Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 101380 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sri Kusumawati
"Masalah status. golongan etnis Cina di Indonesia merupakan masalah penting yang mempengaruhi hubungan Indonesia - RRC, 1949-1967. Salah satu masalah status golongan etnis Cina yang harus segera diselesaikan adalah masalah dwikewarganegaraan. Sebagai dua buah negara yang baru merdeka RRC dan Indonesia hanya mengadopsi asas kewarganegaraan yang dianut oleh penguasa sebelumnya di negara masing-masing. Pemerintah RRC tetap mempertahankan Undang-undang kewarganegaraan tradisionalnya yang pada dasarnya menganut asas Ius-Sanquinis, sedangkan pemerintah Indonesia pada dasarnya menganut asas lus-Soli. Kewarganegaraan golongan etnis Cina di Indonesia harus jelas, sehingga perlakuan terhadap mereka menjadi tegas, yakni apakah mereka itu menjadi Warga Negara Indonesia atau Warga Negara RRC. Masalah status golongan etnis Cina dalam dunia perdagangan juga menjadi masalah penting dalam hubungan Indonesia-RRC pada periode ini. Peraturan Presiden no 10 tahun 1959 yang melarang orang asing melakukan kegiatan perdagangan eceran di daerah pedesaan Indonesia menimbulkan reaksi yang merusak hubungan Indonesia RRC.Keinginan untuk bebas dari dominasi Asing."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1992
S12990
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simanjuntak, Payaman Jan
Jakarta : Himpunan Pembina Sumberdaya Manusia Indonesia (HIPSMI), 1992
331.041 SIM m
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Sarlito Wirawan Sarwono
Semarang: Fakultas Hukum Univ. Diponogoro, 1993
351.735.98 Sar m
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Ferrytilova Noviar
"Salah satu masalah krusial dalam bidang lingkungan hidup pada sektor kehutanan dunia saat ini adalah masalah Illegal Logging. Indonesia merupakan salah satu pemilik hutan tropis terbesar di dunia. Tetapi keberadaan hutan di Indonesia saat ini sangat kritis, salah satu penyebabnya yaitu meningkatnya kegiatan illegal logging. Hal ini tidak hanya memberikan dampak yang negatif untuk Indonesia, tetapi juga bagi negara-negara yang ada di kawasan. Bagaimanapun juga, kegiatan illegal logging ini, tidak berdiri sendiri tetapi dalam bentuk suatu jaringan kejahatan lintas batas negara. Berdasarkan hal tersebut diatas, Indonesia dan Jepang sepakat untuk membentuk suatu forum yang dinamakan Asia Forest Partnership (AFP), khususnya mengatasi permasalahan kehutanan di kawasan Asia-Pasifik.
Forum AFP merupakan inisiatif kemitraan yang terdiri dari klaborasi antar negara, organisasi antar pemerintah, kelompok bisnis, LSM yang bergerak di bidang linkungan. Forum ini menitik beratkan pada masalah illegal logging, kebakaran hutan dan rehabilitasi lahan. Tetapi pada dasarnya, forum ini bertujuan untuk mempromosikan Sustainable Forest Management (SFM) atau Manajemen Hutan Lestari di kawasan Asia. Pertemuan tahunan dilakukan setahun sekali, dan dalam setiap pertemuannya akan menghasilkan workPlan, yang akan dievaluasi pada pertemuan berikunya. Tujuan penelitian ini adalah untuk menggambarkan suatu proses, dalam hal ini masalah Illegal logging yang sudah lama ada, khususnya di Indonesia, dikaitkan dengan kemunculan forum AFP. Disamping itu, tujuan penelitiannya juga untuk menggambarkan hubungan AFP dengan Indonesia, dan bagaimana forum AFP ini memberikan dorongan terhadap upaya Indonesia dan dilihat dari pertemuan tahunan yang diadakan serta peran aktif delegasi Indonesia di setiap pertemuannya. Untuk membahas hal ini, maka digunakan perspektif pluralis oleh Paul R. Viotti dan Mark Kauppi, serta lebih menekankan pada pendekatan partnership. Berdasarkan permasalahan tersebut diatas, maka dapat disimpulkan bahwa Forum AFP merupakan pondasi dengan proses yang panjang dari kerjasama internasional didalam mempromosikan manajemen hutan lestari di Asia. Negaranegara Asia, salah satunya Indonesia menghadapi permasalahan yang hampir sama didalam mengimplementasikan manajemen hutan lestari. Terlihat bahwa forum AFP memang menjalankan fungsinya sebagai sebuah wadah yang membahas masalahmasalah kehutanan khususnya masalah Illegal Logging, tetapi tidak terlepas dari tujuan utamanya yaitu mempromosikan Sustainable Forest Management (SFM).
