ke arah penerapan kerangka kerja kebijakan moneter Inflation Targeting secara penuh (full fledged), respons kebijakan moneter perlu diterapkan dengan mendasarkan pada disain State-Contingent rule."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2005
D532
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Faridha
"PLTU Muara Karang selain mempunyai peranan yang cukup penting sebagai pemasok tenaga listrik di Jakarta juga berpotensi mencemari udara karena menghasilkan emisi. Emisi yang dilepaskan dari cerobong pembangkit akan terdispersi ke udara ambien dan bergabung dengan emisi dari sumber lain. Lokasi PLTU Muara Karang yang berdekatan dengan pemukiman penduduk sering memicu kekhawatiran masyarakat setempat bahwa emisi dari PLTU Muara Karang menyebabkan gangguan kesehatan pernafasan pada masyarakat sekitar.
Rumusan masalah dari penelitian ini adalah pemakaian bahan bakar minyak pada PLTU Muara Karang dapat menyebabkan pencemaran udara. Beberapa pertanyaan penelitian yang diajukan dalam penelitian ini adalah :
  1. Bagaimana kondisi emisi 502 dan debu yang dihasilkan PLTU Muara Karang Unit 1, 2, dan 3.
  2. Bagaimana upaya pengendalian pencemaran udara yang dilaksanakan pada PLTU Muara Karang Unit 1, 2, dan 3
  3. Berapa besar kontribusi emisi dari PLTU Muara Karang Unit 1, 2, dan 3 terhadap kualitas udara ambien dan bagaimana kualitas udara ambien disekitar PLTU.
Hipotesis dalam penelitian adalah kontribusi emisi partikulat dan SO2 dari PLTU Muara Karang Unit 1,2, dan 3 terhadap udara udara ambien masih di bawah baku mutu udara ambien.
Tujuan penelitian adalah untuk:
  1. Mengetahui kondisi emisi dari PLTU Muara Karang Unit 1,2 dan 3
  2. Mengetahui upaya pengendalian pencemaran udara pada PLTU Unit 1, 2 dan 3
  3. Mengetahui seberapa besar kontribusi emisi PLTU Muara Karang Unit 1, 2, dan 3 terhadap udara embien dan juga untuk mengetahui kondisi udara ambien.
Penelitian ini bersifat deskriptif melalui survey dan pengumpulan data sekunder yang meliputi data emisi, udara ambien tahun 1998 - 2003, data teknis pembangkit, pengelolaan emisi dan data meteorologi.
Untuk mengendalikan debu telah digunakan malt/cyclone. Apabila alat ini tidak dioperasikan maka emisi debu yang dilepaskan akan berada di atas baku mutu. SO2 yang dihasilkan cenderung berada di atas baku mutu, hal ini disebabkan karena 2 hal:
1. Tidak ada pengendalian emisi SO2 pada PLTU Muara Karang
2. Tingginya kadar sulfur maksimal yang iizinkan pemerintah pada bahan bakar MFO yang disupplay pertamina yaitu 3.5%.
Berdasarkan perhitungan, emisi PLTU Unit 1, 2, dan 3 dapat memenuhi baku mutu apabila kadar sulfur di bawah 0,8%.
Kesimpulan dari penelitian adalah kadar emisi S02 PLTU Unit 1, 2, dan 3 berdasarkan perhitungan berkisar antara 880.08- 3,850.33 mg/m3 (di atas baku mutu emisi S02) dan debu antara 0.59 - 118.81 mg/m3 (di bawah baku mutu emisi debu). Pengelolaan dan pemantauan lingkungan telah dilaksanakan dengan mengacu pada RKL dan RPL. Kontribusi emisi partikulat dan S02 dari PLTU Unit 1, 2, dan 3 masih di bawah baku mutu udara ambien. Untuk bulan Maret 2003 kontribusi terbesar terjadi di lapangan PIK untuk 802 sebesar 23.82% dan debu sebesar 0.21 %. Kondisi udara ambien di tujuh lokasi untuk SO2 masih dibawah baku mutu sedangkan debu di beberapa lokasi telah melewati baku mutu.
