Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 173548 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Maria Regina Widhiasti
"Analisis terhadap film Auf der anderen Seite karya Fatih Akin dilakukan dengan melihat representasi yang ditampilkan melalui adegan dan berbagai penanda dalam film. Representasi yang terlihat dalam film kemudian diperiksa untuk melihat ideologi dominan yang melatarbelakangi penggambaran tersebut. Berdasarkan analisis terhadap representasi yang ditampilkan dalam film, terlihat adanya konflik budaya yang dialami oleh tokoh-tokoh Turki yang tinggal di Jerman. Selain itu, ideologi dominan yang juga terlihat dari film ini adalah supremasi Jerman terhadap imigran Turki di negara tersebut.

By analizing the scenes in the film Auf der anderen Seite by Fatih Akin using relevant theories, this research aims to see the dominant ideology of the film. the analysis is conducted by observing the structure of the story, characterization and the dialog in the film. The findings of this research show that this film represents the German supremacy over the Turkish immigrants as well as describing the cultural conflicts experienced by the Turkish immigrants in Germany."
2010
T29796
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Nuria Widyasari
"Edward T. Hall percaya bahwa perilaku merupakan 'bahasa' yang harus dimengerti terlebih dahulu sebelum seseorang memahami kata yang terucap. Kesalahan interpretasi atas perilaku dapat menyebabkan kegagalan komunikasi. Lebih jauh, Edward T. Hall menyadari bahwa pemahaman mengenai pengorganisasian seseorang terhadap ruang dan waktu adalah elemen utama keberhasilan komunikasi karena di dalamnya ada norma dan nilai-nilai kebudayaan yang menjadi basis penentuan perilakunya.
Namun di masa kini, perkembangan teknologi telah menampilkan ruang digital yang kemudian mengubah pemahaman konsep ruang dan waktu. Paul Virilio mengatakan bahwa di sini-di ruang digital-speed-space menggantikan time-space dan kecepatan tidak lagi dianggap sebagai suatu cara mencapai sebuah tempat melainkan telah menjadi tempat (milieu) itu sendiri.
'Kata' pun berubah menjadi tiang utama interaksi di ruang digital ini. Di dalam 'kata', norma dan nilai-nilai itu dilihat, dirasakan, ditanggapi, dan diinterpretasikan. Di dalam 'kata', pengorganisasian ruang dan waktu seseorang itu dilihat, dirasakan, ditanggapi, dan diinterpretasikan. Di dalam 'kata', perilaku itu dilihat, dirasakan, ditanggapi, dan diinterpretasikan.
'Kata' dibantu oleh program-program teknis elektromagnetis yang membangun alam digital masyarakat cyberspace, alam speed-space. Di sini, para pemilik ruang digial menjadi penguasa yang membentuk norma dan nilai-nilai yang harus dipatuhi dan ditaati oleh para anggota masyarakat cyberspace.
Secara singkat, bisa dikatakan bahwa di dalam masyarakat cyberspace yang mengandalkan teknologi sebagai basis interaksinya, mereka yang sanggup menjadi pemilik speed-space akan menguasai pembentukan aturan dan norma-norma di mana 'kata' menjadi tiang utama interaksi dan interpretasi perilaku dari masing-masing anggota masyarakatnya."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T9723
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Al-Munyawi, Syaikh Ramzi
Jakarta : Pustaka Al-Kautsar , 2012
922.97 MUN m
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Febby Febriyandi Y.S
"Beragam konflik telah tercatat dalam perjalanan panjang sejarah agama manusia. Dalamkonteks Indonesia juga telah terjadi sederetan konflik yang mengatasnamakan agamasepanjang sejarah kehidupan bernegara. Konflik tersebut tidak hanya terjadi antara pemelukagama yang berbeda, tetapi juga antara pemeluk agama yang sama. Dengan mengikutipemikiran Elizabeth Nottingham mengenai dualisme agama, teori fungsionalisme konflikAlfred Coser, serta meminjam contoh kasus konflik agama dalam artikel John Bowen, sayamencoba menyampaikan empat hal: pertama, konflik dalam kehidupan beragama adalahsuatu keniscayaan; kedua, konflik yang terjadi antara pemeluk agama yang sama disebabkan oleh perbedaan penafsiran dan praktik ritual agama; ketiga, ritual agama tidak hanya memilikiaspek religius semata, tetapi juga aspek sosial-politik; keempat, konflik keagamaan sejatinyatidak hanya bersifat merusak, tetapi juga memiliki fungsi bagi agama dan masyarakat itusendiri, seperti: memperkuat integrasi suatu kelompok atau komunitas, memotivasi pemelukagama untuk lebih memahami ajaran agamanya, mendorong terbentuknya komunitas ataukelompok yang baru, serta menjaga solidaritas kelompok.

