Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 197562 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Abdullah Nirmolo
"ABSTRAK
Kemajuan Teknologi dalam hal ini mendorong pertumbuhan industriindustri
alat berat beserta fasilitas-fasilitas lainnya. Proses penyambungan material
dengan pengelasan memegang peran penting dalam proses pembuatan dan
perawatan fasilitas-fasilitas di industri. Material yang digunakan dalam pembuatan
alat-alat di industri tentunya tidak hanya satu jenis saja, begitupun proses
pengelasan yang dilakukan tidak dalam satu posisi saja. Baja tahan karat
austenitik 304 banyak digunakan dalam aplikasi di industri karena harganya yang
murah, memiliki ketahanan korosi yang baik, dan kemampulasan yang bagus.
Akan tetapi, baja tahan karat austenitik 304 akan menurun ketahanan korosinya
jika mengalami sensitisasi, yaitu terbentuknya senyawa krom karbida di batas
butir, yang menyebabkan serangan korosi di sekitar batas butir. Dalam Penelitian
ini, dilakukan percobaan pengelasan antara pelat baja tahan karat austenitik 304
dengan baja karbon A36 dengan variasi ketebalan pelat 6 mm, 8 mm, 10 mm, dan
12mm, dengan variasi posisi pengelasan 1G (datar), 2G (horisontal), dan 3G
(vertikal). Hasil percobaan akan dilihat pengaruhnya terhadap terbentuknya
sensitisasi dengan mengacu pada standar ASTM A262. Hasilnya menunjukkan
sensitisasi paling minim terjadi pada pengelasan pelat 10 mm dan 12 mm dengan
posisi 1G dan pada ketebalan 10 mm dan 12 mm dengan posisi 2G. Sedangkan
tingkat sensitisasi akan maksimum pada proses pengelasan dengan posisi 3G di
semua ketebalan 6mm, 8 mm, 10 mm, dan 12 mm.

Abstract
Technology Advancement in this regard encourages the growth of heavy
industries along with other facilities. Joining material in the welding process plays
an important role in the process of manufacture and maintenance facilities in the
industry. Materials used in the manufacture of tools in the industry is certainly not
just one type, as well as the welding process is carried out not in one position
only. 304 austenitic stainless steels are widely used in industrial applications
because it is cheap, has good corrosion resistance, and good weldability.
However, corrosion resistance of austenitic stainless steels 304 will be reduced if
experience sensitization, it is the formation of chromium carbide compounds in
the grain boundaries, leading to corrosion attack around the grain boundaries. In
this study, conducted experiments the welding of austenitic stainless steel plate
304 with A36 carbon steel plate with thickness 6 mm, 8 mm, 10 mm, and 12mm,
with a variety of welding positions 1G (flat), 2G (horizontal), and 3G (vertical).
The experimental results will be looked its influence on the formation of
sensitization with reference to ASTM A262 standards. The results show the most
minimal sensitization occurs in the welding plates 10 mm and 12 mm with the
position of 1G and the thickness of 10 mm and 12 mm in 2G position. While the
level of sensitization will be maximum at the position of the welding process with
3G in all the thickness of 6 mm, 8 mm, 10 mm, and 12 mm."
Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2012
S43573
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Pasaribu, Robert Parulian Hasudungan
"ABSTRAK
Tesis ini membahas perilaku korosi dari pengelasan dissimilar antara baja karbon ASTM A36 dan baja tahan karat SS316L dengan kawat las E309L menggunakan prosedur pengelasan SMAW dan GTAW untuk dibagian root. Plat baja tahan karat dan baja karbon dengan ketebalan 10 mm dan 15 mm dilas, dipotong, diberi perlakuan panas tempering, dilakukan pengamatan mikrostruktur dan kemudian diuji secara elektrokimia. Pengujian secara elektrokimia meliputi uji electro impedance spectra (EIS), Potentiodynamic Polarization, Cyclic Voltametry. Oleh karena inti las baja tahan karat biasanya lemah terhadap korosi terlokalisasi, maka uji celup korosi sumuran ASTM G48 metode A dilakukan demi pengujian menyeluruh perilaku korosi pada pengelasan dissimilar ini. Hasilnya menunjukkan bahwa proses tempering akan meningkatkan ketahanan korosi pengelasan dissimilar. Pengelasan dissimilar tebal plat 15 mm menunjukkan ketahanan korosi yang lebih lemah dibandingkan plat 10 mm, dimana setelah diamati jumlah weld pass yang lebih banyak pada plat 15 mm mempengaruhi struktur mikro dan ketahanan korosi dari pengelasan dissimilar.

