Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 120429 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Juan Akbar Indraseno
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004
S24281
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Erdino Hadi
"Tesis ini membahas status garansi barang apabila suatu pelaku usaha yang memberikan garansi pailit menurut undang-undang kepailitan dan cara konsumen menuntut pemenuhan hak terhadap garansi barang apabila suatu pelaku usaha yang memberikan garansi pailit. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan desain deskriptif analitis.
Hasil penelitian ini menyarankan agar pemerintah membuat peraturan yang lebih jelas dan spesifik mengenai garansi barang apabila suatu pelaku usaha yang memberikan garansi pailit; mendorong Pengadilan Niaga untuk lebih memperhatikan mengenai garansi barang apabila termohon pailit adalah suatu pelaku saha yang memberikan garansi yang memproduksi atau memperdagangkan barang; mendorong pemerintah membuat peraturan yang mewajibkan pelaku usaha untuk memasukkan klausula mengenai garansi barang apabila suatu pelaku usaha yang memberikan garansi pailit dalam perjanjian transaksi barang.

The focus of this study discusses about status of product guaranty if a business actor who is acting as a guarantor bankrupt under the bankruptcy laws and how can a consumer claim their right of product guaranty if a business actor who is acting as a guarantor bankrupt. This research is a qualitative research with a descriptive analytic design.
The results of this study suggest that the government to create more clear and specific regulations regarding product guaranty if a business actor who is acting as a guarantor bankrupt; implore the Trade Court to consider the status of product guaranty if the party filed for bankruptcy is a business actor who is producing or trading goods; implore the government to create a regulation obligating business actors to insert a clause regarding the product guaranty if a business actor who is acting as a guarantor bankrupt in the sales agreement.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T28901
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Asri Aprilia Fadhilah
"Skripsi ini membahas mengenai pembebasan sisa utang pailit sebagai upaya perlindungan bagi debitor pailit perseorangan. Di Indonesia ketentuan mengenai pembebasan sisa utang pailit tidak berlaku karena menurut Undang ndash; Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yaitu UU No. 37 Tahun 2004 memyatakan bahwa kepailitan tidak membebaskan seorang yang dinyatakan pailit dari kewajiban membayar utang ndash; utangnya. Hal ini yang tentunya menimbulkan ketidakadilan bagi debitor pailit khususnya debitor pailit perseorangan yang beritikad baik dan memang sudah benar-benar tidak mampu lagi melunasi sisa utang kepailitannya tersebut. Oleh karena itu, penulis akan membandingkan hal ini dengan ketentuan hukum kepailitan yang berlaku dinegara lainnya yaitu negara Australia dan Negara Jepang sebagai negara pembanding. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan metode penelitian yuridis normatif serta perbandingan. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi usulan untuk peraturan yang akan datang sebagai salah satu upaya perlindungan debitor apabila dikemudian hari kreditor memintakan sisa utang yang telah lampau.

This thesis discusses the Discharge of bankruptcy debts as a safeguard for individual bankruptcy debtor. In Indonesia, the provisions concerning the discharge of the remaining debts of bankruptcy are not applicable because according to the Law of Bankruptcy and Resctructuring of Debt Payment, Law No. 37 of 2004, states that the bankruptcy does not release a person who is declared bankrupt from the obligation to pay its debts. This, of course, creates an injustice to the bankrupt debtor, especially the individual bankruptcy debtor with a good faith who is indeed completely unable to pay off the remaining bankruptcy debts. Therefore, the authors will compare this with the provisions of bankruptcy law applicable in other countries, namely Australia and Japan as a comparison country. This research is a qualitative research with normative juridical research method and comparison. This research is expected to be a proposal for the coming regulation as one of the debtor protection efforts if in the future the creditor asks for the rest of the past debt.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Silaban, Mery Marlina R.
"Dengan semakin berkembangnya kebutuhan-kebutuhan pembangunan fisik di Indonesia, membuktikan bahwa Indonesia membutuhkan keahlian, pengalaman, bahkan kontraktor-kontraktor asing. Joint Operation (JO) merupakan salah satu bentuk kerjasama yang dapat digunakan oleh pelaku usaha, khususnya dalam melakukan pekerjaan konstruksi yang seringkali melibatkan pihak asing dengan pihak nasional. Namun tidak jarang dalam JO tersebut timbul perselisihan antar para pihak yang menyepakati kerjasama tersebut. Seperti dalam kasus antara Penta Ocean Co. Ltd. dengan PT. Bali Turtle Island Development, yang diselesaikan oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dan Mahkamah Agung. Kasus ini timbul karena adanya utang akibat wanprestasi oleh PT. Bali Turtle Island Development terhadap Penta Ocean Co. Ltd., sebagai salah satu kreditur yang juga merupakan rekan PT. Surya Prasudi Utama dalam JO. Adanya utang, utang tersebut telah jatuh waktu dan dapat ditagih, serta adanya 2 (dua) kreditur; menjadi alasan bagi Penta Ocean Co. Ltd. untuk mengajukan permohonan pailit atas PT. Bali Turtle Island Development tersebut. Indonesia memiliki peraturan mengenai kepailitan, yaitu Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Sehingga syarat pengajuan permohonan pailit oleh Penta Ocean Co. Ltd terhadap PT. Bali Turtle Island Development, khususnya yang berkaitan dengan terpenuhinya syarat minimal 2 (dua) kreditur atau lebih dalam kaitannya dengan JO serta utang yang dimaksudkan telah jatuh tempo dan dapat ditagih, perlu ditelaah; apakah telah disesuaikan dengan peraturan yang ada.

