Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 133021 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Agus Rosantika
"Perubahan penggunaan tanah khususnya tanah pertanian menjadi non pertanian di Kabupaten Bekasi dari tahun 2003-2011 telah mencapai 7.575 Ha. Selain berada dalam pemanfaatan ruang pertanian, penggunaan tanah pertanian juga berada pada pemanfaatan ruang industri, pariwisata, permukiman dan kawasan lindung. Penelitian ini bertujuan untuk menilai efektivitas tanah pertanian yang berada di luar pemanfaatan ruang pertanian dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Penilaian efektivitas tanah pertanian dilakukan dengan metode pengkelasan dan skoring. Variabel yang dipilih sesuai dengan tujuan penelitian ini meliputi kesesuaian tanah pertanian, parameter fisik, biologis, sosial kependudukan dan alokasi pemanfaatan ruang pertanian dalam RTRW.
Hasil penilaian efektivitas tanah pertanian yang dipertahankan adalah seluas 19.311 Ha yang terbagi dalam tiga kelas yaitu (1) efektivitas tinggi (S1) dengan luas sebesar 65% dari total luas tanah pertanian efektif dengan kecamatan terluas adalah Babelan, (2) efektivitas sedang (S2) dengan luas sebesar 20% dari total luas tanah pertanian efektif dengan kecamatan terluas adalah Cikarang Timur dan (3) efektivitas rendah (S3) dengan luas sebesar 15% dari total luas tanah pertanian efektif dengan kecamatan yang terluas adalah Tambun Utara. Dalam keterkaitannya dengan penyusunan tata ruang daerah Kabupaten Bekasi maka efektivitas tinggi tanah pertanian untuk dipertahankan (S1) pada pemanfaatan ruang industri berada di Kecamatan Tarumajaya, sedang pada pemanfaatan ruang pariwisata adalah Kecamatan Muaragembong, pada pemanfaatan ruang permukiman juga berada di Kecamatan Muaragembong dan pada pemanfaatan ruang kawasan lindung adalah di Kecamatan Cikarang Pusat.

The transition in land use, especially the transition from agricultural to nonagricultural land in Bekasi Regency from 2003 to 2011 had reached 7,575 hectares. Agricultural land use exists not only in agricultural area utilization, but also in the utilization of industrial, tourism, residential and protected areas. This research aims to assess the effectiveness of agricultural lands located outside the agricultural area utilization in the Regional Spatial Plan (Rencana Tata Ruang Wilayah-RTRW). The assessment of the effectiveness of agricultural lands is carried out by classification and scoring methods. Variables selected according to the purpose of this study include the suitability of agricultural land, physical, biological, social, demographic parameters and the allocation of agricultural area utilization in the Regional Spatial Plan.
The assessment results of the effectiveness of agricultural lands maintained is an area of 19,311 hectares which is divided into three classes: (1) high effectiveness (S1) which is 65% of the total area of effective agricultural lands with Babelan as the largest district; (2) medium effectiveness (S2), 20% of the total area of effective agricultural lands with Cikarang Timur as the largest district; and (3) low effectiveness (S3), 15% of total area of effective agricultural lands with Tambun Utara as the largest district. In association with Bekasi Regency`s spatial planning, the high effectiveness of agricultural land maintained (S1) in industrial area utilization is located in Tarumajaya District; in tourism area utilization it is located in Muaragembong District; in residential area utilization it is also located in Muaragembong District; and in protected area utilization it is located in Cikarang Pusat District.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2012
T30055
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Aulia Azhar Abdurachman
"Seiring dengan berjalannya waktu dan berkembangnya teknologi industri, Kabupaten Karawang yang dulunya adalah sebagai daerah pertanian yang merupakan penghasil beras terbesar di pulau jawa, sebagian besar lahannya digunakan untuk bercocok tanam padi perlahan-lahan berubah menjadi daerah terbangun. Peneletian ini bertujuan untuk mengetahui diimana dan penyebab Perubahan Penggunaan lahan Pertanian menjadi daerah terbangun pada tahun 1984 dan 2008 serta pengaruh terhadap swasembada beras di Kabupaten Karawang dengan menggunakan Metode analisis deskriptif, super imposed peta, dan uji data statistik Multiple Regressi sehingga terlihat bahwa Perubahan Penggunaan lahan pertanian menjadi daerah terbangun yang tinggi pada Kabupaten Karawang secara umum terjadi pada Kecamatan yang mengalami pertambahan kepadatan penduduk yang tinggi, penurunan rata-rata pendapatan petani dan prosentase lahan terbangun yang direncanakan oleh RTRW yang tinggi. Perubahan lahan pertanian menjadi daerah terbangun memberikan dampak pada Kabupaten Karawang dalam memenuhi Swasembada beras kedua di Kabupaten Karawang. Secara Umum Kabupaten Karawang masih dapat melakukan Swasembada beras, namun terjadi penurunan surplus beras di setiap Kecamatan di Kabupaten Karawang."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2010
