Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 10216 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
S5882
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
P. Ferry Helianto
"Lepasnya Timor Timur dari negara kesatuan Republik Indonesia berdampak negatif terhadap hubungan bilateral Indonesia-Australia. Berawal dari disposisi surat PM Howard yang dialamatkan kepada Presiden Habibie, yang dalam suratnya, Howard menyarankan agar Indonesia memberikan hak untuk menentukan nasibnya sendiri bagi rakyat Timor Timur. Surat tersebut jelas membuat posisi Indonesia merasa dilecehkan dan kemudian balas mengecam Australia karena dinilai terlalu jauh mencampuri masalah dalam negeri Indonesia.
Namun surat itu pula, yang pada akhirnya membuat pemerintahan Habibie memberikan dua opsi bagi rakyat Timor Timur untuk tetap bergabung dalam negara kesatuan Republik Indonesia, atau menolak otonomi luas dan melepaskan diri dari Indonesia. Situasi krisis multidimensi di Indonesia, adalah faktor yang memperlemah kinerja diplomasi Indonesia saat itu. Terlebih lagi, Indonesia harus menerima kenyataan pahit, bahwa Timor Timur akhirnya memilih lepas dan merdeka dari Indonesia. Hal ini membuat para pejuang integrasi yang setia kepada Indonesia menjadi kecewa dan marah, hingga terjadi huru hara dan pembumihangusan di Timor Timur, disinyalir telah terjadi pelanggaran HAM besar besaran di propinsi tersebut.
Dibawah tekanan dunia internasional dan sanksi yang akan dijatuhkan kepada Indonesia, membuat Presiden Habibie tidak punya pilihan lain, kecuali menerima kehadiran INTERFET untuk mengendalikan situasi keamanan yang bergejolak di Timor Timur pasca jajak pendapat. Komposisi Australia yang memiliki jumlah pasukan lebih besar dalam INTERFET menyebabkan Indonesia merasa dipermalukan. Hal ini menyebabkan ketegangan hubungan antara Jakarta dan Canberra pada tingkat yang terburuk dalam sejarah hubungan diplomatik kedua negara.
Seiring waktu berlalu, dan terpilihnya Abdurrahman Wahid sebagai Presiden Indonesia, ketegangan hubungan Jakarta-Canberra akibat keterlibatan Australia yang terlampau jauh di Timor Timur telah mengalami berbagai tahap perbaikan yang cukup berarti bagi pemulihan hubungan bilateral kedua negara.
Faktor-faktor seperti mendesaknya penyelesaian masalah dalam negeri di bidang ekonomi dan mengatasi gerakan separatisme pasca jajak pendapat di Timor Timur, adanya dorongan untuk memperkuat solidaritas Asia Pasifik, upaya memperbaiki citra Indonesia di luar negeri dalam bidang HAM, melemahnya peran ASEAN, serta mitos terhadap posisi Indonesia vis-à-vis dengan Australia dapat menjadi alat bedah dalam menganalisis bagaimana politik Iuar negeri Abdurrahman Wahid dijalankan selama setahun pemerintahannya.
Penulis menggunakan pemikiran Holsti dalam menganalisis berbagai faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi arah politik luar negeri Indonesia yang dijalankan pada masa Pemerintahan Habibie dan pada masa Pemerintahan Abdurrahman Wahid.
Penulis menggunakan metode penelitian berdasarkan pendekatan kualitatif yang bersifat deskriptif analisis untuk membandingkan data-data yang tersedia dengan pemikiran-pemikiran yang digunakan dalam penulisan tesis ini. Penulis membatasi pengumpulan data melalui studi kepustakaan, yaitu masa Pemerintahan Habibie dan pada masa Pemerintahan Abdurrahman Wahid pada kurun waktu tahun 1999-2001."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T12373
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Politik Indonesia, 2005
S5673
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
KAJ 6(3-4) 2001
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2006
S5725
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abdul Malik H.
"Persoalan hubungan sipil-militer selama masa reformasi yang paling penting dan patut untuk dijadikan kajian maupun bahan penelitian adalah di era kepemimpinan Abdurrahman Wahid yang berlangsung tidak-lebih dari 20 bulan, dari bulan Nopember 1999 hingga Juli 2001. Bukan saja karena terdapatnya sejumlah kebliakan penting yang dihasilkan dalam rangka penegakan supremasi sipil, keberhasilan militer Indonesia melakukan konsolidasi lnternal, ataupun hubungan sipil (Presiden Abdurrahman Wahid) dengan militer yang dipenuhi dengan 'ketegangan'. Lebih dari itu, militer indonesia memiiiki peranan yang cukup signifikan bagi naik dan turunnya Abdurrahman Wahid dari kursi kepresidenan Rl ke-4.
