Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 66818 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Prima Damayanti Wulandari
"Dengan berlakunya Perpu No. 1 Tahun 1998 yang kemudian menjadi Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 dan selanjutnya menjadi Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU, sengketa yang timbul dalam dunia usaha, penyelesaiannya dapat dilakukan melalui Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri. Penyelesaian oleh Pengadilan Niaga tersebut dilakukan secara transparansi, cepat dan efektif dan diharapkan dapat memberikan kepastian hukum kepada pelaku bisnis yang meliputi “Penyelesaian perkara permohonan Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU)”. Dalam studi kasus PT.Concord Benefit Enterprises,Tbk penyelesaian sengketa bisnis yang diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan landasan hukum Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 adalah putusan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), yang diajukan oleh Debitur (PT.Concord Benefit enterprises,Tbk), sebagai counter permohonan pernyataan Pailit yang diajukan oleh salah satu krediturnya PT. Sejahtera Bank Umum (dalam Likuidasi), putusan pengesahan perdamaian pada Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) tersebut memperoleh kekuatan hukum yang pasti melalui putusan kasasi Mahkamah Agung. Selanjutnya putusan tersebut melalui upaya hukum peninjauan kembali yang diajukan oleh kreditur, telah dibatalkan oleh Mahkamah Agung dan PT.Concord Benefit Enterprises,Tbk, dinyatakan pailit. Perbedaan keputusan tersebut dikarenakan adanya perbedaan penafsiran dalam pasal 265 Undang-Undang No. 4 Tahun 1998, terhadap perhitungan suara dengan cara voting, dimana didalam ketentuan tersebut belum mengatur suara abstain. Di Pengadilan Niaga terdapat suara abstain dalam praktek, tidak diperhitungkan kehadirannya sedangkan oleh Mahkamah agung suara abstain dianggap suara yang tidak berpihak maka kehadirannya harus diperhitungkan.

The implementation of Law No.1 Year 1998, which subsequently transformed into Law No.4 Year 1998 and further transformed into Law No.37 Year 2004 concerning Bankruptcy and PKPU brings about consequence that any dispute occurs within business sector can be setted through Court of Commerce in the State Court. The dispute settlement conducted through the Court of commerce is supposedly applied in a transparent, quick and effective mean, and eventually expected to be able to provide a legal certainty for all business players, comprising within the “Dispute Settlement of Bankruptcy Proposal and the Delay of Debt Payment Obligation (PKPU)”. In case of PT. Concord Benefit Enterprises, Tbk., the dispute settlement proceeded and decided by the Trade Court, in the State Court of Central Jakarta, based on Law No.4 Year 1998, took form of Decision on the Delay of Debt Obligation Payment (PKPU), proposed by the Debtor (PT.Concord Benefit Enterprises,Tbk (as the counter of bankrupt proposal submitted by one of its creditors, PT.Sejahtera Bank Umum (in liquidation). The mentioned decision acquired its legal power form the Supreme Court decision. Afterwards, the decision, through the appeal for review conducted by the debtor, has been cancelled by the Supreme Court, and hence PT. Concord Benefit Enterprises, Tbk, was officially stated bankrupt. The difference of the decision was coused by the difference of interpretation over the article 265 Law No.4 Year 1998 concerning voting, the regulation of which hasn’t yet regulate anything about abstain. There are some abstain in practice in the Court of Commerce which was not counted, while in the Supreme court, abstain is considered as a neutral vote, the reason of which it should be taken into account."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ananda Fathima Awanis
"Penulisan Skripsi ini dilatarbelakangi oleh adanya permasalahan mengenai kewenangan (legal standing) Pemegang Polis dalam hal pengajuan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). Pasal 223 UUK-PKPU hanya memberikan kewenangan untuk mengajukan permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) kepada Menteri Keuangan. Namun sejak lahirnya Undang-Undang tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK), sesuai dengan amanat Pasal 55 ayat (1) UU OJK, kewenangan Menteri Keuangan beralih seluruhnya ke Otoritas Jasa Keuangan, termasuk untuk hal-hal yang berkaitan dengan masalah kepailitan dan PKPU. Penegasan kewenangan OJK untuk mengajukan kepailitan dan/atau PKPU tersebut juga diatur dalam ketentuan Pasal 50 ayat (1) Undang-Undang Perasuransian jo. Pasal 52 ayat (1) POJK Nomor 28 Tahun 2015. Dalam Putusan Pengadilan Niaga Nomor 389.Pdt.Sus-PKPU/2020/PN.Niaga.Jkt Pst, diketahui bahwa Termohon PKPU merupakan PT. Asuransi jiwa Kresna yang merupakan perusahaan asuransi dan Pemohonnya adalah Pemegang Polis Asuransi PT. Asuransi Jiwa Kresna. Namun, Majelis Hakim dalam amar putusannya menyatakan mengabulkan permohonan Penundaan Kewajiban Pemayaran Utang (PKPU) yang diajukan oleh Pemohon. Oleh karena hal tersebut, skripsi ini akan membahas mengenai kewenangan (legal standing) Pemegang Polis dalam mengajukan permohonan PKPU terhadap perusahaan asuransi sekaligus menganalisis dasar pertimbangan Majelis Hakim dalam menjatuhkan putusan PKPU PT. Asuransi Jiwa kresna melalui analisis Putusan Pengadilan Niaga Nomor 389.Pdt.Sus-PKPU/2020/PN.Niaga.Jkt Pst.