ABSTRACT
The focus of this study was addressed to observe corrosion behavior at dissimilar metal welding between carbon steel ASTM A36 and stainless steel 316L with E309L as weld consumables using SMAW and GTAW procedure at root weld. Stainless steel and carbon steel plate of 10 mm and 15 mm thickness were welded, cut, heat treated (tempered), observed for microstructure and then tested electrochemically. Electrochemical testing included electro impedance spectra (EIS), Potentiodynamic Polarization, Cyclic Voltametry. The core welding of stainless steels are known vulnerable to localized corrosion, hence the pitting corrosion immersion test ASTM G48 method was done for a thorough observation of welding dissimilar corrosion behavior. The results showed that the tempering process improved corrosion resistance of dissimilar weld. It was observed that dissimilar welding of 15 mm thickness was more susceptible than plate 10 mm. It is related to the number of weld passes which affect the microstructure and corrosion resistance of the weld dissimilar.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2016
T45291
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Harahap, Heri Multi Juliandi
"ABSTRAK
Retak dingin merupakan salah satu permasalahan yang sering terjadi pada
pengelasan baja tahan aus. Skripsi ini berisi tentang penelitian pengaruh
pemanasan awal dan perbedaan ketebalan pelat Creusabro® 4800 dengan
menggunakan pengelasan Shielded Metal Arc Welding (SMAW) Multilayer.
Elektroda yang digunakan adalah elektroda E 7018 dan MG NOX 35. Sampel
yang digunakan terdiri dari delapan buah sambungan pelat baja CREUSABRO®
4800 dengan ketebalan 12 mm dan 16 mm yang dilas dengan variasi elektroda E
7018 dan MG NOX 35 sebagai root atau cap dengan sistem silang . Dua buah
sampel ketebalan 12 mm dan dua buah sampel ketebalan 16 mm diberikan proses
pemanasan awal yang dilakukan dengan menggunakan pemanas listrik dengan
temperatur pemanasan awal 2000C. Kemudian, dua buah sampel ketebalan 12
mm dan dua buah sampel ketebalan 16 mm tidak diberikan perlakuan pemansan
awal. Berdasarkan hasil analisa data, retak dingin tidak muncul pada sampel yang
dilas dengan pengelasan multilayer dengan perlakuan pemanasan awal dan tanpa
perlakuan pemanasan awal. Perlakuan pengelasan multilayer dengan variasi root
elektroda E 7018 dan MG NOX 35 memberikan sifat mekanis yang berbeda .
Pemanasan awal memberikan efek menurunkan kekerasan tetapi menambahkan
keuletan material. Laju keausan ditetukan oleh jenis elektroda yang digunakan.
Dalam hal ini laju keausan elektroda E7018 lebih rendah. Karakteristik HAZ yang
terbentuk oleh pengelasan multilayer ini sangat berbeda, dimana luas HAZ yang
terbentuk ketika pengelasan root lebih luas daripada ketika pengelasan cap. Fasa
yang terbentuk sepanjang daerah HAZ adalah fasa martensit. Begitu juga dengan
inti las elektroda E 7018 dan MG NOX 35 yang terbentuk setelah pengelasan
sangat berbeda ketika pengelasan root dan cap. Hal ini jugalah, yang berpengaruh
terhadap sifat mekanis material hasil lasan.

Abstract
Cold cracking is one of the problems that often occur in the welding of wear
resistant steel. This thesis contains a study about the influence of preheating and
the difference in thickness of the plate Creusabro ® 4800 using the Shielded
Metal Arc Welding welding (SMAW) Multilayer. The electrodes used were
electrode E 7018 and NOX MG 35. The sample used consisted of eight pieces of
steel plate joint CREUSABRO ® 4800 with the thickness 12 mm and 16 mm are
welded to the variation of the electrode E 7018 and NOX MG 35 as a root or a
cap with cross-system. Two samples of thickness 12 mm and two samples of
thickness 16 mm given preheating is performed using an electric heater with
preheating temperature of 200 oC. Then, two samples of thickness 12 mm and
two samples of 16 mm thickness are not given preheating treatment. Based on the
results of data analysis, cold cracks do not appear on the welded samples with
multilayer welding with preheating treatment and without pre-heating treatment.
