Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 161143 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Politik Indonesia, 2005
S5673
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
S5882
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abdul Malik H.
"Persoalan hubungan sipil-militer selama masa reformasi yang paling penting dan patut untuk dijadikan kajian maupun bahan penelitian adalah di era kepemimpinan Abdurrahman Wahid yang berlangsung tidak-lebih dari 20 bulan, dari bulan Nopember 1999 hingga Juli 2001. Bukan saja karena terdapatnya sejumlah kebliakan penting yang dihasilkan dalam rangka penegakan supremasi sipil, keberhasilan militer Indonesia melakukan konsolidasi lnternal, ataupun hubungan sipil (Presiden Abdurrahman Wahid) dengan militer yang dipenuhi dengan 'ketegangan'. Lebih dari itu, militer indonesia memiiiki peranan yang cukup signifikan bagi naik dan turunnya Abdurrahman Wahid dari kursi kepresidenan Rl ke-4.
Penelitian ini difokuskan pada format hubungan sipil-militer di era Abdurrahman Wahid, khususnya hubungan antara Presiden dengan TNI. Beberapa alasan yang menjadi dasar pemikirannya adalah, pertama, bahwa Abdurrahman Wahid telah mengeluarkan sejumlah kebijakan penting berkaitan dengan posisi dan peran TNI-Polri dalam format kehidupan kenegaraan dan kebangsaan Indonesia selama ia menjabat sebagai Presiden Rl ke-4 hasil Pemilu 1999. Sejumlah kebijakan penting ilu diantaranya, penggantian jabatan Kementerian Pertahanan dan Keamanan (Menhankam) menjadi Kementerian Pertahanan, penempatan orang sipil sebagai Menhan, realisasi pemisahan Polri dari TNI, penghapusan Bakorstanas dan Litsus, dicopotnya Jenderal TNI Wiranto dari jabatannya sebagai Menkopolkam, beberapa mutasi di tubuh militer misalnya penempatan Laksamana Widodo AS (AL) sebagai Pangab TNI, pergantian posisi Pangkostrad dan beberapa perwira tinggi lainnya yang dinilai sebagai upaya "dewirantoisasi', dihapusnya posisi Wakil Pangab, serta kebijakan yang belum terealisasi, yakni keinginan mengganti jabatan Panglima TNI dengan Kepala Staf Gabungan dan meletakkan TNI dibawah Menhan. Kedua, militer (TNI) ternyata melakukan respon balik bahkan ?perlawanan' atas beberapa kebijakan Abdurrahaman Wahid di atas, terutama yang berkaitan dengan seiumlah mutasi para perwira, yang dibuktikan dengan penolakan mereka atas Maklumat Presiden (Dekrit) dan dukungan mereka atas Sl MPR 2001.
Dengan menggunakan teknik wawancara yang mendalam dengan para pelaku (tokoh) penting di sipil maupun militer selama Abdurrahman Wahid menjabal Presiden Rl dan studi pustaka, dikumpulkan dan diverifikasi data-data itu, kemudian dianalisa dengan menggunakan analisa kualitatif. Penelitian ini ingin menjelaskan bagaimana pola hubungan sipil-militer di era pemerintahan Abdurrahman Wahid, sejauhmana reposisi militer berlangsung di era pemerintahan Abdurrahman Wahid, dan apakah pemerintahan Abdurrahman Wahid mampu membuat hubungan sipil-militer yang betul-betul mencerminkan adanya reposisi militer dari domain politik dan terbentuknya supremasi sipil yang akan mendukung demokratisasi di Indonesia ?.
Untuk itu, kerangka teori yang penulis gunakan dalam melihat hubungan sipil-militer di masa pemerintahan Abdurrahaman Wahid, pertama, bisa dijelaskan dengan teorinya Perimuller (1980), Huntington (1959) dan Welch (1970) yang melihat faktor eksternal militer menjadi penyebab munculnya intervensi. Sedangkan Finer (1988) dan Nordlinger (1994) melihal faktor internal militer (kepentingan militer) sebagai penyebab terjadinya intervensi militer ke domain sipil. Kedua, Alfred Stepan (1998) tentang pengurangan hak istimewa militer dan otorilas politik militer serta Sundhaussen (1985) tentang alasan dan syarat penarikan diri militer dari wilayah politik. Ketiga, Perlmutler (1980) dengan teori fusionist (peleburan)-nya menjelaskan tentang model-model hubungan sipil-militer di dunia ketiga. Keempat, berkaitan dengan variasi dominasi militer banyak dilakukan oleh Huntington (1959), Monis Janowilz (1964), Claude E. Welch (1970), David E. Albright (1980), Qrouch (1985) dan Nordlinger (1994), yang menjelaskan model dominasi militer dalam pemerintahan sipil sesuai dengan posisi dan peran mililer di dunia ketiga.
