Ditemukan 209612 dokumen yang sesuai dengan query
Dimas Sayyid Mahfuzh
"Penelitian bertujuan untuk melihat hubungan antara driving anger dan kualitas hidup pada pengemudi di DKI Jakarta. Penelitian ini menggunakan metode kuatitatif dengan desain korelasional. Partisipan penelitian ini adalah 124 pengemudi dewasa muda yang tinggal di DKI Jakarta dengan pengalaman mengemudi minimal enam bulan dan mengemudi kendaraan pribadi. Penelitian ini menggunakan dua alat ukur yaitu World Health Organization Quality of Life (WHOQOL-BREF) dan Driving Anger Scale. Hasil penelitian ini adalah dimensi kesehatan fisik merupakan dimensi dengan skor kualitas hidup paling tinggi pada pengemudi dewasa muda di DKI Jakarta. Selain itu, hasil penghitungan driving anger menghasilnya rentang skor antara 50 hingga 117. Berdasarkan hasil uji korelasi antara driving anger dengan kualitas hidup, terlihat hubungan yang signifikan antara driving anger dengan dimensi kesehatan fisik, dengan r = -0,206 pada level 0,05 dan dimensi kesejahteraan psikologis dengan r = -0,258 pada level 0,01 dan dimensi lingkungan dengan r= -0.188. Oleh sebab itu, terdapat hubungan negatif yang signifikan antara driving anger dengan kualitas hidup pada pengemudi dewasa muda di DKI Jakarta.
The main aim of this research is to investigate the relationship between driving anger and quality of life of young adulthood in DKI Jakarta. Quantitative methods and correlational research design was used in this study. It involved participants of 124 young adulthood drivers who live in DKI Jakarta with a criteria of minimum six months driving experience and usign private car. Two instument was used, World Health Organization Quality of Life (WHOQOL-BREF) from WHO and Driving Anger Scale by Deffenbacher, Oetting and Lynch (1994). The result of this research found that physical health dimension have the highest quality of life score in young adulthood drivers in DKI Jakarta. In addition, based on the driving anger scale the range of score varies between 50 to 117. Moreover, the result of correlation test between driving anger and quality of life indicated significant correlation between driving anger and physical health dimension with, r = -0,206 and significant at l.o.s 0.05, psychological dimension with, r = -0,258 and significant at l.o.s 0.01 and r= -0.188 and significant at l.o.s 0.05. Therefore, this study found that there is a negative correlation between driving anger and quality of life."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Open Universitas Indonesia Library
Annissa Faqih Fidini
"Saat memasuki dewasa muda, individu dihadapkan dengan tantangan terkait tugas perkembangan. Apabila dewasa muda gagal menghadapi tantangan tersebut, maka hal ini dapat berdampak pada kebahagiaan mereka. Dalam menghadapi tugas perkembangan tersebut, dewasa muda dapat menjalankannya melalui perilaku prososial. Penelitian terdahulu telah menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif antara perilaku prososial dan kebahagiaan. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara perilaku prososial dan kebahagiaan autentik (pleasure, engagement, dan meaning) pada dewasa muda. Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat ukur Orientations to Happiness (OTH) dan Prosocialness Scale for Adults (PSA) yang telah diadaptasi ke Bahasa Indonesia. Penelitian ini terdiri dari 197 partisipan yang berasal dari usia masa dewasa muda dengan rentang usia 20–35 tahun (M = 22.65, SD = 2.70). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara perilaku prososial dan kebahagiaan autentik (pleasure, engagement, dan meaning) pada dewasa muda di Indonesia (p < 0.001). Hasil menunjukkan bahwa peningkatan dalam perilaku prososial juga disertai peningkatan pada orientasi pleasure, engagement, dan meaning pada dewasa muda.