Treatment with a variety of root multilayer welding electrodes E 7018 MG NOX
35 provide different mechanical properties. Preheating gives effect to reduce the
hardness but adds ductility of the material. Wear rate is influenced by the type of
electrodes used. In this case the E7018 electrode wear rate is lower.
Characteristics of the HAZ is formed by a multilayer welding is very different,
where the wide HAZ is formed when welding root wider than cap. Phase formed
along the HAZ was martensitic phase. Core welding electrodes E 7018 and NOX
MG 35 is formed after the welding is very different when weld root and cap. It is
also likely, which affects the mechanical properties of the weld material."
Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2012
S43575
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Rona Khairol Pratama
"ABSTRAK
Pengelasan baja tahan aus memiliki masalah serius yang harus ditangani,
yaitu terjadinya retak dingin. Sehingga dengan latar belakang tersebut maka
lahirlah skripsi ini yang berisi tentang penelitian pengaruh pemanasan awal dan
perbedaan ketebalan pelat terhadap ketahanan retak dan sifat mekanis baja tahan
aus CREUSABRO® 8000 dengan pengelasan smaw multilayer. Elektroda yang
digunakan adalah elektroda E 7018 dan MG NOX 35. Sampel terdiri dari 8
pasang plat CREUSABRO® 8000 dimana 4 pasang sampel dilas dengan
elektroda E 7018 sebagai root dan MG NOX 35 sebagai cap, dan untuk 4 pasang
sisanya dilakukan sebaliknya. Proses pemanasan awal dilakukan dengan
menggunakan electrical preheater pada 4 hasil sambungan dengan varibel tanpa
pemanasan awal, dan pemanasan awal 2000C. Berdasarkan hasil analisa data,
penerapan pengelasan SMAW multilayer pada perlakuan pemanasan awal 2000C
dan tanpa pemanasan awal tidak mengakibatkan adanya retak dingin pada hasil
lasan. Selain itu, perlakuan pemanasan awal dapat meningkatkan sifat mekanis
pada hasil lasan, lalu logam yang lebih tebal memiliki kekerasan yang lebih
tinggi, dikarenakan laju pendinginannya yang lebih cepat.

Abstract
Wear resistance steel on welding have problem is that occurance of cold
cracks. So with this background is made this project which consist of reseach on
effect of preheating and different thickness plate on crack resistance and
mechanical properties of CREUSABRO® 8000 wear resistance steel welded by
multilayer SMAW process. Welding electrodes that be used are E 7018 and MG
NOX 35. All of sample consisted of 8 pieces CREUSABRO® 8000 wear
resistance steel plates, where 4 pieces of plates that be joined with E 7018
electrode as root and MG NOX 35 electrode as cap, and 4 pieces plates other do
otherwise. The process of preheat is done by using electrical preheater with 4
joining for each variable consisting of without preheat and preheat 2000C. Based
on the results of data analysis, cold cracking is not consist to the application of
SMAW multilayer in without preheat and preheat 2000C. Application of preheat
also can improve mechanical properties of weld area, and than metal which more
thickness have more hardness, it?s cause of cooling rate is faster."
Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2012
S43610
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Budi Setiawan
"Korosi retak tegang merupakan proses korosi yang dihasilkan dari kombinasi sinergis antara tegangan, lingkungan yang korosif serta karakteristik dari material. Pengujian ini mengamati fenomena korosi pada material baja sponge rotary kiln X dan Y yang memiliki komposisi yang berbeda, dimana material X memiliki kandungan nikel dan kromium yang lebih tinggi dibandingkan Y. Metode bentbeam spesimen digunakan untuk melihat ketahanan korosi kedua material pada tegangan aplikasi dan lingkungan yang berbeda dimana lingkungan yang digunakan mengandung ion klorida.
Hasil penelitian menunjukkan terbentuknya lubang pada permukaan material. Pengamatan terhadap fenomena korosi material dilakukan dengan menghitung diameter dan kedalaman lubang yang terbentuk dan perubahan berat yang terjadi setelah pengujian. Hasilnya menunjukkan bahwa dengan peningkatan tegangan dan kadar NaCl, diameter dan kedalaman lubang yang terbentuk semakin bertambah. Selain itu pengurangan berat dan laju korosi juga semakin meningkat. Hasil secara umum menunjukkan bahwa material X memiliki ketahanan korosi yang lebih baik daripada Y.

