Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 114759 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Inda Yuliani
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
S8645
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Larasati Sekar Rianom
"Migrasi tenaga kerja ke luar negeri, merupakan program pemerintah Indonesia untuk mengatasi kesenjangan dalam memperoleh pekerjaan di dalam negeri, masalah pengangguran dan juga keadaan ekonomi yang diperburuk dengan krisis global yang terjadi pada tahun 1997 lalu. Peran pemerintah Indonesia sebagai pembentuk kebijakan memberikan tiga perlindungan pada TKW. Mekanisme penanganan kasus dengan pemberlakuan moratorium yang belum efektif dalam menangani kasus. Cara pemerintah dalam memberikan edukasi pada calon TKW, keluarga dan agen yang dilakukan secara gradasi.

Labor migration abroad, a government program for Indonesia to address the gap in gaining employment in the country, the problem of unemployment and the economic situation aggravated by the global crisis which occurred in 1997. The role of Government Indonesia as a shaper of policy provides three protection on TKW. The mechanism of handling cases with the enactment of the moratorium that has not been effective in dealing with the case. How Governments in providing education to the aspiring agent, family and TKW was done in gradations."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2013
T35745
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ana Sabhana Azmy
"Angka kekerasan yang semakin meningkat terhadap buruh migran Indonesia selama tahun 2004-2010 menunjukkan bahwa kualitas kebijakan perlindungan terhadap buruh migran Indonesia, khususnya perempuan di masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) 2004-2010 belum berperspektif perlindungan. Partisipasi politik gerakan buruh migran perempuan dan kelompok buruh migran perempuan yang merupakan aktor informal dalam tahap penyusunan kebijakan adalah penting sebagai bentuk demokratisasi di Indonesia.
Sebagai pijakan teoritis, penelitian ini menggunakan teori representasi dan partisipasi politik perempuan dalam kebijakan dari Joni Lovenduski dan teori feminisme sosialis dari Iris Young sebagai teori utama. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif, sedangkan tipe penelitian adalah deskriptif analisis dan menggunakan purposive sampling untuk mewawancarai buruh migran perempuan yang bekerja dan pernah bekerja di Malaysia. Sedangkan metode pengumpulan data dengan wawancara mendalam dan studi dokumen.
Temuan dilapangan menunjukkan bahwa partisipasi politik gerakan perempuan buruh migran dan kelompok buruh migran seperti LSM, Serikat Buruh dan Asosiasi Buruh dalam penyusunan kebijakan belum diperhatikan oleh pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Partisipasi politik kedua-nya masih masuk dalam klasifikasi marginal dan bukan insider karena tidak dapat memasukkan debat kebijakan gender dalam kebijakan perlindungan buruh migran. Konsep kapitalisme dan patriarkhi yang terjadi pada fenomena pengiriman buruh migran perempuan Indonesia, menyebabkan buruh migran perempuan Indonesia, khususnya yang bekerja di Malaysia terkena kekerasan selama tahap pra penempatan, penempatan dan purna penempatan.
Implikasi teori menunjukkan bahwa teori Lovenduski yang menyatakan ketika gerakan perempuan dan agensi kebijakan perempuan didukung oleh Negara dan menjadi insider, maka partisipasi politik perempuan dalam kebijakan akan meningkat, tidak dapat terjadi di Indonesia. Pelabelan ranah domestik bagi buruh migran perempuan Indonesia dan tidak adanya pemberdayaan gerakan perempuan yang mandiri dari pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2010), membuat buruh migran perempuan mengalami kekerasan kapitalisme berupa patriarkhi pengupahan seperti teori yang dikemukakan oleh Iris Young.

The evidence suggests that there has been a significant increase in violence against Indonesian women migrant workers in the period 2004-2010 and it is show that the quality of the protection policy in the Susilo Bambang Yudhoyono era, has not conveyed a protection perspective. The political participation of the informal actor in the policy making process such as the women?s migrant workers movement and the interest groups of migrant workers is very necessary in the process of democratization in Indonesia.
