Ditemukan 105509 dokumen yang sesuai dengan query
Shafirra Shikka Larasati
"Aktivitas manusia sehari-hari dilakukan dalam sebuah ruang. seiring berjalannya waktu kebutuhan manusia berubah dan semakin beragam. Diharapkan sebuah ruang mampu mengikuti perubahan ini agar bisa memfasilitasi penghuninya dalam melakukan beragam aktivitasnya tanpa memerlukan usaha yang besar. Hal ini disebut sebagai kemampuan ruang untuk beradaptasi. Dalam studi kasus saya mengambil contoh bagaimana produk Ikea bisa mewujudkan hal tersebut. Melalui analisa yang saya lakukan saya menemukan bahwa dengan menerapkan adaptable space di dalam ruang maka akan didapatkan ruangan dinamis yang multifungsi.
People do their daily activities in a space, and as time goes by, their needs are always changing. Space is expected to follow this diversity to provide an opportunity to its occupant to do their things in it without requiring a major effort. As in my case study I took an example of how Ikea product can make this come true. And through my analyze I found that by creating an adaptable space we can get a dynamic multifunction space."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2012
S42599
UI - Skripsi Open Universitas Indonesia Library
Chandrawati Hasanah
"Hiruk pikuk kehidupan ibukota menuntut perpindahan terjadi dengan cepat. Hal ini menjadikan ruang transisi sebagai ruang yang tidak terelakkan dalam kehidupan sehari-hari dan membentuk ruang transit sebagai ruang yang mewadahi transisi manusia dari titik A ke titik B. Fungsi dan interioritas ruang transit merupakan konsep yang bertolak belakang. Desakan kesibukan membuat fungsi dikedepankan dibanding interioritas ruang transit. Interioritas yang tidak tersampaikan memicu perilaku seenaknya dari user seperti perilaku user pada lost space yang berakibat pada pengabaian ruang dan berakhir dengan rusaknya ruang tersebut sehingga ruang tersebut bahkan tidak mampu untuk memenuhi fungsinya. Tugas akhir ini berisi tentang usaha menggapai interioritas ruang transit untuk mencegah kecenderungan ruang transit menjadi lost space dengan memanfaatkan mekanisme pertahanan spasial.
Rush in city life demands people to move efficiently from point A to point B which makes transitional space as an unavoidable space in daily life. Function and interiority of transitional space are concepts which work in dualism, but the force of rush makes the function to be more prioritized than the interiority. Interiority which is not conveyed properly drives unintended user behaviour such as act in lost space. The act makes desertion of space which ends up with space selfdestruction. It even makes the space incapable to fulfill its function.This final project contains an effort to prevent the tendency of lost space and reach the proper interiority of transitional space by applying spatial defense mechanism."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2015
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir Universitas Indonesia Library
Gerardus Aloysius
"Penulisan ini membahas beguiling interiority yang hadir dalam konteks continuous interior. Dengan adanya studi literatur dan hasil penelusuran bisa menjawab beberapa pertanyaan mengenai apa itu beguiling interiority? bagaimana beguiling interiority bisa hadir dalam konteks urban? Teori utama dalam studi literatur adalah mengenai continuous interior oleh Mark Pimlott. Menurut Pimlott (2010) kehadiran continuous interior ini menciptakan sebuah interioritas ruang baru, interioritas yang bersifat beguiling. Menurut definisi, beguiling adalah “interesting or attractive, but perhaps not to be trusted” (Cambridge Dictionary, 2013). Dapat diartikan bahwa beguiling merupakan sesuatu yang menarik, tapi tidak dapat kita percaya. Pemahaman mengenai karakteristik beguiling interiority ditemukan dalam membongkar karakteristik dari continuous interior tersebut. Dari studi literatur didapatkan 4 poin penting yaitu: beguiling interiority yang intangible, beguiling interiority yang memanipulasi, beguiling interiority yang membuat nyaman, dan beguiling interiority yang tak terbatas. Dari penelusuran didapatkan keberadaan beguiling interiority dalam bentuk 4 karakteristik dalam studi literatur. Dapat disimpulkan juga dari penelusuran bahwa karakteristik beguiling interiority yang lebih mudah hadir dalam ruang dalam atau indoor. Maka dari itu dapat dikatakan bahwa beguiling interiority merupakan dialog antara manusia dengan ruang yang dirasakan secara subjektif, dialog dan interaksi yang dibuat sedemikian rupa menjadi menarik, tetapi ada hal-hal yang tidak dapat kita percayai.