Berdasarkan metode penelitian dan kerangka teoritik di atas, beberapa temuan penting hasil studi, analisis dan kesimpulan sebagai berikut : Pertama, posisi militer pasca Orde Baru masih kuat, Kedua, militer pasca Orde Baru telah melakukan beberapa perubahan internal yang merupakan jawaban atas tuntutan dan tekanan publik. Ketiga, inkonsistensi reposisi militer dari politik praktis juga dilakukan oleh kekuatan sipil. Keempat, kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan Presiden Abdurrahman Wahid memang lelah menandai adanya upaya untuk mereposisi militer dan keinginan untuk memprofesionalkan tentara. Kelima, Hubungan Abdurrahman Wahid-militer awalnya harmonis, namun tidak berlangsung Iama, sebab Abdurrahman Wahid terlalu mengakomodasi ?kelompok moderal? TNI yang menghendaki terciptanya militer profesional dan meninggalkan kelompok yang masih memperlahanlkan status quo dimana TNI tidak hanya berfungsi sebagai ?pemadam kebakaran? saja, tetapi sekaligus menolak prinsip supremasi sipil. Presiden dianggap lerlalu jauh melakukan intervensi ke tubuh TNI, sehingga kelompok konservatif mampu mengkonsolidasikan kekuatannya bekerja sama dengan kelompok sipil (Iawan polilik Abdurrahman Wahid) menolak Maklumat Presiden dan menggelar Sl-MPR.
Keenam, cita-cita penegakan prinsip supremasi sipil pada era kepemimpinanan Abdurrahman Wahid dapat disimpulkan gagal. Hal ini disebabkan oleh dua hal ; (1) presiden, parlemen dan para elite partai polilik menjadi titik lerlemahnya. Konflik yang berujung pada fragmentasi di antara kekuatan sipil telah membuka pintu bagi militer untuk terlibat dalam politik praktis. Keterlibatan militer ini ditunjukkan melalui dukungannya lterhadap penyelenggaraan Sl MPR dan, (2) secara ideologis, militer belum sepenuhnya bersedia menarik diri dari domain polilik praktis. Karena, secara substansi, doktrin dan keyakinan anggola mililer belum berubah. Selain itu, keengganan militer unltuk back to barrack karena pemerintah belum sepenuhnya mampu memenuhi anggaran, kesejahteraan dan fasilitas untuk menjadikan militer yang profesional."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2003
T12239
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tohadi
"Bila dibandingkan dengan masa Orde Baru, penyelenggaraan pemerintahan pasca Orde Baru relatif berjalan secara reformis dan demokratis. Pada masa Orde Baru, yaitu pemerintahan Presiden Soeharto, meskipun pada awalnya menunjukkan adanya praktik pemerintahan yang demokratis konstitusional, namun segera dalam waktu berikutnya Orde Baru menampilkan struktur dan praktik politik yang otoriter. Pemerintahan Orde Baru dibangun dan diselenggarakan dengan watak pemerintahan bersifat dominan, intervensionis, dan hegemonik. Seluruh sistem Orde Baru, dalam kenyataannya, kemudian menjadi sistem Soeharto.
Dalam hubungan antara lembaga Kepresidenan dan lembaga DPR, maka dalam format politik otoritarian Orde Baru, lembaga Kepresidenan mengatasi dan mendominasi lembaga DPR. Kontrol dan intervensi lembaga Kepresidenan atas lembaga DPR paling penting ialah dengan adanya kekuasaan lembaga Kepresidenan yang mengangkat keanggotaan DPR selama masa Orde Baru, selain keanggotaan DPR/MPR yang dipilih dalam Pemilihan Umum.
Berbeda dengan masa pemerintahan Presiden Soeharto pada masa Orde Baru, pemerintahan pasca Orde Baru utamanya pada masa pemerintahan hasil Pemilu 1999, yaitu pemerintahan Presiden K.H. Abdurrahman Wahid sebaliknya kontrol lembaga DPR atas lembaga Kepresidenan sangat kuat. Pada masa ini hampir setiap kebijakan pemerintahan Presiden Wahid selalu mendapat kontrol dari DPR. DPR secara aktif meminta keterangen dan/ atau mengadakan penyelidikan atas kebijakan yang diambil Presiden Wahid.