Stress corrosion cracking is a corrosion process caused by a synergy combination between stress, corrosive environment and material characteristic. This experiment observed corrosion phenomena of sponge rotary kiln steel X and Y whose different compositions, which X has higher nickel and chromium contents than Y do. Bent-beam specimen method used here to observe those two material corrosion resistances in different application stresses and chloride ions-containing environments.
The experimental results showed pits in material surface. Observations of material corrosion phenomena were done by measuring pit diameter and depth and weight loss of the material after exposure. The results showed that pit diameter and depth increased as stress and sodium chloride concentration increased. Besides that, weight loss and corrosion rate of material increased. The common results showed that X has better corrosion resistance than Y.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2008
S41724
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ade Utami Hapsari
"Korosi adalah proses degradasi material akibat adanya reaksi kimia antara material dengan lingkungan. Setiap material memiliki bentuk dan perilaku korosi yang berbeda-beda. Hal tersebut tergantung dari lingkungan dan karakteristik material tersebut.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh aplikasi tegangan dan waktu perendaman terhadap bentuk korosi yang dihasilkan, laju korosi dan kedalaman degradasi pada baja dari bijih besi laterit. Selain itu, penelitian dilakukan untuk mengetahui pengaruh ion Cl- di lingkungan terhadap laju korosi dan panjang retak pada baja dari bijih besi laterit. Baja Laterit (25x2.5x0.02 cm) diberikan tegangan dengan two point loaded. Baja tersebut direndam di dalam lingkungan air danau antara Fakultas Teknik dan Fakultas Ilmu Budaya UI selama beberapa minggu. Hasil penelitian didapat melalui pengamatan visual, pengurangan berat material, pengamatan mikrostruktur, dan pengukuran dalamnya degradasi material.
Hasil penelitian menunjukan bahwa pengurangan berat akan meningkat dengan meningkatnya waktu perendaman dan kedalaman degradasi pada baja dari bijih besi laterit akan meningkat dengan meningkatnya aplikasi tegangan dan waktu perendaman. Pengurangan berat terendah sebesar 0.018 gr dengan aplikasi tegangan sebesar 314 MPa dan waktu perendaman selama 1 minggu. Pengurangan berat terbesar sebesar 0.146 gr dengan aplikasi tegangan sebesar 481 MPa dan waktu perendaman selama 4 minggu. Kedalaman degradasi terbesar berkisar 31 μm terjadi pada tegangan 712 MPa dengan waktu perendaman selama 4 minggu. Sedangkan kedalaman degradasi terkecil berkisar 5 μm terjadi pada tegangan 314 MPa dengan waktu perendaman selama 1 minggu. Laju Korosi pada baja dari bijih besi laterit mengalami peningkatan dengan meningkatnya kadar Cl- di lingkungan air danau. Laju korosi tertinggi berkisar 0.09 mm/yr terjadi pada lingkungan penambahan 300 ppm Cl- dan laju korosi terkecil berkisar 0.009 mm/yr pada lingkungan air danau. Pengamatan mikrostukur menunjukan bahwa bentuk korosi pada baja laterit terjadi secara intergranular.

Corrosion is the destructive attack of a metal by chemical or electrochemical reaction with its environment. Every material has difference form of corrosion. It depends on environment and characteristics of materials.
The subject of this research is to investigate the effect of applied stress and immersion time to form of corrosion, corrosion rate and depth of corrosion of steel from laterite iron ore. This research also investigated the effect ion Cldissolved in solution to corrosion rate and crack length of steel from laterite iron ore. Laterite steel (25x2.5x0.02 cm) was applied stress with two point loaded and then was immersed in lake water environment for several weeks. The results are acquired with visual examination, weight loss material, microstructure examination, and depth of corrosion measurement.