This thesis discusses beguiling interiority which is present in the context of continuous interior. With the literature study and case study can answer some questions about what is beguiling interiority? How can beguiling interiority be present in an urban context? The main theory in the study of literature is regarding the continuous interior by Mark Pimlott. According to Pimlott (2010) the presence of this continuous interior creates a new interiority of space, an interiority that is beguiling. By definition, beguiling is “interesting or attractive, but perhaps not to be trusted” (Cambridge Dictionary, 2013). An understanding of the characteristics of the beguiling interiority is found in disassembling the characteristics of the continuous interior. From the literature study, there are 4 important points: beguiling interiority is intangible, beguiling interiority is manipulating, beguiling interiority is comfortable, and beguiling interiority is infinite. From the search, it was found that the existence of beguiling interiority in the form of 4 characteristics in the study of literature. Therefore, it can be said that beguiling interiority is a dialogue between humans and space that is felt subjectively, dialogue and interactions that are made in such a way as to be interesting, but there are things that we cannot believe."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Ryfa Albanin Hamid
"Interioritas sebagai bagian dari keseharian individu, merupakan esensi terbentuknya makna dan pengalaman seseorang terhadap ruang yang dihuninya. Persoalan keterbatasan ruang, membuat kampung padat memiliki pola keseharian yang unik dan dengan dinamika tinggi. Keunikan interioritas kampung padat merupakan tantangan tersendiri terhadap upaya intervensi spasial yang dilakukan pada konteks tersebut.
Tugas akhir ini berisi tentang upaya menerapkan mekanisme aliran fluida sebagai metode dalam merespons konteks kampung padat Manggarai yang memiliki praktik keseharian yang sangat fluid.
Interiority as part of our daily life, is the essence of the formation of meaning and experiences of individuals in the space they inhabit. The issue of space limitations, making high-density kampong has a unique pattern and high dynamics of everyday spatial practice. The uniqueness of interiority in highdensity kampong itself is a challenge for any spatial interventions implemented in that context. This project is about the implementation of applying the fluid flow mechanism as a method to respond to the context of a high-density kampong in Manggarai which has a very fluid everyday practice."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2015
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir Universitas Indonesia Library
Chantika Nurmadhany
"Rumah merupakan suatu entitas dengan karakter yang dapat membuat manusia nyaman dan merasa aman. Ketika narasi dalam film horor menggunakan rumah sebagai latar utama, keberadaannya memberikan efek yang lebih menegangkan karena rumah merupakan media yang sangat dekat dengan manusia dan memiliki ingatan tersendiri. Film horor memiliki elemen unik yang berbeda dengan genre film lainnya karena pendekatan emosional yang membuat penontonnya merasakan ketegangan, ketakutan, dan suasana tegang yang diatur oleh visual dan audio capture. Film yang merupakan media penyampaian informasi dan penyalur pesan dan emosi memiliki kemampuan untuk memanipulasi ruang sehingga narasi yang disampaikan lebih terkontrol dan pesan yang terkandung lebih mudah diterima. Dari kemampuan ini, film dan arsitektur terkait dalam beberapa konsep. Penulisan ini dilakukan dengan membandingkan 3 film horor Indonesia dengan rumah sebagai setting utamanya. Perbandingan dilakukan dengan membahas pola pada setiap elemen film horor sehingga dapat dianalisis hubungan antara elemen spasial rumah dengan interioritas apa yang terdapat dalam film tersebut.
The house is an entity with character that can make humans comfortable and feel safe. When the narration in a horror film uses a house as the main setting, its existence gives a more tense effect because the house is a medium that is very close to humans and has its own memories. Horror films have unique elements that are different from other film genres because of the emotional approach that makes the audience feel tension, fear, and a tense atmosphere that is governed by visual and audio capture. Film, which is a medium for conveying information and channeling messages and emotions, has the ability to manipulate space so that the narrative conveyed is more controlled and the message contained is easier to accept. Of these capabilities, film and architecture are related in several concepts. This writing is done by comparing 3 Indonesian horror films with the house as the main setting. The comparison is done by discussing the pattern in each element of the horror film so that it can be analyzed the relationship between the spatial elements of the house and what interiority is contained in the film."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Nitamia Indah Cantika
"Adanya peraturan pemerintah mengenai pembatasan luas lantai rumah paling sedikit sebesar 36 meter persegi marak diperbincangkan. Meskipun akhirnya dihapuskan, hal ini merupakan usaha dari pemerintah agar rumah yang dibangun dapat memenuhi kebutuhan ruang gerak setiap manusia di dalam rumah sebesar minimum 9 meter persegi, terutama keluarga yang terdiri atas empat orang atau lebih. Penulisan ini bertujuan untuk mengetahui sudahkah kebutuhan ruang gerak manusia terpenuhi dalam rumah berluasan 36 meter persegi dengan jumlah anggota keluarga empat orang, serta kebutuhan ruang gerak manusia di dalam rumah berdasarkan kegiatan dan ukuran tubuhnya.