S27849
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Wahyuni
"Menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang (UUPR) dalam Pasal 7 ayat (1) UUPR disebutkan bahwa penataan ruang berdasarkan fungsi utama kawasan meliputi kawasan lindung dan kawasan budi daya. Dalam hal ini, sempadan sungai termasuk dalam kawasan lindung. Namun dengan banyaknya permukiman disepanjang tepi sungai kota Jakarta, akibat yang ditimbulkan menurunnya kualitas lingkungan pada kawasan daerah aliran sungai serta tepi sungai. Penulisan ini membahas tentang hukum perencanaan tata kota yang berkaitan dengan penataan permukiman di daerah bantaran kali Jakarta Utara, antara lain apakah terdapat harmonisasi dan sinkronisasi hukum dari berbagai regulasi yang berkaitan dengan perencanaan tata kota dalam hal rencana penataan permukiman di daerah bantaran kali kemudian masalahmasalah apa sajakah mengenai hukum dan non hukum yang timbul dalam penataan permukiman di wilayah bantaran kali Jakarta Utara dan bagaimana upaya menyelesaikannya. Berkaitan dengan perencanaan tata kota dalam hal rencana penataan permukiman di daerah bantaran kali Jakarta utara belum dapat dikatakan terdapat keharmonisan dan sinkronisasi hukum. Dalam pelaksanaan penataan ruang berkaitan dengan permukiman di daerah bantaran kali Jakarta Utara mengalami masalah yang cukup pelik karena begitu banyak faktor-faktor yang saling berkaitan tumpang tindih didalamnya. Masalah hukum dan non hukum, mengenai masalah hukum berkaitan dengan lemahnya penegakan hukum, kurangnya profesionalitas aparat penegak hukum, dan kurangnya kesadaran hukum dan budaya hukum masyarakat. Kemudian mengenai masalah non hukum berkaitan dengan masalah kependudukan, permukiman kumuh, pencemaran sungai, banjir. Permukiman sebagai wadah kehidupan manusia bukan hanya menyangkut aspek fisik dan teknis saja tetapi juga aspek-aspek sosial, hukum, ekonormi dan budaya. Upaya yang dilakukan dalam menangani masalah dalam penataan ruang berkatan dengan permukiman di daerah bantaran kali Jakarta Utara, tidaklah mudah sebab antara masalah yang satu dengan yang lainnya saling memiliki keterkaitan. Di butuhkan peran serta yang dilakukan tidak hanya oleh pemerintah tapi juga melibatkan masyarakat dan pihak swasta untuk mengatasi berbagai masalah tersebut.

According to the law of 24 the year 1992 about space ordering (Penataan Ruang/ UUPR) in paragraph 7 article (1) UUPR, it is mentioned that the main function of space ordering covering patronage region and cultivation. However, because o lot of residences along river side of Jakarta, the environment quality of that region is descending. This paper is about the planning law of city order that related to residences order at flood plain of river in port Jakarta, i.e. is there an harmonizing and synchronizing of law from any regulation that related to the planning law of city order in program of residence order at flood plain of river and then what kind of matters of law and non law that appear in ordering residences at flood plain of river in north Jakarta and what are the solutions. In the case of residence order at flood plain of river in north Jakarta, there is no a harmonized and synchronized of law. There are too many complex factors in giving implementation of residence order at flood plain of river in north Jakarta. In matter of law, less professionalism of the apparatus of law, and less consciousness and culture of law of citizen, become a reason of those factors. In the matter of non law it related to demography, vile residences, soiled river and flood. Residences as place of human living is not just about physically and technically aspect but also is about the aspect of social, law, economy and culture. It is not easy to take in hand the matter of space order that in line with residence at flood plain of river in north Jakarta one problem and another is link to each other. It needs contribution not only from the government but also from community it self and private to give solutions towards those kinds of problems."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007
T19523
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Suhendro Priadi
"Indeks Aktifitas Parkir adalah suatu besararn Baru yang menunjukkan tingkat kesibukan parkir pada suatu arael parkir. Tujuan mengukur Indeks ini adalah untuk mengetahui tingkat kesibukan areal parlor tersebut. Suatu jenis kegiatan bisnis tertentu disuatu areal yang menimbulkan adanya kebutuhan parlor dengan kesibukannya dapat diukur dengan indeks baru ini.