Various conflicts have been recorded in the long history of human religion. In Indonesian context, a series of conflicts in the name of religion taken place throughout the life history of the state. The religious conflict does not only occur between people of different religions,but also followers of the same religion. Referring to Elizabeth Nottingham's thoughts on religious dualism, Alfred Coser's conflict functionalism theory, and considering sample case of religious conflict in John Bowen's article, i tried to convey four things: first, conflict in religious life is inevitable; second, the conflict occurred between followers of the same religion is caused by differences in the interpretation and practice of religious rituals; third,the religious rituals do not only have religious aspect, but also socio-political aspects;fourth, the religious conflict is not only destructive, but also has functions for religion and society itself, such as strengthening the integration of a group or community, motivating religious followers to understand their religious teachings better, encouraging the forma-tion of new communities or groups, and maintaining the group solidarity."
Kalimantan Barat : Balai Pelestarian Nilai Budaya , 2019
900 HAN 2:2 (2019)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Reny Yuniawati
"Kripsi ini menggunakan teori representasi sebagai alat analisis. Skripsi ini berusaha untuk menjawab pertanyaan: bagaimana identitas budaya dan diaspora imigran Turki dipresentasikan dalam masyarakat Jerman. Dalam novel Yildiz Heisst Stern digambarkan bahwa representasi identitas budaya imigran Turki sangat terkait dengan Stereotip-stereotip mereka yang dipandang sebagai 'kebenaran' oleh masyarakat Jerman (kelompok mayoritas). Pada akhrirnya, stereotip-stereotip ini menjadi 'pemisah' antara imigran Turki sebagai kelompok minoritas dan masyarakat Jerman. Imigran Turki kemudain membentuk komunitas sendiri, yang disebut 'komunitas diaspora'. Mereka menggunakan komunitas ini sebagai simbol dari eksistensi budaya mereka, yaitu budaya Turki. Dalam skripsi ini, mereka disebut ;generasi kdua' yang terdiri dari anak atau cucu dari imigran Turki pertaman yang datang ke Jerman sebagai 'pekerja tentu'. Beberapa 'kejadian' yang menimpa mereka di dalam lingkungan Jerman, seperti diskriminasi, telah membangkitkan 'mitos bersama' dan identitas budaya mereka sebagai orang Turki sehingga akhirnya, mereka menjadi 'komunitas diaspora'.

Abstract
using the representation theory as the tool to analyze, this thesis try to answer this question: how the cultural identity and diaspora of the Turkish immigrant in German siciety are represented. the novel "Yildiz Heisst Stern" by Isolde Heyne describes, the representation of the Turkish immigrants's cultural identity related to their stereotypes. These stereotypes are seen as 'the truth' by the German society (major society). In the end, these stereotypes will cause the Turkish immigrant (minor society) and the Germn society to seperate. As the result, the Turkish immigrants use this community, called 'community of diaspora'. The Turkish immigrants use this cummunity as the symbol of their cultural existence. In this community, every Turkish immigrant retains their cultural root, which is Turkish culture. Here, they are called 'the second generation'. They are the children or grand children of the first Turkish immigrants, who came to Germany as guestworkrs. They belong to the community of diaspora because certain events that happened to them, for example discrimination, have awaked their 'joint myth' and cultural identity as the Turkish immigrant."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2007
S15015
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Martinus Aditya Putra
"Martinus Aditya Putra. Abstrak sbb. Skripsi ini berisi pembahasan terhadap identitas dan muncul dari warga Jerman timur yang dapat dilihat melalui kerja Stasi yang direpresentasikan melalui film berjudul Das Leben der anderen. Stasi sebagaimana dikenal melalui narasi besar dalam buku-buku sejarah atau situs-situs internet ternyata tidak sepenuhnya sama dengan Stasi yang digambarkan dalam film ini. Beberapa perbedaan dan persamaan dicermati melalui screenshot yang memperlihatkan bagaimana aktivitas Stasi sehari-hari dalam menjalankan tugasnya.

