Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 139070 dokumen yang sesuai dengan query
cover
"Percepatan konsolidasi perbankan nasional yang
dilakukan otoritas perbankan tidak dapat dihindarkan
memaksa bank melakukan penambahan modal. Bank Indonesia
mensyaratkan rasio kecukupan modal sekurang-kurangnya 8%
s/d 12%. Salah satu cara yang dapat ditempuh adalah
menerbitkan obligasi subordinasi dengan berlandasakan PBI
No. 3/12/PBI/2001. Instrumen Obligasi tidak lain adalah
konstruksi pinjam meminjam yang secara umum diatur dalam
Bab XIII pasal 1754 s/d pasal 1773 KUH Perdata. Obligasi
subordinasi diakui sebagai modal pelengkap (tier 3) dengan
catatan setinggi-tingginya sebesar 50% dari modal inti bank
yang bersangkutan. Tetapi, berkaitan dengan upaya pemenuhan
kebutuhan modal, hubungan hukum antara kreditur dengan bank
dalam perjanjian penerbitkan obligasi subordinasi untuk
memenuhi kebutuhan modal bank menjadi agak berbeda, dalam
keadaan tertentu lebih mendekati hubungan hukum antara
pemegang saham dengan perusahaan. Hubungan hukum yang agak
lain ini disebabkan oleh syarat-syarat yang ditetapkan bagi
pinjaman dimaksud. Sebagai missal, salah satu syarat yang
ditetapkan bagi instrument utang yang diterbitkan oleh bank
dengan maksud memenuhi kebutuhan modalnya, mengharuskan
pinjaman yang diperoleh dari penerbitan instrumen obligasi
subordinasi tersebut mempunyai kedudukan yang sama dengan
modal pada saat bank mengalami kerugian yang melebihi laba
ditahan dan cadangan-cadangan yang termasuk modal inti.
Artinya, pemegang obligasi subordinasi dalam hal terjadi
likuidasi atas bank, hak tagihnya berlaku paling akhir dari
segala pinjaman yang ada"
Universitas Indonesia, 2005
S24284
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Universitas Indonesia, 2001
S23689
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muthia Muffida
"ABSTRAK
Lembaga ekonomi syariah di Indonesia dalam kurun dan sepuluh tahun ke belakang meningkat dengan pesat. Lembaga ekonomi syariah mulai masuk ke dalam sistem ekonomi Indonesia seiring dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, dan mulai efektif berjalan dengan didirikannya PT. Bank Syariah Muamalat Indonesia Tbk. Perbankan Syariah mulai berkembang pesat setelah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan dikeluarkan oleh pemerintah. Selanjutnya lembaga ekonomi syariah turut bermunculan. Salah satunya adalah pasar modal berdasarkan prinsip syariah yang diawali dengan dengan pendirian Jakarta Islamic Index (JII) pada tahun 2000. Pasar Modal berdasarkan Prinsip Syariah itu sendiri baru diluncurkan pada tanggal 14 Maret 2003 dengan ditandatanganinya nota kesepahaman antara Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) dan Dewan Syariah Nasional (DSN) yang merupakan lembaga yang langsung dibawah naungan Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang juga berwenang untuk menetapkan fatwa apakah suatu transaksi tersebut dapat disahkan sebagai transaksi yang tidak bertentangan dengan ketentuan Islam yang diatur pada Fatwa Nomor 40/DSN-MUI/X/2003 tentang Pasar Modal dan Pedoman Umum penerapan Prinsip Syariah di Bidang Pasar Modal. Pada tahun 2002, DSN-MUI mengeluarkan Fatwa DSN-MUI No. 32/DSN-MUI/IK/2002 tentang Obligasi Syariah. Seperti lembaga keuangan syariah lainnya, perbedaaan yang essensial antara Obligasi Konvensional dengan Obligasi Syariah ini adalah tidak digunakannya sistem bunga (riba) dan mengecilkan spekulasi atau ketidakpastian (gharar). Jika kata obligasi yang berarti hutang menjadi acuan, tentu syariah melarang jual bell obligasi. Tetapi berdasarkan Fatwa DSN-MUI tentang Obligasi Syariah meredefinisi obligasi syariah menjadi surat investasi. Indonesia sampai dengan saat ini baru menggunakan 2 (dua) jenis Obligasi Syariah yaitu yang menggunakan akad Mudharabah (bagi hasil) dan akad Ijarah (sewa manfaat). Obligasi Syariah ini sendiri belum mempunyai payung hukum yang fix dari pemerintah dan pengawasannya sendiri dilakukan 2 (dua) lembaga yang bertolak belakang yakni Bapepam dan DSN-MUI. Sejak dikeluarkannya fatwa DSN-MUI tentang Obligasi Syariah tersebut setidaknya terdapat 16 (enam belas) emiten yang terdaftar mengeluarkan Obligasi Syariah baik yang menggunakan akad Mudharabah maupun Ijarah. Salah satu dari emiten tersebut adalah PT. Bank Syariah Muamalat Indonesia Tbk. (BMI), yang menjadi satu-satunya penerbit obligasi yang mengeluarkan Obligasi Syariah Subordinasi pada tanggal 15 Juli 2003. Obligasi ini menggunakan akad Mudharabah, bernilai Rp 200 milyar, dan berjangka waktu pengembalian 7 (tujuh) tahun. Tujuan utama dari penerbitan obligasi ini adalah untuk meningkatkan struktur permodalan BMI sebesar 12%."
