Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 187148 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rinto Tri Hasworo
"Skripsi ini akan membahas mengenai perlindungan korban dan saksi dalam pelanggaran berat hak asasi manusia. Alasan penulis mengambil tema tentang perlindungan korban dan saksi adalah karena penulis melihat pentingnya peran korban dan saksi dalam mengungkap sebuah tindak pidana, terutama dalam perkara pelanggaran berat hak asasi manusia. Peran perlindungan korban dan saksi juga sangat penting untuk mendukung proses peradilan (pembuktian) yang fair dan obyektif. Karena tanpa perlindungan kepada korban dan saksi dari ancaman, teror, intimidasi, kekerasan, maka akan mempengaruhi proses peradilan yang fair dan obyektif.
Begitu pentingnya peran saksi dalam mengungkap sebuah kejahatan dan sebagai komponen pendukung terciptanya peradilan yang obyetif, tidak diimbangi dengan pranata yang memadai untuk melindungi korban dan saksi dari ancaman, teror, intimidasi dan kekerasan. Perlindungan kepada korban dan saksi hanya diatur oleh peraturan perundang-undangan dalam bentuk Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002.
Dalam proses Peradilan Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia Ad Hoc Tanjung Priok 12 September 1984, para korban terbagi dalam dua kelompok: satu kelompok mendukung penyelesaian kasus Tanjung Priok melalui mekanisme islah dan kelomok yang lain mendorong kasus Tanjung Priok diselesaikan melalui mekanisme Peradilan Hak Asasi Manusia. Kualitas kesaksian korban dari kelompok islah relatif 'mengamankan' posisi para terdakwa. Sedangkan kualitas kesaksian korban non islah sebaliknya, memberatkan posisi para terdakwa yang semuanya adalah anggota TNI atau mantan perwira TNI. Sementara kualitas kesaksian korban yang tidak masuk dalam kelompok islah sebaliknya.
Selain membahas mengenai perlindungan saksi dan korban, skripsi ini juga mengulas proses penyelesaian kasus pelanggaran berat hak asasi manusia Tanjung Priok, baik melalui pengadilan para korban Tanjung Priok, islah dan Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc. Selain itu, juga akan dipaparkan mengenai pengaruh islah terhadap kualitas kesaksian saksi korban di pengadilan."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005
S21963
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
cover
cover
Jakarta: Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2006
341.48 IND p
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
cover
cover
Meilia Witri Budi Utami
"Indonesia sebagai negara yang mempunyai cita negara hukum harus memberikan perlindungan hak asasi manusia bagi warga negaranya dan bila terjadi pelanggaran atas hak asasi manusia tersebut, harus disediakan lembaga yang mampu memberikan keadilan dalam bentuk peradilan yang bebas dan tidak memihak. Perlindungan terhadap hak asasi manusia tersebut dimasyarakatkan secara luas dalam rangka mempromosikan penghormatan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia sebagai ciri yang penting dalam suatu negara hukum. Setiap manusia sejak kelahirannya menyandang hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang bersifat bebas dan asasi. Terbentuknya negara serta penyelenggaraan kekuasaan suatu negara tidak boleh mengurangi arti atau makna kebebasan dan hak-hak asasi kemanusiaan itu. Oleh karena itu, adanya perlindungan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia merupakan pilar yang sangat penting dalam setiap negara hukum. Jika dalam suatu negara, hak asasi manusia terabaikan atau dilanggar dengan sengaja dan penderitaan yang ditimbulkannya tidak dapat diatasi secara adil, maka negara yang bersangkutan tidak dapat disebut sebagai negara hukum dalam arti yang sesungguhnya. Terdapat beberapa alasan perlindungan saksi dan korban antara lain: keterangan yang diberikannya akan memungkinkan dirinya mendapat ancaman, teror, intimidasi dari pihak yang dirugikan, memberikan keterangan membuang waktu dan biaya, aparat penegak hukum tidak jarang memperlakukan saksi seperti seorang tersangka/terdakwa dan bagi saksi (apalagi yang awam hukum) memberikan keterangan bukanlah suatu hal yang mudah. Pada pelanggaran HAM yang berat dapat dikatakan telah ada peraturan yang memberikan perlindungan terhadap saksi dan korban. Adapun perlindungan terhadap saksi dan korban secara umum baik di dalam kasus pelanggaran HAM berat ataupun di luar kasus