Hasil penelitian deskriptif-analisis yang menggunakan studi kasus dengan menggunakan analisis kualitatif dan induktif; dan memakai teknik pengumpulan data wawancara mendalam, diskusi dan studi dokumentasi (kepustakaan) menjelaskan bahwa dilihat dari konstitusi, kekuasaan lembaga Kepresidenan dan lembaga DPR RI pada masa pemerintahan Presiden K.K. Abdurrahman Wahid pasca Orde Baru mengalami pergeseran bila secara komparatif dibandingkan dengan masa sebelumnya, terutama pada masa pemerintahan Presiden Soeharto di masa Orde Baru. Pada masa pemerintahan Presiden Wahid telah terjadi perpindahan titik pendulum kekuasaan ke arah dominasi lembaga DPR RI.
Demikian dilihat dari praktik penyelenggaraan pemerintahan, kekuasaan lembaga DPP RI hasil Pemilu 1999 pada masa pemerintahan Presiden Wahid lebih kuat mengatasi kekuasaan lembaga Kepresidenan. Selama kurun pemerintahannya, sebagaimana diteliti penulis dengan melihat kebijakan yang diambil Wahid, yaitu likuidasi Depsos dan Deppen; pemberhentian Kapolri Jenderal Polisi Roesdihardjo; usaha pemberhentian Gubemur Bank Indonesia Syahril Sabirin; pemberhentian Menperindag Jusuf Kalla dan Menneg BUMN Laksamana Sukardi; pencalonan Ketua MA; kasus Buloggate dan Bruneigate; dan pelantikan Wakapolri Jenderal Chaeruddin Ismail sebagai Pemangku Kapolri, lembaga DPR secara aktif dan kuat mengontrol lembaga Kepresidenan (Presiden Wahid) melalui hak interpelasi, hak mengadakan penyelidikan melalui pembentukan panitia khusus (Pansus) dan memorandum DPR.
Lalu, mengapa terjadi pergeseran kekuasaan serta faktor-faktor apa yang menyebabkan terjadinya pergeseran kekuasaan dari lembaga Kepresidenan ke lembaga DPR pada masa pemerintahan Presiden K.H. Abdurrahman Wahid? Penelitian ini menyimpulkan bahwa adanya pergeseran kekuasaan pada masa pemerintahan Presiden Wahid, yaitu berpindahnya ,titik pendulum kekuasaan dari lembaga Kepresidenan ke lembaga DPR, disebabkan oleh tiga faktor: 1). Perubahan Pertama dan Perubahan Kedua UUD 1945. Kekuasaan yang dimiliki lembaga Kepresidenan yakni kekuasaan di bidang eksekutif atau penyelenggaraan pemerintahan, kekuasaan di bidang legislatif atau perundang-undangan, kekuasaan di bidang yustisial, dan kekuasaan di bidang hubungan luar negeri, seiring dengan ada dan berlakunya Perubahan Pertama dan Perubahan Kedua UUD 1945 itu menjadi berkurang. Pada saat yang sama, kekuasaan lembaga DPR menjadi lebih terinci tegas, 2). Konfigurasi Politik di Kabinet Persatuan Nasional. Pada awalnya, konfigurasi politik Kabinet Persatuan Nasicnal secara kuat mendukung pemerintahan Presiden Wahid. Dengan adanya reshuffle kabinet ini, konfigurasi politik kabinet pemerintahan Presiden Wahid menjadi melemah dan kemudian meninggalkan dukungan kepada keberlangsungan pemerintahan yang dipimpinnya, sebagai akibat kekecewaan dari aliansi kekuatan politik dari partai-partai politik dan TNI/Polri atas digantinya menteri-menteri yang berasal dari aliansi kekuatan politik itu oleh Wahid; dan 3). Konfigurasi Politik di DPR RI Hasil Pemilu 1999. Seiring dengan kekecewaan dari aliansi kekuatan politik dari partai-partai politik dan TNI/Polri sebagai akibat pergantian kabinet ditambah dengan adanya kasus Buloggate dan Bruneigate yang mengindikasikan (patut diduga) keterlibatan Presiden Wahid, membuat Wahid pada akhirnya kehilangan dukungan di DPR. Di DPR, Wahid hanya bertumpu pada adanya dukungan kecil dari PKB di DPR (10,2 %) ditopang NDKB (1,0 %)."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12012
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
KAJ 6(3-4) 2001
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Agung Supriyo
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
S5642
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hasibuan, Muhammad Umar Syadat
"ABSTRAK
Disertasi ini menjelaskan studi tentang gerakan politik mahasiswa. Disertasi ini menggunakan studi kasus untuk menganalisa dua tipe polarisasi gerakan mahasiswa. Pertama, polarisasi gerakan mahasiswa pada masa pemerintahan B.J. Habibie. Kedua, polarisasi gerakan mahasiswa pada pemerintahan Abdurahman Wahid. Lebih jauh lagi, studi ini menjelaskan gerakan politik mahasiswa yang menggunakan pernyataan politik moral force sebagai kekuatan politik. Penelitian dari disertasi ini menggunakan pendekatan kualitatif dan analisa deskriptif. Data dari studi ini diperoleh dengan cara wawancara mendalam dan sumber data sekunder. Beberapa teori digunakan sebagai kerangka analisa.
