Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 159777 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Justitia Avila Veda
"[ABSTRAK
Ketentuan mengenai penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden diatur dalam pasal 134, 136bis, dan pasal 137 KUHP. Pasal ini muncul sebagai adopsi dari pasal penghinaan terhadap Raja dan Ratu Belanda yang turut diberlakukan di Indonesia pada era sebelum kemerdekaan berdasarkan asas konkordansi. Setelah kemerdekaan, ketentuan tersebut dipertahankan namun dengan penyesuaian berupa perubahan pada frasa "Raja" dan "Ratu" menjadi "Presiden" dan "Wakil Presiden". Sejak periode rezim pemerintahan Soeharto, ketentuan tersebut, khususnya pasal 134 KUHP banyak digunakan untuk mengkriminalisasi ungkapan, tulisan, atau perbuatan yang dinilai mencemarkan nama baik Presiden dan Wakil Presiden. Ketiadaan parameter untuk mengidentifikasi rasa keterhinaan menyebabkan unsur menghina dimaknai secara kabur oleh para hakim yang mengacu pada politik hukum pidana masing-masing rezim tanpa mempertimbangkan situasi kebatinan yang ada. Adanya potensi kelenturan pemaknaan pasal yang bisa melanggar kebebasan berekspresi mendorong adanya pencabutan pasal penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden oleh Mahkamah Konstitusi. Skripsi ini berusaha membuktikan kecenderungan pemaknaan pasal 134 KUHP secara luas melalui analisis terhadap putusan pengadilan, ditunjang dengan dokumen-dokumen sejarah yang ada, di samping membandingkan keberadaan ketentuan tersebut dengan ketentuan serupa di beberapa negara lain.

ABSTRACT
;Defamation towards President and Vice President of Republic of
Indonesia is regulated in Article 134, 136bis, and article 137 Indonesian Penal
Code. These articles were adopted from the originals regulating defamation
towards King and Queen of Dutch Monarch, which was enforced in Indonesia in
pre-independence period upon concordance basis. After the independence, those
articles were maintained after getting through a conformation?replacement of
?King? and ?Queen? phrases with ?President? and ?Vice President?. Since the
Soeharto era, those articles, especially article 134, were regularly used to
criminalize oral or written expression, and also dissent behavior which were
valued as insulting and jeopardizing the image of President or Vice President. The
absence of parameter to identify the feeling of being insulted caused the obscure
interpretation of the ?defaming? aspect in article 134. The judges gave the
interpretation in the compliance with the politics of criminal law of each regime,
neglecting the ongoing social situation. The possibility of interpreting the law
widely could result on the abuse of freedom of expression, and according to it,
Constitutional Court of Republic of Indonesia decided those existing laws on
defamation towards President and Vice President were void. This thesis aims to
prove the flexibility in interpreting the law, through analyzing court decisions
supported with studies on historical documents regarding defamation towards the
head of the State. This thesis also compared the law of defamation, especially
defamation towards the President and Vice President in Indonesia with other countries., Defamation towards President and Vice President of Republic of
Indonesia is regulated in Article 134, 136bis, and article 137 Indonesian Penal
Code. These articles were adopted from the originals regulating defamation
towards King and Queen of Dutch Monarch, which was enforced in Indonesia in
pre-independence period upon concordance basis. After the independence, those
articles were maintained after getting through a conformation?replacement of
?King? and ?Queen? phrases with ?President? and ?Vice President?. Since the
Soeharto era, those articles, especially article 134, were regularly used to
criminalize oral or written expression, and also dissent behavior which were
valued as insulting and jeopardizing the image of President or Vice President. The
absence of parameter to identify the feeling of being insulted caused the obscure
interpretation of the ?defaming? aspect in article 134. The judges gave the
interpretation in the compliance with the politics of criminal law of each regime,
neglecting the ongoing social situation. The possibility of interpreting the law
widely could result on the abuse of freedom of expression, and according to it,
Constitutional Court of Republic of Indonesia decided those existing laws on
defamation towards President and Vice President were void. This thesis aims to
prove the flexibility in interpreting the law, through analyzing court decisions
supported with studies on historical documents regarding defamation towards the
head of the State. This thesis also compared the law of defamation, especially
defamation towards the President and Vice President in Indonesia with other countries.]
"
2015
S60722
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Frans Andreas
"ABSTRAK
Tesis ini membahas petarungan pihak yang saling berlawanan dalam mendapatkan ketetapan hukum dari Mahkamah Konstitusi atas konstitusionalitas norma hukum dalam Pasal 284 dan 292 KUHP. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif dengan metode analisis wacana kritis milik van Dijk dan konsep dari Bourdieu mengenai, doxa, heterodoxa dan orthodoxa. Peneliti berusaha mengungkap pengunaan wacana heterodoxa dan wacana orthodoxa atas doxa heteronormativitas dalam arena yudisial Mahkamah Konstitusi. Wacana heterodoxa atas doxa heternormativitas digunakan pihak penentang untuk membongkar kesewenang-wenangan yang terdapat dalam permohonan pemohon. Sementara wacana orthodoxa atas doxa heternormativitas digunakan kelompok pendukung untuk memapankan doxa atas heteronormativitas sebagai satu-satunya bentuk kenormalan seksualitas.