Dalam kemitraan yang bersifat tidak mengikat dan sukarela, setidaknya membuktikan bahwa jenis atau tipe kerjasama internasional seperti ini sangat diperlukan dan dapat diterapkan serta memberikan implikasi bagi hubungan AFP dengan Indonesia Diharapkan kemitraan ini dapat menumbuhkan lebih besar lagi kesadaran bagi setiap negara-negara di dunia, khususnya kawasan Asia, bahwa didalam mengatasi permasalahan global seperti masalah kehutanan ini, kita dapat mengatasi dan menghadapi secara bersama-sama dan tidak menutup kemungkinan juga bagi negaranegara di kawasan tersebut dapat mencapai kepentingan nasionalnya masing-masing karena memang itulah hakekat suatu kerjasama internasional (partnership).

Forest as an international agenda since 1992 Earth summit. Subsequently, the discussions on forest continue at the global level with the establishments of various United Nations related forum. Along this line, there has been a consensus among the broad stakeholders that regional discussions on sustainable forest management may contribute significantly to the progress in debating the issues concerned at the global level. The Asia Forest Partnership was born during the 2002 World Summit Sustainable Development, ten years after the Earth Summit. Indonesia has been involved in AFP since its preparation stage and early inception stage. This undoubtedly reflects Indonesia?s commitment to work with partners in synergising efforts to attain sustainability of remaining natural forests in Asia.
Asia Forest Partnership (AFP) has now been recognised as a forum for promoting partnership among multiparties to address major issues in dealing with sustainable forest management. Indonesia with its large share of remaining tropical forests in Asia, remains important partner to the forum, and situation over its forests appears as of mutual concerns to all, in particular the co-partners of AFP. There are 3 focus issues had been identified under AFP, namely: Illegal logging, forest fires and forest rehabilitation. Moreover, the three topics mentioned are indeed the national priority issues of the forestry sector in the country. Illegal logging in Indonesia has been the main focus of the AFP, and correspondingly, it is first priority program of the Ministry of Forestry. The reasons for that are obvious: Indonesia has suffered greatly from rampant practice of illegal logging and its associated illicit trade. This paper tries to describe a process, the relation of Asia Forest partnership (AFP) with Indonesia to combating Illegal Logging. To describe this case, there is used pluralism perspective by Paul R. Viotti and Mark Kauppi, and partnership approach by Brinkerhoff."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2007
T19262
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Dari pembitjaraan2 jang telah saja lakukan dalam bagian-bagian sebelum ini agaknja dapatlah saja sertakan disini beberapa kesimpulan jang diantaranja mungkin sadja saja ambil terlalu bersifat umum. Kesimpulan2 tersebut ialah: 1. Persoalan jang paling banjak dikemukan ialah kawin paksa. Sembilan dari empat belas buku jang dibitjarakan dalam tindjauan ini membawakan soal kawin paksa..."
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1963
S11000
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ari Dewayanti Kusumastining
"[ABSTRAK
Wilayah udara yang berada di atas sebuah negara merupakan hak negara tersebut
secara penuh dan eksklusif. Namun, ketentuan itu tidak selalu dapat diikuti. Hal
ini ditunjukkan dengan adanya pengaturan wilayah penerbangan di atas negara ?
negara di dunia, Flight Information Region (FIR), yang tidak selalu mengikuti
garis batas negara. Kondisi tersebut dialami oleh Indonesia. Sebagian wilayah
udara di kawasan Kepulauan Riau dan Natuna didelegasikan kepada Singapura
karena ketidakmampuan Indonesia konon dalam mengelola navigasi penerbangan.
Melalui pendelegasian wilayah udara tersebut, terdapat berbagai kerugian yang
diderita oleh Indonesia. Namun, pemerintah Indonesia tetap meneruskan kerja
sama pengelolaan wilayah udara tersebut walaupun perjanjian pendelegasian,
yang dibuat pada tahun 1995, telah berakhir masa berlakunya, dan kondisi
Indonesia telah memungkinkan untuk mengambil kembali kewenangannya. Hal
inilah yang menjadi anomali dari sikap negara berdaulat. Oleh sebab itu, tesis ini
menggunakan teori politik birokratik (bureaucratic politics theory) dalam
pembedahan isu untuk melihat proses pemutusan kebijakan politik luar negeri di
antara birokrasi ? birokrasi di dalam negeri. Pembedahan tesis dibagi sesuai
dengan variabel dalam teori ini, yaitu aktor/birokrasi yang terlibat, faktor yang
menentukan masing ? masing aktor, dan sikap aktor dalam menyatukan
pertimbangan untuk menghasilkan keputusan dan tindakan pemerintah. Setelah
mendapatkan ketiga variabel penelitian, langkah selanjutnya adalah memetakan
politik birokratik Indonesia terkait isu tersebut. Pada akhirnya, ditemukan adanya
masalah politik birokratik intranasional yang menyebabkan limitasi pilihan bagi
pemerintah dalam proses pemutusan kebijakan politik luar negeri menanggapi isu
pendelegasian wilayah udara nasional kepada Singapura. Masalah ini juga
merefleksikan persaingan antara Indonesia dan Singapura di beberapa aspek.