Pertama, teori demokrasi dari Maswadi Rauf dan Larry Diamond. Kedua, teori konflik dari Maswadi Rauf. Ketiga, teori gerakan massa dari Eric Hoffer. Keempat, teori elit dari Suzane Keller. Disertasi ini juga menggunakan tipologi gerakan politik mahasiswa dari Philip G. Altbach dan Burhan D. Magenda untuk memperkaya kajian gerakan mahasiswa di Indonesia. Kerangka teori ini sangat berguna untuk menganalisa gerakan politik mahasiswa dalam disertasi ini.
Beberapa penemuan dari disertasi ini adalah pertama, polarisasi gerakan mahasiswa pada masa pemerintahan B.J. Habibie adalah antara HMI, KAMMI kontra FORKOT, FKSMJ. Gerakan mahasiswa ini dapat dikategorikan sebagai gerakan politik mahasiswa ekstra universiter. Sementara itu pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid polarisasi gerakan mahasiswa adalah antara BEMI kontra BEMSI yang dapat disebut sebagai gerakan politik mahasiswa intra universiter. HMI, KAMMI dan FORKOT, FKSMJ pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid berada dalam payung organisasi BEMI dan BEMSI. Dengan demikian polarisasi pada masa pemerintahan B.J. Habibie adalah organisasi ekstra vs ekstra universiter sementara pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid adalah organisasi intra universiter vs intra universiter. Kedua, polarisasi gerakan mahasiswa tersebut disebabkan oleh perbedaan persepsi terhadap figur kepemimpinan B.J. Habibie dan Abdurrahman Wahid. Di satu sisi, HMI, KAMMI percaya bahwa B.J. Habibie adalah tokoh muslim dan telah memenuhi tuntutan reformasi. Sementara itu FORKOT, FKSMJ berpendapat bahwa B.J. Habibie merupakan kroni Soeharto. Pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid, BEMI pendukung Abdurrahman Wahid berpendapat bahwa Abdurrahman Wahid bukan hanya sukses menyelesaikan agenda reformasi, tetapi adalah tokoh reformis dan pemimpin pluralis. Sementara BEMSI penentang Abdurrahman Wahid, selain menganggap Abdurrahman Wahid terlibat dalam Buloggate dan Brunaigate, juga menganggap tidak serius menyelesaikan agenda reformasi yaitu memberantas KKN dan menganggap Abdurrahman Wahid sebagai anti demokrasi dan anti Islam. Ketiga, disertasi ini menemukan bahwa gerakan mahasiswa HMI, KAMMI, FORKOT, FKSMJ, BEMI dan BEMSI merupakan gerakan politik. Gerakan mahasiswa ini mendapat dukungan politik, ekonomi dan psikologi dari elit politik. Dengan demikian gerakan mahasiswa memiliki kesamaan kepentingan dengan elit politik baik secara politik dan ideologis.