2007
T 17025
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tian Septiana
"Di era globalisasi ini, keruntuhan suatu bank, terutama yang berskala besar, akan membawa dampak buruk bagi bank-bank lainnya, yang pada akhirnya akan menimbulkan global systemic risk. Untuk mengatasi hal tersebut Basle Supervisory Committee (BSC) pada tahun 1988 menghasilkan suatu kesepakatan yang dikenal dengan Basle Accord 1988 menetapkan bahwa modal bank minimum sama dengan 8% dari weighted risk assets yang dimiliki masing-masing bank. Pada tahun 1996 komite melakukan amandemen terhadap Basle Accord 1988. Amandemen dilakukan dengan memasukkan risiko pasar sebagai dasar perhitungan kebutuhan modal minimum. Peraturan permodalan bank di Indonesia pada prinsipnya mengakomodasi standar permodalan bank yang berlaku secara internasional. Tujuannya untuk menciptakan sistem perbankan yang sehat dan mampu bersaing secara nasional dan internasional.
PT. Bank DKI memerlukan sejumlah dana untuk melaksanakan kegiatan operasional dalam rangka mempertahankan kelangsungan usahanya, Selain dari itu PT. Bank DKI sebagai bank yang beroperasi di Indonesia harus taat pada Peraturan Bank Indonesia dalam hal ini untuk memenuhi Kecukupan Modal Minimum (KPMM) yang memenuhi syarat (eligible capital). Dengan melihat rasio kecukupan modal yang selalu mengalami penurunan dari tahun 2004 sebesar 22,87% menjadi 15,09% pada tahun 2007. Untuk memperbaiki rasio tersebut pada tahun 2008 PT. Bank DKI menerbitkan obligasi Subordinasi sebesar Rp. 325 milyar dengan jangka waktu 10 tahun. Dengan terbitnya obligasi subordinasi tersebut PT. Bank DKI dapat menaikan CAR dan permodalannya. Selain itu dengan terbitnya obligasi subordinasi tersebut komponen modal PT. Bank DKI dapat memenuhi Kecukupan Modal Minimum (KPMM) yang memenuhi syarat (eligible capital).

In this globalization era, the collapse of banks, mostly for the big scale banks, will bring bad impact to the other banks, which finally emerge the global systematic risk. To overcome this issue, in 1988, Basle Supervisory Committee (BSC) generated an agreement known as Basle Accord 1988, which enactive that the minimum of bank?s capital at 8% from weighted risk assets of each bank. In 1996, committee was done an amendment of Basle Accord 1988, to include the market risk as a calculation base of minimum capital's needs. The regulation of bank?s capital in Indonesia is essentially to accommodate the standard of bank?s capital which is valid at international scope. The objectives are to create a health banking system and be able to compete at national or international scope.
PT. Bank DKI needs some of capital to do operational activities in order to keep the business survive. Beside that, PT. Bank DKI as a bank which is operated in Indonesia, must be obey to Regulation of Bank of Indonesia, for instance to fulfill the Minimum Capital Adequacy which is eligible capital. The capital adequacy ratio was going down from 2004 at 22.87% become 15.09% at 2007. To improve it, then in 2008, PT. Bank DKI issued the subordinated debt in the amount of Rp. 325 billion with validity of 10 years. Because of the issuance of this subordinated debt, PT. Bank DKI is able to increase the CAR and its capitalization. Beside that, the capital's component of PT. Bank DKI could meet the Minimum Capital Adequacy which is eligible capital."