When entering young adulthood, individuals are faced with challenges related to developmental tasks. If young adults fail to face these challenges, this can have an impact on their happiness. In facing these developmental tasks, young adults can do so through prosocial behavior. Previous research has shown that there is a positive relationship between prosocial behavior and happiness. Therefore, this study aims to look at the relationship between prosocial behavior and authentic happiness (pleasure, engagement, and meaning) in young adults. The research instruments used in this study are the Orientations to Happiness (OTH) and Prosocialness Scale for Adults (PSA) measurement tools that have been adapted to the Indonesian language. This study consisted of 197 participants from young adulthood with an age range of 20-35 years (M = 22.65, SD = 2.70). The results showed that there was a significant positive relationship between prosocial behavior and authentic happiness (pleasure, engagement, and meaning) in young adults in Indonesia (p < 0.001). Results suggest that increases in prosocial behavior are accompanied by increases in pleasure, engagement, and meaning orientations in young adults."
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Dokumentasi Universitas Indonesia Library
Shara Sani Susanti
"Di Indonesia kesepian merupakan fenomena yang sering dijumpai, terutama di usia dewasa muda. Bahkan, pada penelitian yang dilakukan oleh Into the Light yang dilakukan di bulan Mei – Juni 2021 dengan 5.211 partisipan menunjukkan bahwa 2 dari 5 partisipan lebih memilih mati daripada harus merasakan kesepian. Berdasarkan hasil tersebut dapat dikatakan bahwa kesepian merupakan masalah yang serius. Penelitian- penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa kelekatan dengan hewan bisa mengurangi tingkat kesepian, namun ada juga penelitian yang menunjukkan tidak ada hubungan antara keduanya. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk memahami hubungan antara tingkat kesepian pada dewasa muda yang tidak memiliki pasangan dan kelekatannya dengan hewan peliharaan. Penelitian ini dilakukan dengan metode korelasional. Partisipan dalam penelitian ini adalah dewasa muda berusia 19-25 tahun yang tidak memiliki pasangan dan memiliki hewan peliharaan anjing dan/atau kucing (N= 103). Untuk memenuhi tujuan, penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan menggunakan 2 alat ukur, yaitu UCLA Loneliness Scale version 3 dan Lexington Attachment to Pet Scale (LAPS). Hasil uji statistik menunjukkan bahwa tingkat kesepian dan kelekatan dengan hewan tidak memiliki korelasi yang signifikan (r(103) = 0,82, p = 0,206). Dengan demikian, penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat kesepian individu dewasa muda yang tidak memiliki pasangan tidak berhubungan dengan tingkat kelekatan pada hewan peliharaan
Loneliness is a phenomenon often occurring in Indonesia, especially within your adults. In a research done by Into the Light in May - June 2021 with 5,211 participants, 2 out of 5 participants would rather choose to die than being lonely.Based on that data, we could concur that loneliness is a serious issue. Previous research has shown that attachment to animal could reduce the level of loneliness one might felt, but there are also research which shown that there are no correlation between the two. And for that reason, this research aims to understand the correlation between the loneliness levels in young adults that do not have romantic partners and their attachment with pets. This research was done with correlational method. The participants in this research are young adults age 19 to 25 that do not have romantic partners and taking care of pet(s) in the form of dog(s) and/or cat(s) (N= 103). To satisfy the condition, this research use quantitative method which used 2 measuring tools, which is UCLA Loneliness Scale version 3 and Lexington Attachment to Pet Scale (LAPS). The results shows that loneliness level and pet attachment does not significantly correlate with each other (r(103) = 0.82, p =206). And so this research shown that the loneliness level in young adults that do not have romantic partners does not correlate with the level of attachment to pets"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Karinka Febritta Anindyasari
"Selfie saat ini menjadi sebuah tren yang mendunia diiringi dengan teknologi kamera yang semakin berkembang pesat dan meluasnya fungsi sosial media. Selfie adalah sebuah foto diri yang diambil oleh dirinya sendiri, biasanya menggunakan kamera smartphone atau kamera webcam dan biasanya di unggah ke sosial media. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui gambaran locus of control dan trait kepribadian pelaku selfie pada emerging adulthood. Pengukuran intensitas selfie menggunakan alat ukur Skala Intensitas Selfie, pengukuran locus of control menggunakan alat ukur IE-Locus of Control Scale yang disusun oleh Rotter (1966) dan pengukuran trait kepribadian menggunakan alat ukur Big Five Inventory yang disusun oleh John dan Srisvatava (1999). Penelitian ini melibatkan 321 responden pelaku selfie pada kelompok usia emerging adulthood. Hasil penelitian menggambarkan bahwa responden rata-rata berada pada kelompok locus of control internal, lalu skor trait kepribadian tertinggi ada pada trait openness to experience. Melalui teknik ANOVA, hasil penelitian menunjukkan adanya pola linier positif antara intensitas selfie dengan trait extraversion. Namun, untuk intensitas selfie dengan locus of control serta trait kepribadian agreeableness, conscientiousness, neuroticism dan openness to experience menunjukkan pola linier yang negatif.