This thesis is motivated by the existence of problems regarding the authority (legal standing) of the Policyholder in terms of submitting a Suspension of Debt Payment Obligations (PKPU). Article 223 UUK-PKPU only grants permission to apply for a Suspension of Debt Payment Obligation (PKPU) to the Minister of Finance. However, since the enactment of the Law on the Financial Services Authority (OJK), in accordance with the mandate of Article 55 paragraph (1) of the OJK Law, the authority of the Minister of Finance has shifted entirely to the Financial Services Authority, including matters relating to bankruptcy and PKPU. Article 50 paragraph (1) of the Insurance Law juncto also regulates the affirmation of OJK's authority to file for bankruptcy or PKPU. Article 52 paragraph (1) of POJK Number 28 of 2015. In the Decision of the Commercial Court Number 389.Pdt.Sus-PKPU/2020/PN.Niaga.Jkt Pst, it is known that the Respondent for PKPU is PT. Kresna life insurance is an insurance company, and the applicant is the owner of the insurance policy of PT. Krishna Life Insurance. However, the Panel of Judges stated in their judgment that the Petitioner's application for the Suspension of Debt Payment Obligations (PKPU) was granted. Therefore, this thesis will discuss the authority (legal standing) of the Policyholder in submitting a PKPU application to an insurance company as well as analyzing the basis for the consideration of the Panel of Judges in the PKPU decision of PT. Krishna Life Insurance through the analysis of the Commercial Court Decision Number 389.Pdt.Sus-PKPU/2020/PN.Niaga.Jkt Pst."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sitompul, Josua
"PKPU bertujuan agar Debitur yang memiliki masalah pembayaran utang tidak langsung dipailitkan karena sebenarnya masih dapat membayar utang-utangnya apabila diberi kesempatan oleh para Kreditur konkuren untuk menjalankan usahanya. Pemberian ini akan berpuncak pada diterima atau tidaknya perdamaian yang dapat berisi apa saja sepanjang disetujui Kreditur konkuren berdasarkan ketentuan Pasal 265 UUK. Dari sini terlihat pentingnya peranan suara Kreditur sehingga dalam pemberian PKPU eksistensi Kreditur dan adanya utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih merupakan hal-hal yang harus dibuktikan agar PKPU dapat dikabulkan Pengadilan Niaga dan perdamaian dapat dilaksanakan dan disahkan; pembuktian ini harus dapat dilakukan dengan sederhana berdasarkan asas adil, cepat, terbuka, dan efisien. Dalam perkara IFC V.S. POF dan Perkara BPPN V.S Davomas, Debitur (POF dan Davomas) diduga kuat beritikad tidak baik. Mereka diduga memunculkan Kreditur Fiktif untuk memenangkan pemungutan suara. Masalah Kreditur fiktif dalam proses PKPU terkait dengan aspek kepailitan dan PKPU, perdata dan juga aspek pidana baik materi maupun hukum acaranya tetapi UUK tidak secara tegas mengatur apakah Pengadilan Niaga berwenang memeriksa dugaan Kreditur Fiktif ini. Secara implisit, UUK membuka kemungkinan untuk memberikan kewenangan kepada Pengadilan Niaga memeriksa dugaan Kreditur fiktif karena terkait dengan proses PKPU; walaupun demikian hal ini masih dapat diperdebatkan. Batasannya adalah sepanjang dapat diperiksa dan dibuktikan secara sederhana; apabila tidak maka Pengadilan Niaga seharusnya menangguhkan perkara PKPU dan menentukan hakim perdata atau hakim pidana yang memutuskan dugaan kreditur fiktif. Apabila Perdamaian yang telah disahkan diketahui adanya kreditur fiktif setelah perdamaian disahkan maka terhadap putusan itu dapat diajukan upaya hukum Penunjauan Kembali."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005
S22033
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Palupi, Niken Sekar
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004
T36889
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ruth Maria Rentyna