Beberapa saran yang diberikan antara lain : untuk mengurangi kadar emisi SO2, perusahaan dapat melakukan dua hal yaitu mensubsitusi bahan bakar yang lebih bersih atau dengan menggunakan teknologi pengendalian emisi SO2. Pemerintah dalam pemberlakuan baku mutu emisi, khususnya SO2 pada pembangkit listrik perlu memperhatikan kondisi spesifik dari suatu kegiatan dan pemberlakuannya dilaksanakan secara bertahap per lokasi.

Muara Karang Steam Power Plant is an important power plant that supplies electricity to feed the daily activity of Jakarta. However, it may also create air pollution. Emission released from the stacks will disperse to the ambient air and get mixed with other sources of emission. Muara Karang Power Plant is located near local housing that often raises public's concern. People perceive that emission from power plant cause respiratory problems.
The problem to be discussed in this research is the impact of the use of fuel oil on air emission. Some of the key questions raised in this research are:
1. Now is the condition of SO 2 and particulate emission released by Muara karang power plant Unit 1, 2, dan 3
2. How to control air emission that is conducted at Muara Karang Power Plant Unit 1, 2, dan 3
3. How is the contribution of emission from Muara Karang Power Plant Unit 1, 2, and 3 and how is ambient air quality
The hypothesis developed in this research is that contribution of S02 and particulate emission from Muara Karang power plant Unit 1, 2 and 3 on ambient air is still below ambient air standard.
The objectives of this research are:
1. To understand emission condition of Muara Karang Power Plant Unit 1, 2, and 3
2. To understand measures the air pollution control that should be undertaken at Muara Karang power plant Unit 1, 2, and 3
3. To understand the contribution of power plant's emission on ambient air and to understand the quality of air ambient.
The methodology used in this research is collection of secondary data that consists of Emission and air ambient data year 1998-2003, plant technical data, emission management and meteorology data.
To control particulate, the company has installed multicyclone. If this equipment is not operated, the emission will exceed the standard. S02 emission tends to be above standard. This condition is caused by:
1. There is no S02 emission control measures at Muara Karang Power Plant
2. The high maximum sulphur level that is allowed by the Government on MFO supplied by Pertamina i.e. 3.5%. Based on calculation, emission of Power Plant unit 1, 2 and 3 can meet the standard if sulphur level is below of 0.8%.
The conclusion of this research is based on the calculation of SO2 emission at Muara Karang Power Plant Unit 1, 2, and 3 is in the range of 880.08 - 3,850.33 mglm3 (higher than SO2 emission standard), and particulate is between 0.59 - 118.81 mglm3 (lower than particulate emission standard). Monitoring and Management of environmental have veen done based on RKL and RPL document. Contribution of particulate and S02 emission of Power Plant Unit 1, 2, and 3 is still bellow ambient standard. In March 2003, the highest emission concentration) was recorded at P1K field site in which S02 contribution was 23.82% and particulate contribution was 0.21%. The ambient air quality at seven location for SO2 was below standard whereas for particulate, in some locations, the emission exceeded the standard.
The given conclusions are to reduce S02 emission, it is suggest that the company substitute less polluted fuel or use technology to control SO2 emission, In enacting emission standard, especially SO2 on the Steam Power Plant, the specific condition of activity should be taken into consideration, and the application should be done gradually per location.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2004
T11886
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nandia Gresita Trinanda
"ABSTRAK
Timbulan sampah Kota Depok terus meningkat. Dalam rangka mengatasi hal tersebut, beberapa UPS (Unit Pengelolaan Sampah) dibangun dengan tujuan mengurangi volume sampah yang akan dikirimkan ke TPA. Keterbatasan lahan membuat pembangunan UPS sering kali dilakukan di tengah wilayah pemukiman. Kegiatan yang dilakukan di dalam UPS meliputi kegiatan pengomposan.
Beberapa hasil penelitian terdahulu menunjukan bahwa konsentrasi bioaerosol dalam jumlah besar dihasilkan dari kegiatan pengomposan yang dilakukan di dalam UPS. Bioerosol ini tidak hanya mencemari udara di dalam UPS, namun juga di wilayah sekitar.