Nowadays, selfie has become world’s trend followed by rapid growing of camera technology and social media. Selfie is a photograph that one has taken of oneself, typically with a smartphone or webcam and uploaded to a social media website. This research purposes is to know the locus of control and selfie personality trait towards emerging adulthood. Selfie intensity was measured using an instrument named Selfie Intensity Scale, locus of control was measured using an instrument named IE-Locus of Control Scale made by Rotter (1966) and personality traits was measured using an instrument named Big Five Inventory made by John and Srisvatava (1999). This research involved 321 respondents of Selfie-Doers in the age of emerging adulthood. This research captured that the respondents tend to have internal locus of control, and then the highest personality traits score is on openness to experience trait. Using ANOVA technique, it indicates a positive linear pattern between selfie intensity and extraversion trait. However, intensity selfie with locus of control and personality trait agreeableness, conscientiousness, neuroticism and openness to experience shows negative linear pattern."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2015
S60655
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Gemini Rosiana
"Kelompok umur yang berpeluang besar mengalami quarter-life crisis adalah individu pada masa dewasa awal, ini dikarenakan individu sedang mengalami masa transisi dalam membangun kehidupan, karir, dan hubungan interpersonal dengan individu lain secara mandiri. Akan tetapi, metode mindfulness diajukan dapat mengurangi quarter-life crisis. Penelitian dilakukan kepada 175 partisipan dengan proporsi perempuan 57,7% yang berada pada masa dewasa awal dengan rentang usia 18-25 tahun. Pengukuran dilakukan dengan cara self-report, variabel mindfulness diukur dengan MAAS (Mindfulness Attention & Awareness Scale) dan Quarter-life Crisis Scale yang sudah diadaptasi dalam Bahasa Indonesia. Hasil analisis menunjukkan bahwa mindfulness berkontribusi positif signifikan terhadap quarter-life crisis yang dialami dewasa awal (r(175) = 0,500, dengan p < 0,05) dan tidak ada perbedaan signifikan pada skor quarter-life crisis antara laki-laki dan perempuan. Implikasi penelitian adalah perlu adanya penelitian lebih lanjut mengenai mindfulness dan quarter-life crisis pada individu dewasa awal setelah pasca pandemi.