Studi ini mengajukan perspektif teoritis baru dalam konteks gerakan politik mahasiswa, yaitu: (1) polarisasi gerakan mahasiswa tidak dapat dihindari karena adanya perbedaan kepentingan politik dan ideologi di antara aktivis mahasiswa. (2) Gerakan mahasiswa di Indonesia selalu menggunakan pernyataan politik moral force, sehingga moral force ini dijadikan dasar legitimasi politik mahasiswa untuk memperluas dukungan politiknya. (3) Relasi kekuasaan elit politik dengan gerakan mahasiswa karena keduanya memiliki kepentingan ideologi dan politik yang sama. (4) Polarisasi gerakan mahasiswa diakibatkan oleh dasar legitimasi moral dan dukungan elit politik.
Studi ini menegaskan bahwa untuk mempertahankan gerakan mahasiswa sebagai kekuatan moral harus dibebaskan dari ketergantungan finansial dari elit politik walaupun secara ideologi dan psikologi antara aktivis mahasiswa dan elit tidak dapat dipisahkan.

ABSTRACT
This disertation examines the study of the students political movements. This disertation uses case study to analysis two types of polarization of the students movements. First, polarization of student movements during B.J. Habibie government. Second, the polarization of student movements during Abdurahman Wahid government.
Furthermore, this study explains the trends of the students movements from political statement of moral force into a real political force.
The research of this disertation uses qualitative approach and discriptive analysis. The data for this study collected by indepth interview and secondary resources. Some theories are used as analytical framework. First, theory of democracy from Maswadi Rauf, Larry Diamond, Juan J. Linz and Alfred Stepan. Second, Theory of conflict from Maswadi Rauf. Third, social movement theory from Eric Hoffer. Fourth, elite theory of Gaetano Mosca and Suzane Keller, Harold D. Laswell, Gabriel A Almond and Roberth Dahl. This thesis is also used the study of students movement from Philip G. Altbach, Arbi Sanit, Suwondo and Muridan to enrich the analysis on student movements in Indonesia. This theoretical framework are valuable for analysing the student movements in this disertation. Several findings of this disertation are firstly, the polarization of student movement in B.J. Habibie era was between HMI, KAMMI vs FORKOT, FKSMJ. This students organization is categorise as the extra-universiter organization. While in Abdurrahman Wahid government, polarization of student movements was between BEMI and BEMSI which called the intra universiter student governments. HMI, KAMMI and FORKOT, FKSMJ in Abdurrahman Wahid government were under the the umbrella of BEMI and BEMSI category. In other words, the polarization of student movements in Abdurrahman Wahid government was using the intra-universiter organisation such as BEMI. Therefore, the polarization of student movements during the B.J. Habibie government was extra organization and during Abdurrahman Wahid government was intra organization. Secondly, the polarizations of students movements are caused by the perception towards the leadership figure of B.J. Habibie and Abdurahman wahid. In one hand, HMI, KAMMI believe that B.J. Habibie as Muslim leader and already tackle the reformation demands. However, on the other hand, FORKOT, FKSMJ considered B.J. Habibie as a cronie of President Soeharto. While in Abdurrahman Wahid Era, BEMI as supporter of Abdurrahman Wahid believe that his government has been succeded to comply with most of the reformation agenda. He was also consider as a reformist and pluralist leader. However, BEMSI found that Abdurrahman Wahid was involved in the Bullogate and Brunaigate. He was also not seriously tackling the KKN, consider as anti democracy and anti Islam. Thirdly, the study is also suggested that students movements moved from moral force into the political movement. the students movements supported by political elites through the logistic support, financial and psychological support. Therefore, the political elites have the similar interests politically and ideologically.
This study is also propose a new theoretical perspective in the student political movement, that are: (1) polarization of student movement can not ovoid it because of the differences of the political and ideological interest among students activist.(2) Student movements in Indonesia always use political moral force, so that moral force is used as legimaticy basis of the students to enlarge their political support. (3) the power relation between political elite and student movement because of both of them have a similar ideological and political interests.(4) the polarization of students movement are caused by moral legitimacy basis and the support from political elites.
This study suggested that to maintain the moral force of the students movements have to liberated from the financial dependency from the political elites. Even though ideologically and psychologically between the students activist and the elites cannot be separated.
"
Depok: 2010
D00918
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Novieta Hardeani Sari
"Seorang Presiden, sebagai kepala negara dan sebagai kepala pemerintah, dalam menjalankan roda pemerintahan membutuhkan dukungan penuh, tidak hanya dari orangorang didalamnya namun juga dari masyarakat. Beliau sebagai Presiden dituntut memiliki adanya kredibilitas yang positif. Dalam melakukan tugasnya sehari-hari dia harus memiliki strategi komunikasi yang efektif, terarah, efisien dan terencana yang dilakukan oleh Public Relations/Humas. Dengan seringnya terjadi kerancuan informasi dan berita, Presiden merasa perlu untuk menyesuaikan diri agar tidak terjadi kesenjangan terutama untuk kebijakan-kebijakan yang diambilnya.