This thesis is about analizing what kind of identity that showed up from the east German people which can be seen from the works of Stasi that represented in a film name Das Leben der anderen. Stasi as known in some grand narative like books or internet sites is actually not all the same like Stasi that the movie tell. Some difference was analyzed by looking at the screenshot that show us the daily activity of Stasi in doing their job."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2010
S14983
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Lathifah Astari
"ABSTRAK
Film Das Leben der Anderen merupakan film tentang Jerman Timur pada tahun 80-an yang di mana pada masa tersebut Stasi merupakan polisi keamanan negara yang sedang berkembang pesat serta ditakuti masyarakat DDR. Melalui film ini, peneliti akan menganalisis konstruksi citra Stasi dan nilai-nilai humanisme melalui adegan, narasi dan perubahan karakteristik pada tokoh utama film yaitu Wiesler. Metode penelitian yang digunakan adalah analisis tekstual. Teks yang dianalisis adalah adegan dan narasi dalam film. Teori dari Peter Seligman digunakan untuk menganalisis nilai humanisme. Dari hasil penelitian terdapat nilai-nilai humanisme seperti rasa simpati, kepedulian dan solidaritas. Lalu citra Stasi dalam film ini dikonstruksikan secara berbeda dari film-film Jerman dengan tema yang serupa. Film ini menawarkan citra lain Stasi dan mendeskripsikan kehidupan di Jerman Timur secara umum

ABSTRACT
Das Leben der Anderen is a movie about East Germany in the 80s which at that time Stasiwas a fast-growing state security police and also feared by DDR citizen. On this film, researcher analyse the image of Stasithat is constructed and the value of humanism through scenes, narration and the development of characteristic of the main character of the film, which is Wiesler. A textual analysis method is used. The analysed text includes scenes and narration of the film. A theory on value of humanity of Peter Seligman is used on this research. Theory by Stuart Hall, and Syariati are used as a supporting theory for the study. The result shows that there are representations of humanity value such as sympathy, caring and solidarity. The results also showing that the image of Stasi in this film is constructed differently from any similar themed German film. This film offers the audience differen image of Stasiand describes East Germany life in general"
2018
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Ika Faiqah
"Kajian ini berawal dan dilatarbelakangi dari kekaguman penulis terhadap fenomena mimpi, Penulis melihat permasalahan yang menarik untuk dikaji secara mendalam pada mimpi terutama hal yang berkenaan dengan kedudukan dan fungsi mimpi. Mulai dari yang menganggap mimpi hanya sebagai wangsit, bunga tidur belaka sampai pada para ilmuwan dan peneliti yang sibuk melakukan penelitian dan eksperimentasi empiris untuk menggali dan mengungkap tabir rahasia dibalik mimpi.
Melihat luasnya obyek penelitian yang akan penulis kaji, maka penulis membatasi obyek penelitian ini kepada dua tokoh pemikir besar tentang mimpi yaitu Ibnu Sirin yang berlatar belakang seorang muslim (Dania Timur) dan Sigmund Freud yang berlatar belakang seorang yahudi (Dunia Barat). Kedua orang pemikir ini penulis anggap sangat layak dan sesuai untuk diangkat sebagai obyek, dengan memperhatikan betapa mereka telah melahirkan dan memberikan kontribusi dan sumbangan yang begitu besar berupa konsep dan teori pemikiran tentang mimpi yang kuat dan berpengaruh luas. Metode yang penulis gunakan dalam kajian penelitian ini yaitu pendekatan kualitatif dengan menggunakan metode studi pustaka. Sedangkan dalam proses analisis data penulis menggunakan tehnik perbandingan dan deskriptif analisis. Setelah melakukan pengolahan data, penulis menghasilkan sebuah kesimpulan bahwa tcori mimpi antara Ibnu Sirin dan Sigmund Freud terdapat beberapa persamaan dan perbedaan.
Persamaan teori mimpi mereka antara lain mengenai hal yang berkenaan dengan metodologi mengutarakan mimpi, Kedua ilmuwan itu menyebutkan bahwa dalam mengutarakan mimpi, seorang penafsir haruslah memberikan perhatian yang penuh, bersungguh-sungguh dan tidak terburu-buru. Kemudian, seorang penafsir harus berusaha mencari tabu semua hal yang berhubungan dengan gambaran atau isi mimpi serta pelaku mimpi secara komprehensif. Kemudian terdapat juga kesamaan tentang kamampuan atau pengetahuan yang harus dikuasai oleh seorang penafsir mimpi. lbnu Sirin dan Sigmund Freud sama-sama menyebutkan bahwa seorang penafsir mimpi harus menguasai ilmu tentang Bahasa. tentang makna kata, derivasi kata, dan kata-kata kiasan maupun pribahasa sehingga mengetahui tentang kondisi dan kebiasaan serta budaya yang berlaku pada masyarakat atau daerah setempat.