Depok: Fakultas Eknonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2010
T28295
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Tjondro Prabowo
"ABSTRAK
Upaya mendorong fungsi intermediasi berupa ekspansi kredit, serta penerapan
risiko pasar dalam perhitungan kebutuhan modal bank, menuntut tambahan modal yang
memadai.
Untuk mengimbangi pertumbuhan ekspansi kredit dan kebutuhan modal untuk
risiko pasar, bank tidak dapat lagi hanya mengandalkan laba di tahan (retained earning)
sebagai sumber modal Salah satu sumber modal bank yang sedang marak diupayakan
adalah obligasi subordinasi.
Karya akhir ini membahas tiga aspek dalam penerbitan obligasi subordinasi yaitu
perubahan struktur permodalan, pengukuran risiko suku bunga atas investasi yang dananya
bersumber dari obligasi subordinasi, dan imunisasi risiko suku bunga atas penerbitan
obligasi subordinasi.
Hasil perhitungan pada karya akhir ini menunjukkan bahwa bila tidak ada
penambahan modal, penerapan risiko pasar pada perhitungan kebutuhan modal akan
menyebabkan rasio kecukupan modal pada bulan Juni 2003 turun dari 12,36% menjadi
11,97%.
Untuk memperkuat modal, BRI masih rnemiliki peluang untuk meningkatkan
modal pelengkap sebesar Rp 3.562 milyar. Apabila BRI berupaya meningkatkan jumlah
modal pelengkap melalui penerbitan obligasi subordinasi, maka masih terdapat peluang
untuk menerbitkan surat berharga tersebut senilai Rp 1.810 milyar atau setara dengan US$
210juta.
Pada bulan September 2003, BRI menerbitkan obligasi subordinasi senilai US$ 150
juta, yang diklasifikasikan sebagai modal pelengkap (tier 2). Penerbitan obligasi
subordinasi ini telah merubah struktur permodalan BRl cukup signifikan. Jika sebelumnnya
jumlah modal pelengkap hanya sebesar 23,23% dari modal inti, maka dengan adanya
obligasi subordinasi jumlah modal pelengkap menjadi 51,10% modal inti.
Seluruh tambahan modal yang bersumber dari obligasi subordinasi dapat diakui
sebagai modal yang memenuhi syarat (eligible capital). Akibatnya rasio kecukupan modal
(CAR) meningkat menjadi 14,61%. Rasio ini telah memperhitungkan kebutuhan modal
untuk risiko pasar. Jika BRI mentargetkan CAR 13,77% pada tahun 2003, maka masih
terdapat kelonggaran pertumbuhan ATMR sebesar Rp 2.869 milyar.
Namun seandainya obligasi subordinasi ini diklasifikasikan sebagai modal
pelengkap tan1bahan (tier 3), maka tidak seluruhnya dapat diperhitungkan sebagai modal
yang memenuhi syarat. Hal ini disebabkan adanya batasan jumlah modal pelengkap
tambahan maksimum 250% dari modal inti yang dialokasikan untuk. risiko pasar.
Sedangkan modal inti yang dialokasikan untuk risiko pasar adalah 28,5% dari A TMR
risiko pasar. Akibatnyajika rasio kecukupan modal hanya mencapai 14,24%.
Jika BRI mencoba mengunci risiko suku bunga (locking in rate) atas penerbitan
obligasi subordinasi pada akhir bulan September 2003, setidaknya terdapat tiga obligasi
yang kemungkinan dapat digunakan untuk tujuan tersebut. Ketiga surat berharga tersebut
terdiri dari obligasi Bank Mandiri, obligasi Aneka Tambang dan obligasi subordinasi Bank
Negara Indonesia.
Pengukuran risiko suku bunga dari ketiga obligasi tersebut dilakukan dengan
menggunakan konsep durasi, berupa pengukuran persentase perubahan harga terhadap
perubahan tingkat suku bunga dan elastisitas suku bunga. Hasil perhitungan menunjukkan
bahwa obligasi subordinasi BNI merupakan surat berharga dengan risiko suku bunga
terendali, sedangkan obligasi Aneka Tambang merupakan surat berharga dengan risiko
suku bung tertinggi.
Ukuran tingkat risiko suku bunga ini belum dapat digunakan untuk menetapkan
surat berharga yang dapat digunakan untuk mengimunisasi risiko suku bunga. Imunisasi
risiko suku bunga dapat diul'Uf dengan menghitung ex post effective annual yield dari
ketiga surat berharga tersebut pada berbagai tingkat suku bunga.