As a theoretical framework, this research used the representation and women?s political participation in the policy theory of Joni Lovenduski and the socialist feminism theory from Iris Young as the main theory. The research method used is qualitative. The research type is a descriptive analysis and used a purposive sampling for doing interviews with women migrant workers currently working or had ever worked in Malaysia. The data collection method is by indepth interview and document study.
The research for this study found that the political participation of the women migrant workers? movement and the interest groups of migrant workers such as NGO?s and workers? associations in the policy making process is not being given proper attention yet in the Susilo Bambang Yudhoyono era. Their political participation is still in the classification as marginal and not as an insider. That classification means that the gender policy debate almost totally overlook the protection policy toward migrant workers. The concept of capitalism and patriarchy that occurred towards the placement of Indonesian women migrant workers has caused Indonesian women migrant workers to experience violence in all phases of the pre-placement, placement and post-placement processes, especially for those who work or have worked in Malaysia.
The theory implication shows that the theory of Lovenduski which stated that when the women?s movement and interest groups of migrant workers are supported by the state and becomes an insider, then the women?s political participation can increase, but as yet this has not happened in Indonesia. The labeling of the domesticity area for women migrant workers and the absence of women?s empowerment during the Susilo Bambang Yudhoyono era of 2004- 2010, lends further support to the oppression of women migrant workers and as capitalistic in nature and as a form of patriarchal payment like that which Iris Young described in her theory.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2011
T29287
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah
Jakarta : Departemen Ilmu Politik, FISIP UI, 2013
331.544 MOH p
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Irfan Rusli Sadek
"Kerusuhan beruntun tiga kali yang dilakukan oleh TKI di Malaysia pada bulan Desember 2001 dan Januari 2002 menjadi pemicu keinginan pemerintah Malaysia memberlakukan peraturan keimigrasian terbaru: yaitu Akta Imigresen Nomor 1154 Tahun 2002. Pemberlakuan peraturan baru tersebut berdampak kepada terdeportasinya ratusan ribu TKI dari Sabah-Serawak Malaysia ke Nunukan. Kondisi Nunukan sebagai ibukota Kabupaten baru yang serba terbatas dari segi sarana, prasarana maupun aparatur membuat keadaan para TKI yang tertahan di Nunukan sangat menderita dan memprihatinkan. Tingginya jumlah TKI yang sakit dan jumlah TKI yang meninggal mencapai 70 orang menjadi bukti akan buruknya kondisi mereka.
Angka tersebut sekaligus menjadi tanda lemahnya tindakan antisipasi pemerintah dalam menangani TKI deportasi tersebut. Bantuan dan perhatian pemerintah pusat diberikan pada bulan September, padahal puncak masa kritis penderitaan TKI terjadi pada bulan Agustus. Penanganan yang terlambat bahkan sikap diam tidak berbuat apa-apa tersebut merupakan kebijakan dari pemerintah.
Dalam kaitan itu, tesis ini berusaha menjawab faktor-faktor apa yang mempengaruhi negara sehingga terlambat dalam memberikan penanganan terhadap deportasi TKI di Nunukan. Kebijakan negara sebagai output dari proses politik yang terjadi dalam sebuah sistem politik dipengaruhi oleh faktor-faktor supra struktur, infra struktur, dan lingkungan internasional, sebagaimana disebutkan oleh Almond dalam teori-konsep sistem politik. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analitis.
Faktor pertama supra struktur politik berpengaruh negatif terhadap kebijakan penanganan TKI deportasi, perangkap koalisi dalam sistem pemerintahan kuasi presidensial telah menyebabkan pemerintahan Megawati dan DPR berada dalam kondisi yang problematik. Ketergantungan presiden terhadap DPR dan kepentingan DPR sebagai bagian dari pemerintahan Megawati menyebabkan kinerja kedua institusi tersebut lemah, bahkan DPR menjadi tumpul dalam melaksanakan fungsi kontrol terhadap pemerintahan Megawati.