The result showed that weight loss increased with increasing immersion time. Depth of corrosion also increases with increasing applied stress and immersion time. The lowest weight loss was 0.018 gr with applied stress 314.905 MPa immersed for 1 week. The highest weight loss was 0.146 gr with applied stress 418.67 MPa immersed for 4 week. The lowest depth of corrosion was 5 μm with applied stress 314.905 MPa immersed for 1 week. The highest depth of corrosion was 31 μm with applied stress 712 MPa immersed for 4 week. Corrosion rate increased with increasing ion Cl- in solution. The lowest corrosion rate was 0.009 mm/yr where immersed in lake water environment. The highest corrosion rate was 0.09 mm/yr where immersed in solution with the addition of 300 ppm Cl-. Microscopic scale showed that the corrosion is intergranular.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2008
S41729
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Siswo Utomo
"Baja tahan karat (Stainless Steel) austenitik 316L dianggap sebagai salah satu baja tahan karat standar dasar yang lebih tahan lingkungan korosif, oleh karena itu merupakan kelas baja yang penting untuk aplikasi fasilitas system perpipaan untuk mengalirkan hydrocarbon yang korosif. Namun SS 316L sangat rentan dengan kehadiran klorida dengan temperatur tertentu, karena grade 316L dapat mengalami korosi lokal di lingkungan yang mengandung klorida, sehingga diperlukan membatasi penggunaannya dalam aplikasi yang berbeda. Ketahanan korosi pada baja tahan karat 316L disediakan oleh kromium kombinasi dengan molibdenum. Lapisan oksida terbentuk pada permukaan material dan lapisan pasif ini melindungi baja terhadap lingkungan agresif. Konsentrasi dan temperatur klorida merupakan kondisi lingkungan terpenting yang mempengaruhi ketahanan pitting pada 316L. Disamping itu kondisi, kekasaran dan kerusakan permukaan juga merupakan faktor yang dapat mempengaruhi kinerja baja tahan karat. Setiap surface finish baja tahan karat akan memiliki nilai kekasaran permukaan dan nilai ekonomis yang berbeda. Perbedaan kekasaran permukaan tersebut akan memberikan ketahanan korosi yang berbeda pula. Beberapa surface finish baja tahan telah ditentukan karat berdasarkan standar EN-10088-2 dengan tipe yang paling umum 1D dan 2B. Surface finish 2B memiliki permukaan yang lebih halus dibanding 1D. Pada saat fabrikasi dan konstruksi sangat memungkinkan permukaan material akan mengalami perlakuan tertentu maupun goresan yang menyebabkan perubahan nilai kekasaran permukaan material tersebut. Pada surface finish as received pada 316L yang lebih halus memiliki ketahanan korosi yang lebih baik terjadi spesimen 2B dengan kekasaran (Ra) 0.5mm, memiliki resistansi polarisasi (Rp) 795 kΩ pada larutan garam dengan kadar klorida 10ppt pada suhu 45oC dengan rendaman 1Jam. Pada surface finish 1D dan 2B pada 316L yang di gerinda atau dirusak menjadi spesimen 1DG dan 2BG memiliki kekasaran (Ra) yang sama yaitu 0.16mm, memiliki perilaku pembentukan lapisan pasif dan ketahanan korosi yang mirip dengan indikasi nilai resistansi polarisasi (Rp) yang mirip yaitu 416 kΩ dan 430 kΩ pada larutan garam dengan kadar klorida 10ppt pada temperatur 45oC dengan rendaman 48Jam. Perbandingan surface finish as received dengan surface finish yang digerinda menunjukkan bahwa surface finish yang lebih halus memiliki ketahanan korosi yang lebih baik yakni 1DG memiliki resistansi polarisasi (Rp) 7487 kΩ pada larutan garam dengan kadar klorida 10ppt pada temperatur 45oC dengan rendaman 1Jam. Dengan mengetahui perilaku ketahanan, dan pembentukan lapisan film pada material baja tahan karat diharapkan dapat memilih surface finish secara benar sesuai dengan keperluan dan keekonomian.