Studi ini dilakukan disuatu areal parkir dengan Tata Guna Lahan tertentu yaitu suatu areal pertokoan di ]l. Panglima Polim yang ben uafan bahan-bahan bangunan yang tidak menyediakan lahan khusus untuk parkir. Parkir kendaraan dilakukan di kerb jalan yang berubah fungsi menjadi areal parkir.
Data yang dikumpulkan di lapangan adalah : akumulasi kendaraan parkir, turnover, lamanya parkin, jumlah pergerakan parkir dan pengaruh dari semua aktifitas tersebut terhadap kendaraan yang lewat di jalan raya itu yang diidentifikasi dengan kecepatan kendaraan yang lewat melalui pengukuran waktu tempuh sepanjang areal parkir.
Hasil analisa menunjukkan korelasi yang didapat antara sejumlah pergerakan parkir dengan kendaraan yang lewat di jalan. Juga dari data yang dikumpulkan dapat diukur suatu angka Indeks Aktifitas Parkir, IAP = 12,6 yang menunjukan kesibukan perparkiran arael tersebut."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2001
S35638
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Definat Ghifari
"Bekasi adalah salah satu kota yang berbatasan langsung dengan Ibu kota Jakarta. Pertumbuhan kota yang begitu cepat seiring pula dengan berkembangnya bangsa Indonesia menuju bangsa yang main. Berbagai sarana dan prasarana tumbuh untuk memberikan manfaat bagi masyarakat Bekasi khususnya. Seperti misalnya, tempat ibadah, gedung sekolah, pondok pesantren, gedung perkantoran, pemukiman, jalan raya, dan lah sebagainya.
Sebagaimana telah kita ketahui struktur bangunan yang akan berdiri di atas suatu struktur tanah, akan memberikan beban kepada tanah. Diperlukan suatu penelitian tanah untuk mengetahui sifat-sifat teknik dan fisik engineering properties (engineering properties and physical properlies) tanah. Sehingga dari hasil analisa dapat ditentukan metode yang tepat dan jenis struktur pondasi yang cocok untuk dibangun diatasnya. Apabila kondisi tanah kurang baik perlu dilakukan usaha untuk memperbaikinya. Salah satu usaha untuk perbaikan tanah yang akan dibahas pada skripsi ini yaitu Prapembebanan (preIoading).
Prapembebanan merupakan salah satu perbaikan tanah, yaitu dengan pemberian prapembebanan sebelum tanah itu dibebani dengan beban struktur, dimana nantinya beban struktur tidak melebihi besarnya beban awal. Penelitian ini akan melihat pengaruh pemberian prapembebanan pada tanah lunak Bekasi terhadap parameter-parameter kekuatan geser tanah yang dalam hal ini adalah harga c dan 45 (kohesi dan sudut tahanan geser) dengan uji Triaksial Terkonsolidasi Terbatas Takterdrainasi (CU).
Proses preloading ini terkait dengan proses konsolidasi dengan periodik cepat. Tanah (dalam kondisi saturated) yang telah mengalami proses konsolidasi lalu (Shrinage Limit), analisa ukuran butir, test konsolidasi, test triaksial kondisi konsolidasi terbatas tak terdrainasi. Dengan mengatahui sifat teknik dan fisik tanah, seperti penyebaran ukuran butiran, kekuatan geser dan lain sebagainya, prinsip mekanika tanah dapat diaplikasikan dalam masalah perencanaan daya dukung pondasi."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2005
S35836
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sutji Suharyanti
"Tanah, sebagai ruang sangat diperlukan manusia untuk meletakkan kegiatannya di atas muka bumi ini. Jumlah penduduk semakin meningkat maka kebutuhan akan tanahpun bertambah. Sedangkan jumlah tanah tetap, akibatnya tanah yang semula digunakan oleh satu keluarga sebagai alat produksi dengan adanya permintaan kebutuhan tanah melalui kegiatan pembangunan terjadi alih fungsi dari tanah tersebut.
Jenis penggunaan tanah pertanian yaitu sawah, mengalami perubahan menjadi jenis penggunaan tanah non pertanian yaitu perubahan atau industri.
Perubahan penggunaan tanah sendiri dipengaruhi oleh beberapa faktor yang pada dasarnya untuk memenuhi kebutuhan penduduk dan juga sebagai upaya peningkatan mutu kehidupan yang lebih baik.