Penelitian ini difokuskan pada format hubungan sipil-militer di era Abdurrahman Wahid, khususnya hubungan antara Presiden dengan TNI. Beberapa alasan yang menjadi dasar pemikirannya adalah, pertama, bahwa Abdurrahman Wahid telah mengeluarkan sejumlah kebijakan penting berkaitan dengan posisi dan peran TNI-Polri dalam format kehidupan kenegaraan dan kebangsaan Indonesia selama ia menjabat sebagai Presiden Rl ke-4 hasil Pemilu 1999. Sejumlah kebijakan penting ilu diantaranya, penggantian jabatan Kementerian Pertahanan dan Keamanan (Menhankam) menjadi Kementerian Pertahanan, penempatan orang sipil sebagai Menhan, realisasi pemisahan Polri dari TNI, penghapusan Bakorstanas dan Litsus, dicopotnya Jenderal TNI Wiranto dari jabatannya sebagai Menkopolkam, beberapa mutasi di tubuh militer misalnya penempatan Laksamana Widodo AS (AL) sebagai Pangab TNI, pergantian posisi Pangkostrad dan beberapa perwira tinggi lainnya yang dinilai sebagai upaya "dewirantoisasi', dihapusnya posisi Wakil Pangab, serta kebijakan yang belum terealisasi, yakni keinginan mengganti jabatan Panglima TNI dengan Kepala Staf Gabungan dan meletakkan TNI dibawah Menhan. Kedua, militer (TNI) ternyata melakukan respon balik bahkan ?perlawanan' atas beberapa kebijakan Abdurrahaman Wahid di atas, terutama yang berkaitan dengan seiumlah mutasi para perwira, yang dibuktikan dengan penolakan mereka atas Maklumat Presiden (Dekrit) dan dukungan mereka atas Sl MPR 2001.
Dengan menggunakan teknik wawancara yang mendalam dengan para pelaku (tokoh) penting di sipil maupun militer selama Abdurrahman Wahid menjabal Presiden Rl dan studi pustaka, dikumpulkan dan diverifikasi data-data itu, kemudian dianalisa dengan menggunakan analisa kualitatif. Penelitian ini ingin menjelaskan bagaimana pola hubungan sipil-militer di era pemerintahan Abdurrahman Wahid, sejauhmana reposisi militer berlangsung di era pemerintahan Abdurrahman Wahid, dan apakah pemerintahan Abdurrahman Wahid mampu membuat hubungan sipil-militer yang betul-betul mencerminkan adanya reposisi militer dari domain politik dan terbentuknya supremasi sipil yang akan mendukung demokratisasi di Indonesia ?.
Untuk itu, kerangka teori yang penulis gunakan dalam melihat hubungan sipil-militer di masa pemerintahan Abdurrahaman Wahid, pertama, bisa dijelaskan dengan teorinya Perimuller (1980), Huntington (1959) dan Welch (1970) yang melihat faktor eksternal militer menjadi penyebab munculnya intervensi. Sedangkan Finer (1988) dan Nordlinger (1994) melihal faktor internal militer (kepentingan militer) sebagai penyebab terjadinya intervensi militer ke domain sipil. Kedua, Alfred Stepan (1998) tentang pengurangan hak istimewa militer dan otorilas politik militer serta Sundhaussen (1985) tentang alasan dan syarat penarikan diri militer dari wilayah politik. Ketiga, Perlmutler (1980) dengan teori fusionist (peleburan)-nya menjelaskan tentang model-model hubungan sipil-militer di dunia ketiga. Keempat, berkaitan dengan variasi dominasi militer banyak dilakukan oleh Huntington (1959), Monis Janowilz (1964), Claude E. Welch (1970), David E. Albright (1980), Qrouch (1985) dan Nordlinger (1994), yang menjelaskan model dominasi militer dalam pemerintahan sipil sesuai dengan posisi dan peran mililer di dunia ketiga.