"Tesis ini membahas mengenai permohonan PKPU atas diri PT. DRI yang diajukan oleh Bank Mandiri selaku Kreditur pemegang hak jaminan pada saat berlangsungnya proses gugatan sengketa nilai tukar dollar untuk pinjaman investasi yang diberikan oleh Bank Mandiri. Proses PKPU kemudian berakhir pada kepailitan kendati PT. DRI dapat membuktikan bahwa dirinya telah melaksanakan kewajibannya kepada kreditur. Prosedural permohonan PKPU dan Kepailitan dari PT. DRI dilakukan sesuai dengan Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU namun terdapat kejanggalankejanggalan dalam proses pelaksanaannya, salah satu kejanggalan tersebut adalah pemblokiran rekening PT DRI oleh Pengurus sehingga PT DRI tidak dapat mengakses rekening untuk kepentingan pembayaran seluruh biaya operasional dan gaji pegawai. Hingga tahun 2013, PT DRI masih melakukan upaya hukum terkait putusan pailit yang dijatuhkan kepada dirinya dan penjaminnya. Penelitian menggunakan metode yuridis normatif yang bersifat deskriptif analitis. Hasil penelitian menyarankan perlu dibentuk suatu lembaga independen yang khusus mengawasi proses PKPU dan kepailitan serta mengawasi kinerja Kurator, mengingat bahwa Hakim Pengawas tidak sepenuhnya bekerja untuk mengawasi proses PKPU dan Kepailitan; Peranan PPATK perlu diperluas sampai dengan taraf dimana kasus-kasus yang terjadi sebelum PPATK didirikan dapat diperiksa; Bank Indonesia perlu membuat sebuah badan internal yang berfungsi menerima dan memeriksa laporan dari masyarakat terkait kerugian yang ditanggung oleh masyarakat karena kelalaian bank; Perlu penambahan syarat keadaan insolvensi dan jumlah minimum hutang untuk dapat mengajukan permohonan PKPU; Perlunya diatur tugas dan wewenang Pengurus dan Kurator yang detail didalam Undang-undang Kepailitan dan PKPU.

This thesis focus in suspension of obligation for payment of debt petition upon PT DRI filed by Bank Mandiri as Preference Creditor-holder of security rights during lawsuit of dollar exchange rate granted by Mandiri Bank itself. PKPU process then ends in bankruptcy even though PT DRI carried out its obligations to Creditors. PKPU application procedures and bankruptcy of PT. DRI carried out in accordance with Law No. 37 of 2004 on Bankruptcy and PKPU but there are irregularities in the implementation process, one of these irregularities is blocking accounts by the Administrator so that PT DRI cannot access the account for the benefit of the entire payment of operating costs and salaries. Until the year 2013, PT DRI still take legal actions related to bankruptcy decision handed down to itself and its guarantor. This research is using normative juridical methodology and analytical descriptive. The research result to a suggestion where it is needed to set up an independent body who oversees the process of suspension of obligation for payment and bankruptcy also oversee the Receivers work performance, given that the Supervisory Judge not fully work to oversee the suspension of obligation for payment of debt and Bankruptcy. PPATK role needs to be expanded to the extent to which the cases occurred before PPATK set out. Bank Indonesia needs to make an internal body that serves to receive and investigate reports of the public related losses which borne by society due to the negligence of the bank; Need the addition of a state of insolvency requirement and the minimum amount of debt to be able to apply for suspension of obligation for payment of debt.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T42192
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Santanu Wijaya
"Suatu usaha tidak selalu berjalan baik sesuai dengan tujuannya, dan sering kali keadaan keuangannya keuntungan kerugian, dan hingga tidak sanggup membayar utang-utangnya. Penyelesaian utang melalui Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) terjadi pada Koperasi Cipaganti Karya Guna Persada yang mengalami kesulitan dalam membayar imbalan bagi hasil/keutungan bulanan kepada mitra usaha dalam bentuk Modal Penyertaan. PT. Pooling Asset merupakan rekonstruksi hukum untuk penyelesaian kewajiban dengan mitra usaha melalui mekanisme pengakuan utang piutang dengan Cipaganti Group berdasarkan Hasil Putusan Perdamaian. Permasalahan yang diangkat dari tesis ini adalah sistem pembentukan PT. Pooling Asset atas Putusan Perdamaian dalam PKPU terkait Ketentuan Undang-Undang dan kedudukan PT. Pooling Asset atas restrukturisasi perusahaan terkait asset koperasi Cipaganti Karya Guna Persada. Kedudukan PT. Pooling Asset dalam penyelesaian dengan pola restrukturisasi Debt to Equity dapat tetap berjalan.

