Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 162094 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Diana Rizki
"Lahirnya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban membawa perubahan baru dalam pemulihan hak-hak korban, khususnya mengenai pemberian kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi bagi korban pelanggaran HAM yang berat, terutama Pasal 7 ayat (3) UU No.13 Tahun 2006 yang kemudian diatur lebih lanjut dalam PP No.44 Tahun 2008. Pengaturan mengenai kompensasi ini sebelumnya telah diatur pula oleh Undang-Undang No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, terutama Pasal 35 UU No.26 Tahun 2000 serta diatur lebih lanjut dalam PP No.3 Tahun 2002. Proses peradilan terhadap perkara pelanggaran HAM yang berat selama ini dilakukan dengan menggunakan UU No.26 Tahun 2000 dan UU No.8 Tahun 1981.
Skripsi ini mengkaji bagaimanakah mekanisme pemberian kompensasi bagi korban pelanggaran HAM yang berat menurut UU No.26 Tahun 2000 dan PP No.3 Tahun 2002 sebagai peraturan pelaksananya serta menurut UU No.13 Tahun 2006 dan PP No.44 Tahun 2008 sebagai peraturan yang terbaru. Skripsi ini juga akan mengkaji bagaimanakah pelaksanaan pemberian kompensasi dalam kasus pelanggaran HAM berat yang telah berkekuatan hukum tetap.
Skripsi ini menggunakan metode penelitian kepustakaan ditambah dengan wawancara dengan narasumber. Dengan adanya ketentuan pemberian kompensasi yang dilakukan secara bertahap, maka akan menghambat pemulihan hak-hak korban terhadap kapan pelaksanaan putusan kompensasi ini akan dijalankan. Berdasarkan uraian dalam skripsi ini ternyata banyak persoalan yuridis yang membuat proses pemberian kompensasi tidak dapat diterapkan secara cepat, tepat dan layak demi perlindungan hak-hak korban.
Problem-problem tersebut muncul karena tidak jelasnya pengaturan mengenai kompensasi serta tidak adanya itikad baik dari negara untuk memulihkan hak-hak korban pelanggaran HAM yang berat. Pelaksanaan pemberian kompensasi bagi korban dalam kasus Timor-Timur, Tanjung Priok dan Abepura ternyata tidak satupun yang memberikan kompensasi bagi korban pelanggaran HAM berat di Indonesia, walaupun berbagai upaya hukum telah ditempuh hingga sampai pada putusan yang telah berkekuatan hukum tetap."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008
S22408
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Zulkipli
"Tesis ini membahas tentang konsep ganti rugi bagi korban tindak pidana dalam
peraturan perundang-undangan di Indonesia dan praktiknya dalam pengadilan
HAM yang telah berlangsung, serta optimalisasi peran penuntut umum dalam
memperjuangkan hak-hak korban khususnya korban pelanggaran HAM yang
berat atas ganti kerugian dalam proses peradilan pidana. Metode penelitian adalah
yuridis normatif. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa meskipun undangundang
memberikan jaminan bagi korban pelanggaran HAM berat dalam
memperoleh restitusi dan kompensasi, namun dalam implementasinya tidak
efektif. kelemahan konsep dan prosedur restitusi dan kompensasi yang diatur
dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 menjadi faktor penting efektifitas
pelaksanaan restitusi dan kompensasi, sehingga perbaikan konsep dan penguatan
hukum acara menyangkut kompensasi dan restitusi harus dilakukan agar efektif
dalam implementasinya. Disamping itu, pihak-pihak yang terlibat langsung dalam
pengajuan konpensasi dan restitusi melalui mekanisme peradilan pidana
khususnya penuntut umum belum secara optimal memperjuangkan terpenuhinya
hak-hak korban tersebut. Seharusnya, Kejaksaan Agung sudah memiliki kebijakan
yang jelas dalam memperjuangkan hak-hak korban atas restitusi dan kompensasi.

Abstract
The thesis discusses the concept of compensation for the victims of criminal acts
in the laws and regulations in Indonesia and its practice which has been
implemented in the human rights court, as well as the role optimalization of the
public prosecutors in fighting for the rights of the victims, especially the victims
of serious human rights violation, to get compensation in criminal justice process.