Tambun, merupakan kecamatan yang dekat dengan Jakarta sehingga perkembangan Jakarta termasuk peningkatan jumlah penduduk ikut mempengaruhi terjadinya perubahan penggunaan tanah. Berdasarkan pengamatan dari 3 peta penggunaan tanah untuk beberapa periode sejak tahun 1900 sampai dengan tahun 1991. Pada tahun 1900 jumlah sawah 4.873 Ha dan di tahun 1991 berkurang 23,37% menjadi 3.734 Ha. Sedangkan penggunaan tanah untuk perubahan dan industri yang pada tahun 1900 belum tampak pada awal tahun 1991 ditemukan masing-masing 227 Ha dan 147 Ha.
Berdasarkan perubahan penggunaan tanah di atas timbul pertanyaan penelitian yaitu apakah perubahan penggunaan tanah tersebut mempengaruhi kualitas hidup. Dengan demikian tesis ini merupakan hasil penelitian tentang dampak perubahan penggunaan tanah terhadap beberapa faktor yang menentukan kualitas hidup. Kualitas hidup dalam penelitian ini adalah keadaan sosial dan keadaan ekonomi.
Keadaan sosial ditunjukkan dengan indikator dari upaya tiap keluarga untuk memenuhi kebutuhan akan air bersih bagi keperluan minum, mandi, cuci, dan penyediaan jamban keluarga (Samijaga) serta kondisi kesehatan keluarga yang dilihat dari penyakit yang diderita. Keadaan ekonomi ditunjukkan dari indikator pendapatan dan pengeluaran kepada keluarga yang mengalami perubahan penggunaan tanah.
Kemudian bertitik tolak kepada pemikiran bahwa perubahan penggunaan tanah mempunyai peran dalam kehidupan maka sehubungan dengan pertanyaan penelitian disusun hipotisis sebagai berikut :
1. Terdapat peningkatan kualitas hidup keluarga antara sebelum dan sesudah perubahan penggunaan tanah pertanian menjadi non pertanian.
2. Makin luas sawah yang dialihkan makin baik peningkatan kualitas hidup.
3. Faktor cara penggunaan uang hasil penjualan sawah berpengaruh baik terhadap kualitas hidup.
Pengambilan data penelitian dilakukan di tujuh desa di Kecamatan Tambun yaitu Jatimulya, Lambangsari, Mangunjaya, Mekarsari Setiadarma, Setiamekar, dan Tambun. Desa tersebut mengalami perubahan penggunaan tanah yaitu semula sawah kemudian beralih fungsi menjadi perumahan atau industri. Untuk itu telah dilakukan teknik wawancara terhadap sampel sebanyak 160 orang yang diambil secara acak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa :
Secara keseluruhan terjadi peningkatan kualitas hidup keluarga sesudah terjadinya perubahan sawah menjadi perumahan dan industri.
Sedangkan bila ditinjau dari masing-masing unsur yaitu jenis sawah, luas sawah yang dialihkan dan pola penggunaan uang hasil penjualan sawah. Peningkatan kualitas hidup lebih banyak dipengaruhi oleh luas sawah yang dialihkan dan pola penggunaan uang hasil penjualan. Sedangkan jenis sawah yang dialihkan mempunyai pengaruh yang tidak begitu berarti terhadap peningkatan tersebut.
Tujuan penelitian untuk mengetahui akibat dari perubahan penggunaan tanah pertanian yaitu sawah menjadi non pertanian seperti perumahan atau industri terhadap beberapa faktor yang mempengaruhi kualitas hidup.
Penduduk di daerah penelitian dengan keikhlasan menjual sawah kepada pihak lain karena berbagai macam alasan yaitu pertama, kondisi tanah untuk sarana produksi kurang menghasilkan karena berbagai faktor antara lain sarana air tidak memadai; kedua di daerah penelitian termasuk wilayah yang dikembangkan oleh PEMDA Bekasi untuk perumahan dan industri; ketiga ternyata sawah sudah dikelilingi oleh bangunan sehingga secara teknis sulit dipertahankan. Berdasarkan alasan tersebut nnemberi peluang untuk sawah itu dijual dan kemudian dirubah penggunaannya.