An attempt does not always work well for their intended purpose, and often finances gains loss, and to not be able to pay its debts. Debt settlement through ?Penyelesaian Kewajiban Pembayaran Utang(PKPU)? occurs at the ?Koperasi Cipaganti Guna Karya Persada? are experiencing difficulty in paying rewards for results / monthly benefit to business partners in the form of Capital Investments. PT. Pooling Asset is a reconstruction of the law for the settlement of obligations with business partners through the mechanism of recognition of debts by Cipaganti Group is based on results of the Decision Peace. Issues raised in this thesis is the establishment of a system of PT. Pooling Asset on Decision Accord in PKPU relevant provisions of the Law and the position of PT. Asset Pooling on the company's restructuring related assets of the ?Koperasi Cipaganti?. Position PT. Pooling Asset in the completion of the restructuring scheme Debt to Equity can keep running.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
T44996
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hening Hapsari Setyorini
"Penyelesaian utang piutang antara kreditor dan debitor dapat dilakukan melalui dua cara yaitu Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), kedua cara ini pada hakekatnya berbeda baik dari segi proses, dasar pengajuan maupun akibat, namun keduanya saling terkait. PKPU berbeda dengan Kepailitan yang bertujuan mempergunakan seluruh harta kekayaan debitor pailit untuk meFnbayar seluruh utang-utang debitor pailit secara adil merata dan berimbang dibawah pengawasan seorang hakim pengawas, dalam PKPU dapat diajukan baik oleh debitor maupun kreditor bertujuan untuk mengajukan rencana perdamaian yang berisi tawaran pembayaran seluruh atau sebagian utang kepada kreditor.
Jadi sebenarnya penyelesaian utang piutang melalui PKPU dapat dijadikan alternative untuk tercapainya win win solution. Di dalam Pasal 222 ayat (3) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang telah diadakan suatu ketentuan baru mengenai penundaan kewajiban pembayaran utang dimana kini tidak hanya debitor yang dapat mengajukan PKPU, kreditorpun dapat mengajukan permohonan PKPU. Yang menarik adalah bahwa Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 belum mengatur secara jelas mengenai prosedur pengajuan dan tata cara pemeriksaan untuk permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang yang diajukan oleh kreditor, sehingga terjadi ketidakjelasan prosedur seperti dalam kasus Investeringsmaatschappij Voor Vlaanderen N.V (GIMV) melawan PT. Cahaya Interkontinental di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat.
