Ditemukan 24229 dokumen yang sesuai dengan query
Lucky Setyo Arybowo
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2010
S22620
UI - Skripsi Open Universitas Indonesia Library
Djoko Prakoso
Jakarta: Rajawali, 1987
345.023 DJO t
Buku Teks Universitas Indonesia Library
Topo Santoso
Jakarta: Sinar Grafika, 2006
345.023 TOP t
Buku Teks Universitas Indonesia Library
Farhan Arif Sumawiharja
"Pemilu adalah fenomena demokrasi yang dilaksanakan di Indonesia setiap lima tahun sekali, setiap pelaksanaan pemilu selalu diawali dengan beberapa proses. Pemilu adalah suatu fenomena legalized polarization. Political Polarization mulai terlihat mencolok pada Pilpres 2014 dan memuncak pada Pilpres 2019. Pilpres 2014 dan Pilpres 2019 adalah dua kontestasi politik yang mempertemukan dua calon yang memiliki pendukung politik yang fanatik. Joko Widodo dan Prabowo Subianto adalah dua Pasangan Calon Presiden yang berkedudukan penting di dua partai besar di Indonesia, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Gerakan Indonesia Raya. Polarisasi politik di Indonesia adalah keniscayaan karena berbagai aliran dan kekuatan politik telah tumbuh dan berkembang sejak lama terutama pada masa awal kemerdekaan.. Penelitian kali ini bertujuan untuk mengetahui perkembangan polarisasi yang terjadi di DKI Jakarta dan Peran Intelijen Keamanan Polri dalam menanggulangi polarisasi masyarakat setelah pemilihan umum tahun 2019, serta melihat implikasi dari peran intelijen Polri dalam menanggulangi polarisasi masyarakat. Metode penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif. Polarisasi masyarakat yang terjadi di DKI Jakarta mulai muncul pada tahun 2016 sejak peristiwa penistaan agama yang dilakukan oleh Basuki Tjahya Purnama, setelah itu sentimen agama dan suku mencuat ke permukaan sehingga menyisakan pembelahan di masyarakat. Untuk menanggulangi hal tersebut intelijen polri mengedepankan upaya deteksi dini, penggalangan khusus, dan cipta opini di masyarakat agar polarisasi tidak meruncing dan berakibat terjadinya konflik unsur SARA. Intelijen Polri hanya baru bisa mencegah terjadinya konflik tidak mampu mengurangi polarisasi. Dengan arti kata lain Intelijen Polri masih seperti pemadam kebakaran yang mampu memadamkan api, tapi belum mampu mencegah api tersebut menyala lebih besar.
Election is a democratic phenomenon that is held in Indonesia every five years, every election is always preceded by several processes. Election is legalized polarization phenomenon. Political polarization of election emerged in the 2014 Indonesian Presidential Election and culminated in the 2019. The 2014 and 2019 Indonesian Presidential Election were two political contestations that brought two candidates who had fanatical political supporters. Joko Widodo and Prabowo Subianto were two presidential candidate pairs who had important positions in the two major political parties in Indonesia, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) and the Gerakan Indonesia Raya (Gerindra). Political polarization in Indonesia is an inevitability because some political streams and strength have grown and developed for a long time, especially in the early era of Indonesian independence. This research aims to know about the development of polarization that had occurred in DKI Jakarta and the role of the Police Security Intelligence to overcome the society polarization after the Indonesian general election in 2019 was occurred, and see the implications of POLRI’s intelligence to overcome society polarization. The research method that used is a qualitative approach. The polarization of society that occurred in DKI Jakarta emerged in 2016 since the blasphemy incident that carried out by Basuki Tjahya Purnama, since then religious and ethnic sentiments surfaced that generated society being divided. In order to counter this case the police intelligence prioritizes detection efforts, special mobilization, and creates opinion in the community to prevent SARA conflict. Currently Police intelligence only capable to prevent the conflict that happens not to reduce its polarization. Other meaning analogical Police Intelligence yet as fire fighter who fixed the fire without capability to avoid once the fire blaze burns bigger."
