Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 99065 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Novie Yulianie
"Setiap warga negara mempunyai hak dan kewajiban terhadap negaranya, sebaliknya Negara mempunyai kewajiban memberikan perlindungan hukum terhadap warga negaranya. Dengan semakin pesatnya interaksi antar orang yang melewati batas Negara, semakin besar kemungkinan timbulnya permasalahanpermasalahan hukum yang menyangkut hukum perkawinan terutama perkawinan campuran beda kewarganegaraan yang berlaku di Indonesia kurang memuaskan bagi kaum perempuan. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan kurang mencerminkan hak-hak perempuan. Bagaimanakah upaya yang dilakukan untuk melindungi istri warga Negara Indonesia yang melangsungkan perkawinan campuran beda kewarganegaraan? Bagaimanakah status kewarganegaraan istri warga Negara Indonesia yang melangsungkan perkawinan campuran ditinjau dari Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 Tentang Kewarganegaraan dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia?.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode Yuridis Normatif dan spesifikasi penelitian yang digunakan adalah Deskriptif Analitis. Sebagai kesimpulan dapat dikatakan bahwa dalam mewujudkan perlindungan hukum bagi istri warga Negara Indonesia yang melangsungkan perkawinan campuran beda kewarganegaraan adalah dengan adanya kewajiban bagi laki-laki warga Negara asing yang ingin melangsungkan perkawinan dengan perempuan warga Negara Indonesia harus mendepositokan uang sebesar Rp 500.000.000.,(Lima Ratus Juta Rupiah) di Bank Syariah di Indonesia sebagai jaminan untuk kelangsungan hidup bagi istri warga Negara Indonesia beserta anak atau keturunannya. Kewarganegaraan seseorang menurut Undang-Undang Nomor 62 tahun 1958 menganut asas ius sanguinis (menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan keturunan). Sedangkan kewarganegaraan seseorang menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 menganut asas ius soli (menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan tempat kelahiran).
Penulis menyarankan agar pemerintah harus lebih serius dalam menangani pengaturan mengenai pelaksanaan perkawinan campuran yang lebih menegakkan hukum yang berpihak terhadap perempuan.

Every citizen has the right and duty to his country, opposite the State has an obligation to give legal protection to its citizens. With the rapid interaction of people who cross the line between the States, the greater the likelihood of legal problems concerning mixed marriages, especially marriage laws that apply different citizenship in Indonesia is less satisfactory for women. Law No. 1 of 1974 on Marriage reflects the lack of women's rights. How the efforts made to protect the wife of Indonesian citizens who hold different nationalities mixed marriages? How is the citizenship status of Indonesian citizen's wife that establishes mixed marriages in terms of Act No. 62 of 1958 On Citizenship and Law Number 12 Year 2006 on Citizenship of the Republic of Indonesia?.
The research method used is the method of Normative Legal research and specification used is Analytical Descriptive. In conclusion it can be said that in the realization of legal protection for the wife of Indonesian citizens who hold citizenship is different from mixed marriages with the obligation for male foreign nationals who wish to establish a marriage with a woman citizen of Indonesia must deposit money amounting to Rp 500,000,000., (Five Hundred Million Rupiah) in Islamic Banking in Indonesia as a guarantee for the survival of the wife of Indonesian citizens and their children or descendants. Citizenship of a person according to Law No. 62 of 1958 adopted the principle of ius sanguinis (citizenship determines a person based on descent). While the citizenship of a person according to Law Number 12 Year 2006 adopted the principle of ius soli (citizenship determines a person based on place of birth).