Individual in emerging adulthood period are the age group that most likely to experience quarterlife crisis; this mainly caused by individual that experiencing a transitional period whereas trying to build a life, career, and interpersonal relationships with other individuals. However, the mindfulness method is proposed to reduce quarter-life crises. The study was conducted on 175 participants, with a total proportion of 57.7% females who were in their early adulthood with an age range of 18–25 years. The measurement was carried out by utilizing a self-report questionnaire which has been adapted to Bahasa. While the mindfulness variable is measured by the MAAS (Mindfulness Attention and Awareness Scale), the quarter-life crisis variable is measured by a Quarter-life Crisis Scale. The results of the analysis showed that mindfulness made a significant positive contribution to the quarter-life crisis experienced by early adulthood (r(175) = 0.500, with a p<0.05) while there is no significant differences between man and woman for quarter-life crisis score. The results implied the urgency to conduct further research upon post-pandemic period on mindfulness and quarter-life crisis in emerging adulthood."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Rr. Salsabila Putri Herfina
"Nilai merupakan tujuan yang bervariasi dalam kepentingannya dan berfungsi sebagai pedoman dalam kehidupan manusia. Sosialisasi budaya pada kehidupan individu juga dapat memengaruhi pemilihan perilaku mereka, serta prioritas nilai yang mungkin terbentuk dalam hidup mereka. Salah satu bentuk orientasi budaya merupakan budaya kolektivisme, dimana individu mengidentifikasikan diri sebagai bagian dari kelompok dan mengutamakan tujuan kelompok. Penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah terdapat hubungan antara nilai dan kolektivisme pada emerging adulthood. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah Portrait Value Questionnaire (PVQ)-21 untuk pengukuran nilai dan The Individualism-Collectivism Interpersonal Assessment Inventory (ICIAI) untuk pengukuran kolektivisme. Hasil penelitian yang dilakukan terhadap 258 partisipan emerging adults menggunakan analisis korelasional menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan antara 9 tipe nilai, yaitu stimulation, hedonism, achievement, power, security, conformity, tradition, benevolence, dan universalism dan empat jenis hubungan kolektivisme, yaitu keluarga, teman dekat, kolega, dan orang yang tidak dikenal, pada emerging adulthood. Adanya korelasi antara nilai dan kolektivisme diharapkan dapat menjadi sarana penanaman nilai yang positif dalam masyarakat untuk pencapaian tujuan bersama yang positif.
Values are goals that vary in importance and serve as guidelines in human life. Cultural socialization in an individual's life can also influence their choice of behavior, as well as the value priorities that may form in their lives. One form of cultural orientation is collectivism, where individuals identify themselves as part of a group and prioritize group goals. This study aims to see if there is a relationship between values and collectivism in emerging adulthood. The instruments used in this study are the Portrait Value Questionnaire (PVQ)-21 for measuring values and The Individualism-Collectivism Interpersonal Assessment Inventory (ICIAI) for measuring collectivism. The results of a study conducted on 258 emerging adults using correlational analysis showed that there is a significant relationship between 9 types of values, which are stimulation, hedonism, achievement, power, security, conformity, tradition, benevolence, and universalism and four types of collectivism relationships, which are family, close friends, colleagues, and strangers, in emerging adulthood. The correlation between value and collectivism is expected to be a means of instilling positive values in society for the achievement of positive common goals."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Haura Athaya Rachman
"Masa dewasa muda merupakan sebuah masa transisi dari remaja ke dewasa di mana individu memiliki tanggung jawab yang lebih besar, mempunyai ekspektasi masa depan, dan banyak tuntutan di saat yang sama. Banyaknya tantangan yang dialami dewasa muda menyebabkan dewasa muda menjadi rentan terhadap gangguan mental. Kematangan emosi menjadi salah satu aspek penting yang harus dimiliki oleh dewasa muda agar mereka dapat menghadapi periode yang kompleks ini. Salah satu faktor yang paling berperan dalam membentuk kematangan emosi dewasa muda merupakan bahasa cinta orang tua. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat hubungan antara bahasa cinta orang tua dan kematangan emosi pada dewasa muda. Partisipan terdiri dari 260 dewasa muda yang berusia 18-25 tahun dan berdomisili di seluruh Indonesia. Kematangan emosi diukur menggunakan Emotional Maturity Scale (EMS) dan bahasa cinta orang tua diukur menggunakan Parental Love Language Scale (PLLS). Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara bahasa cinta orang tua dengan kematangan emosional. Diantara lima bahasa cinta yang paling tinggi korelasinya adalah perkataan afirmasi (r = .374, p < .01), diikuti dengan waktu berkualitas (r = .197, p < .01), tindakan melayani (r = .152, p < .01), penerimaan hadiah (r = .160, p < .01), dan sentuhan fisik (r = .126, p < .05) dengan tingkat kematangan emosi.