Tujuan penelitian adalah mengetahui konsentrasi bioaerosol di UPS Jalan Jawa dan lingkungan sekitar, mengetahui faktor yang mempengaruhi sebaran mikroba di lingkungan sekitar UPS, dan mengetahui hubungan antara paparan bioaerosol dengan gejala penyakit yang dialami pekerja UPS. Bioaerosol yang diamati adalah
total bakteri dan total jamur di udara. Pengukuran dilakukan di dalam ruang pengomposan UPS Jalan Jawa, serta kantor pekerja, ruang kelas SDN Beji IV, dan luar ruang yang masing-masing memiliki jarak 14m, 35m, dan 250m dari ruang pengomposan. Pengukuran dilakukan setelah dilakukan pengadukan pada kompos dan selama 1 fase pengomposan yaitu November-Desember sehingga data yang didapatkan merupakan data musim hujan. Hasil pengukuran menunjukan bahwa kualitas udara di seluruh lokasi pengukuran
melebihi standar. Faktor yang mempengaruhi sebaran mikroba di lingkungan sekitar UPS adalah jarak dari ruang pengomposan serta kondisi cuaca. Untuk mencapai konsentrasi latar bakteri di udara sebesar 1.000 CFU/m3 dibutuhkan jarak aman sebesar 95,06m dan untuk mencapai konsentrasi latar jamur di udara sebesar 1.000 CFU/m3 dibutuhkan jarak aman sebesar 161,15m. Konsentrasi
bioaerosol terlihat memberikan pengaruh yang nyata terhadap kejadian penyakit iritasi hidung dan iritasi pernafasan seperti halnya batuk berkepanjangan, bersinbersin, dan sesak nafas pada petugas UPS.

ABSTRACT
Waste in the city of Depok continues to increase. In order to overcome this situation, several UPS (stands for Unit Pengelolaan Sampah or waste management unit) built to reduce the amount of waste sent to landfill. The limited land makes the construction of the UPS is often carried out in the middle of residential areas. The activities performed in the UPS include composting activities. Some previous studies showed that large amounts of bioaerosol concentrations are resulted from composting activities performed in the UPS.
Bioerosol is not only pollute the air inside the UPS, but also in the surrounding area.
The research is aimed to determine the concentration of bioaerosol in UPS Jalan Jawa and the surrounding environment, the factors influencing microbes distribution in the environment around the UPS, and the relationship between bioaerosol exposure and the symptoms experienced by UPS workers. Bioaerosol which was observed is the total bacteria and total fungi. Measurements were made in the composting area, workers? office, class of SDN Beji IV, and outdoor, each of which with a distance of 14m, 35m and 250m from the composting area.
Measurements were taken after turning and during November-December, so that data was obtained in rainy season. Measurements show that the air quality at all sites had exceeded the standard. The
factors which affect the distribution of microbes in the environment around the UPS are the distance from the composting area and weather conditions. The concentration of bacteria in the air is reduced to b ackground concentration (1000 CFU/m3) within 95.06m and for fungi?s case is within 161.15m. Bioaerosol concentration appeared to give a noticeable effect on the incidence of respiratory diseases and irritation of nasal irritation and persistent cough, wheezing, and
asphyxiate on a UPS worker."
Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2011
S1472
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ade Kusnadi
"Banyak faktor yang sangat mempengaruhi terjadinya suatu perbuatan jahat, diantaranya disebabkan karena niat dan kesempatan sudah bersatu dan saling mempengaruhi. Dimana hal itu berawal dari adanya Faktor Korelatif Kriminogen (FKK), Police Hazard (PH) sehingga timbullah Ancaman Faktual (AF ) berupa penyimpangan perilaku kejahatan.
Kepadatan arus kendaraan, penumpang menuju ke Pelabuhan Penyeberangan Merak Bakauheni merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kesempatan terjadinya perbuatan jahat (kejahatan). Dimana hal ini dapat dibuktikan pada periode tahun 2001 dengan adanya peningkatan kepadatan jumlah kendaraan dan penumpang menuju Palau Sumatra melalui Penyeberangan Merak Bakauheni (wilayah Pulomerak) tahun 2001, mempengaruhi terjadinya peningkatan kejahatan dan begitupun juga sebaliknya. Akan tetapi di dalam aspek pengendaliannya, kejahatan maupun kepadatan arus kendaraan dan penumpang itu tidak akan terjadi perubahan apabila dalam arti jumlah personil/pelaksana di lapangan serta sarana dan prasarana (fasilitas penunjang) masih tetap. Sehingga untuk itu perlu adanya penambahan dan pengaturan yang baik dari pelaksana di lapangan, serta adanya pembenahan, penambahan sarana dan prasarana (fasilitas) penunjang."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T3647
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>