The author suggested that the government should be more serious in handling the arrangements regarding the implementation of mixed marriages are more in favor of enforcing the law against women.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
T30108
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Stefy Kamila Failasufa
"Penelitian ini menganalisis tentang bagaimana penanganan sengketa international child abduction yang terjadi setelah adanya perceraian dari sepasang suami istri yang telah melangsungkan perkawinan campuran beda kewarganegaraan. Perbedaan hukum yang berlaku antara suami dan istri, mempengaruhi status personal anak tersebut dalam berhadapan dengan hukum. International child abduction diatur dalam the Hague Convention on the Civil Aspects of International Child Abduction 1980. Indonesia belum menandatangani konvensi tersebut sehingga penanganannya mengacu pada undang-undang nasional seperti Undang-Undang Perlindungan Anak, Undang-Undang Perkawinan, Undang-Undang Kewarganegaraan RI, dan Undang-Undang Kesejahteraan Anak. Penanganan kasus ini di Indonesia melibatkan instansi seperti KPAI, Kementerian Luar Negeri, dan Kedutaan Besar. Selain melibatkan instansi, pada umumnya proses pengembalian anak dalam penanganan international child abduction dapat mengikuti perjanjian bilateral antara kedua negara, tetapi Indonesia belum memiliki perjanjian bilateral terkait international child abduction dengan negara-negara seperti Amerika Serikat, Singapura, Belanda, dan Prancis. Salah satu yang menjadi permasalahan besar dalam menangani international child abduction di Indonesia adalah Indonesia belum menjadi negara anggota the Hague Convention on the Civil Aspects of International Child Abduction dan belum meratifikasi konvensi tersebut. Penyelesaian international child abduction di pengadilan bisa menghasilkan putusan pengembalian anak atau penetapan hak asuh anak berdasarkan prinsip the best interest of the child dan prinsip habitual residence. Namun, sebagai negara yang belum meratifikasi konvensi, Indonesia masih menghadapi kesulitan dalam menangani kasus international child abduction secara efektif. Indonesia tentu membutuhkan regulasi berupa undang-undang yang jelas untuk menangani kasus international child abduction, yang mencakup Central Authority yang sesuai dengan konvensi untuk menjadi perantara antar negara, serta prosedur pengembalian anak tersebut ke negara asal atau negara habitual residence-nya.

This research analyses how to handle disputes of international child abduction that occur after the divorce of a couple who have conducted an intermarriage with different nationalities. The differences in the applicable laws between the husband and wife affect the personal status of the child when dealing with the law. International child abduction is regulated by the Hague Convention on the Civil Aspects of International Child Abduction 1980. Indonesia has not signed this convention, so the handling in Indonesia refers to national laws such as the Child Protection Act, the Marriage Act, the Indonesian Citizenship Act, and the Child Welfare Act. The handling of this case in Indonesia involves institutions such as KPAI, the Ministry of Foreign Affairs, and the Embassy. Besides involving institutions, generally, the process of returning the child in the handling of international child abduction can follow bilateral agreements between the two countries, but Indonesia does not yet have bilateral agreements related to international child abduction with countries such as the United States, Singapore, the Netherlands, and France. One of the major issues in handling international child abduction in Indonesia is that Indonesia has not become a member state of the Hague Convention on the Civil Aspects of International Child Abduction and has not ratified the convention. The resolution of international child abduction in court can result in a decision to return the child or the determination of child custody based on the principle of the best interest of the child and the principle of habitual residence. However, as a country that has not ratified the convention, Indonesia still faces difficulties in handling cases of international child abduction effectively. Indonesia certainly needs clear regulations in the form of laws to handle cases of international child abduction, which include a Central Authority in accordance with the convention to act as an intermediary between countries, as well as procedures for returning the child to the country of origin or their habitual residence country."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tienni
"Dalam perkembangannya, perkawinan beda agama banyak terjadi dan kita jumpai di dalam kehidupan bermasyarakat. Di dalam Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan tidak ada mengatur secara lengkap dan jelas mengenai perkawinan beda agama hanya tersirat pada ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 8 huruf f Undang Undang Nomor 1 tahun 1974 yang merupakan pengaturan mengenai larangan perkawinan beda agama. Yang akan dibahas oleh penulis dalam tesis ini adalah bagaimana perceraian dan keabsahan perkawinan beda agama yang dicatatkan di dua tempat yaitu di Kantor Urusan Agama dan Kantor Catatan Sipil.
Penelitian ini dilakukan dengan mengunakan metode penelitian kepustakaan bersifat yuridis normatif dengan tinjauan terhadap hukum perkawinan Indonesia. Data yang digunakan adalah data sekunder dan analisa dilakukan secara kualitatif dengan menganalisa isi peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan perkawinan beda agama yang dicatatkan di dua lembaga perkawinan guna mengetahui apakah ada kesesuaian yang terdapat antara peraturan perundang-undangan dengan kenyataannya.