Emerging adulthood is a transitional phase from adolescence to adulthood, marked by increased responsibilities, future expectations, and simultaneous demands. The numerous challenges faced during this period make young adults vulnerable to mental health disorders. Emotional maturity is identified as a crucial aspect for young adults to navigate this complex period successfully. One significant factor shaping emotional maturity in young adults is the parental love language. The purpose of this study was to examine the relationship between parental love languages and emotional maturity in emerging adult. The study involved 260 young adults aged 18-25 from various regions in Indonesia. Emotional maturity was assessed using the Emotional Maturity Scale (EMS), while the parental love language was measured using the Parental Love Language Scale (PLLS). The results indicated a positive and significant relationship between parental love languages and emotional maturity. Among the five parental love languages, the highest correlation is found in words of affirmation (r = .374, p < .01), followed by quality time (r = .197, p < .01), acts of service (r = .152, p < .01), receiving gifts (r = .160, p < .01), and physical touch (r = .126, p < .05), all associated with emotional maturity."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Nadhira Melati Putri
"Cara pandang atau evaluasi seorang individu terhadap dirinya sendiri akan cenderung positif apabila ia memiliki self-esteem yang baik. Individu pada tahap perkembangan dewasa muda (usia 18-29 tahun) dihadapi dengan berbagai tugas perkembangan serta tuntutan kehidupan di kesehariannya, sedangkan disisi lain penting juga untuk menerapkan perilaku mempromosikan kesehatan. Individu yang memiliki self-esteem yang baik diharapkan lebih mampu untuk melakukan perilaku mempromosikan kesehatan dengan lebih baik.
Penelitian ini bertujuan untuk meneliti mengenai hubungan antara perilaku mempromosikan kesehatan dan self-esteem pada dewasa muda. Responden dalam penelitian ini berjumlah 798 orang dari berbagai macam daerah di Indonesia. Perilaku mempromosikan kesehatan diukur dengan Health Promoting Lifestyle Profile II (HPLP II) dan self-esteem diukur dengan Rosenberg Self Esteem Scale (RSES). Kedua alat ukur tersebut telah di adaptasi ke dalam bahasa Indonesia.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada dimensi perkembangan spiritual terdapat hubungan yang positif dan signifikan dengan self-esteem. Sementara itu, pada dimensi tanggung jawab kesehatan, hubungan interpersonal, aktivitas fisik, nutrisi, dan manajemen stres tidak terdapat hubungan yang signifikan dengan self-esteem.
The way individuals perceives or evaluates themselves are tend to be more positive when they have a good self-esteem. Individuals in the phase of emerging adulthood (18-29 years old) are faced with various developmental task and the demands of life, but on the other hand, to put in mind it is also important for them to implement health promoting behavior on daily basis. This study aims to investigate the relationship between health promoting behavior and self-esteem in emerging adulthood. Respondents in this study consist of 798 emerging adulthood from various regions in Indonesia. Health promoting behavior were measured by Health Promoting Lifestyle Profile II (HPLP-II) and self esteem were measured by Rosenberg Self Esteem Scale (RSES). Both of this instrument has been adapted in Bahasa Indonesia. The results shows that spiritual growth is positively and significantly correlated with self-esteem. Meanwhile, health responsibility, interpersonal relationships, physical activity, nutrition, and stress management are not significantly correlated to self-esteem."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Azka Nada Fatharani
"Dewasa awal merupakan masa peralihan dari remaja menuju dewasa. Di Indonesia ditemukan data bahwa tingkat pernikahan sekaligus perceraian didominasi oleh pasangan dari kelompok dewasa awal. Untuk mengurangi perceraian, dibutuhkan kesiapan menikah. Salah satu aspek dalam kesiapan menikah adalah agama. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah religiusitas berhubungan dengan kesiapan menikah pada dewasa awal di Indonesia. Sebanyak 610 dewasa awal berusia 19-30 tahun di Indonesia menjadi partisipan pada penelitian ini. Perhitungan menggunakan Spearman Correlation dan ditemukan koefisien korelasi sebesar r=0.0373, N=610, P<0.00. Berdasarkan temuan tersebut, dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan dan positif antara religiusitas dengan kesiapan menikah. Hal tersebut menandakan bahwa semakin religius seseorang, maka semakin tinggi pula kesiapan menikah yang dimilikinya.