Penulis menggunakan studi antropometri terhadap anggota keluarga yang tinggal di rumah tersebut untuk mengetahui kebutuhan ruang geraknya. Berdasarkan hasil pengamatan diketahui bahwa tidak setiap anggota keluarga memerlukan ruang gerak minimum 9 meter persegi, kegiatan dan ukuran tubuh berpengaruh besar terhadap kebutuhan ruang gerak di dalam rumah, dan rumah berukuran 36 meter persegi dapat memenuhi kebutuhan ruang gerak empat orang dengan penggunaan ruang bergantian dan fungsi ruang ganda. Selain itu ditemukan bahwa organisasi ruangan di dalam rumah memberi pengaruh besar terhadap kebutuhan ruang sirkulasi.
Lately, government regulation of the minimum 36 meter square floor area in houses become issues in society. Although it’s already erased but the regulation is an attempt of the government to make sure that house can accomodate the human movement space needs for minimum 9 meter square for every people, especially for family that consist of four or more peoples. This study aims to discover are the human movement space needs have been fulfilled in 36 meter square house by four members family and the human movement space needs in house by virtue activities and body size. Author use anthropometry study to family members who lives in that houses to discover the human movement space needs. As the results of the study, the author finds that’s not every family member needs 9 meter square for movement space, activities and body size have big influent to movement space needs in house, and 36 meter square house can accomodate the movement space needs by switch the room function and use alternate room. Besides that, author finds that room orders in house can influent the human movement space needs."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2013
S46503
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Dwi Julia Azizah
"Relaksasi dan interaksi sosial merupakan aktivitas ketiga yang berperan sebagai salah satu kebutuhan fundamental manusia untuk mencapai hidup yang seimbang. Dalam lingkungan hidup manusia dibutuhkan ruang untuk memenuhi aktivitas ketiga tersebut. Ruang untuk memenuhi aktivitas ketiga berupa domain publik yang terpisah secara jelas dari domain domestik dan domain produktif. Hal ini membuat manusia membutuhkan ruang publik sebagai fasilitas aktivitas ketiga mereka. Ruang publik pun menjadi bagian dari salah satu kebutuhan fundamental manusia. Dari sini, aktivitas ketiga dan ruang publik membentuk kebutuhan ketiga manusia. Namun, pada kenyataannya masih terdapat lingkungan tinggal manusia yang tidak memiliki ruang publik. Dalam kondisi tersebut manusia masih memiliki tuntutan untuk memenuhi kebutuhan ketiga, namun, mereka dihadapi dengan persoalan absensi ruang publik. Berdasarkan situasi tersebut, skripsi ini menganalisis area permukiman Kampung Setu, Bintara, Bekasi Barat. Lingkungan tersebut dihadapi dengan absensi ruang publik yang membuat kebutuhan ketiga penduduk terancam. Dari hasil observasi dan analisis ditemukan bahwa dalam menghadapi isu absensi ruang publik masyarakat akan berusaha untuk mencari ruang dengan karakter yang dimiliki ruang publik secara sadar maupun tidak sadar. Kemudian mereka akan ‘membentuk’ ruang publik mereka sendiri dengan cara beradaptasi dalam melakukan aktivitas ketiga di ruang pengganti tersebut. Hal ini memperlihatkan bagaimana kebutuhan ketiga, yaitu ruang publik dan aktivitas ketiga, telah menjadi bagian fundamental hidup manusia. Meskipun dihadapi dengan isu absensi ruang publik, manusia dengan berbagai cara akan berusaha untuk tetap memenuhi kebutuhan ketiga mereka.
The third activity are relaxation and social interaction that play a role as one of the human’s fundamental needs to reach a balance life. Human’s living environment needs a space that will accommodate the third activity. The space to satisfy the third activity are in the form of public domain that has a clear boundary from the domestic domain and the productive domain. This make public space into a facility for the human’s third activity and it becomes a part of the human’s fundamental needs. From here, the third activity and the public space are establishing the human’s third need. Nevertheless, in reality there are still exist a living environment that doesn’t have public space. In that condition, human still has the demand of the third need, but they face the absence of public space. Based on the said situation, this thesis analyzes a neighborhood called Kampung Setu in Bintara, West Bekasi. That neighborhood faces the absence of public space issue that endanger the inhabitant’s third need. The results from observations and analysis shows that in dealing with the issue of public space absenteeism, the community will try to find a space that has the character of the public space, consciously or unconsciously. Then, they will ‘form’ their own public space by adapt themselves in doing third activity at those substitute space. This shows how the third need, namely public space and the third activity, has become a fundamental part of human life. Even though they are faced with the issue of public space absenteeism, people will in any various way try to fulfill their third need."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Intania Kusumawardhani
"Penggunaan warna untuk penataan ruang dalam sebuah bangunan tidak terlepas dari fungsi bangunan serta fungsi ruangan di dalamnya. Tujuan pewarnaan ruang tidak hanya terbatas menyenangkan mata saja, tetapi pada studi kali ini, warna juga dijadikan alat untuk pengenalan anak terhadap lingkungan dan pengembangan psikologis anak usia dini. Masa ini merupakan penyesuaian anak terhadap lingkungan pembelajaran, sehingga kebutuhan ruang bagi anak merupakan hal yang penting. Penataan harus dirancang dengan baik, sehingga baik dari segi keindahan maupun dari segi fungsi keduanya tercapai. Melalui metode penulisan deskriktif analitis, penulis mencoba mengungkapkan dalam pemaparan, warna seperti apa yang dapat mendukung pemenuhan kebutuhan anak pada ruang belajar.