Berdasarkan metode penelitian dan kerangka teoritik di atas, beberapa temuan penting hasil studi, analisis dan kesimpulan sebagai berikut : Pertama, posisi militer pasca Orde Baru masih kuat, Kedua, militer pasca Orde Baru telah melakukan beberapa perubahan internal yang merupakan jawaban atas tuntutan dan tekanan publik. Ketiga, inkonsistensi reposisi militer dari politik praktis juga dilakukan oleh kekuatan sipil. Keempat, kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan Presiden Abdurrahman Wahid memang lelah menandai adanya upaya untuk mereposisi militer dan keinginan untuk memprofesionalkan tentara. Kelima, Hubungan Abdurrahman Wahid-militer awalnya harmonis, namun tidak berlangsung Iama, sebab Abdurrahman Wahid terlalu mengakomodasi ?kelompok moderal? TNI yang menghendaki terciptanya militer profesional dan meninggalkan kelompok yang masih memperlahanlkan status quo dimana TNI tidak hanya berfungsi sebagai ?pemadam kebakaran? saja, tetapi sekaligus menolak prinsip supremasi sipil. Presiden dianggap lerlalu jauh melakukan intervensi ke tubuh TNI, sehingga kelompok konservatif mampu mengkonsolidasikan kekuatannya bekerja sama dengan kelompok sipil (Iawan polilik Abdurrahman Wahid) menolak Maklumat Presiden dan menggelar Sl-MPR.
Keenam, cita-cita penegakan prinsip supremasi sipil pada era kepemimpinanan Abdurrahman Wahid dapat disimpulkan gagal. Hal ini disebabkan oleh dua hal ; (1) presiden, parlemen dan para elite partai polilik menjadi titik lerlemahnya. Konflik yang berujung pada fragmentasi di antara kekuatan sipil telah membuka pintu bagi militer untuk terlibat dalam politik praktis. Keterlibatan militer ini ditunjukkan melalui dukungannya lterhadap penyelenggaraan Sl MPR dan, (2) secara ideologis, militer belum sepenuhnya bersedia menarik diri dari domain polilik praktis. Karena, secara substansi, doktrin dan keyakinan anggola mililer belum berubah. Selain itu, keengganan militer unltuk back to barrack karena pemerintah belum sepenuhnya mampu memenuhi anggaran, kesejahteraan dan fasilitas untuk menjadikan militer yang profesional."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2003
T12239
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syamsuddin Haris
"Setelah mengalami masa otoritarianisme politik selama hampir 40 tahun (1959-1998), Indonesia akhirnya memasuki era transisi menuju demokrasi. Namun ironisnya, era transisi tidak segera diikuti dengan tahap konsolidasi demokrasi. Presiden Abdurrahman Wahid dan DPR justru terperangkap ke dalam konflik politik berkepanjangan. Konflik itu begitu serius sehingga Abdurrahman Wahid akhirnya diberhentikan dari jabatannya sebagai presiden oleh para politisi partai besar melalui Sidang Istimewa MPR 2001.
Dalam kajian itu, tesis ini berusaha menjawab, mengapa terjadi konflik antara Presiden Wahid dan DPR sera faktor-faktor apa yang melatarbelakangi konflik tersebut?
Konflik Presiden Wahid dan DPR bersumber pada dua faktor yang bersifat mendasar. Pertama, tidak adanya platform politik dan visi bersama di antara para elite politik sipil dalam rangka mengakhiri rejim otoriter, dan membangun kerangka demokratis untuk mengakomodasi format politik baru produk Pemilu 1999. Kedua, terbentuknya format politik baru dengan sistem multipartai tanpa kekuatan mayoritas di DPR tidak diikuti dengan reformasi kelembagaan, terutama yang berkaitan dengan relasi kekuasaan Presiden, DPR, dan MPR. Akibatnva, praktik politik DPR cenderung mengarah pada sistem parlementer sementara UUD 1945 bernuansa presidensial.
Selain faktor-faktor di atas, konflik selama periode kajian ini dipicu pula oleh beberapa faktor lain, baik yang bersifat obyektif maupun subvektif. Faktor obyektif pertama adalah polarisasi politik produk Pemilu 1999 di mana PDIP sebagai partai pemenang hanya memperoleh 153 kursi dari 500 kursi DPR Kursi selebihnya diperoleh 20 partai lainnya, Ironisnya tidak ada inisiatif PDIP yang mencalonkan Megawati sebagai presiden untuk mengajak kerjasama dan koalisi dengan partai-partai lain. Konsekuensi logis sikap diam Megawati tersebut, muncul koalisi partai-partai berbasis Islam "Poros Tengah" yang mencalonkan Abdurrahman Wahid sebagai alternatif di luar Megawati dan Habibie. Solusi yang bersifat jangka pendek ini berlanjut ketika Presiden Wahid menyusun kabinet atas dasar kompromi dengan pimpinan kekuatan politik besar di DPR, trmasuk pimpinan TNI. Koalisi dan kompromi politik yang bersifat semu ini adalah faktor obyektif kedua yang melatari konflik politik yang menjadi fokus kajian ini.