Dari hasil penelitian diketahui bahwa untuk sahnya suatu perkawinan maka harus dilakukan sesuai dengan hukum masing-masing agama dan kepercayaannya dengan perkataan lain kalau perkawinan tidak dilakukan menurut ketentuan agama dan kepercayaannya masing-masing maka perkawinan itu menjadi tidak sah dan perkawinan tersebut dapat di batalkan, untuk keabsahan perkawinan beda agama yang dilakukan dua kali dengan dua kali pencatatan pada dua lembaga perkawinan maka yang sah adalah perkawinan yang terakhir, bila terjadi perceraian maka yang menjadi dasar untuk pengajuan gugatan cerai adalah akta perkawinan yang terakhir sebagai bukti perkawinannya yang sah menurut hukum dan agama.
Pada akhir penulisan diperoleh kesimpulan bahwa hendaknya dilakukan penyempurnaan sistem administrasi yang ada pada lembaga pencatatan perkawinan, sehingga terjadi konektivitas data antara Kantor Urusan Agama dan Kantor Catatan Sipil atau dengan kata lain, data yang ada atau telah lebih dahulu dicatatkan pada Kantor Urusan Agama secara otomatis akan bisa terdeteksi dan terbaca oleh Kantor Catatan Sipil dan tidak akan dicatatkan kembali.Sehingga tidak akan terjadi dua kali pencatatan perkawinan."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006
T16539
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dyah Anggraeni Assyriati
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006
T37603
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lita Arijati
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1999
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Hanum Megasari
"Perceraian pada perkawinan campuran pastinya membawa konsekwensi terhadap status hukum dan pemeliharaan anak yang dihasilkan dari perkawinan campuran tersebut. Indonesia telah melahirkan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia menggantikan Undang-undang Nomor 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Dalam putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 480/Pdt.G/2004/PN.Jak.Sel telah memutuskan mengenai status hukum dan pemeliharaan anak akibat perceraian orang tuanya yang melakukan perkawinan campuran antara Indonesia dengan Inggris. Terhadap putusan tersebut penulis mencoba menganalisis terhadap putusan Pengadilan tersebut mengenai pemeliharaan anak dan status hukum anak bila ditinjau dari UU 12/2006.
Metode penelitian yang dipergunakan adalah metode penelitian hukum normatif dan empiris. Sedangkan pendekatan penelitian yang dilakukan adalah penelitian kepustakaan dan wawancara. Status hukum anak ditinjau dari Undang-undang 12/2006 lebih menguntungkan dibandingkan dengan UU 62/1958. Hal ini bisa terlihat bahwa dalam Undang-Undang Kewarganegaraan baru, anak dapat memiliki kewarganegaraan ganda terbatas dari kedua orang tuanya. Disebut terbatas karena nanti setelah anak-anak berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin anak tersebut harus menyatakan memilih salah satu kewarganegaraannya. Sedangkan bila ditinjau dari UU 62/1958, status hukum anak itu mengikuti kewarganegaraan ayahnya saja. Dalam hal pemeliharaan anak maka berdasarkan yurisprudensiyurisprudensi, hukum tempat kediaman sehari-hari si anak (habitual residence) yang berlaku, namun apabila terjadi sengketa, maka "the best interest of the child" merupakan pertimbangan utama bagi hakim dalam memutuskan sengketa. Dengan diundangkannya UU 12/2006 maka anak dapat bebas dan tidak takut dideportasi. Terhadap pemeliharaan anak maka tepatlah bahwa habitual residence merupakan solusi yang baik.

Divorce in the intermarriage of course bring the consequences of the legal status and maintenance children produced from a mixture of the marriage. Indonesia has born the Law No. 12 Year 2006 on Citizenship of the Republic of Indonesia replace Law No. 62 Year 1958 on Citizenship of the Republic of Indonesia. The court decision in the South Jakarta State Tax 480/Pdt.G/2004/PN.Jak.Sel have decided on the status of law and maintenance children divorce their parents do that intermarriage between Indonesia and Britain. Decision against, the author tries to analyze the court decision regarding the maintenance of children and the legal status of children when the review of Law No. 12/2006.