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Budi Suhariyanto
"Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) telah mengatur model pertanggungjawaban pidana korporasi yaitu bilamana suatu tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama korporasi maka tuntutan dan penjatuhan pidananya dapat dilakukan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya. UU Tipikor tidak mengatur kriteria bilamana pertanggungjawaban pidana hanya ditujukan terhadap korporasi atau korporasi dan pengurusnya. Ketidaklengkapan UU Tipikor tersebut menyebabkan multi tafsir di kalangan penegak hukum dan hakim sehingga menimbulkan ketidak-pastian hukum dan ketidak-konsistenan putusan pengadilan. Disertasi ini melakukan telaah mengenai perumusan model pertanggungjawaban pidana korporasi dalam perkara korupsi yang ideal di Indonesia agar tidak terjadi lagi ketidakpastian hukum dan multi tafsir dalam putusan pengadilan. Metode penelitian yang digunakan adalah studi dokumen, didukung dengan wawancara mendalam (in-depth interview) terhadap penegak hukum dan hakim. Adapun pendekatan masalah penelitian yang digunakan yaitu pendekatan perundang-undangan, konseptual, kasus dan perbandingan. Dari hasil penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa diperlukan penentuan kriteria model pertanggungjawaban pidana korporasi secara otonom, dependen dan independen. Model otonom mensyaratkan pertanggungjawaban korporasi tidak digantungkan dan dihubungkan dengan pertanggungjawaban pengurusnya sama sekali karena kesalahan korporasi tidak berasal dari atribusi kesalahan pengurusnya secara individu. Terdapat empat kriteria dalam model otonom yaitu: pertama, perbuatan pengurus merupakan perbuatan korporasi; kedua, perbuatan pengurus dilakukan untuk dan dalam rangka kepentingan korporasi dan tidak ada kepentingan individu pengurus; ketiga, kesalahan korporasi berasal dari atribusi kesalahan perbuatan korporasi; dan keempat, alokasi tanggung jawab hanya dibebankan kepada korporasi, tanpa sekalipun membebani tanggung jawab kepada pengurus. Model dependen mensyaratkan alokasi kesalahan dan pertanggungjawaban korporasi digantungkan pada terbuktinya kesalahan pengurus atas terjadinya tindak pidana korupsi. Terdapat dua kriteria model dependen yaitu pertanggungjawaban korporasi atas penerimaan manfaat hasil tindak pidana korupsi dan/atau pertanggungjawaban korporasi sebagai sarana tindak pidana korupsi. Model independen mensyaratkan pertanggungjawaban korporasi diajukan secara gabungan dengan pengurusnya dimana konstruksi kesalahan korporasi dibedakan dari pengurusnya dengan mengakomodasi kesalahan original atau organisasi atas reaksi saat terjadinya korupsi dan/atau budaya korporasi yang memicu korupsi. Penelitian ini merekomendasikan agar dilakukan reformulasi UU Tipikor dan pembentukan yurisprudensi terkait dengan kriteria model pertanggungjawaban pidana korporasi
Law Number 31 of 1999 as amended with Law Number 20 of 2001 on Corruption Crime Eradication (Corruption Law) governs a corporation criminal liability model i.e. if a corruption crime is committed by or on behalf of a corporation, then its indictment and criminal charge may be implemented against the corporation and/or its management. However, Corruption Law does not govern criteria whether criminal liability is only addressed to corporation or corporation and its management. Incomplete Corruption Law has led to multi-interpretations among law enforcers and judges causing legal uncertainty and inconsistency in court verdicts. This dissertation scrutinizes the formulation of a corporation criminal liability model in corruption cases that is ideal for Indonesia to prevent legal uncertainty and multi-interpretations in court verdicts. The research method used is a document study, supported with in-depth interviews with law enforcers and judges. The approaches of research problems used are the approaches of statutory laws, concept, case, and comparison. The research concludes that the determination of an autonomous, dependent, and independent corporation criminal liability model criteria is required. Autonomous model requires that corporation liability does not depend on and is not related to the liability of its management at all since the faults of a corporation are not originated from the attribution of its management’s faults individually. There are four criteria in the autonomous model, namely: first, the act of management is the act of a corporation; second, the act of management is conducted for and for the interest of a corporation and there is no individual interest of the management; third, the faults of a corporation come from the attribution of the faults of a corporation’s acts; and fourth, the allocation of liability is only imposed to corporation, without imposing liability to management. The dependent model requires that the allocation of faults and liability of a corporation depends on the proven faults of management regarding a corruption crime. There are two dependent model criteria namely corporation liability over the receipt of proceeds of corruption crime and/or corporation liability as a facility for corruption crime. The independent model requires corporation liability to be submitted collectively with its management in which the construction of a corporation’s faults is distinguished from its management by accommodating original or organizational faults over a reaction during the occurrence of corruption and/or corporation cultures that trigger corruption. This research recommends the reformulation of Corruption Law and the formation of relevant jurisprudence through corporation criminal liability model criteria."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
D-pdf
UI - Disertasi Membership Universitas Indonesia Library
Gatot Dwi Purwanto
"Penyelamatan PT Bank Century Tbk oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang menimbulkan konsekuensi hukum pengambilalihan kepemilikan Bank Century oleh LPS sebagaimana diatur Pasal 40 huruf a jo. Pasal 41 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (UU LPS), masih menyisakan berbagai permasalahan baik dari aspek politik maupun hukum. Dari aspek politik, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia telah menggunakan hak angket untuk melakukan penyelidikan terkait proses penyelamatan Bank Century yang menyimpulkan bahwa telah terjadi penyalahgunaan oleh berbagai otoritas yang terkait dengan proses penanganan Bank Century. Dari aspek hukum, proses penyelamatan Bank Century telah dipersoalkan oleh mantan pemegang saham Bank Century melalui forum arbitrase pada International Centre for Settlement of Investment Disputes sebagai perbuatan melawan hukum yang bertentangan dengan kewajiban Pemerintah Republik Indonesia mengenai expropriation sebagaimana diatur dalam Bilateral Investment Treaty antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Kerajaan Inggris.