Pada umumnya bekas pemilik sawah menggunakan,uang ganti rugi untuk membeli sawah di desa lain..Keadaan ini menunjukkan meskipun sudah ada wadah kehidupan lain di bidang usaha dagang atau sewa kamar ataupun
sebagai pegawai dan buruh pada pabrik maupun perusahaan perumahan, ternyata mereka masih belum dapat melepaskari ketergantungannya pada tanah yaitu sebagai petani."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1992
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Erlan Agus Setyawan
"Transmigrasi membutuhkan lahan untuk tempat tinggal dan usaha. Tujuan transmigrasi di Sitiung II adalah untuk pembuatan pertanian lahan basah sesuai dengan karakter para transmigran sebagai petani, dalam hal ini adalah lahan pertanian sawah dengan pengairan irigasi.
Penelitian ini membahas seberapa besar perubahan penggunaan lahan pertanian sawah menjadi perkebunan di daerah transmigrasi dan faktor-faktor yang menjadi penyebab para petani di daerah transmigrasi beralih dari lahan pertanian sawah menjadi lahan perkebunan karet dan sawit.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah spasial analisis didukung dengan statistik analisis. Tren laju konversi lahan pertanian sawah di daerah transmigrasi tahun 2006 dan 2012 terus mengalami peningkatan. Faktor-faktor penyebab konversi antara lain : tingkat pendidikan petani, biaya pengolahan lahan, harga hasil sawit, harga hasil karet, aksesbilitas, hasil panen sawah dan jenis tanah.

Transmigration requires land for residences and farming. Transmigration destination in Sitiung II is for the manufacture of agricultural wetlands in accordance with the character of the migrants as a farmer, in this case with irrigating farmland irrigated rice.
This study discusses how big the change of use of agricultural land to plantation fields in transmigration areas and the factors that cause farmers to switch transmigration areas of paddy farmland into rubber and oil palm plantations.
The method used in this study is supported by the statistical analysis of spatial analysis. Trends in the rate of conversion of rice farms in the transmigration area in 2006 and 2012 continued to increase. Factors that cause the conversion include: education level of farmers, land preparation costs, prices of palm, rubber output prices, accessibility, paddy crops and soil types.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2013
T35154
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hanifah Nabila Romadhona
"Peningkatan jumlah penduduk di Kabupaten Bogor diimbangi dengan kebutuhan akan pangan dan peningkatan tempat tinggal, sehingga diperlukan keseimbangan antara ketersediaan lahan dan kebutuhan lahan dengan ditinjau daya dukung lingkungan. Penelitian ini dilakukan untuk dianalisis status daya dukung lingkungan berbasis neraca lahan tahun 2010 dan 2020 di Kabupaten Bogor, serta dianalisis kondisi daya dukung lingkungan berbasis neraca lahan antara tahun 2010 dan 2020 di Kabupaten Bogor. Metode yang digunakan adalah deskriptif kuantitatif dengan hasil perhitungan dideskripsikan sehingga status daya dukung lingkungan terjelaskan. Data – data yang diperlukan adalah jumlah penduduk, jumlah produksi komoditas pertanian, perkebunan, perikanan, dan harga komoditas pada tahun 2010 dan 2020. Status daya dukung lingkungan berbasis neraca lahan didapatkan dengan perbandingan ketersediaan lahan dan kebutuhan lahan. Pada tahun 2010, hasil ketersediaan lahan didapatkan seluas 225.561 ha, sedangkan kebutuhan lahan adalah 713.289 ha, sehingga didapatkan status defisit. Pada tahun 2020, hasil ketersediaan lahan adalah 124.721 ha, sedangkan kebutuhan lahan seluas 868.495 ha, sehingga didapatkan status defisit. Kondisi daya dukung lingkungan berbasis neraca lahan pada tahun 2010 dan 2020 yang ditinjau dari penurunan luas lahan pertanian sebanyak 56,73% atau 231.762 ha. Hal tersebut dikarenakan peralihan fungsi lahan yang disebabkan penurunan jumlah produksi sehingga lahan sawah petani disewakan atau dijual ke investor.