Austenitic stainless steel 316L is considered as one of the basic standard stainless steels that is more resistant to corrosive environments, therefore it is an important steel class for pipeline and piping system facility applications for flowing corrosive hydrocarbons. However, SS 316L is very susceptible to the presence of chlorides at certain temperatures, because grade 316L is subject to local corrosion in chloride-containing environments, so it is necessary to limit its use in different applications. The corrosion resistance of 316L stainless steel is provided by the combination of chromium with molybdenum. An oxide layer forms on the surface of the material and this passive layer protects the steel against aggressive environments. Chloride concentration and temperature are the most important environmental conditions affecting pitting resistance at 316L. In addition, condition, roughness and surface damage are also factors that can affect the performance of stainless steel. Each stainless-steel surface finish will have a different surface roughness and economic value. The difference in surface roughness will provide different corrosion resistance. Several stainless-steel surface finishes have been specified for rust according to standard EN-10088-2 with the most common types being 1D and 2B. Surface finish 2B has a smoother surface than 1D. At the time of fabrication and construction, it is very possible that the surface of the material will experience certain treatments or scratches that cause changes in the value of the surface roughness of the material. For surface finish as received on 316L which has smoother roughness, it will have better corrosion resistance, specimen 2B has a roughness (Ra) of 0.5mm, has a polarization resistance (Rp) of 795 kΩ in a salt solution with a chloride content of 10ppt at 45oC with 1 hour soaking. For surface finishes 1D and 2B on 316L which is grinded into specimens 1DG and 2BG have the same roughness (Ra) of 0.16mm, have similar passive layer formation behavior and corrosion resistance which indicated by similar polarization resistance value (Rp) namely 416 kΩ and 430 kΩ in a salt solution with a chloride content of 10ppt at 45oC with 48 hours of immersion. Comparison of surface finish as received with ground finish shows that a smoother surface finish has better corrosion resistance, namely 1DG has a polarization resistance (Rp) 7487 kΩ in a salt solution with a chloride content of 10ppt at a temperature of 45oC with 1 hour soaking. By understanding the behavior of resistance, and the formation of a film on the stainless-steel material, it is expected to be able to select the correct surface finish according to the needs and economy."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vicky Indrafusa
"ABSTRAK
Kerentanan dan perilaku korosi retak tegang baja SAE 1086 dalam larutan
simulasi tanah dengan pengaruh tegangan aplikasi diinvestigasi dengan
menggunakan pengujian bent beam korosi retak tegang. Selain itu, pada pengujian
ini akan dicari tahu mekanisme korosi retak tegang yang terjadi pada baja SAE
1086 dalam larutan simulasi tanah. Kerentanan korosi retak tegang ditentukan
dengan menghitung densitas pit yang dihasilkan pada permukaan baja SAE 1086.
Kehadiran pit pada permukaan baja SAE 1086 dapat bertindak sebagai tempat
inisiasi retak. Sedangkan mekanisme korosi retak tegang diamati dengan
polarisasi linear, polarisasi potensiodinamik (linear sweep voltammetry), dan
perubahan sifat mekanis. Peningkatan tegangan aplikasi akan menghasilkan
jumlah pit yang semakin banyak, dimana untuk tegangan aplikasi 55 % YS
dihasilkan 40 pit/mm2, 60 % YS dihasilkan 179 pit/mm2, dan 65 % YS dihasilkan
413 pit/mm2. Jadi kerentanan korosi retak tegang baja SAE 1086 dalam larutan
simulasi tanah akan meningkat seiring dengan semakin besar tegangan yang
diaplikasikan. Baja SAE 1086 dalam larutan simulasi tanah akan mengalami
korosi retak tegang dengan mekanisme pelarutan anodik.

Abstract
The stress corrosion cracking susceptibility and behavior of SAE 1086 steel
in simulated soil solution under the effect of applied stress was investigated by
bent beam stress corrosion test. Furthermore, in this paper would be found out the
mechanism of stress corrosion cracking SAE 1086 steel in simulated soil solution.
Stress corrosion cracking susceptibility was determined by calculate the density of
pits on the surface of SAE 1086 steel. The presence of pits on the surface of SAE
1086 steel can act as crack initiation sites. While the mechanism of stress
corrosion cracking was observed by linear polarization, potentiodynamic
polarization (linear sweep voltammetry), and changes in mechanical properties.
Increasing applied stress will increase amount of pit produced, where at applied
stress 55 %, 60 %, and 65 % referred to YS (yield strength) would be produced 40
pits/mm2, 179 pits/mm2, and 413 pits/mm2 sequentially. So, the stress corrosion
cracking susceptibility of SAE 1086 steel in simulated soil solution will increase
with greater applied stress. In simulated soil solution, SAE 1086 steel will
encountered stress corrosion cracking by anodic dissolution mechanism."
Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2012
S43569
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Elriandri
"Degradasi material yang terjadi akibat adanya kontak dengan lingkungan akan menyebabkan terjadinya korosi. Pengujian korosi retak tegang kali ini menggunakan metode two - point loaded bent - beam specimen. Penelitian ini bertujuan untuk mengamati bentuk korosi yang terjadi pada logam Aluminium alloy 1xxx pada larutan elektrolit dengan campuran 1000 ml NaCl dan 15 ml HCl industri. Pengujian diberikan aplikasi tegangan sebesar 61, 73, dan 110 MPa dengan waktu perendaman masing ? masing 24, 72, dan 120 jam. Dilakukan penglihatan karakterisasi korosi yang terjadi dengan melakukan perhitungan pengurangan berat dan laju korosi, pengukuran diameter dan kedalaman korosi sumuran, serta pengamatan korosi retak tegang menggunakan mikroskop optik. Hasil penelitian ini didapat bahwa semakin besar tegangan yang diberikan maka akan semakin besar pengurangan berat dan tentunya laju korosi semakin tinggi. Intensitas korosi pitting semakin besar dengan tingginya tegangan dan lamanya waktu. Terlihat dengan adanya perbedaan besar diameter dan kedalaman pitting pada permukaan material uji.

Degradation of materials that have been caused by presence of contact with environments are the reason that corrosion has been take place. This stress corrosion cracking test is use two-loaded point bent ? beam specimen method. The objective of the reseach is to examine the corrosion form that will be happen from aluminum alloy 1xxx in electrolyte solution NaCl 1000 ml and mixed it with 15 ml HCl industry. The testing was applied stress with 61, 73, and 110 MPa and then each stress were immersed time 24, 72, and 120 hours. Measurement of corrosion characteristics includes weight loss and corrosion rate, diameter and depth of pitting, and also examination stress corrosion cracking on the microstructure of material using optical microscope. The result showed that increased applied stress could increase weight loss, and of course corrosion rate increased too. Intensity of pitting corrosion increased with high stress and increasing immersed time. It can be showed that there were different size of diameter and depth of pitting happened in surface of testing material."
2008
S51084
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Nasution, Akhmad Faizal
"Cu-30Zn memiliki ketahanan korosi atmosferik yang baik sehingga banyak digunakan sebagai inti radiator otomotif, komponen amunisi, lamp fixtures, flashlight shells dan kickplates. Cu-30Zn hasil canai dengan deformasi 33,87% pada suhu 300OC dilakukan pengujian SCC. Pengujian Stress Corrosion Cracking (SCC) dilakukan pada larutan Mattson 0,5 M (NH4)2SO4 + 0,05 M CuSO4 dalam kondisi suhu kamar dengan menggunakan beban konstan. Cu-30Zn memiliki kelemahan pada korosi retak tegang pada kondisi lingkungan ammonia. Pengujian SEM menunjukkan Cu-30Zn hasil canai 300oC memiliki arah perambatan transgranular. Selain itu, retak yang terjadi berada pada tegangan dibawah kekuatan luluh dari Cu-30Zn. Hasil EDS menunjukkan adanya indikasi dezincification pada permukaan patahan. Pengamatan visual memperlihatkan adanya perubahan warna dari kuning menjadi merah yang merupakan indikasi dezincification. Cu-30Zn homogen memiliki tingkat ketahanan SCC yang lebih tinggi dari canai dingin Cu-30Zn.

Cu-30Zn has good atmospheric corrosion resistance. Cu-30Zn mainly used as automotive radiator cores, ammunition component, lamp fixture, flashlight shells and kickplates. Cold rolled Cu-30Zn with deformation degree 33,87% at 300OC used in Stress Corrosion Cracking (SCC) test. Stress corrosion cracking (SCC) of a Cu?30Zn has been investigated using Mattsson solutions 0,5 M (NH4)2SO4 + 0,05 M CuSO4 in room temperature by using a constant load method. Cu-30Zn has a weakness on stress corrosion cracking in ammonia environment. SEM testing indicate cold roll Cu-30Zn has transgranular cracking. Furthermore, cracking occur at stress below yield stress. EDS test exhibit dezincification indication on fracture surface. Visual examination show discoloration from yellow to red. Homogenized Cu-30Zn has better SCC resistance than cold rolled Cu-30Zn."
2015
S62011
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>