Faktor kedua infra struktur politik berpengaruh positif terhadap kebijakan penanganan TKI deportasi, kekuatan dari infra struktur seperti partai politik oposisi, LSM dan media-pers berupaya bersikap kritis melawan kebijakan pemerintah yang tidak berpihak kepada kepentingan TKI. Perjuangan infra struktur menghadapi kendala karena sikap partai-partai besar yang terlibat dalam koalisi pemerintahan maupun yang ada di DPR cenderung tidak senang terhadap persoalan tersebut. Pertimbangannya jelas, kasus ini dapat merongrong pemerintahan koalisi Megawati.
Faktor ketiga pengaruh lingkungan internasional yang dalam hal ini fokus kepada hubungan bilateral Indonesia dengan Malaysia. Faktor ketiga ini berpengaruh negatif terhadap kebijakan penanganan TKI deportasi. Ketegangan hubungan antara kedua negara yang dipicu oleh kerusuhan beruntun oleh TKI telah menyebabkan pemerintah Malaysia kurang respek terhadap berbagai upaya Indonesia menangani TKI deportasi. Yang lebih sulitnya lagi adalah dalam suasana hubungan seperti itu ketergantungan Indonesia terhadap Malaysia lebih besar daripada sebaliknya Malaysia terhadap Indonesia. Kapabilitas sistem politik Indonesia lebih lemah dibandingkan dengan kapabilitas sistem politik Malaysia.
Dari ketiga faktor berpengaruh tersebut yang paling dominan adalah faktor supra struktur politik. Faktor ini menyebabkan negara tidak dapat memberikan penanganan yang baik terhadap TKI deportasi."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T13795
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Naniek Pangestuti
"Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah (KPJM) merupakan kebijakan baru dalam sistem penyusunan anggaran di Indonesia. Kebijakan tersebut bertujuan untuk menghubungkan kebijakan, perencanaan dengan penganggaran, menjaga disiplin fiskal, meningkatkan prediksi dan memperbaiki alokasi dana sektoral. Implementasi kebijakan merupakan tahap yang krusial dalam proses kebijakan publik. Suatu program kebijakan harus diimplementasikan agar mempunyai dampak atau tujuan yang diinginkan pembuat kebijakan. Sebagai kebijakan baru, tahap implementasi KPJM merupakan tahap yang penting. Untuk mengetahui tingkat keberhasilan pelaksanaan KPJM, perlu dilakukan evaluasi terhadap implementasi kebijakan tersebut. Evaluasi dilakukan dengan cara menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi KPJM. Dengan menggunakan pendekatan teori implementasi Edwards III, ada empat faktor atau variabel yang dianalisis yaitu faktor komunikasi, sumber daya, kecenderungan aparat pelaksana, dan struktur birokrasi.
Metode analisis dalam penelitian ini adalah metode deskriptif-kuantitatif yaitu mengukur distribusi frekuensi semua variabel dan menghitung besaran nilai rata-rata tertimbang dari indikator-indikator setiap variabel, kemudian mendeskripsikan secara kualitatif, serta menghitung nilai regresi dan korelasi. Sedangkan obyek penelitian adalah para perencana dan penyusun anggaran di Direktorat Jenderal Perlindungan HAM.