Faktor-faktor subyektif yang menjadi sumber konflik adalah; pertama, berkembangnya personalisasi kekuasaan yang dilakukan Presiden Wahid seperti bongkar pasang kabinet, indikasi keterlibatan dalam kasus Bulog dan dana sumbangan Sultan Brunei, berbagai ancaman jika dia tidak lagi menjadi presiden, dan pengeluaran dekrit presiden yang memicu pemberhentiannya oleh SI MPR. Kedua, adalah kecenderungan partai-partai besar non-PKB di DPR memanfaatkan personalisasi kekuasaan yang dilakukan presiden untuk menjatuhkan Abdurrahman Wahid dalam rangka kepentingan kelompok masing-masing. Termasuk di dalam kategori kelompok ini adalah pembangkangan politik TNI/Polri yang kecewa karena kecenderungan Presiden Wahid melakukan intervensi terlampau jauh dalam kehidupan internal tentara dan polisi."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T2333
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indah Putri Indriany
"Abdurrahman Wahid adalah figur yang menarik dan pemikirannya tentang hubungan Islam dan negara yang disertai argumen-argumen dan praksis yang sering kontroversial, telah menjadi salah satu arus besar dalam khasanah intelektual dan perpolitikan kontemporer di Indonesia. Dalam hal ini, selain mempunyai implikasi secara normatif-substansial, Abdurrahman Wahid secara empirik-prosedural memainkan peran yang lebih besar dan berimplikasi luas dalam realitas politik. Hal ini dikarenakan Abdurrahman Wahid dalam aktivitasnya lebih kuat warna politiknya daripada warna akademisnya. Hal ini kemudian yang menyulitkannya untuk mewujudkan cita-citanya untuk menjadi seorang guru bangsa, yang dapat berdiri di atas semua golongan dan kelompok kepentingan.
Penelitian yang dititikberatkan pada library research ini dimaksudkan untuk memetakan, menggambarkan dan menganalisis penolakan Abdurrahman Wahid terhadap negara Islam di Indonesia. Dari pemetaan ditemukan bahwa penolakan Abdurrahman Wahid tersebut tidak dapat digolongkan ke dalam satu pemahaman, 'secara normatif-substansial atau secara empirik-prosedural; karena pemikiran Abdurrahman Wahid secara normatif dan empirik, ditemukan butir-butir pemikirannya yang berkelindan satu sama lain.
Penerimaan Abdurrahman Wahid terhadap Pancasila sebagai ideologi kebangsaan, Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai bentuk finalitas negara bangsa di Indonesia, dan masyarakat Indonesia demokratis yang dicita-citakannya; adalah wujud dari penolakannya terhadap gagasan masyarakat atau negara Islam di Indonesia dari kalangan Islam modernis.
Walaupun secara umum, praktek politik Abdurrahman Wahid liberal dan sekuler, tetapi gagasannya tentang negara berakar dan dielaborasi dari keyakinan Abdurrahman Wahid terhadap Islam, baik Islam sebagai nilai-nilai ajaran maupun Islam sejarah. Sikap Abdurrahman Wahid yang moderat, inklusif, dan eklektis pada dasarnya adalah pengaruh ke-NU-annya yang sangat diwarnai oleh tradisi Sunni."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T3033
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yanuar Prihatin
"Salah satu tokoh publik yang memiliki perhatian terhadap ide demokrasi adalah Abdurrahman Wahid. SeIain itu ia juga dikenal sebagai pemimpin organisasi. Tentu menjadi pertanyaan, sebagai pemimpin, apakah dia menunjukkan konsistensi antara pemikiran demokrasi yang dianutnya dengan perilaku politik individual yang dilakukannya? Pertanyaan lain, apakah dia tergolong pemimpin demokratis, atau justru sebaliknya pemimpin yang otoriter? Inilah pertanyaan kunci yang menjadi fokus pembahasan dalam tesis ini.
Untuk menjawab pertanyaan ini dibuatlah kerangka berpikir tertentu. Pertama, yang dimaksud perilaku politik Abdurrahman Wahid sebagai pemimpin organisasi dibatasi pads tindakan politik berupa pengambilan keputusan tentang masalah-masalah penting dan strategis. Disebut penting dan strategis karena keputusan tersebut dapat mempengaruhi upaya-upaya pencapaian visi dan misi organisasi, platform dan program organisasi, juga mempengaruhi kinerja organisasi.