The increase of population in Bogor Regency is balanced with the need for food and an increase in housing, so a balance is needed between land availability and land needs in terms of environmental carrying capacity. This research was conducted to analyze the status of the environmental carrying capacity based on the land balance in 2010 and 2020 in Bogor Regency, and to analyze the condition of the environmental carrying capacity based on the land balance between 2010 and 2020 in Bogor Regency. The method used is descriptive quantitative with the calculation results are described so that the status of the carrying capacity of the environment is explained. The data needed are population, total production of agricultural commodities, plantations, fisheries, and commodity prices in 2010 and 2020. The status of environmental carrying capacity based on land balance is obtained by comparing land availability and land demand. In 2010, the result of land availability was 225,561 ha, while the land requirement was 713,289 ha, so that the deficit status was obtained. In 2020, the result of land availability is 124,721 ha, while the land requirement is 868,495 ha, so that the deficit status is obtained. The condition of the environmental carrying capacity based on the land balance in 2010 and 2020 in terms of a decrease in the area of agricultural land was 56.73% or 231,762 ha. This is due to the shift in land function caused by a decrease in the amount of production so that farmers' rice fields are rented out or sold to investors."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suporaharjo
"Obyek sengketa tanah antara komunitas Ketajek dengan Perusahaan Daerah Perkebunan (PDP) Jember adalah bekas hak Erfpach Verponding No. 2712 dan Verponding No. 2713 dikenal dengan nama kebun Ketajik I dan II atas nama NV Land Bow My Oud Djember (LMOD) leas keseluruhan 477,87 ha yang berakhir haknya tanggal 29 Juli 1967, terletak di desa Pakis dan desa Suci kecamatan Panti, kabupaten Jember, Propinsi Jawa Timur.
Sengketa tanah Ketajek mulai mencuat ketika pada tahun 1972 pemerintah daerah kabupaten Jember yang dipimpin Bupati Abdul Hadi yang juga sebagai komisaris PDP jember mulai berencana mengambil alih Kebun Ketajek I dan 11 yang telah digarap warga Ketajek sejak tahun 1950-an.
Proses pengambilalihan oleh PDP Jember atas tanah kebun Ketajek I dan II yang telah didistribusikan kepada warga Ketajek melalui kebijakan land reform pada tahun 1964 ini akhirnya menimbulkan konflik yang berlarut-larut hingga saat ini. Mengapa konflik sosial atas tanah Ketajek terus bertahan cukup lama dan bagaimana pilihan strategi penyelesaian konflik yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa serta para pihak yang terlibat dalam pusaran konflik tersebut coba dipahami lebih mendalam melalui penelitian ini.
Tujuan penelitian ini adalah:
1) Menelusuri dan memetakan sejarah dan sumber penyebab konflik;
2) Menemukenali faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya eskalasi konflik;
3) Mendalami proses-proses pilihan dan akibat dari strategi manajemen/penyelesaian konflik yang digunakan para pihak yang berkonflik; dan
4) Memberikan rekomendasi perbaikan atas cara-cara penyelesaian konflik antara masyarakat Ketajek dan PDP Jember yang selama ini dilakukan.
Pendekatan yang dilakukan untuk penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Pendekatan ini dipilih karena dianggap sesuai dengan tujuan penelitian ini, yaitu memahami fenomena peristiwa terjadinya konflik dan kaitannya terhadap keberadaan berbagai pihak, baik yang pro maupun kontra dengan penyelesaian konflik atas tanah antara komunitas Ketajek dan PDP Jember. Dari kelompok yang pro dan kontra coba dilakukan wawancara dan pemahamam secara mendalam atas usulan penyelesaian yang seharusnya dilakukan atas sengketa tanah Ketajek ini. Berbagai pendapat dari wawancara dengan informan dan penelusuran dokumen atas cara intervensi untuk menyelesaikan konflik ini kemudian direview dan di analisis kekuatan dan kekurangannya dengan cara membandingkan pengalaman di tempat lain atau kasus-kasus yang sudah pernah terjadi.
Dalam penelitian ini konflik dilihat sebagai suatu bentuk interaksi yang dapat membangun, mengintegrasikan dan meneruskan struktur dalam masyarakat. Konflik coba dipahami dari sisi positif dan sisi negatif. Konflik seharusnya dihadapi dan dikelola karena konflik dapat dipahami dari para pihak yang terlibat, sumber penyebab, tahapan perkembanganya, faktor-faktor yang mempengaruhi eskalasi dan kemungkinan mekanisme intervensinya.
Temuan penting dari hasil penelitian ini antara lain: adanya lima cara penyelesaian yang diusulkan para pihak yang berkepentingan, yaitu:
1) Pemberian tali asih/ganti rugi;
2) Membawa kasus sengketa ke pengadilan (peradilan umum);
3) Menempuh jalur hukum non pengadilan atau jalur politik;
4) Musyawarah; dan
5) Membangun kemitraan antara PDP dan warga Ketajek.
Pilihan terhadap tali asih/ganti dan membawa kasus ke lembaga pengadilan merupakan pilihan utama dari Pemerintah kabupaten/PDP Jember. Sementara pihak komunitas Ketajek lebih menyukai pendekatan jalur hukum non pengadilan atau politik dan musyawarah.