ABSTRACT
This thesis discusses the conflicting battle of parties in obtaining legal provisions of the Constitutional Court on the constitutionality of legal norms in Articles 284 and 292 of the Criminal Code. This research is conducted by qualitative approach with the method of critical discourse analysis of van Dijk and Bourdieu concept about doxa, heterodoxa and orthodoxa. Researchers try to uncover the use of heterodoxa discourse and orthodoxa discourse over doxa heteronatifivitas in the judicial arena of the Constitutional Court. The discourse of heterodoxa upon doxa heternativity is used by the opposing parties to expose the arbitrariness contained in the petition of the petitioner. While orthodoxa discourse over doxa heternatifivitas used support groups to establish doxa over heteronatifivitas as the only normal form of sexuality. "
2018
T51178
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Ali Aranoval
"Pasal-pasal penghinaan banyak tersebar dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Objek atau sasaran Penghinaan terdiri atas terhadap pribadi perseorangan, terhadap kelompok atau golongan, terhadap institusi atau lembaga, terhadap suatu agama, terhadap para pejabat yang meliputi; pegawai negeri, kepala negara atau wakilnya dan pejabat perwakilan asing dan terakhir terhadap orang yang sudah meninggal dunia. Yang menarik adalah penggunaan pasal penghinaan yang ditujukan kepada orang yang melakukan penghinaan terhadap Kepala Negara atau Presiden, hal tersebut diatur dalam titel II Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang Kejahatan Melanggar Martabat Presiden dan Martabat Wakil Presiden. Title II ini dimulai dari pasal 134, pasal 136 bis, dan pasal 137 hingga pasal 139. Orang yang melakukan penghinaan terhadap Kepala Negara sering dihukum dengan pasal 134. Pemahaman terhadap pasal ini pertama adalah penghinaan itu harus dilakukan dengan sengaja (opzettelijk) dimana pelaku harus menghendaki perbuatan itu terjadi. Kedua, penghinaan dilakukan dengan segala macam cara termasuk pula cara penghinaan seperti yang diatur dalam title XVI Buku II Kitab Undang-undang Hukum Pidana mulai pasal 310 sampai pasal 321. Ketiga, harus diketahui bahwa Presiden atau Wakil Presiden hadir atau tidak dengan kata lain yang dihina hadir atau tidak ditempat itu. Ketiga hal ini penting pada saat pembuktian terhadap unsur-unsur pasal dalam sidang pengadilan. Tidak kalah pentingnya adalah pembedaan antara pasal 134 KUHP dengan pasal 136 bis KUHP. Pemahaman pasal 136 bis KUHP yang terpenting adalah bahwa unsur ini sangat berkaitan erat dengan pasal 134 KUHP, dalam hal kesempurnaan pembuktian. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan register nomor 1380/Pid.B/2002, telah menjatuhkan hukuman selama 5 bulan penjara kepada terdakwa Kiastomo. Jaksa Penuntut Umum mendakwa dengan dakwaan primer pasal 134 KUHP subsider pasal 137 KUHP. Majelis Hakim dalam amarnya menyatakan bahwa terdakwa secara sah dan meyakinkan telah memenuhi unsur pasal 134 KUHP. Putusan yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim sama dengan dakwaan primer dari Jaksa Penuntut Umum, namun jika diperhatikan ada kekurangan selama proses pembuktiannya, ini menunjukan kurangnya pemahaman Majelis Hakim terhadap unsur pasal tersebut. Hal yang sama terjadi dalam putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan nomor register 484/Pid.B/2003, dimana terdakwa M. Iqbal Siregar juga dinyatakan bersalah melanggar pasal 134 KUHP, Terdakwa Iqbal Siregar dihukum 5 bulan penjara. Berdasarkan hal tersebut diatas Penulis tertarik untuk melakukan penelitian hukum dengan Judul “Pembuktian Tindak Pidana Penghinaan Terhadap Kepala Negara (Studi Kasus Perkara Nomor Register 1380/Pid.B/2002/PN Jakarta Selatan)”. Akibat kurangnya pemahaman terhadap unsur-unsur pasal tersebut maka dalam prose pembuktiannya majelis hakim bisa dikatakan telah menghukum orang yang belum tentu bersalah, hal ini dapat menyebabkan turunnya citra serta wibawa lembaga peradilan dalam rangka penegakan hukum di Indonesia. Untuk itu aparatur penegak hukum harus memperbaiki kekeliruan serta kekhilafan yang terjadi selama ini dengan meningkatkan pemahaman terhadap pasal-pasal Kejahatan Melanggar Martabat Presiden Dan Martabat Wakil Presiden sehingga kemungkinan salah melakukan penerapan hukum dalam proses peradilan tidak terjadi lagi."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004
S22460
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Analisis ekonomi atas hukum adalah melihat aspek efisiensi dalam upaya meminimalisasi cost terhadapberoperasinya (aturan) hukum yang telah disusun agar tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi dantidak efisien. Tulisan ini hendak membahas mengenai relevansi penggunaan pendekatan ekonomiterhadap praktik Hukum Persaingan Usaha Sebagai Undang-undang yang mengatur masalah ekonomiUndang-undang Persaingan Usaha memerlukan bantuan ilmu-ilmu lain diluar hukum untuk menginterpretasikanmakna aturan hukum Penggunaan prinsip rule of reason dalam Undang-undang PersainganUsaha merupakan proses pembuktian yang membutuhkan bantuan faktor nonhukum (non legal factor)seperti ilmu ekonomi.
"
340 ARENA 6:1 (2012)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Nilma Suryani
Depok: Rajawali Press, 2022
345 NIL p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Siregar, Ruben Jeffry M.
Depok: Universitas Indonesia, 2002
S22085
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>