Ditemukan 114608 dokumen yang sesuai dengan query
Agung Nugraha
"Dalam pemikiran etika modern, eudaimonia dipandang tidak lagi relevan sebagai dasar dari moralitas atau bertindak etis. Hal ini terutama akibat kritik Kant terhadap etika eudaimonia, bahwa motivasi akan kebahagiaan hanya akan merusak inti dari moralitas. Bagi Kant, moralitas adalah persoalan kewajiban. Robert Spaemann bermaksud merehabilitasi etika eudaimonia dengan berusaha mencari titik temu antara kebahagiaan dan kewajiban. Pemisahan antara kebahagiaan dengan kewajiban adalah kesalahan dalam memahami dasar dari moralitas. Kesalahan Kant adalah memandang moralitas haruslah bebas dari segala kepentingan dan memandang motivasi akan kebahagiaan bersifat egoistik. Kesalahan tersebut adalah konsekuensi dari ontologi modern yang tidak dapat menampung konsep tentang transendensi diri. Spaemann lantas beralih kepada konsep cinta, yang menurutnya mengubah kepentingan diri, sebagai hasil dari transendensi diri makhluk rasional. Dalam cinta, tidak ada lagi pertentangan antara motivasi akan kebahagiaan dan melakukan yang wajib. Hal ini karena dalam cinta, yang menjadi motivasi dari tindakan adalah realitas orang lain, dan dalam cinta pula seseorang memperoleh kebahagiaan atas realitas orang lain.
In modern ethics, eudaimonia is considered as irrelevance to become a ground for morality or ethical actions. It is primarily an implication of Kant's critique to ethics of eudaimonia, that motif of happiness may corrupt the core of morality. According to Kant, morality is all about obligation. Robert Spaemann attempts to rehabilitate ethics of eudaimonia by seeking for a link between happiness and obligation. The separation between happiness and obligation is a mistake in attempt to understand the ground of morality. Kant makes a mistake by considering morality as free from any interest and also considering that motif of happiness is egoistic. That mistake is a consequence of modern ontology that unable to accommodate the concept of selftranscendency. Thus Spaemann turns to concept of love, which he thinks can change self-interest as the result from rational being's self-transcendency. In love, there is no opposition between motif of happiness and doing obligation. It is because, in love the motif of an action is other's reality; it is also in love that someone acquires happiness from other's reality."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2012
S42990
UI - Skripsi Open Universitas Indonesia Library
Yudistira
"Dilatarbelakangi oleh adanya suatu kontroversi terhadap pemikiran etika Confucius mengenai hierarki moral di masa kini. Penelitian ini merupakan analisa kritis tentang teori hierarki moral Confucius. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengemukakan argumentasi logis dan relevansi tentang hierarki moral Confucius. Metode yang digunakan adalah metode analisis deskriptif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa argumentasi logis dari hierarki moral dapat menggunakan logika paradigmatis dengan membandingkan konsep hierarki moral Confucius dan konsep Leviathan Hobbes, selain itu dapat menggunakan teori revolusi kebudayaan dari Alvin Toffler sebagai landasan argumentasi. Hasil penelitian lainnya adalah bahwa konsep hierarki moral Confucius memiliki relevansi di masa kini.
Based on the controversion of Confucius ethics discourse about the hierarchy moral presently. This studies about the critical analysis about the theorytical of Confucius moral hierarchies. The purposes of this studies is to show the logic argumentation and relevance of moral hierarchies of Confucius. The method used is analysis descriptive method. The studies result prove that logical argumentation from hierarchies moral using the logical paradigm with compare the concept of Confucius moral hierarchies and Hobbes Leviathan concept, instead able to use the revolution theory of culture from Alvin Toffler as a basic argumentation. Another result of this studies is the concept of Confucius moral hierarchies as a relevance for a today life."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2013
S47163
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
William Wardoyo
"Tulisan ini bertujuan untuk membahas secara mendalam etika Prima Facie Duties ciptaan William David Ross. Prima Facie Duties merupakan teori etika yang didasari oleh dua konsep dasar yaitu konsep ketepatan dan konsep kebaikan. Kedua konsep inilah yang mendasari kewajiban dalam Prima Facie Duties yaitu duty of fidelity, duty of gratitude, duty of reparation, duty of beneficence, duty of justice, duty of self-improvement, dan, duty of non-maleficience. Tulisan ini juga memberikan perbandingan Prima Facie Duties dengan Ideal Utilitarian Moore dan Deontology Kantian, dan Moral Relativism untuk memberikan suatu gambaran jelas apa yang menjadi corak khas dari Prima Facie Duties. Dalam tulisan ini juga dimasukan kritik dari John Rawls kepada intuisionisme dan juga tanggapan berdasarkan Prima Facie Duties terhadap kritik tersebut yang berupa improvisasi penting bagi Prima Facie Duties yaitu sistem prioritas.