Yang menjadi masalah dalam pengajuan permohonan PKPU oleh kreditor belum ada pengakuan utang, sebagaimana pengajuan permohonan PKPU oleh debitor, dan mengenai pembuktian adanya utang apakah dilakukan sebelum dikabulkannya PKPU Sementara atau setelah adanya PKPU Sementara yaitu dalam rapat-rapat verifikasi seperti yang terjadi pada kasus ini. Proses suatu permohonan PKPU oleh Kreditor ini berlangsung selama 20 hari sebelum majelis hakim niaga mengabulkan PKPU Sementara, seharusnya mengenai pembuktian adanya utang dilakukan dalam jangka waktu 20 hari tersebut sebelum adanya putusan PKPU Sementara. Pada kasus ini terkesan majelis hakim niaga terburu waktu untuk mengabulkan PKPU Sementara karena adanya batasan waktu sehingga untuk pembuktian adanya utang serta kapasitas para pihak sebagai kreditor dan debitor tidak diputuskan terlebih dahulu sebelum adanya putusan PKPU Sementara."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T18476
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Farih Romdoni Putra
"Penelitian ini ditujukan untuk mengidentifikasi hal-hal yang perlu direformulasi dalam ketentuan penundaan kewajiban pembayaran utang (“PKPU”) dalam Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (“UU Kepailitan 2004”) agar kreditor dan debitor diberikan perlindungan yang seimbang. Secara spesifik penelitian ini fokus pada permasalahan pengajuan PKPU oleh kreditor, kedudukan kreditor separatis dan kreditor preferen dalam perdamaian, dan pembatalan perdamaian yang telah disahkan. Penelitian ini dilakukan dengan metode penelitian yuridis normatif dengan pendekatan perbandingan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ketentuan PKPU dalam UU Kepailitan 2004 lebih cenderung melindungi kreditor daripada debitor. Berdasarkan penelitian ini dan perbandingan dengan hukum kepailitan Belanda, Singapura, dan Amerika Serikat, maka perlu dilakukan perubahan terhadap UU Kepailitan 2004 atas hal-hal sebagai berikut: (i) penambahan syarat bagi kreditor yang hendak mengajukan PKPU; (ii) pengaturan cramdown, (iii) hak suara kreditor preferen terhadap rencana perdamaian; dan (iv) pengaturan tentang pembatalan perdamaian perlu disesuaikan agar kelalaian pelaksanaan perdamaian tidak harus berujung pada kepailitan serta memberi kesempatan agar perdamaian dapat diubah berdasarkan kesepakatan para pihak dengan tetap di bawah pengawasan pengadilan niaga.

This research aims at identifying matters needed to be reformed in the suspension of debt payment obligations (“PKPU”) in Law No. 37 of 2004 on Bankruptcy and Suspension of Debt Payment Obligations ("Bankruptcy Law 2004") so creditors and debtors have equal protection. Specifically, this research focused on the problem of PKPU's petition by creditors, the position of separatist creditors and preferred creditors in the plan, and the termination of a confirmed plan. This research was conducted using a normative juridical research method with a comparative approach. Results of this study indicated that the regulation of PKPU in Bankruptcy Law 2004 tends to protect creditors than debtors. Based on this research and the comparison with bankruptcy law in the Netherlands, Singapore, and the United States of America, Bankruptcy Law 2004 needs to be reformed on the following matters: (i)  the requirement of creditors who can submit PKPU petition; (ii) the regulation of cramdown; (ii) the voting rights of preferred creditors to composition plan; and (iv) the regulation of plan termination need to be reformed so that the failure of plan implementation doesn't have to end with bankruptcy, and also a chance to modify a confirmed plan based on the agreement of all parties under the supervision of a commercial court."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amanda Novia Anggita
"Adakalanya jalan restrukturisasi utang menjadi suatu tindakan yang perlu diambil apabila debitor mengalami kesulitan dalam pembayaran utang. Hal ini pada dasarnya merupakan salah satu upaya contingency plan perseroan untuk menyelamatkan perseroan dari kebangkrutan maupun menghindari perseroan dilikuidasi atau dipailitkan. Halmana debitor yang akan dipailitkan oleh kreditornya sesungguhnya masih memiliki prospek usaha yang baik dan dapat kembali menjadi perusahaan yang sehat apabila diberikan beberapa keringanan terhadap utang-utangnya, maka langkah restrukturisasi utang seringkali menjadi solusi pilihan bagi debitor maupun kreditor. Restrukturisasi utang dilakukan sepanjang utang-utang debitor layak untuk direstrukturisasi karena perseroan debitor masih memiliki prospek usaha yang baik untuk mampu melunasi utang dan akan menjadi perseroan yang sehat untuk dapat melanjutkan kegiatan usahanya apabila diberi penundaan jangka waktu pelunasan dalam jangka waktu yang wajar, baik dengan atau tanpa diberi keringanan terhadap persyaratan utangnya, juga baik restrukturisasi utang itu dilakukan dengan atau tanpa disertai upaya untuk menyehatkan perseroan yang bersangkutan. Untuk itu, peraturan perundang-undangan di Indonesia memberikan kesempatan kepada para debitor yang kesulitan dalam membayar utang-utangnya untuk dapat menunda pembayaran utangnya dalam jangka waktu tertentu, dan memungkinkan untuk mengajukan proposal restrukturisasi utang kepada kreditornya dalam rangka Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Penelitian ini akan memberikan pandangan mengenai restrukturisasi utang dalam rangka Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, yang secara khusus akan membahas mengenai studi kasus PT Bakrie Telecom, Tbk.