Setelah dilakukan analisia terhadap hasil penelitian, mengamati langsung dokumen-dokumen anggaran yang memuat kerangka pengeluaran jangka menengah (prakiraan maju) Direktorat Jenderal Perlindungan HAM, dan mempelajari aturan-aturan yang berkaitan dengan kebijakan kerangka pengeluaran jangka menengah, dapat diambil beberapa kesimpulan hasil penelitian setiap indikator dari faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi KPJM dapat diringkas sebagai berikut : Faktor komunikasi mempunyai nilai kurang sehingga tidak mendukung implementasi kebijakan kerangka pengeluaran jangka menengah pada Direktorat Jenderal Perlindungan HAM. Faktor sumber-sumber pada Direktorat Jenderal Perlindungan HAM bernilai kurang sehingga tidak mendukung implementasi kebijakan kerangka pengeluaran jangka menengah, kecuali indikator tersedianya fasilitas yaitu tersedianya ruangan yang layak dan kelengkapan komputer yang mampu mengakses internet dengan cepat, namun tidak didukung tiga indikator yang lain. Dukungan faktor kecenderungan sikap aparat pelaksana pada umumnya bernilai cukup, namun tidak didukung oleh perubahan paradigma sehingga tidak mendukung implementasi kebijakan kerangka pengeluaran jangka menengah Kebijakan kerangka pengeluaran jangka menengah belum dapat diimplementasikan dengan baik dalam penyusunan anggaran di pada Direktorat Jenderal Perlindungan HAM. Masih terdapat beberapa indikator pendukung yang belum mencapai kondisi yang disyaratkan. Dalam upaya meningkatkan dukungan faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan kerangka pengeluaran jangka menengah, faktor sumber daya perlu lebih diperhatikan dibanding faktor yang lain. Hal ini disebabkan faktor komunikasi mempunyai pengaruh yang paling besar dalam mempengaruhi implementasi kerangka pengeluaran jangka menengah dibanding faktor-faktor yang lain. Selanjutnya, agar implementasi KPJM lebih berhasil perlu dilakukan perbaikan pada berbagai faktor pendukungnya.
Karena itu disarankan untuk terus dilakukan sosialisasi dan pelatihan-pelatihan penyusunan KPJM untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia, peningkatan alokasi anggaran untuk penyusunan KPJM, penyediaan sarana dan prasarana yang dapat memudahkan aparat pelaksana dalam mengakses informasi dan referensi yang diperlukan, dan memperkuat kedudukan KPJM dengan mengharuskan diadakannya pembahasan KPJM bersama instansi-instansi terkait sebagaimana anggaran tahunan.

Medium Term Expenditure Frameworks (MTEF) is a new policy in the budgeting system in Indonesia. The objectives of an MTEF are linking the policy planning to budgeting, maintaining fiscal discipline, increasing the prediction, and improving the sectional budget allocation. The policy implementation is a crucial step in the process of public policy. A policy program should be implemented so it can achieve the impacts or goals desired by the policymakers. As a new policy, the implementation of MTEF is an important stage. To identify the level of MTEF accomplishment, we need to evaluate the policy implementation. Such evaluation may be completed by analyzing the influencing factors to the MTEF implementation. By using the theory of implementation approach by Edward III, there are four factors or variables to be analyzed, which are the factors of communication, resources, the tendency of implementer, and structure of bureaucracy.
The method of analysis in this research is descriptive-quantitative, which evaluates the determination of each factor/variable, determines the frequency distribution of each variable, and counts the indicators mean value of each variable, then describe it qualitatively. The objects of this research are officers involved in planning and budgeting at Directorate General of Human Rights Protection.
After analyzing the result of this research, observing the budgetary documents which include the medium term expenditure framework (expanded forecasting) at Directorate General of Human Rights Protection, and studying the regulations in relations with the policy of medium term expenditure framework, it may be concluded as follow: The result of the research on all indicators of influencing factors to the MTEF implementation may be summed up as follow: The factor of communication has an insufficient value so it could not support the implementation of medium term expenditure framework at Directorate General of Human Rights Protection. The factor of resources at Directorate General of Human Rights Protection has an insufficient value so it could not support the implementation of medium term expenditure framework, except the indicator of accessible facilities such as the suitable room and the fully equipped computer that can access the internet faster, but it is not supported by three other indicators. The support of factor of implementer tendency generally has sufficient value, but it is not supported by the change of paradigm so this factor does not support the implementation of medium term expenditure framework. The support of factor of bureaucracy structure with indicator of organization structure and indicator of work and authority division are sufficient, while the indicator of operational procedure and indicator of inter-organization communication are still insufficient. The policy of medium term expenditure framework has not been well implemented yet in budgeting process at Directorate General of Human Rights Protection. The supporting indicators have not achieved the pre-requisite condition yet. The efforts to increase the support of influencing factors to the implementation of medium term expenditure policy still focus more on the factor of communication than other factors. Since the factor of communication has more influence to the implementation of medium term expenditure framework than other factors. Based on the analysis result described above, it can be concluded that the policy of MTEF has not been well implemented yet at Directorate General of Human Rights Protection, since the constraints of influencing factors to MTEF implementation are still found. Subsequently, to accomplish the MTEF implementation more successfully, it needs some improvements to all its supporting factors.