Hasil simulasi imunisasi menunjukkan bahwa pada tingkat sulru bunga pasar
7,88%, hanya obligasi Aneka Tambang yang mendekati expected yield dari obligasi
subordinasi BRI. Meskipun demikian obligasi ini belum sepenuhnya dapat mengimunisasi
risiko suku bunga dari obligasi subordinasi BRI, karena durasinya tidak sama persis
dengan durasi atau holding period obligasi subordinasi BRI.
Durasi obligasi Aneka Tambang akan sama dengan durasi obligasi subordinasi BRI
jika jangka waktu jatuli temponya adalah 6 tahun. Dengan jangka waktu itu obligasi ini
bam sepenuhnya dapat mengimunisasi risiko suku bunga obligasi subordinasi BRI.
"
2003
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Faisal Syahmenan
"Secara yuridis Bank Syariah di Republik Indonesia tidak dapat menerbitkan kartu kredit karena tidak dimungkinkan oleh Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/24/PB1/2004 Tentang Bank Umum Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah, dan secara syariah kartu kredit pun tak dapat diterbitkan oleh bank syariah karena konsep kartu kredit bertentangan dengan konsepsi syariah tentang konsumsi dan hutang, terdapat benturan antara konsep kredit yang menjadi dasar bagi penerbitan kartu kredit dan konsep pembiayaan yang menjadi dasar bagi penyaluran dana bank syariah, terdapat benturan antara unsur-unsur kredit dan pembiayaan yang menyulitkan bagi penerbitan kartu kredit syariah, terdapat benturan antara konsep konsumsi (yang termasuk transaksi komersial) dan hutang (yang termasuk non komersial) pada konsepsi syariah dengan konsep konsumsi dan kredit pada konsepsi konvensional (yang tidak membedakan antara keduanya menjadi komersial dan non komersial)."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T19889
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Universitas Indonesia, 2002
S23827
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Novietha Indra Sallama
"Untuk mengantisipasi penurunan tingkat kecukupan modal yang dimiliki bank, dapat ditempuh dengan dua cara, yaitu menerbitkan saham baru atau menerbitkan obligasi subordinasi. Cara yang terakhir ini yang banyak dilakukan oleh bank, baik konvensional maupun syariah. Di Indonesia, telah dikenal adanya obligasi syariah yang menggunakan skim ijarah dan mudharabah. Perbedaan yang mendasar antara obligasi syariah dan konvensional adalah pada obligasi syariah return tidak ditetapkan secara nominal, tetapi dengan memberikan nisbah bagi hasil untuk pemegang obligasi, serta penggunaan dana hasil emisi obligasi tersebut harus sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Dengan menerbitkan obligasi subordinasi, berarti menambah modal yang ada pada bank, sekaligus akan memperkuat struktur permodalan bank tersebut. Jika struktur modal sudah kuat, bank akan leluasa dalam melakukan ekspansi pembiayaan. Ini dimungkinkan karena rasio kecukupan modal bank masih berada di atas ketentuan yang ditetapkan Bank Indonesia. Selanjutnva pembiayaan yang semakin ekspansif akan meningkatkan pendapatan bagi bank tersebut, Penelitian yang dilakukan pada Bank Muamalat Indonesia menunjukkan bahwa ada peningkatan pembiayaan dan tingkat kecukupan modal (solvabilitas) setelah emisi obligasi, tetapi tidak pada kinerja rentabilitas dan likuiditas akibat tingginya tingkat bagi hasil yang ditetapkan bank.

In order to anticipate the decreasing of capital adequate ratio suffered by a bank, it can take any of the two ways, namely issuing new shares, or issuing subordinated debentures. The latter has been taken many times by different banks, both conventional and sharia ones. In Indonesia, it's known the presence of sharia bonds upon the scheme of ijarah and mudharabah. The fundamental difference between sharia bonds and conventional bonds is that in sharia bonds the return is not determined nominally, rather, by adding some ratio of revenue sharing for the debt holders, and where the utilization of fund resulted from the bonds emission shall conform to the principles of sharia. Issuing subordinated debentures would mean additional capital for the bank, and at the same time strengthening the capital structure of the bank. If the capital is strong, the bank will be freer to conduct financing expansion. This is enabled, because the bank's capital adequacy ratio is still above the point as ruled by Bank Indonesia. Furthermore, the more expansive financing will increase the bank's revenue. The research performed at Bank Muamalat Indonesia has shown increment of financing as well as capital adequacy ratio (solvability) after sub-debt emission, but not of the bank's performance in rent ability and liquidity. Due to the height of ratio of revenue sharing determined by the bank for the debt holders."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2004
T15141
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>