Sometimes the debt restructuring might be an action that needs to be taken when the debtor experiencing difficulties in payment of debts. It basically is an effort as the company's contingency plan to save the company from insolvency and to avoid the company from being liquidated or bankrupted. Whereas the debtor who will be liquidated by their creditors still has good business prospects, and is able to recover from a financial distress when given some relief on its debt, hence the debt restructuring shall be the win-win solution for both debtor and creditor. The debt restructuring may only occur when the debts of the debtor eligible to be restructured, provided that there is still light at the end of the tunnel. In the case of the company might be able to continue its operation if given a delay of the term of repayment within a reasonable time, either with or without the debt remissions, the debt restructuring shall occur. Therefore, the legislation in Indonesia provides the opportunity for debtors who have difficulty in paying its debts in order to delay payment of the debt within a certain period, and allow for debt restructuring proposal to its creditors in terms of the Suspension of Debt Repayment (SDR). This study will provide the framework of debt restructuring in terms of the Suspension of Debt Repayment, which particularly discuss the case study of PT Bakrie Telecom, Tbk.
"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2016
T44766
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adlan Adonis
"Perubahan Undang-undang Kepailitan dengan Perpu Kepailitan Nomor 1 Tahun 1998 serta ditetapkannya perubahan tersebut dalam Undang-undang Nomor 4 Tabun 1998, selanjutnya perubahan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang diatur dalam Bab II Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998, yaitu Pasal 212 sampai dengan Pasal 279, diharapkan penyelesaian masalah utang-piutang berfungsi pula sebagai filter untuk menyaring atas dunia usaha dari perusahaan-perusahaan yang tidak efisien. Di samping itu, Penundaan kewajiban pembayaran utang tidak ditujukan kepada eksekusi barang-barang debitur dan pembagian hasil kepada para kreditur. Melainkan Penundaan kewajiban pembayaran utang berakibat untuk selama jangka waktu tertentu tidak dapat dipaksa untuk membayar utangnya. Karena, kewajiban untuk membayar utang ditangguhkan selama ada penundaan. Penundaan kewajiban pembayaran utang adalah untuk mencegah Kepailitan seorang debitur yang tidak dapat membayar tetapi yang mungkin dapat membayar di masa yang akan datang. Dengan demikian Penundaan kewajiban pembayaran utang memberikan kepada debitur keringanan sementara dalam menghadapi para kreditur yang menekan untuk mereorganisasi dan melanjutkan usaha, dan akhirnya memenuhi kewajiban debitur terhadap tagihan-tagihan para kreditur. Dengan adanya keringanan sementara tersebut banyak debitur yang lebih memilih mengajukan penundaan kewajiban pembayaran utang terhadap utang-utangnya yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih daripada harus dimohonkan untuk dipailitkan oleh para krediturnya. Oleh karena itu debitur boleh mengajukan sebuah permohonan untuk penundaan kewajiban pembayaran utang atas prakarsanya sendiri. Biasanya, debitur hanya mengajukan permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang sebagai tanggapan atas suatu permohonan kepailitan debitur yang diajukan oleh seorang kreditur, Alasannya Undang-undang Kepailitan menentukan bahwa apabila permohonan permohonan untuk penundaan kewajiban utang dan kepailitan diperiksa oleh Pengadilan Niaga pada waktu yang bersamaan, maka permohonan untuk penundaan kewajiban pembayaran utang akan diperiksa dan diputus terlebih dahulu. Sehingga Penundaan kewajiban pembayaran utang hanya boleh dikabulkan apabila putusan yang menyatakan kepailitan belum diucapkan oleh Pengadilan Niaga."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003
T16515
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>