Maka pada Surat Keputusan Presiden No. 255/M/2000 tanggal 9 Oktober 2000, Presiden resmi mengangkat tiga orang juru bicara dan satu institusi pendukung yang menjadi satu kesatuan tim, Tim Media/Juru Bicara Kepresidenan, untuk membantu Presiden dalam mengelola informasi dan hubungan dengan media massa, mewakili apa saja yang menjadi keinginan Presiden yang layak diketahui masyarakat pada umumnya. Hal ini juga sebagai langkah menyikapi tekanan masyarakat yang meminta agar Presiden memiliki seorang juru bicara.
Karena Presiden mempunyai 'kekurangan' dalam masalah penglihatan, maka dengan keberadaan juru bicara akan banyak membantu tugas Presiden sehari-hari. Dalam menentukan suatu strategi komunikasi yang efektif, terarah, efisien dan terencana, sehingga dapat menunjang tujuan, visi dan misi organisasi, juru bicara perlu menguasai teknik-teknik kehumasan. Penjabaran teknik-teknik kehumasan, dijelaskan didalam kerangka pemikiran yang berisi tentang teori-teori manajemen komunikasi, meliputi reposisi, komunikasi internal, media relations, manajemen berita (cara mengemas pesan), dan manajemen fungsi human.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang bersifat evaluatif, dimana pengambilan datanya melalui wawancara tidak berstruktur tetapi terfokus kepada permasalahan, serta studi kepustakaan yang dapat memberikan kelengkapan data penelitian.
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwasanya penyusunan strategi komunikasipada Tim Medial juru Bicara Kepresidenan masih belum maksimal dan efektif. Dimana pada level individu, permasalahan timbul karena kurangnya pengalaman yang dimiliki masing-masing anggota Tim Media/juru Bicara Kepresidenan dalam hal kejuru bicaraan.
Pada level insitusi, permasalahan yang timbul banyak berkaitan dengan kebijakan politik pemerintah yang lebih memperhatikan masalah-masalah politis dibandingkan masalah substantif Selain itu, balk Presiden maupun para juru bicara kepresidenan itu sendiri masih kurang memiliki sense of human relation, dimana mereka lebih mendahulukan emosi dari pada rasionalitas, yang tergambar pada pernyataan-pernyataan Presiden yang sering kali kontroversial.
Opini publik yang seharusnya dijadikan sebagai masukan bagi sebuah institusi untuk kemudian dilakukan penyesuaian-penyesuaian, kurang diperhatikan secara serius oleh individu-individu didalam sistem ini, termasuk mereka yang langsung dekat dengan Presiden, dengan alasan peroleh kursi di Dewan Perwakilan Rakyat untuk Partai Kebangkitan Bangsa sangatlah sedikit. Karena faktor-faktor (level socio-political environment) tersebutlah maka Presiden lebih peduli dengan masalah-masalah koalisi maupun kompromi-kompromi politik dibandingkan dengan opini publik, yang beliau nilai bisa ditempatkan diposisi kedua setelah dicapainya kompromi politik."
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
T8653
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indah Putri Indriany
"Abdurrahman Wahid adalah figur yang menarik dan pemikirannya tentang hubungan Islam dan negara yang disertai argumen-argumen dan praksis yang sering kontroversial, telah menjadi salah satu arus besar dalam khasanah intelektual dan perpolitikan kontemporer di Indonesia. Dalam hal ini, selain mempunyai implikasi secara normatif-substansial, Abdurrahman Wahid secara empirik-prosedural memainkan peran yang lebih besar dan berimplikasi luas dalam realitas politik. Hal ini dikarenakan Abdurrahman Wahid dalam aktivitasnya lebih kuat warna politiknya daripada warna akademisnya. Hal ini kemudian yang menyulitkannya untuk mewujudkan cita-citanya untuk menjadi seorang guru bangsa, yang dapat berdiri di atas semua golongan dan kelompok kepentingan.