The research method is normative judicial. The research results conclude that
although the law guarantees the victims of serious human rights violation to get
restitution and compensation, in the implementation it is not effective; the weak
concept and procedure of the restitution and compensation governed in the Law
No. 26 of the year 2000 become the important factor of the restitution and
compensation implementation effectiveness so that the improvement of the
concept and the strengthening of the law of procedure concerning the
compensation and restitution must be done in order to be effective in the
implementation. Moreover, the parties directly involved in filing for
compensation and restitution through criminal justice mechanism, especially the
public prosecutors, have not optimally fought to fulfill the rights of those victims.
The Attorney General?s Office should have had a clear policy to fight for the
rights of the victims to receive restitution and compensation."
Universitas Indonesia, 2011
T29299
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Harahap, Evrin Halomoan
"Pelanggaran HAM Berat merupakan kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang mengakibatkan kerugian baik fisik maupun materiil terhadap korban. Sering kali korban tidak mendapat perlindungan dan pemenuhan atas hak-haknya yang telah dijamin dalam peraturan perundang-undangan. Permasalahan yang diangkat dalam tesis ini adalah Bagaimanakah perlindungan hak korban pelanggaran hak asasi manusia berat, khususnya dalam kasus pelanggaran HAM Tanjung Priok 1984. Meskipun para pelaku telah diadili, namun hasil akhirnya adalah tidak ada kepastian pemberian hak-hak korban berupa reparasi, baik kompensasi, restitusi maupun rehabilitasi kepada korban maupun keluarga korban. Penyelesaian kasuskasus Pelanggaran HAM Berat khususnya dalam peristiwa tanjung priok 1984 cenderung berpijak pada model hukum positif yang kaku dan kurang memperhatikan kepentingan korban, padahal aparatur hukum sejatinya dapat menggunakan kacamata hukum lain demi terwujudnya keadilan substansif.
Hasil yang diharapkan dari penelitian ini adalah pemerintah dapat meninjau pelaksanaan mekanisme yang sudah ada terkait dengan penyelesaian kasus-kasus Pelanggaran HAM Berat karena pengalaman menunjukkan penyelesaian kasus Pelanggaran HAM Berat melalui jalur pengadilan akan selalu mengabaikan hak korban dalam memperoleh keadilan. Dengan demikian diharapkan pemerintah semakin serius dan berniat menyelesaikan hutang-hutang penyelesaian kasus Pelanggaran HAM Berat di masa lalu dengan lebih menitikberatkan pada kepentingan korban. Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif dengan teknik pengumpulan bahan hukum studi kepustakaan yang terkait dengan hak korban pelanggaran HAM berat di Indonesia yang diperkuat dengan wawancara terhadap narasumber. Data yang diperoleh berdasarkan penelitian kepustakaan ini akan dianalisa dengan menggunakan analisis ini.

Gross violation of human rights is an extraordinary crime resulting in both physical and material losses of victims. It is often that the victim doesn't get protection and fulfillment of the rights guaranteed in the legislation. The problems raised in this thesis is How the protection for the victims of gross human rights violations, particularly in the case of human rights violations of Tanjung Priok 1984. Although the perpetrators were sentenced, but the there is no certainty of grant of rights regarding the reparations, such as compensation, restitution or rehabilitation to victims or families of the victims. The adjudication of human rights violations cases, especially on Tanjung Priok 1984 likely rests on the rigid positive law model and put less attention to the interests of victims, where legal apparatus can actually use the other 'legal spectacles' for the realization of substantive justice.
The expected outcome of this study is that the government can review the existing implementation mechanisms associated with the solution of gross human rights violations cases because experience shows the adjudication of gross human rights violations through court will often ignore the victim's rights in obtaining justice. Thus, it is expected that the Government will be more serious and intended to solves all the past gross human rights violations with more emphasis on the importance of the interests of victims.The method used in this study is a normative juridical with collection techniques of legal studies literature related to the victim's right of gross human rights violations in Indonesia, and reinforced by conducting interviews with sources. The data were based on literature review will be analyzed using this analysis.