ABSTRACT
Air territory, located above a country, is exclusively and fully considered a right
owned by the subjacent state. However, this provision does not always succeed to
follow. This is indicated by the Flight Information Region (FIR) which most
unlikely follow the country demarcation line. That condition is experienced by
Indonesia with most of the air territories in Riau Islands and Natuna are delegated
to Singapore due to the country?s inability in managing air navigation. By
delegating the air territory, Indonesia suffers various losses. However, Indonesian
government still continues the air territory management cooperation although the
delegation agreement in 1995 has expired, and the condition of Indonesia has
made it possible to take back the authority. This is considered an anomaly of the
sovereign state?s attitude. Therefore, this thesis applies the bureaucratic politics
theory in dissecting issues to look at the foreign policy decision making process
among bureaucracies in the country. Thesis dissection is divided according to the
variables in this theory, the actor/bureaucracy involved, the factors that determine
each actor, and the attitude of each actor in aggregating to yield governmental
decisions and actions. After obtaining three variables of the study, Indonesian
bureaucratic politic, related to the issue, is mapped. In the end, the identified
problems of intra-national bureaucratic politics cause choices of limitation in the
governmental foreign policy decision making process in response to the issue of
national air territory delegation to Singapore. Furthermore, this issue also reflects
the competition between Indonesia and Singapore in several aspects.;Air territory, located above a country, is exclusively and fully considered a right
owned by the subjacent state. However, this provision does not always succeed to
follow. This is indicated by the Flight Information Region (FIR) which most
unlikely follow the country demarcation line. That condition is experienced by
Indonesia with most of the air territories in Riau Islands and Natuna are delegated
to Singapore due to the country?s inability in managing air navigation. By
delegating the air territory, Indonesia suffers various losses. However, Indonesian
government still continues the air territory management cooperation although the
delegation agreement in 1995 has expired, and the condition of Indonesia has
made it possible to take back the authority. This is considered an anomaly of the
sovereign state?s attitude. Therefore, this thesis applies the bureaucratic politics
theory in dissecting issues to look at the foreign policy decision making process
among bureaucracies in the country. Thesis dissection is divided according to the
variables in this theory, the actor/bureaucracy involved, the factors that determine
each actor, and the attitude of each actor in aggregating to yield governmental
decisions and actions. After obtaining three variables of the study, Indonesian
bureaucratic politic, related to the issue, is mapped. In the end, the identified
problems of intra-national bureaucratic politics cause choices of limitation in the
governmental foreign policy decision making process in response to the issue of
national air territory delegation to Singapore. Furthermore, this issue also reflects
the competition between Indonesia and Singapore in several aspects., Air territory, located above a country, is exclusively and fully considered a right
owned by the subjacent state. However, this provision does not always succeed to
follow. This is indicated by the Flight Information Region (FIR) which most
unlikely follow the country demarcation line. That condition is experienced by
Indonesia with most of the air territories in Riau Islands and Natuna are delegated
to Singapore due to the country’s inability in managing air navigation. By
delegating the air territory, Indonesia suffers various losses. However, Indonesian
government still continues the air territory management cooperation although the
delegation agreement in 1995 has expired, and the condition of Indonesia has
made it possible to take back the authority. This is considered an anomaly of the
sovereign state’s attitude. Therefore, this thesis applies the bureaucratic politics
theory in dissecting issues to look at the foreign policy decision making process
among bureaucracies in the country. Thesis dissection is divided according to the
variables in this theory, the actor/bureaucracy involved, the factors that determine
each actor, and the attitude of each actor in aggregating to yield governmental
decisions and actions. After obtaining three variables of the study, Indonesian
bureaucratic politic, related to the issue, is mapped. In the end, the identified
problems of intra-national bureaucratic politics cause choices of limitation in the
governmental foreign policy decision making process in response to the issue of
national air territory delegation to Singapore. Furthermore, this issue also reflects
the competition between Indonesia and Singapore in several aspects.]"
2015
T44604
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suparjo Sujadi
"This article does endeavor to launch many issues in recent agrarian reform in Indonesia. Many factors become considerations to conduct newly agrarian reforms and momentously. The prior agrarian reforms outstanding in the ideal agrarian and land tenure structure that has reflected many land conflicts needs adequate resolution. That situation coincides to the huge number of deprived people who living in less in public service such as food education, health, living hood that have reflected any social-economic gaps. All of them ideally are the mostly agrarian concern to be accomplished by mainly idea to create ideal land tenure and access to land itself Ultimately, the unfinished on delegation of power between central to local government in post decentralization law since 1999 has been substantial problems."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007
HUPE-37-1-(Jan-Mar)2007-90
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Sidik Sudarsono
Jakarta: Fa.Dara, 1964
297.431 SID m
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Universitas Indonesia, 2005
S26031
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abdurrahman
Bandung: Alumni, 1979
340 ABD a
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>