It is recommended to continue the socialization and MTEF trainings to improve the human resources quality, increase the budget allocation to make MTEF, provide the facilities which enable the implementer in accessing essential information and references, and strengthen the MTEF position by requiring the MTEF discussion together with other government institutions in the same way as the discussion for annual budget."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2008
T24592
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ana Sabhana Azmy
Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2012
344.01 ANA n
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Ana Sabhana Azmy
Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2023
331.544 ANA p
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
S5903
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tommy Harun
"Tesis ini bertujuan mempelajari faktor-faktor sosial, ekonomi dan demografi yang mempengaruhi tingkat pendapatan atau upah pekerja migran di Indonesia. Faktor-faktor tersebut adalah status pekerjaan tingkat pendidikan, umur, jenis kelamin, jam kerja, daerah tempat tinggal dan status perkawinan.
Dari hasil penelitian ini, dapat disimpulkan, bahwa secara statistik dan substansi masing-masing variabel tersebut diatas mempunyai pengaruh yang berarti terhadap tingkat pendapatan atau upah pekerja migran setelah memperhatikan pengaruh tambahan variabel lainnya, atau dengan kata lain terdapat pengaruh masing-masing variabel bebas terhadap variabel tak bebas pendapatan setelah mempertimbangkan pengaruh tambahan variabel bebas lainnya.
Dari analisis deskriptif maupun analisis inferensial terhadap sampel migran risen yang berstatus bekerja dan menerima upah atau pendapatan, ditemukan hasil-hasil sebagai berikut :
1. Secara umum, pendapatan atau upah pekerja migran yang bekerja di sektor formal relatif lebih tinggi dibandingkan pendapatan atau upah pekerja migran di sektor informal.
2. Pengaruh tingkat pendidikan terhadap tingkat pendapatan pekerja relatif besar dibandingkan pengaruh faktor lainnya. Hal ini menggambarkan bahwa pendapatan atau upah yang akan diterima oleh pekerja sangat tergantung dari mutu modal manusia yang dimiliki pekerja tersebut. Semakin tinggi atau baik mutu modal manusia yang dimiliki pekerja, produktivitasnya semakin tinggi, maka upah atau pendapatan atau belas jasa yang pekerja tersebut terima dari hasil pekerjaannya juga semakin besar.
3. Dilihat dari kelompok umur, proporsi pekerja migran yang berumur 30-39 tahun yang menerima pendapatan atau upah lebih besar sama dengan pendapatan rata-rata lebih besar dibandingkan kelompok umur lainnya. Sedangkan perbedaan pendapatan yang relatif besar antara pekerja sektor formal dan informal, terjadi pada kelompok umur 40 tahun keatas antara pekerja migran yang berpendidikan SLTA keatas. Hal ini menunjukkan, bagi pekerja migran di sektor formal yang berpendidikan SLTA keatas, semakin lama masa kerja yang mereka lewati, pengalaman kerja yang mereka peroleh semakin banyak dan kemampuan mereka semakin meningkat serta profesionalisme kerja mereka semakin baik. Sedangkan pekerja sektor informal kemampuan kerja mereka disamping didukung oleh pendidikan yang relatif baik, juga harus didukung oleh kondisi kesehatan fisik mereka yang sehat, sehingga puncak produktivitas pekerja sektor informal terlihat pada usia 30-39 tahun.