"
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T39197
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aulia Rahman AK
"Penegakan Hukum Pelanggaran HAM berat di Indonesia terdiri dari mekanisme yudisial dan non yudisial. Pelanggaran HAM berat di Paniai memberikan ancaman diskursus pengetahuan HAM dewasa ini. Terlebih implikasi Penegakan Hukum HAM terfokus pada para korban yang tidak terpenuhi haknya. Konsep keadilan reparasi merupakan rangkaian dari konsep keadilan transisi yang dirancang untuk menjawab pertanggungjawaban negara kepada korban Pelanggaran HAM berat yang tercantum dalam hukum nasional dan hukum internasional. Penelitian ini menggunakan metode hukum penelitian doktrinal dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konsep. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa hak reparasi atas korban banyak mengalami dialektik transisi kebijakan di berbagai rezim, khususnya di rezim dewasa ini yang menekankan penyelesaian pelanggaran HAM yang berat masa lalu melalui mekanisme non yudisial sehingga terdapat ketidaksesuaian antara konsep keadilan reparasi maupun keadilan transisional dalam penerapannya di Indonesia saat ini. Oleh karena demikian, perlu adanya rekonsiliasi dari negara sehingga pemenuhan hak reparasi bagi korban pelanggaran HAM di Paniai maupun masa lampau dapat terealisasikan secara maksimal sesuai dengan kajian komprehensif HAM.

The enforcement of gross human rights violations in Indonesia consists of judicial and non-judicial mechanisms. Gross human rights violations in Paniai pose a threat to the current human rights discourse. Moreover, the implications of human rights law enforcement are focused on victims whose rights are not fulfilled. The concept of reparative justice is part of the broader concept of transitional justice, designed to address state accountability to victims of gross human rights violations, as stipulated in national and international law. This research uses doctrinal legal research methods with legislative and conceptual approaches. The results of this study show that the reparation rights for victims has undergone a dialectic of policy transitions across various regimes, particularly in the current regime, which emphasizes the resolution of past gross human rights violations through non-judicial mechanisms. This results in discrepancies between the concepts of reparative justice and transitional justice in their implementation in Indonesia today. Therefore, reconciliation from the state is necessary so that the fulfillment of the right to reparations for victims of human rights violations in Paniai and the past can be maximized in accordance with a comprehensive human rights review."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arin Karniasari
"Saksi sebagai orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri, penting untuk dilindungi, terutama bagi saksi dalam perkara pelanggaran HAM yang berat, oleh karena saksi tersebut akan berhadapan dengan para pelaku yang pada umumnya memiliki kekuasaan. Perlindungan atas keselamatan fisik dan mental saksi mutlak diperlukan, agar saksi dapat memberikan keterangan tentang tindak pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri dengan benar tanpa ada rasa takut, dengan demikian diharapkan kebenaran materiil dapat tercapai. Sebenarnya perlindungan saksi dalam perkara pelanggaran HAM yang berat sudah diatur dalam PP No. 2 tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Korban dan Saksi Dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat, namun dipandang tidak memenuhi standar internasional baik dari segi yuridis maupun praktis, apabila dibandingkan dengan aturan yang terdapat dalam Rome Statute of the International Criminal Court beserta intrumen pendukungnya, yang dijadikan sebagai standar internasional dalam penelitian ini. Untuk memberikan gambaran secara holistik maka penulis selain meneliti PP No. 2 Tahun 2002 dan Rome Statute of the International Criminal Court beserta instrumen pendukungnya, penulis juga menjabarkan pengaturan perlindungan saksi yang terdapat dalam HIR dan KUHAP agar dapat diketahui perkembangan kemajuan perlindungan saksi dalam hukum acara pidana di Indonesia sejak berlakunya HIR, sampai berlakunya KUHAP saat ini. Disamping membahas mengenai pemenuhan standar internasional dalam perlindungan saksi dalam perkara pelanggaran HAM yang berat, penelitian ini juga membahas mengenai keberadaan saksi mahkota sebagai pihak yang juga dilindungi dengan perangkat perlindungan saksi, yang mana keberadaan saksi mahkota tersebut secara sosiologis dalam hukum acara pidana di Indonesia masih diperdebatkan. Penelitian ini memberikan solusi untuk perbaikan peng"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irdham Riyanda
"DPRD sebagai bagian dari pemerintahan daerah mendapat anggaran yang bersumber dari APBD. Untuk meningkatkan kinerja DPRD, Pemerintah mengeluarkan peraturan pemerintah yang mengatur protokoler dan keuangan pimpinan dan anggota DPRD. Pokok permasalahannya adalah apakah Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2006 (PP Nomor 37 Tahun 2006) dan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2007 (PP Nomor 21 Tahun 2007) bertentangan dengan undang-undang yang terkait? Serta bagaimana dampak kedua peraturan pemerintah tersebut terhadap kondisi keuangan daerah?
Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum yuridis-normatif dengan menggunakan data sekunder. PP Nomor 37 Tahun 2006 dalam Pasal 14D bertentangan dengan UU Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundangan-Undangan, UU Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara, UU Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Pasal 14B PP Nomor 21 Tahun 2007 bertentangan dengan UU Nomor 10 Tahun 2004. Ditetapkannya Penyelidikan dan..."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007
S22149
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Basuki Katono
"ABSTRAK
Perubahan sistem nilai dengan cepat menuntut adanya norma-norma kehidupan sosial baru untuk senantiasa mengikuti perkembangan masyarakat, termasuk ketentuan mengenai remisi. Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Bagi narapidana tindak pidana narkotika¬-psikotropika, korupsi, terorisme, dan kejahatan HAM berat, remisi diberikan setelah mereka menjalani sepertiga masa pidana dan berkelakuan baik. Hal ini berbeda dengan peraturan sebelumnya yang tidak membedakan jenis tindak pidana.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana fungsi remisi dalam pembinaan narapidana tindak pidana narkotika-psikotropika, korupsi, terorisme dan kejahatan HAM berat dan mengetahui langkah-langkah yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM DKI Jakarta dan Lembaga Pemasyarakatan Klas I Cipinang dalam pemberian remisi bagi mereka.
Penelitian ini bersifat deskriptif analisis dan dikategorikan sebagai penelitian kualitatif, dengan teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan menggunakan metode wawancara terhadap petugas Lembaga Pemasyarakatan Klas I Cipinang, Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM DKI Jakarta, dan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan yang berkaitan secara langsung dengan bidang remisi, registrasi dan statistik maupun narapidana tindak pidana narkotika¬p-sikotropika, korupsi, terorisme dan kejahatan HAM berat.
Analisis penelitian menunjukkan bahwa pemberian remisi bagi narapidana tindak pidana narkotika-psikotropika, korupsi, terorisme dan kejahatan HAM berat belum berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006. Fungsi remisi maupun langkah-Iangkah yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Kantor Wilayah dan Lembaga Pemasyarakatan pada dasarnya sama seperti tindak pidana umum lainya dengan berdasar pada Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan dan Keputusan Presiden Nomor 174 Tahun 1999 Tentang Remisi.
Untuk itu perlu direkomendasikan agar Pemerintah segera melakukan pengkajian untuk memberikan kejelasan terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, sehingga memberikan kepastian hukum bagi Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Kantor Wilayah maupun Lembaga Pemasyarakatan dalam pelaksanaan pemberian remisi bagi narapidana tindak pidana narkotika-psikotropika, korupsi, terorisme dan kejahatan HAM berat.

ABSTRACT
This study aimed to determine whether Changes in evaluation system demands new norms in social life to always in track with development within society, including regulations about remission. Government passed Regulation Number 28/2006 about alteration to Government Regulation Number 3211999 about Conditions and Requirements of Inmates' Rights. For inmates granted with cases of drugs, corruption, terrorism and human rights violation, remission is granted after they have done one third of conviction time and recorded good behavior. This is different from the previous regulation which did not differentiate the nature of criminal cases.
This study is conducted to find how remission works inmates in drugs, corruption, terrorism and human rights violation cases, and various steps that need to be taken by Director General of Correction, Jakarta Regional Office of Law and Human Rights, and Correctional Institution of Class I Cipinang in granting remission for them.
This study is a descriptive analysis and categorized as qualitative research. Sources of information were obtained from interview with officers in Correctional Institution Class I Cipinang, Regional Officer of Law and Human Rights, and Director General of Correction who have direct access to area of remission, registration and statistic, as well as inmates with cases of drugs, corruption, terrorism and human rights violation.
This research also revealed that informants feel that remission for those inmates has not in accordance with government Regulation Number 2812006. Remission and other treatments conducted by Director General of Correction for those special inmates are basically the same as with other inmates, which is based on Government Regulation Number 3211999 about Conditions and Requirements of Inmates' Rights and Presidential Decree Number 174/1999 about Remission.
Therefore it is recommended that the government should do through examination to clarify Government regulation Number 28/2006 about alteration to Government Regulation Number 3211999 about Conditions and Requirements to give assurance to Director General of Correction, Regional Officer of Law and Human Rights and Correctional Institutional in granting remission for inmates with cases of drugs, corruption, terrorism and human rights violation.
"
2007
T20838
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>