The point of this essay is to explain deeply the Prima Facie Duties ethics which were made by W.D. Ross. Prima Facie Duties is an ethical theory based on two main concept which is right and good. These two central concept become the base of the seven duties which are duty of fidelity, duty of gratitude, duty of reparation, duty of beneficence, duty of justice, duty of self-improvement, and duty of non-maleficience. There is also comparison of Prima Facie Duties with Moore Ideal Utiliarianism, Kantian Deontology, and Moral Relativism to show the main characteristic of Prima Facie Duties. Critics from John Rawls against ethical intuitionism is also included with the solution for Prima Facie Duties based on John Rawls critics which improves Prima Facie Duties in the form of priority system."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2016
S64376
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Boston: Blackwell, 1990
170 COM
Buku Teks Universitas Indonesia Library
London: Harvard University Press, 1947
185 ARI
Buku Teks Universitas Indonesia Library
Farrely Firenza
"Spesiesisme merupakan persoalan klasik mengenai timpangnya cara pandang dan pengakuan manusia terhadap kelompok hewan (non-manusia) yang menimbulkan relasi asimetris diantara keduanya. Akibat dari cara pandang yang timpang ini manusia kemudian mengelompokkan spesies tetentu yang kemudian mempengaruhi persepsi mereka mengenai kelompok hewan. Artikel ini membahas persoalan spesiesisme melalui fenomena kontemporer berupa sikap defensif manusia terhadap sebagian kelompok spesies hewan domestik terhadap kelompok hewan ternak. Berangkat dari kasus ini timbul pertanyaan berupa, apakah sikap defensif suatu spesies tertentu merupakan tindakan yang dapat dijustifikasi secara moral. Oleh karenanya, penulis menganalisis permasalahan ini menggunakan pendekatan studi etika lingkungan dengan tema moralitas dibantu dengan eksperimentasi pikiran yang menunjukkan bahwasanya tindakan tersebut merupakan tindakan spesiesis yang dasar justifikasinya bersifat inkonsisten. Penulis juga menemukan fakta bahwasanya sifat defensif manusia terhadap beberapa spesies tertentu merupakan hasil konstruksi dari pengaruh sosio-kultural yang bekerja dalam suatu skema ideologi dengan istilah karnisme. Berdasarkan hal ini penulis menemukan inti permasalahan yang berkaitan dengan moralitas dan konsekuensinya terhadap lingkungan justru terletak kepada keputusan manusia dalam pilihan makanannya (daging atau non-daging), bukan kepada daging jenis spesies apa yang dapat dikonsumsi.