Pada sisi lain keputusan tersebut mempunyai dampak politis yang cukup besar, baik bagi posisi Abdurrahman Wahid sendiri maupun bagi organisasi yang dipimpinnya. Kedua, untuk menilai kepemimpinan Wahid tersebut dipilih beberapa kasus yang relevan selama dia menjadi pemimpin, baik di NU, PKB maupun pemerintahan. Ada tujuh kasus yang menjadi bahan analisis. Kasus tersebut adalah penetapan khittah NU tahun 1984, pengisian lowongan jabatan di PBNU tahun 1992, perseteruan dengan Abu Hasan tahun 1994, pengangkatan Matori Abdul Djalil sebagai ketua umum DPP PKB tahun 1998, bongkar pasang kabinet di era pemerintahan Abdurrahman Wahid, pemberhentian Surojo Bimantoro sebagai kapolri tahun 2001 serta keluarnya Dekrit Presiden 22 Juli 2001. Ketiga, untuk menilai perilaku politik Wahid dalam konteks pengambilan keputusan tersebut digunakan sudut pandang nilai-nilai demokrasi. Karena itu, elaborasi kerangka konseptual dan teoritis diambil dari teori-teori dasar tentang demokrasi. Untuk menetapkan parameter perilaku, maka dilakukan elaborasi terhadap pendekatan perilaku politik yang biasa digunakan dalam ilmu politik.
Jenis penelitian yang digunakan adalah studi kasus. Penelitian jenis ini bertujuan menyingkap informasi yang terperinci tentang gejala politik tertentu. Dalam penelitian ini gejala politik dimaksud adalah pengambilan keputusan tentang masalah-masalah penting dan strategis yang dilakukan oleh tokoh yang diteliti. Unit analisanya adalah individu, yakni Abdurrahman Wahid. Sifat penelitian ini adalah deskriptif-analitis. Walau unsur subyektivitas peneliti tak mungkin dihilangkan sepenuhnya, sebuah deskripsi adalah representasi obyektif dari fenomena yang diteliti. Analisa dan interpretasi data menjadi unsur penting dalam penelitian ini. Data dikumpulkan melalui tiga cara, yakni pengamatan tak langsung, wawancara dan studi kepustakaan.
Data-data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan metode berpikir induktif, yaitu suatu proses penalaran dari khusus ke umum. Tujuannya untuk memperoleh kesimpulan dari beberapa kasus yang diteliti. Generalisasi dilakukan dengan berpedoman pada nilai-nilai demokrasi sebagai instrumen pengukurnya.
Dengan sudut pandang nilai-nilai demokrasi, basil penelitian menunjukkan bahwa Abdurrahman Wahid sebagai pemimpin organisasi cenderung bertindak otoriter dalam mengambil keputusan. Kecenderungan otoriter ini nampak lebih jelas lagi bila berkaitan dengan pemberhentian, penggantian dan pengangkatan orang dalam suatu jabatan tertentu.
Pada awalnya, dia itu demokratis sebagaimana terlihat dalam kasus penetapan khittah NU tahun 1984 dan ,kasus pengisian lowongan jabatan di PBNU tahun 1992. Namun dalam perkembangan berikutnya, seiring dengan menguatnya posisi dan peran dia, kecenderungan otoriter mulai nampak.
Ini berarti Wahid tidak menunjukkan konsistensi antara pemikiran demokrasi yang dianutnya dengan tindakan politik individual yang dilakukannya. Namun demikian, penelitian ini memperlihatkan pula visi lain, bahwa dalam hal kebebasan, Wahid masih konsisten untuk menjaganya. Betapapun dia cenderung otoriter dalam lima kasus yang diteliti, Namun dia tak pernah mengurangi kadar kebebasan pihak lain. Dia tak pernah melarang apalagi membungkam pikiran dan pendapat orang, sekalipun itu berbeda dengan pikirannya.
Begitulah, kesimpulan ini hanya berlaku untuk kasus-kasus pengambilan keputusan yang dimaksud dalam penelitian ini. Namun demikian, satu hal bisa diambil generalisasi, sejauh keputusan itu menyangkut pemberhentian, penggantian dan pengangkatan orang dalam suatu jabatan tertentu, maka kesimpulan penelitian ini kemungkinan besar tak akan bertentangan bila diterapkan pada kasus lain di luar kasus-kasus yang diteliti di sini."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12144
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1992
S5649
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>