Bahwa penyelamatan Bank Century oleh LPS tidak dapat dilepaskan dari kerangka hukum pelaksanaan Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) yang ditujukan untuk menjaga stabilitas sistem keuangan. Pelaksanaan JPSK, dengan resolusi bank sebagai salah satu pilarnya, merupakan instrumen penting dalam menjaga stabilitas sistem keuangan. Dalam perspektif JPSK, penyelamatan Bank Century merupakan bentuk pelaksanaan tugas resolusi bank yang dimandatkan oleh UU LPS, yaitu sebagai bentuk intervensi otoritas publik dalam mengatasi dampak sistemik yang disebabkan oleh permasalahan suatu bank guna meminimalisir dampak kerusakan yang dapat ditimbulkan terhadap stabilitas sistem keuangan dan perekonomian secara keseluruhan. Resolusi bank pada dasarnya merupakan mekanisme extra judicial yang khusus diberlakukan bagi penanganan bank bermasalah dengan pertimbangan untuk menjaga dan memelihara kepercayaan masyarakat penyimpan dana terhadap sistem perbankan secara keseluruhan. Mengingat karakteristik pelaksanaan tugas resolusi bank maka penyelamatan Bank Century oleh LPS tidak dapat dipersamakan dengan tindakan nasionalisasi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal maupun sebagai tindakan expropriation sebagaimana dimaksud dalam Bilateral Investment Treaty. Pemahaman akan pelaksanaan tugas resolusi bank menjadi penting artinya dalam memperkuat justifikasi dari aspek hukum terhadap tindakan penyelamatan terhadap Bank Century yang dilakukan oleh LPS.
The bailout of PT Bank Century Tbk by the Indonesia Deposit Insurance Corporation (IDIC) which have caused the legal consequence of the ownership takeover of Bank Century by IDIC as regulated under Article 40 letter (a) jo. Article 41 paragraph (1) of the Law Number 24 of 2004 regarding Indonesia Deposit Insurance Corporation (IDIC Law), still leaves numerous matters on both legal and political aspects. From the political aspect, the House of Representatives of the Republic of Indonesia (DPR-RI) has used its right of inquiry to conduct an investigation on the Bank Century bailout process which concluded that there has been an abuse by authorities related to the Bank Century management process. From the legal aspect, the Bank Century bailout process has been questioned by Bank Century’s former shareholders through arbitration in the International Centre for Settlement Investment Disputes as a tort which is contrary to the obligation of the Government of the Republic of Indonesia regarding expropriation as stated in the Bilateral Investment Treaty between the Government of the Republic Indonesia and the English Royal Government.The bailout of Bank Century by the IDIC can not be separated from the legal framework of the implementation of Financial System Safety Net (JPSK) intended to safeguard the financial system stability. The implementation of JPSK, with bank resolution as one of its pillars, is an important instrument in safeguarding the financial system stability. Under the perspective of JPSK, the bailout of Bank Century by IDIC through Temporary Capital Participation is a form of performance of bank resolution tasks mandated in the IDIC Law, as a form of public authority intervention in managing a systemic impact caused by problems of a bank to minimize the damage that may arise to the stability of the financial system and the economy comprehensively. In principle, bank resolution is an extra judicial mechanism specifically applied for the management of troubled banks in considerations to preserve and maintain the trust of depositing customers to the banking system comprehensively. Considering the characteristics of the implementation of bank resolution task, the bailout of Bank Century by the IDIC can not be equated with act of nationalization or expropriation of property rights referred to in the Law Number 25 of 2007 regarding Capital Investment nor as an act of expropriation as intended in the Bilateral Investment Treaty. The understanding of the implementation of bank resolution tasks become important in strengthening the justification of the legal aspects on the actions of the Bank Century bailout conducted by the IDIC."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T33012
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Pardede, Marulak
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995
346.082 PAR h
Buku Teks Universitas Indonesia Library
H.A.K. Moc. Anwar
Bandung: Alumni, 1980
345.023 2 MOC t
Buku Teks Universitas Indonesia Library
Marpaung, Leden
Jakarta: Erlangga, 1993
345.023 MAR k
Buku Teks Universitas Indonesia Library
Tani Hartono Wibowo
Jakarta: Universitas Indonesia, 1984
S21597
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library