Speciesism is a classic problem of unequal human views and recognition of animal groups (non-humans) that give rise to asymmetrical relations between the two. As a result of this unequal perspective, humans then group certain species which then affect their perception of animal groups. This article discusses the problem of speciesism through the contemporary phenomenon of human defensiveness towards some groups of domestic animal species towards groups of livestock animals. Departing from this case, the question arises in the form of whether the defensiveness of a particular species is an action that can be morally justified. Therefore, the author analyzes this problem using an environmental ethics study approach with the theme of morality combined with thought experiment which shows that the action is a speciesist action whose justification basis is inconsistent. The author also finds that the defensive nature of humans towards certain species is the result from the construction of socio-cultural influences that work in an ideological scheme (carnism). Based on this, the author finds that the core of the problem related to morality and its consequences for the environment lies precisely in human decisions in their food choices (meat or non-meat), not in what kind of meat species can be consumed."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja Universitas Indonesia Library
Aldair Zerista Hutama
"Dalam eksistensialisme Sartre, rasa takut kurang mendapat penjelasan yang mendalam, sehingga sulit untuk dapat melihat pengaruhnya dalam eksistensi seorang subjek. Rasa takut sesungguhnya adalah salah satu rasa mendasar yang dimiliki oleh manusia. Rasa takut sudah terstruktur di dalam diri seorang manusia. Ia mempengaruhi hal-hal yang dilakukan oleh subjek bahkan sejak subjek masih dalam tahap kesadaran pra-reflektif. Rasa muak akan membawa subjek menyadari bahwa sesungguhnya ia memiliki kebebasan dan dapat menentukan eksistensi dirinya sendiri. Dari sana, kesadaran pra-reflektif berubah menjadi kesadaran reflektif. Kebebasan adalah kutukan karena ia selalu diiringi dengan tanggung jawab yang berat padahal tidak pernah ada kepastian akan hasil yang nantinya didapat. Hal itulah yang membuat manusia mengalami rasa cemas. Rasa cemas ini kemudian membawa manusia melihat konsekuensi-konsekuensi yang mungkin dari pilihan yang ada bagi si subjek. Disinilah kemudian rasa takut mempengaruhi subjek dalam mengambil pilihan eksistensialisnya. Apakah subjek akan memilih pilihan yang aman baginya, ataukah ia berani melawan ketakutannya dan bertransendenis menjadi diri yang baru.
The focus of this study is to prove the effect of fear for the existence of the subject, which is not well explained in Sartre’s existensialism. As a matter of fact, fear is one of human basic feeling, it is an undeniable structure as a human. Feareffected subjects act even in pra-reflective conciousness stage. Nausea will bring subject to realizing, that in fact, he has a freedom and he can choose freely, what kind of existence that he want to create for his own self. At that stage, prareflective conciousness will change into reflective conciousnes and subject could realize their freedom. But freedom it self is a curse because there's a great responsibility adheres our acts whereas there’s never been any certainity about the consequnces. This condition trap human in anxiety feeling. Anxiety will bring subject to see the consequences that probably will appear from all the choice that they can take. At this stage, fear will effecting subject in taking his existential choice. Will the subject going to choose the savest choiceor fight his fear and doing transcended and becoming a new self."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2013
S47773
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Stumpf, Samuel Enoch, 1918-1998
New York: McGraw-Hill, 1971
190 STU p
Buku Teks Universitas Indonesia Library
Piaget, Jean, 1896-1980
Jakarta: Gramedia, 1988
100 JEA a
Buku Teks SO Universitas Indonesia Library
Nurul Arrifa
"Dalam dunia modern, manusia cenderung melihat segala sesuatunya hanya berdasarkan fungsi semata bahkan memandang manusia sendiri sebagai kumpulan fungsi. Gabriel Marcel, seorang filsuf Perancis yang berbicara mengenai keberadaan manusia berpendapat bahwa cinta kasih dapat membuat manusia keluar dari kumpulan fungsi tersebut dan memandang secara keseluruhan sehingga menjadi manusia yang ada. Pandangan Marcel ini menjadi alat untuk menganalisis seorang tokoh di dalam film yang berjudul 50 First Dates dengan menjadikan tokoh tersebut, Henry Roth, sebagai representasi manusia yang bereksistensi melalui cinta kasih di dalam sebuah relasi intersubjektivitas.
In the modern world, human tends to see everything is based only on the function even seeing human itself as a crowd of function. Gabriel Marcel, a French Philosopher who talked about the human existence had an opinion that love can make human gets out from that crowd of function and sees as a whole-being for becoming a human who exists. This view of Marcel becomes a tool to analyze a character in the film which has a title 50 First Dates by making that character, Henry Roth, as a representative from the human who exists through love in an intersubjectivity relation."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2013
S47056
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library