Research method used is the normative and empiris legal research methods. While the approach to research that is conducted research literature and interview. Review the legal status of children from the Law No. 12/2006 more profitable than the Law No. 62/1958. This can be seen that in the Citizenship Act new, children can have a limited dual citizenship from both parents. Called limited because later after children aged 18 (eighteen) years old or have married the child must choose one of the stated nationality. Meanwhile, when the review of Law No. 62/1958, the legal status of children is to follow his father's citizenship course. In the case of the child based on the jurisprudence-jurisprudence, legal residence the day-to-day child (habitual residence) is fine, but when disputes occur, then "the best interest of the child" is a major consideration for judges in deciding disputes. With born Law No. 12/2006 the children can be free and not worry about deported. About a maintenance children is indeed appropriate that the habitual residence is a good solution.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
T25252
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Lumbanraja, Indira Sarah
"Perjanjian perkawinan dalam perkawinan campuran adalah fenomena yang marak terjadi di masyarakat dunia. Dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif, tulisan ini menjelaskan peranan HPI dalam pengaturan dan keberlakuan perjanjian perkawinan dalam perkawinan campuran oleh karena adanya interaksi antara dua atau lebih stelsel hukum. Berdasarkan pembahasan perjanjian-perjanjian perkawinan tersebut, dapat disimpulkan bahwa masing-masing negara memiliki pengaturan perjanjian perkawinan dalam perkawinan campuran yang berbeda dan para pihak diharapkan memperhatikan hal tersebut sebelum menyusun perjanjian.

Prenuptial agreement in mixed marriage is a worldwide phenomenon. With the research methodology of normative law, this writing explains the role of Private International Law/PIL in regulation and enforcement of prenuptial agreement because of the interaction between two or more laws. Based on the discussion of the prenuptial agreements, it can be concluded that each country has different regulation on prenuptial agreement in mixed marriage and it is best for the parties to pay attention on this matter before getting into agreement.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S56034
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Michael Chen
"Perkawinan campuran antara WNI dan WNA bukan merupakan suatu hal baru yang terjadi di Indonesia. Pada tahun 2015, terdapat 1.200 perkawinan campuran yang diyakini dapat meningkat seiring waktu dengan kemudahan komunikasi serta mobilitas sosial. Perkawinan campuran pada dasarnya tunduk pada dua atau lebih hukum karena adanya perbedaan kewarganegaraan diantara pasangan. Keberlakuan hukum ini tidak hanya meliputi perkawinan tetapi juga harta benda perkawinan. Bila suatu perkawinan dinyatakan putus karena perceraian maka timbul persoalan berapa besaran harta yang diperoleh masing-masing pihak dan atas dasar apa pembagian tersebut dilangsungkan. Keberlakuan dari dua atau lebih hukum membuat Majelis Hakim di Indonesia memiliki kebijaksanaan tersendiri guna memilah dan menentukan besaran harta yang diperoleh oleh setiap pihak. Tujuan dari penulisan ini adalah untuk menentukan bagaimana Majelis Hakim di Indonesia menentukan hukum yang berlaku terhadap pembagian harta benda perkawinan dari perceraian perkawinan campuran. Penulisan ini membandingkan keberlakuan hukum Indonesia maupun negara lain dalam pengaturan terhadap perkawinan hingga pembagian harta benda perkawinan itu sendiri. Lebih lanjut, penulisan ini juga bermaksud untuk menganalisa penerapan dari kaidah-kaidah Hukum Perdata Internasional pada tiga studi kasus pembagian harta benda perkawinan dalam perceraian perkawinan campuran di Indonesia. Penulisan ini dikemas menggunakan penelitian yang bermetode yuridis normatif terhadap beberapa peraturan perundang-undangan baik di Indonesia maupun negara lain.

Mixed marriage between Indonesian citizens and foreigners is not a new thing that has happened in Indonesia. In 2015, there were 1,200 mixed marriages which are believed to increase over time with ease of communication and social mobility. Mixed marriages are subject to two or more laws due to differences in nationality between the partners. The enactment of this law does not only cover marriage but also marital property. If a marriage is declared to have been broken up due to divorce, the question arises of how much property each party has acquired and on what basis the division takes place. The enforceability of two or more laws makes the Panel of Judges in Indonesia have its own discretion to sort and determine the amount of assets acquired by each party. The purpose of this paper is to determine how the Panel of Judges in Indonesia determines the law that applies to the distribution of marital assets from mixed marriage divorces. This writing compares the application of Indonesian law and other countries in regulating marriage to the division of the marital property itself. Furthermore, this paper also intends to analyze the application of the principles of Private International Law in three case studies of the division of marital property in the divorce of mixed marriages in Indonesia. This writing is packaged using normative juridical research on several laws and regulations both in Indonesia and other countries."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yoo, Ji Seon
"Karena globalisasi, pernikahan internasional telah meningkat terutama di Korea dan di Indonesia karena saat ini banyak perusahaan Korea cenderung untuk memperluas bisnis mereka di Indonesia. Tentu, tingkat antar-pernikahan antara Korea dan Indonesia juga meningkat. Selain itu, mereka cenderung berpikir mudah melakukan pernikahan antar Korea dan Indonesia. Faktanya lebih banyak mendatangkan masalah dibandingkan dengan perkawinan dengan ras yang sama karena keduanya memiliki latarbelakang yang berbeda. Masalahnya masing-masing keduanya memiliki latar belakang yang berbeda dalam hal perbedaan budaya dan perbedaan bahasa yang dapat menyebabkan beberapa konflik pasangan perkawinan internasional. Dengan demikian, tujuan dari makalah ini adalah untuk membahas perkawinan silang antara Korea dan Indonesia, bersama dengan identifikasi kesulitan beradaptasi yang dihadapi pasangan sebagai akibat dari perbedaan budaya dan perbedaan bahasa.