Emerging adulthood is a period of transition from adolescence to adulthood. In Indonesia, it was found that the rate of marriage and divorce is dominated by couples from emerging adulthood. To reduce divorce, it takes readiness to marry. One of the aspect that can influence marriage readiness is religion. This study aims to determine whether religiosity is related to readiness for marriage in emerging adulthood in Indonesia. A total of 610 early adults aged 19-30 years in Indonesia were participants in this study. Calculations using Spearman Correlation and found a correlation coefficient r=0.0373, N=610, P<0.00. Based on these findings, it can be concluded that there is a significant and positive relationship between religiosity and marriage readiness. This indicates that the more religious a person is, the higher his marriage readiness will be."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2021
S-Pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Afif Murfid Nur Aziz
"Dewasa awal memasuki masa transisi yang menimbulkan perasaan negatif terkait masa depan yang dikenal dengan quarter life crisis dan sebagai kelompok usia yang paling banyak menggunakan media sosial. Penggunaan media sosial dapat menyebabkan penggunanya mengalami perbandingan sosial yang berisiko meningkatkan terjadinya quarter life crisis. Self-compassion merupakan sikap positif yang dapat mengurangi dampak negatif dari situasi stres dan juga dibutuhkan saat quarter life crisis. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan intensitas penggunaan media sosial dan self-compassion dengan quarter life crisis pada dewasa awal. Desain penelitian menggunakan pendekatan cross sectional dan metode kuantitatif. Sampel penelitian berjumlah 473 dewasa awal di Jakarta Timur yang diambil dengan teknik purposive sampling. Instrumen penelitian menggunakan Social Media Use Integration Scale (SMUIS), Skala Welas Diri (SWD), dan Skala Quarter Life Crisis (SQLC). Analisis meggunakan Spearman’s Rho dengan hasil yang menunjukkan tidak terdapat hubungan (p>0,05) antara intensitas penggunaan media sosial dengan quarter life crisis dan terdapat hubungan (p<0,05) antara self-compassion dengan quarter life crisis. Berdasarkan hasil penelitian ini, diharapkan dewasa awal dapat memanfaatkan self-compassion selama menghadapi quarter life crisis serta tetap bijak dalam menggunakan media sosial. Penelitian selanjutnya dapat meneliti terkait variabel lain yang berkaitan dengan quarter life crisis
Emerging adulthood are entering a transitional period that raises negative feelings about the future known as the quarter life crisis and as the age group that mostlu uses social media. The use of social media could cause users to experience social comparisons that increase the risk of a quarter life crisis. Self-compassion is a positive attitude that could reduce the negative impact of stressful situations and also needed during quarter life crises. This study aims to determine the relationship between the intensity of social media use and self-compassion with quarter life crisis in emerging adulthood. The research design used a cross sectional approach and quantitative methods. The research sample consisted of 473 emerging adults in East Jakarta who were taken through purposive sampling technique. The research instruments used the Social Media Use Integration Scale (SMUIS), Self-Compassion Scale (SWD), and Quarter Life Crisis Scale (SQLC). Analysis using Spearman's Rho with results showing there is no relationship (p>0.05) between the intensity of social media use and quarter life crisis and there is a relationship (p<0.05) between self-compassion and quarter life crisis. Based on the results of this research, it is expected that emerging adults can utilize self-compassion when facing a quarter life crisis and must use social media wisely. Future research could examine other variables related to the quarter life crisis."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library