The physical development of the growing needs in Indonesia to demonstrate that Indonesia requires expertise, experience, and even foreign contractors. Joint Operation (JO) is one form of cooperation that can be used by businesses, particularly in construction jobs that often involve a foreign party with the national party. But often in JO difference arises between the parties that agreed on cooperation. As in the case of Penta Ocean Co. Ltd. and PT. Bali Turtle Island Development, this was completed by the Central Jakarta Commercial Court and the Supreme Court. This case arose because of debt of PT. Bali Turtle Island Development Co. Penta Ocean. Ltd., result in default. Penta Ocean is one of the creditors, which is also an associate of PT. Surya Prasudi Utama on Joint Operation. The existence of the debt, the debt is due and payable and the existence of 2 (two) creditors; reason to Penta Ocean to apply for bankruptcy on PT. Bali Turtle Island Development. Indonesia has regulations on bankruptcy, namely Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. So that the bankruptcy petition filing requirements by Penta Ocean Co. Ltd. against PT. Bali Turtle Island Development, particularly relating to the fulfillment of the requirements of at least 2 (two) or more creditors with respect to JO intended and debts were due and payable, it should be reviewed, whether it has adjusted to the existing regulations."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
S24870
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Diandra Putri Mauliandina
"Skripsi ini membahas hubungan debitur dan kreditur yang lahir dari perjanjian sebagai dasar dilakukannya konsinyasi dengan melakukan studi kasus atas Putusan No. 025/Pdt.G/2007/PN.Jkt.Bar, 181/Pdt/2008/PT.DKI, 1082/K/Pdt/2009 serta metode yuridis-normatif. Konsinyasi merupakan salah satu bentuk atau cara hapusnya perikatan, dan untuk melakukan konsinyasi diperlukan adanya hubungan debitur kreditur antara para pihak. Saat ini mulai timbul kerancuan mengenai hubungan definisi debitur dan kreditur itu sendiri dalam melakukan konsinyasi seperti yang terjadi dalam kasus Putusan Putusan No. 025/Pdt.G/2007/PN.Jkt.Bar, 181/Pdt/2008/PT.DKI, 1082/K/Pdt/2009. Penulis menyarankan agar hakim meneliti terlebih dahulu hubungan hukum antara para pihak sebelum mengabulkan permohonan konsinyasi, serta bagi para pihak agar lebih memperhatikan ketentuan-ketentuan dalam pembuatan perjanjian sehingga tidak menimbulkan masalah yang kompleks.
Skripsi ini membahas hubungan debitur dan kreditur yang lahir dari perjanjian sebagai dasar dilakukannya konsinyasi dengan melakukan studi kasus atas Putusan No. 025/Pdt.G/2007/PN.Jkt.Bar, 181/Pdt/2008/PT.DKI, 1082/K/Pdt/2009 serta metode yuridis-normatif. Konsinyasi merupakan salah satu bentuk atau cara hapusnya perikatan, dan untuk melakukan konsinyasi diperlukan adanya hubungan debitur kreditur antara para pihak. Saat ini mulai timbul kerancuan mengenai hubungan definisi debitur dan kreditur itu sendiri dalam melakukan konsinyasi seperti yang terjadi dalam kasus Putusan Putusan No. 025/Pdt.G/2007/PN.Jkt.Bar, 181/Pdt/2008/PT.DKI, 1082/K/Pdt/2009.
Penulis menyarankan agar hakim meneliti terlebih dahulu hubungan hukum antara para pihak sebelum mengabulkan permohonan konsinyasi, serta bagi para pihak agar lebih memperhatikan ketentuan-ketentuan dalam pembuatan perjanjian sehingga tidak menimbulkan masalah yang kompleks.