Penelitian yang dititikberatkan pada library research ini dimaksudkan untuk memetakan, menggambarkan dan menganalisis penolakan Abdurrahman Wahid terhadap negara Islam di Indonesia. Dari pemetaan ditemukan bahwa penolakan Abdurrahman Wahid tersebut tidak dapat digolongkan ke dalam satu pemahaman, 'secara normatif-substansial atau secara empirik-prosedural; karena pemikiran Abdurrahman Wahid secara normatif dan empirik, ditemukan butir-butir pemikirannya yang berkelindan satu sama lain.
Penerimaan Abdurrahman Wahid terhadap Pancasila sebagai ideologi kebangsaan, Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai bentuk finalitas negara bangsa di Indonesia, dan masyarakat Indonesia demokratis yang dicita-citakannya; adalah wujud dari penolakannya terhadap gagasan masyarakat atau negara Islam di Indonesia dari kalangan Islam modernis.
Walaupun secara umum, praktek politik Abdurrahman Wahid liberal dan sekuler, tetapi gagasannya tentang negara berakar dan dielaborasi dari keyakinan Abdurrahman Wahid terhadap Islam, baik Islam sebagai nilai-nilai ajaran maupun Islam sejarah. Sikap Abdurrahman Wahid yang moderat, inklusif, dan eklektis pada dasarnya adalah pengaruh ke-NU-annya yang sangat diwarnai oleh tradisi Sunni."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T3033
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mashuri
"Tesis ini untuk menjelaskan bagaimana penerapan butir-butir kesepakatan antara pemerintah Indonesia dan IMF yang tertuang dalam Letter of Intent (Loi) yang terjadi di era pemerintahan Soeharto, Habibie dan Abdurrahman Wahid.
Pada saat terjadi krisis moneter pada pertengahan tahun 1997, pemerintah Indonesia akhirnya meminta bantuan ke lembaga keuangan internasional atau IMF. Sebagai konsekuensinya, pemerintah harus siap menerima berbagai rekomendasi kebijakan yang disarankan oleh IMF, bagi upaya pemulihan krises ekonomi. Rekomendasi ini tidak diberikan secara sembarangan, karena harus diikuti oleh sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi oleh pemerintah Indonesia.
Awalnya, pemerintah Soeharto saat itu terlihat keberatan dengan berbagai program pemulihan ekonomi seperti yang tertuang dalam Loi pertama, maupun kedua. Hal ini terjadi karena pemerintah Soeharto saat itu menjalankan roda perekonomian yang diduga banyak melakukan tindakan KKN. Padahal, IMF dalam rekomendasinya, menuntut agar segala bentuk monopoli, KKN dalam Iingkungan bisnis dihilangkan. Tarik ulur antara pemerintahan Soeharto dan IMF pun terjadi. Soeharto sempat mencari altematif kebijakan pemulihan krisis seperti membahas ide sistem dewan mata uang atau lebih dikenal dengan Currency Board System (CBS). Namun, IMF lagi-lagi menolak. Hal ini berbeda dengan pelaksanaan Loi yang terjadi di era Habibie maupun Abdurrahman Wahid. Latar belakang politik saat itu, juga ikut mempengaruhi bagaimana butir-butir Loi itu dijalankan. Berbagai hal ikut mempengaruhi proses tersebut. Mulai dari faktor ekonomi, sosial hingga politik.
Tujuan untuk melihat bagaimana ketiga presiden itu menjalankan resep IMF inilah yang ingin diketahui dalam penulisan ini. Hal ini dilakukan dengan menggunakan berbagai teori, mulal dari teori ekonomi politik internasional yang pertama yakni aliran liberalis, kedua aliran nasionalis dan ketiga strukturalis. Dibagian lain, untuk mengupas tentang permasalahan, digunakan teori yang membahas tentang politik domestik diperkuat dengan berbagai tipe kepemimpinan dalam membuat kebijakan nasional.
Pada kenyataannya, penerapan Loi antara IMF dan Indonesia sangat menuntut konsistensi serta political will dari pemerintah dalam menuntaskan krisis ekonomi. Hal inilah yang kurang dilakukan oleh ketiga presiden itu sehingga tidak jarang target waktu pelaksanaan Loi itu sering tidak tepat waktu.
Tesis. ini merupakan kajian kualitatif dan penelitian tesis ini adalah dekriptif eksplanatif. Data-data yang dipergunakan dalam penelitian ini diperoleh berdasarkan teknis pengumpulan data dan kepustakaan."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T14359
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>