Dari hasil analisis terhadap kegagalan beberapa pilihan strategi penyelesaian yang telah ditempuh menunjukkan bahwa keputusan pilihan jalan keluar dilakukan secara sepihak oleh yang berpower kuat dan tidak mengatasi sumber penyebabnya, rendahnya keahlian para mediator/fasilitator, lemahnya anal isa atas problem bersama, dialog antara para pihak yang bersengketa sering bersifat konfrontatif, berbagai proses yang dilakukan lebih bersifat permusuhan dari pada kolaboratif, terjadinya polarisasi dalam berbagai kelompok dari komunitas Ketajek, terjadinya rivalitas antara para pihak yang berkepentingan mendampingin komunitas, tidak ada kemauan politik dari pimpinan/elit yang berada di pemda/PDP, DPRD untuk berbagi power/kegiatan manfaat kepada komunitas lokal atas aset sumberaya alam yang ada.
Kesimpulan yang dapat diambil dari beberapa cara penyelesaian yang telah ditempuh seperti pemberian tali asih/ganti rugi, musyawarah dan membawa kasus ke peradilan umum telah gagal menyelesaikan sengketa tanah Ketajek, karena cara-cara tersebut tidak membawa kepada kesepakatan secara bulat yang didukung oleh semuat pihak yang terlibat dan memuaskan kepentingan seluruh pihak.
Sedangkan dari sisi kebijakan pemerintah daerah kabupaten Jember, dapat disimpulkan bahwa pemda tidak memiliki infrastruktur baik dari segi kelembagaan maupun sumberdaya manusia untuk melaksanakan penyelesaian konflik secara non litigasi atau alternative dispute resolution (ADR). Niatan untuk menyelesaikan konflik secara ADR hanya ada dalam teks saja, dalam prakteknya tidak ada kebijakannya.
Oleh karena itu, dengan melihat berbagai usulan dari para pihak yang berkepentingan dengan sengketa tanah Ketajek, maka direkomendasikan kepada pemda dan DPRD kabupaten Jember untuk mempertimbangkan strategi kolaborasi untuk menyelesaikan sengketa tanah Ketajek.
Dalam melaksanakan strategi kolaborasi para pihak yang bersengketa harus mempunyai kemauan untuk merubah penyelesaian konflik dari pendekatan permusuhan ke pendekatan yang bukan bersifat permusuhan (nonadiersarial approach). Karena dalam proses kolaborasi perlu keterbukaan, kesadaran adanya saling ketergantungan, menghormati perbedaan, membutuhkan partisipasi aktif para pihak yang berkonflik, membutuhkan jalan keluar dan penetapan hubungan yang disepakati bersama dan kesadaran bahwa kolaborasi adalah suatu proses bukan resep.
Ada empat desain umum untuk kolaborasi yang harus mendapatkan perhatian seksama para pihak yang berkonflik, yaitu yang berkaitan dengan upaya-upaya bersama menemukan pilihan yang tepat atas:
1) Perencanaan yang apresiatif;
2) Strategi kolektif;
3) Dialog; dan
4) Menegosiasikan penyelesaian.
Agar dapat membangun desain kolaborasi yang konstruktif dan mendapatkan komitmen dari para pihak yang bersengketa maka harus ada kejelasan tahapan yang dapat dijadikan panduan bersama. Tahapan ini paling tidak terdiri dari, tahap pertama, kejelasan dalam menetapkan problem; tahap kedua, kejelasan dalam menetapkan arah kolaborasi; dan tahap ketiga, kejelasan dalam menetapkan pelaksanaannya.
Untuk mendukung keberhasilan strategi kolaborasi, juga peran dukungan pemerintah daerah kabupaten jember merupakan faktor penting. Tanpa kemauan yang kuat dari pihak pemda untuk mendukungnya maka mustahil tahapan proses kolaborasi tersebut dapat dijalankan. Oleh karena itu, kemauan politik dari pemda tidak cukup hanya dicantumkan dalam teks POLDAS tapi harus diwujudkan dalam praktek, yaitu dengan cara menyediakan sumberdaya manusia yang terlatih sebagai fasilitator/mediator andal dan dukungan membangun kelembagaannya.