The use of color to the arrangement of space within a building can not be separated from the building function as well as function rooms in it. The aim is not only limited for refreshed our eyes, but for this study, the color is also used as a tool for introducing children to the environment and the psychological development of children. This period represents an adjustment of children to the learning environment, so the space requirement for children is important. Arrangement must be designed well, so in terms of both beauty and function in terms of both achieved. Through analytical- descriptive methods, the author tries to express the exposure, what kind of color that can support the needs of children in the learning space."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2010
S51567
UI - Skripsi Open Universitas Indonesia Library
Dhita Trie Oktaviani
"Skripsi ini membahas gagasan hodological space berbasis path, objek dan barier sebagai dasar analisis pergerakan manusia. Melalui gagasan hodological space, ruang pergerakan manusia dianalisis untuk mendapatkan informasi keruangan serta proses terjadinya interaksi spasial antara manusia dengan objek dan barier pada path. Hodological space menjelaskan preferred path berisi objek dan barier yang dilewati manusia secara sekuensial menuju poin destinasi yang menjadi tujuan pergerakan. Studi kasus mengungkap potensi pengalaman ruang berupa interaksi spasial pengguna kursi roda terhadap barier yang ada serta hubungan antara path, barier dan objek dalam ruang. Informasi keruangan yang didapat berupa pengaruh posisi dan jenis barier serta objek terhadap sekuens pergerakan manusia dalam menjalani path. Interaksi spasial yang terjadi diawali dengan pembentukan mental map yang menghubungkan poin awal dan destinasi. Saat manusia bergerak, manusia akan bertemu barier dan objek dan menyesuaikan keberadaan keduanya melalui pergerakan tubuh.
This thesis discusses the notion of hodological space based on path, object and barrier as basic analysis of human movement. Through the notion, human movement in space is analysed to obtain spatial information and the process of spatial interaction between human, object and barrier in path. Hodological space describes the preferred path that contains objects and barriers is experienced by human sequentially to the destination point as the goal of movement. The case study uncovers the potential for spatial experience in the form of wheelchair user interactions with existing barriers and the relationship between path, barriers and objects. The spatial information that is obtained is the impact of position and type of barrier and object on the sequence of human movement in path. The spatial interaction that occurs begins with the formation of a mental map that connects the starting point and destination point. When human moves, human will interact with barriers and objects and adjust their existence through body movements."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Cindy
"Dewasa ini, perusahaan atau organisasi mulai memperhatikan dan mengubah cara pandang mereka mengenai perancangan kantor. Jika kantor dulu merupakan menekan komunikasi, kantor masa kini justru mendukung komunikasi serta kerja sama antar pekerja. Dengan semakin berkembangnya ilmu perancangan ruang, tentunya alternatif perancangan layout kantor sebagai salah satu bentuk solusi rancangan semakin beragam serta menawarkan keunggulan yang juga beragam. Bagaimanakah layout kantor dapat menjawab kebutuhan akan kerja sama kantor - Tentunya tingkat kebutuhan akan kerja sama dalam setiap kantor dipengaruhi oleh karakteristik organisasi kantornya. Layout kantor dapat meningkatkan kerja sama antar pekerja dengan cara mempertemukan, mendekatkan, serta mengisolasi pekerja yang perlu bekerja sama.
Nowadays, many companies or organizations begins to notice and change their view of the way of designing the office. In the past, office was blocking communication, but now, it's enhancing the communication. Development of knowledge makes more varying of alternative office layout design and gives more advantages. How office layout can solve the need of cooperation of their workers in their organization' The need of cooperation of workers in an organization is affected by the characteristic of the organization. Office layout can enhancing cooperation by causing workers that have to cooperate to meet, making them closer, and isolating them in one place."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2010
S52347
UI - Skripsi Open Universitas Indonesia Library