Due to the globalization, international marriage has increased especially in Korea and in Indonesia because currently lots of Korean companies tend to expand their business in Indonesia. Naturally, the rate of inter-marriage between Korean and Indonesian has also increased. Moreover, they tend to think it is easy to have inter-marriage between Korean and Indonesia. In fact, there are more problems in this kind of marriage compared with same racial marriage because both are having each different background. The problem both are having each different background especially, in term of difference culture and difference language can cause some conflicts in inter-marriage couple. Thus, the aim of this paper is to discuss inter-marriages between Koreans and Indonesians, along with the identification of the difficulties of adapting couples face as a result of cultural differences and language differences.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2013
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Ratih Baiduri
"Studi ini merupakan penelitian mengenai identifikasi etnik anak-anak dari keluarga perkawinan antaretnik Minangkabau dan Mandailing di Kotamadya Medan. Penelitian bertujuan mengkaji faktor-faktor yang membentuk identifikasi etnik anak-anak, proses pembentukannya, dan aktor-aktor yang berperan panting dalam pembentukan identifikasi etnik anak-anak yang dilahirkan dan dibesarkan dalam keluarga perkawinan antaretnik.
Penelitian ini menggunakan pendekatan sosio-antropologis yang sebelumnya telah digunakan oleh Eldering (1998) dengan perspektif ekologi kultural (cultural ecological) dengan menggunakan model ekologi kultural (cultural ecological model) yang didasarkan pada model ekologi (ecological model) Bronfenbrenners untuk melihat aspek-aspek sosial dari lingkungan sehari-hari anak- anak. Selain itu untuk mengetahui dimensi kulturalnya digunakan kerangka Antropologi Psikologi yang dikembangkan oleh Harkness dan Super yaitu mengenai "Relung Perkembangan" (developmental niche) anak.
Penelitian ini merupakan studi kasus dengan menggunakan metode kualitatif dengan fokus unit analisnya anggota-anggota keluarga hasil perkawinan antaretnik Minangkabau dan Mandailing sebanyak lima puluh keluarga di Kotamadya Medan.
Studi ini menunjukkan bahwa identifikasi etnik anak-anak yang berasal dari perkawinan antaretnik (Minangkabau dan Mandailing) dalam wilayah perkotaan yang multietnik (Kotamadya Medan) akan bervariasi tergantung sosialisasi kultural yang mereka peroleh dari lingkungannya. Identitas etnik anak-anak ini masih mengambil salah satu atau kedua identitas etnik orang tua, namun identitas tersebut tidak kembali seperti semula melainkan merupakan "identitas baru". Identitas baru yang dimaksud merupakan suatu konstruksi kultural yang bersifat longgar, situasional, kondisional, tidak terikat dengan territorial dan selalu dalam proses pembentukan. Identitas etnik yang akan diacu diantara identitas yang beragam yang mereka peroleh dari sosialisasi dalam lingkungan yang multietnik adalah identitas yang paling menguntungkan sebagai suatu strategi adaptasi terhadap lingkungannya. Studi ini menemukan bahwa perkawinan antaretnik yang terjadi di Indonesia khususnya perkawinan antaretnik Minangakabau dan Mandailing di Kotamadya Medan tidak sampai menghasilkan identitas kelompok (etnik) baru yang terstruktur dalam stratifikasi sosial."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2000
T979
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>