Sedangkan perbedaan konsep atau teori mimpi antara Ibnu Sirin dan Sigmund Freud. antara lain terletak pada sumber atau asal mimpi. Ibnu Sirin mengatakan bahwa mimpi itu ada yang berasal dari Allah, setan dan manusia itu sendiri. Sedangkan Freud, sama sekali bahkan terkesan menafikan pesan Tuhan berkaitan dengan sumber atau asal mimpi, ia lebih menekankan tentang fungsi fisik dan psikis manusia sebagai sumber atau isi mimpi. Terdapat perbedaan juga dalam hal simbol mimpi. Simbol-simbol mimpi yang diungkapkan Ibnu Sirin, hampir mencakup semua hal yang berkaitan dengan kehidupan manusia. kecuali simbol-simbol yang berkaitan dengan seks. Hal ini disebabkan. karena lbnu Sirin menganggap mimpi-mimpi yang berhuhungan dengan seks adalah tennasuk mimpi yang kosong dan tidak mempunyai makna. Sehingga simbol-simbol yang munculpun tidak perlu diperhatikan maupun ditakwilkan. Sebaliknva Freud, simbol-simbol yang ia kemukakan, meskipun hanya sedikit, sernuanya merupakan simbol-simbol yang berhubungan dengan seks. Kedua hal inilah yang menjadi perbedaan utama konsep mimpi antara lbnu Sirin dan Sigmund Freud. Disamping perbedaan mendasar lain tentang kedudukan dan fungsi mimpi. Ibnu Sirin mengagap mimpi sebagai bagian dari kenabian dan memiliki nilai ibadah. Sedangkan Freud, sama sekali tidak mengkaitkan mimpi dengan agama apalagi Tuhan.

This study was based on the writer's amazement at the phenomenon of dreams. The writer finds this matter quite interesting to study in some depth, especially the things concerning its importance and function in people's lives. Some people see dreams as they are, but others see them as an illumination. Some scientists and researchers have been occupied with these phenomenons that they have done some empirical research and experiments to reveal the secrets of dreams.
Considering the wide-ranging research object the writer is going to study, the writer will limit her research to the two scientists' views on dreams; they are Ibnu Sirin who was a Moslem coming from the East and Sigmund Freud who was a Jewish coming from the West. The writer finds these two scientists' views quite interesting to study as the object of research, considering these two scientists' amazing concepts and theories has greatly influenced many people. The method the writer uses in this research is through a qualitative approach by using a reference-study method. While in the process of data analysis, the writer uses a comparative technique and descriptive analysis.
After processing the data, the writer came up with a conclusion that there are some similarities and differences between Ibnu Sirin and Sigmund Freud's theories of dreams. They had similar ideas on the things concerning the methodology used in revealing the meaning of a dream. The two scientists cited that in revealing the meaning of a dream, a dream foreteller had to use some serious thought and did not do that in haste. Then, the dream foreteller had to try hard to find out all the things concerning the object and the subject of a dream in a comprehensive way. Then, the two scientists also shared the same thought on the skills and knowledge which a dream foreteller must have. Both Ibnu Sirin and Sigmund Freud said that a dream foreteller had to have a wide-ranging knowledge of language and its related aspects. They also said that a foreteller had to have a wide-ranging knowledge of the customs and tradition of a local society or area.
While the differences between Ibnu Sirin and Sigmund Freud's theories of dreams, among others, lied in the source of a dream. Ibnu Sirin said that dreams could come from the God, evils or people. Sigmund Freud, on the other hand, seemed to negate the role of the God as a source of a dream. The latter scientist gave more importance to human physical and psychological function as a source of a dream. They also had different ideas in the symbols of dreams. The symbols of dream stated by Ibnu Sirin, almost covered all the things related to people's lives, except the symbols related to sex. This might be that Ibnu Sirin saw the dreams concerning sex was meaningless, so that there was no need to pay attention to the symbols given. Freud's symbols, on the other hand, were all, even if just a few, related to sex. Those two things are the main differences between Ibnu Sirin and Sigmund Freud's theories on the importance and function of a dream. Ibnu Sirin saw dreams as a part of prophecy and had religious values, while Freud, did not relate dreams to religion, or the God.
"
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2007
T17903
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syihabuddin
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 2002
418.02 SYI t
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
I Ketut Sawitra Mustika
"This article aims to present a different reading from the mainstream interpretation that corners Schopenhauer: a consistent interpretation. The authors use a method of acquiring knowledge by acquaintance and description. Schopenhauer’s theory is often considered inconsistent because it concludes will as a thing-in-itself. The will, which is obtained through direct observation of the body, is a representation that is still shrouded in the veil of time form, while thing-in-itself is completely different from representation, and is beyond the reach of space, time, and causality, with reference to principle of sufficient reason. Concluding will as a thing-in-itself is therefore considered inconsistent. However, this interpretation might be wrong because Schopenhauer never claimed that direct observation of the body would yield knowledge of the thing-in-itself. From the very beginning, he realised that direct knowledge of thing-in-itself was impossible, because the knowledge, regardless of its form, was always knowledge of appearances. He knows that will does not qualify as a thing-in-itself. The true function of the will in Schopenhauer's metaphysics lies in the name and concept by which one can think about thing-in-itself objectively."
Bandung: Department of Philosophy, 2021
105 MEL 37:2 (2021)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>