4. Pendapatan atau upah pekerja migran laki-laki relatif lebih tinggi dibandingkan pekerja migran perempuan. Setelah dikontrol dengan tingkat pendidikan, bahwa perbedaan pendapatan antara pekerja migran laki-laki yang berpendidikan tamat SLTP kebawah yang bekerja di sektor formal dengan yang bekerja di sektor informal relatif kecil, dibandingkan dengan perbedaan antara pekerja migran yang berpendidikan SLTA keatas. Demikian pula untuk pekerja migran perempuan yang berpendidikan tamat SLTP kebawah, perbedaan pendapatan atau upah antara yang bekerja di sektor formal dengan migran yang bekerja di sektor informal juga relatif kecil. Namun yang menarik disini, bahwa pendapatan pekerja perempuan yang berpendidikan tamat SLTP kebawah yang bekerja di sektor informal relatif lebih baik dibandingkan dengan pekerja perempuan dengan pendidikan yang sama yang bekerja di sektor formal. Sedangkan perbedaan pendapatan antara pekerja perempuan yang berpendidikan SLTA keatas yang bekerja di sektor formal dan informal relatif besar.
5. Dari alokasi waktu untuk bekerja, pekerja migran yang bekerja diatas atau sama dengan 40 jam kerja per minggu relatif berpendapatan lebih baik dibandingkan dengan pekerja yang bekerja kurang dari 40 jam per minggu. Pengaruh jam kerja terhadap tingkat pendapatan atau upah pekerja, lebih besar terhadap pekerja yang berpendidikan SLTA keatas, dan perbedaan pendapatan atau upah antara yang bekerja di sektor formal dan informal relatif besar, khususnya antara pekerja yang bekerja dibawah 40 jam per minggu. Hal ini menunjukkan bahwa upah pekerja di sektor formal sebagian besar terikat dengan kontrak kerja yang telah disepakati, sedangkan pekerja sektor informal, jika mereka tidak bekerja pendapatan yang mereka terima akan berkurang. Sedangkan untuk pekerja migran yang berpendidikan tamat SLTP kebawah pendapatan mereka relatif rendah dan perbedaan pendapatan atau upah antara pekerja di sektor formal dan informal relatif kecil, baik antara pekerja yang bekerja diatas atau sama dengan 40 jam per minggu maupun antara pekerja yang bekerja dibawah 40 jam per minggu.
6. Pendapatan atau upah pekerja migran di perkotaan relatif lebih baik. Sedangkan dipedesaan proporsi yang menerima pendapatan atau upah lebih besar sama dengan pendapatan rata-rata relatif kecil, khususnya bagi pekerja yang berpendidikan tamat SLTP kebawah. Pekerja migran diperkotaan yang berpendidikan SLTA keatas menunjukkan proporsi yang menerima pendapatan lebih besar sama dengan pendapatan rata-rata relatif besar. Perbedaan pendapatan antara pekerja migran diperkotaan yang berpendidikan SLTA keatas antara yang bekerja di sektor formal dan informal relatif besar, demikian pula antara pekerja migran yang berpendidikan SLTA keatas yang tinggal di pedesaan. Sedangkan antara yang berpendidikan tamat SLTP kebawah relatif kecil. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan SLTA keatas cukup berpengaruh terhadap tingkat pendapatan pekerja migran, baik diperkotaan maupun dipedesaan.
7. Status perkawinan cukup berpengaruh terhadap tingkat pendapatan pekerja migran. Pekerja yang berstatus pernah kawin atau berkeluarga menerima pendapatan atau upah yang relatif tinggi dari pekerja yang berstatus tidak kawin. Hal ini disebabkan, pekerja yang berstatus pernah kawin atau berkeluarga biasanya usia mereka lebih tua dan pengalaman kerja mereka lebih lama dibandingkan pekerja yang berstatus tidak kawin. Dipihak lain tanggung jawab pekerja yang berkeluarga lebih besar, karena mereka harus berusaha mencukupi kebutuhan keluarga mereka. Disamping itu pekerja yang berkeluarga kadangkala menerima tunjangan keluarga dari_ instansi atau perusahaan dimana mereka bekerja. Sedangkan fasilitas tersebut tidak diperoleh pekerja yang berstatus bujangan."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>