pelangggaran HAM berat, belum ada peraturan yang mengaturnya. Padahal, perlindungan saksi dan korban mutlak diperlukan bukan hanya pada kasus tertentu (dalam hal ini kasus pelanggaran HAM berat) melainkan pada semua kasus. Selain itu terdapat pula aturan mengenai perlindungan saksi dan korban yang tersebar di antaranya pada kasus tindak pidana korupsi, tindak pidana pencucian uang, dan sebagainya. Perlindungan saksi dan korban yang diatur tersebar dan berupa peraturan pemerintah masih kurang memadai, dan seharusnya diatur dalam undang-undang tersendiri. Kemudian Ketetapan MPR Nomor VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemeberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, mengamanatkan perlu adanya sebuah undang-undang yang mengatur tentang perlindungan saksi dan korban. Berdasarkan amanat TAP MPR tersebut, Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kemudian mengajukan sebuah Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perlindungan Saksi dan Korban pada tanggal 27 Juni 2002. RUU Perlindungan Saksi dan Korban ditetapkan sebagai salah satu dari 55 RUU prioritas yang akan dibahas oleh DPR dan Pemerintah dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Hingga saat ini, RUU tentang Perlindungan Saksi dan Korban masih dalam tingkat pembahasan di DPR. Selanjutnya, sebagai perbandingan dapat kita lihat pelaksanaan perlindungan saksi dan korban di Amerika Serikat, Inggris dan Jerman. Hak-hak saksi dan korban yang seharusnya ada antara lain hak atas kemanan fisik dan mental, hak atas pendampingan, hak atas penerjemah, hak atas informasi, hak atas perlindungan bagi saksi yang renatan, hak atas kompensasi, restitusi dan rehabilitasi. Selain itu terdapat pula perlindungan saksi dan korban yang berupa relokasi. Hak-hak saksi dan korban yang seharusnya dilindungi oleh negara sebagai pelaksanaan hak asai manusia di dalam wadah negara hukum, membawa keharusan untuk menyediakan legislasi, lembaga yang berwenang dan juga pembiayaan serta sumber pembiayaan yang diperlukan."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006
T16636
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Diana Rizki
"Lahirnya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban membawa perubahan baru dalam pemulihan hak-hak korban, khususnya mengenai pemberian kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi bagi korban pelanggaran HAM yang berat, terutama Pasal 7 ayat (3) UU No.13 Tahun 2006 yang kemudian diatur lebih lanjut dalam PP No.44 Tahun 2008. Pengaturan mengenai kompensasi ini sebelumnya telah diatur pula oleh Undang-Undang No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, terutama Pasal 35 UU No.26 Tahun 2000 serta diatur lebih lanjut dalam PP No.3 Tahun 2002. Proses peradilan terhadap perkara pelanggaran HAM yang berat selama ini dilakukan dengan menggunakan UU No.26 Tahun 2000 dan UU No.8 Tahun 1981.
Skripsi ini mengkaji bagaimanakah mekanisme pemberian kompensasi bagi korban pelanggaran HAM yang berat menurut UU No.26 Tahun 2000 dan PP No.3 Tahun 2002 sebagai peraturan pelaksananya serta menurut UU No.13 Tahun 2006 dan PP No.44 Tahun 2008 sebagai peraturan yang terbaru. Skripsi ini juga akan mengkaji bagaimanakah pelaksanaan pemberian kompensasi dalam kasus pelanggaran HAM berat yang telah berkekuatan hukum tetap.
Skripsi ini menggunakan metode penelitian kepustakaan ditambah dengan wawancara dengan narasumber. Dengan adanya ketentuan pemberian kompensasi yang dilakukan secara bertahap, maka akan menghambat pemulihan hak-hak korban terhadap kapan pelaksanaan putusan kompensasi ini akan dijalankan. Berdasarkan uraian dalam skripsi ini ternyata banyak persoalan yuridis yang membuat proses pemberian kompensasi tidak dapat diterapkan secara cepat, tepat dan layak demi perlindungan hak-hak korban.
Problem-problem tersebut muncul karena tidak jelasnya pengaturan mengenai kompensasi serta tidak adanya itikad baik dari negara untuk memulihkan hak-hak korban pelanggaran HAM yang berat. Pelaksanaan pemberian kompensasi bagi korban dalam kasus Timor-Timur, Tanjung Priok dan Abepura ternyata tidak satupun yang memberikan kompensasi bagi korban pelanggaran HAM berat di Indonesia, walaupun berbagai upaya hukum telah ditempuh hingga sampai pada putusan yang telah berkekuatan hukum tetap."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008
S22408
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>