Review Strategies For The Resolution Of Social Land Conflicts: A Case Study Of Ketajek Community Vs. Jember Estate Company, In Kecamatan Panti, Kabupaten Jember East Java Province The land disputed by Ketajek community and Jember estate company (PDP) used to belong to the rights of Erfpach Verponding No. 2712 and No. 2713. They are known as Ketajek Estate I and If, on behalf of NV. Land Bow My Oud Djmber (WOD), with the overall area of 477.87 hectares located in Pakis and Suci villages, kecamatan Panti, Kabupaten Jember, East Java. The rights ended on 29 July 1967.
The land conflict broke out in 1972 when the local government under Bupati Abdul Hadi, who was also one of PDP's board of directors, planned to take over Ketajek Estate I and II which had long been cultivated by Ketajek local people since 1950s.
Ketajek I and II having been distributed since 1964 by means of land reform policy, the take-over has caused an intractable conflict-up to now. This research tries to explore how the social conflict of Ketajek land remains unresolved, and what kinds of conflict resolution strategies have been adopted by the conflicting parties as well as those involved in the turbulence of conflict. So, the objectives of this research are:
1) To dig up and map the history and sources of conflict;
2) To identify the factors influencing the conflict escalation;
3) To observe the process of selection and the result of conflict management/resolution strategy applied by the conflicting parties; and
4) To provide a recommendation of how to improve the existing conflict resolution methods between Ketajek community and PDP Jember.
The research made use of qualitative approach. This approach best-matched with the objectives of the research, i.e. to understand conflict fenomena in connexion with the presence of multi parties, both those in favor and those against the resolution of the land conflict between Ketajek community and PDP Jember. For the pros and cons, interviews were given to get a deep understanding of what opinions they have about the resolution proposed for Ketajek land conflict. Ideas obtained from the interviews with informants and data from scrutinizing the documents about intervention methods for this conflict were collected to be reviewed and analyzed to get the strength and weaknesses by comparing with experience from other sites or with the preceding cases.
In this research, conflict was seen as a form of interaction that can develop, integrate, and continue the structures within a society. It is understood from both positive and negative perspectives because conflict should be faced and managed as it can be understood from the perspectives of the parties involved, from the very cause, from the stages of development, from the factors influencing the escalation and from the possibilities of intervention mechanisms The important findings of the research are, among others, five methods of resolution proposed by interest parties, i.e.:
1) Providing a compensation;
2) Bringing the case to the court;
3) Taking an extra-court law (nonlitigation) orpolitical action;
4) Building dialog/negotiation; and
5) Building a partnership between PDP and Ketajek local people. The local governmentiPDP jember prefers options 1 and 2, whereas Ketajek community prefers points 3 and 4.
From the analysis of the above failure, it was found that: the options were made unilaterally by the power-ed party, and it failed to hit the source of the problems, the facilitators/mediators were unskilled, the analysis of the shared problems was poor, dialogs between conflicting parties were frequently confrontational, the processes were more confrontational than collaborative, groups of Ketajek community were polarized, there was a rivalry between interest parties that went with the community, there was a lack of political will from elites in the local government/PDP, DPRD to share power/activities/benefit with the local community over the natural resources.
The conclusion is that the five resolutions failed to lead to an agreement supported by all parties and failed to satisfy all. From the perspective of Jember local government's policy, it can be concluded that the local government did not have adequate infrastructures, either in the form of institutions or human resources to enact a no litigation conflict resolution or alternative dispute resolution (ADR). To manifest the ADR was all in theory; in practice, none of the policies used it.
Considering the ideas proposed by interest parties in the Ketajek Iand conflict, therefore, it is recommended to the local government and DPRD Jember to think over collaborative strategies to resolve Ketajek land conflict.
In plying the collaborative strategies, the conflicting parties must have a will to shift from adversarial approaches to no adversarial ones since the collaborative processes need openness, respect for difference, the awareness of interdependency, active participation of the conflicting parties, way out and agreed relationship, and the awareness that collaboration is a process, not a recipe.
There are four general designs for collaboration to be noted carefully by the conflicting parties related to joint efforts to make the smart choice of
1) Appreciative planning;
2) Collective strategy;
3) Dialog; and
4) Negotiation of resolution.
In order to be able to build a constructive design for collaboration that all conflicting parties are committed to, there must be clear stages for a common guideline, The stages should at least comprise first stage, a clear problem statement; second stage, a clear direction of collaboration; and third stage, a clear operation.
To support a successful collaborative strategy, the support from Jember local government is an important factor. Without a strong will from the local government to sustain it, it is impossible for the collaborative processes to be operated. Therefore, the political will of the local government should not only be typed on POLDAS text, but should also be realized in practice, by providing skilled human resources for the best facilitators/mediators and giving support or developing the institution.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T11544
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>