This thesis focuses on the relationship of debtor and creditor which are born from agreement as the basis to conduct consignment by analyzing the case studies of Decision No. 025/Pdt.G/2007/PN.JKT.Bar, 181/Pdt/2008/PT.DKI, 1082/K/Pdt/2009) through judicial-normative method. Consignment is one of the ways to abolish an agreement, which to conduct it, a debtor and creditor relationship between parties is needed. Currenty, there?s a confusion regarding the definition of debtor and creditor relationship itself to conduct consignment, which was happened in the case of decision no. 025/Pdt.G/2007/PN.Jkt.Bar, 181/Pdt/2008/PT.DKI, 1082/K/Pdt/2009, where the agreement was actually not eligible, but later the consignment is still considered valid by those decisions, which was resulting uncertainty of debtor creditor definition.
The author suggested that the judge should examine the legal relationship between the parties prior to grant consignment application, as well as for the parties to pay more attention to the provisions of the treaty -making so there will not be any complex problem."
Depok: Universitas Indonesia, 2014
S53462
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Widya Putri
"Nilai Limit merupakan patokan nilai minimal dalam penjualan lelang yaitu batas harga terendah yang dapat disetujui dan dibenarkan. Oleh karenanya penentuan Nilai Limit menjadi suatu bagian yang penting dalam upaya mencapai harga yang pantas dalam penjualan lelang. Dalam perjanjian kredit, apabila debitor wanprestasi, maka kreditor sebagai pemegang Hak Tanggungan pertama berhak untuk melakukan lelang barang jaminan. Permasalahan yang dibahas adalah bagaimana kewenangan kreditor sebagai pemegang Hak Tanggungan dalam menentukan Nilai Limit guna terciptanya harga yang wajar berdasarkan peraturan yang berlaku serta upaya yang dapat dilakukan debitor tereksekusi/pemilik barang yang merasa dirugikan akibat penetapan Nilai Limit yang terlalu rendah. Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa kewenangan kreditor pemegang Hak Tanggungan pertama dalam menentukan Nilai Limit objek Hak Tanggungan pada kasus yang dibahas di atur dalam Pasal 29 PMK No. 40/PMK.07/2006. Akan tetapi kewenangan tersebut dibatasi karena harus berdasarkan penilaian oleh Penilai Independen atau Tim Internal. Dalam melakukan penilaiannya, terdapat pedoman yang harus diikuti oleh Tim Internal, akan tetapi pedoman tersebut masih saja tidak diikuti dengan baik seperti yang terjadi dalam kasus yang dibahas penulis. Sedangkan dalam peraturan yang berlaku saat ini, yaitu PMK No. 93/PMK.06/2010 belum terdapat ketentuan yang mengatur secara khusus mengenai pedoman penilaian Nilai Limit oleh Tim Internal atau Tim Penaksir sehingga penetapan Nilai Limit yang berdasarkan penilaian oleh Tim Penaksir dapat menimbulkan celah terjadinya kesewenangwenangan kreditor. Upaya hukum yang dapat dilakukan pihak tereksekusi yang merasa dirugikan adalah dengan cara mengajukan gugatan secara perdata pada pengadilan negeri setempat.

The Reserve Price is the minimum standart value in the auction that is the lowest price limit that could be agreed to and justified. Therefore, the determination of the Reserve Price become an important part in an effort to achieve the appropriate price in the auction. In the credit agreement, if a debtor default, then the creditor as the first Mortgage holder has the right to carry out auction without asking for the approval from the owner of the collateral. The problem that discussed is how far the authority of the creditor as the first Mortgage holder in determining the Reserve Price for the auction that was professional and responsible as well as knowing efforts that could be done by debtor executed/owner of the collateral who feel aggrieved of the too low auction price. Based on this research, it can be concluded that the authority of the first Mortgage holders/creditor in determining the Reserve Price of the Mortgage object is based on Article 29 of PMK No. 40/PMK.07/2006. But the creditor?s authority is limited by the valuation of the Independent Appraiser or Internal Team (Estimator Team). In conducting the assessment, there are guidelines to be followed by the Internal Team (Estimator Team). However, the discussed case shows that the guidelines are not properly followed by the Internal Team (Estimator Team). While the current regulations, PMK No. 93/PMK.06/2010 there has been no provision governing providing guidelines in determining Reserve Price by the Internal Team (Estimator Team). The determination of Reserve Price based on the assessment by the Team Estimator can cause a gap for Mortgage Holder/creditors, which will affect the auction price and detriment to the owner of the collateral. Remedies that can be taken for the party who feel aggrieved is by filing a civil lawsuit at the local court."
Depok: Universitas Indonesia, 2011
T29211
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agung Kurnia Saputra
"Tesis ini membahas penyelesaian kredit macet oleh Bank dengan melakukan pengambilalihan agunan debitur (AYDA). Pada praktiknya penyelesaian kredit macet melalui mekanisme pengambilalihan agunan debitur (AYDA) tidaklah mudah dan ditemui beberapa masalah dan hambatan. Oleh karena penelitian ini bermaksud menganalisis pelaksanaan pengambilalihan agunan debitur (AYDA) pada praktik yang ada di lapangan khususnya dalam hal ini pada PT Bank X sebagai alternatif penyelesaian kredit macet dan mengidentifikasi apa saja hambatan yang ditemui dalam pelaksanaan AYDA pada PT Bank X serta upaya yang perlu dilakukan Bank untuk mengatasi hambatan tersebut. Penulisan tesis ini menggunakan metodologi penelitian yuridis normatif yaitu mengkaji Peraturan Perundang-undangan, teori hukum dan yurisprudensi yang relevan dengan permasalahan yang diteliti. Data penelitian yang dipergunakan meliputi data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari lapangan melalui wawancara serta data sekunder yang diperoleh melalui studi kepustakaan. Tipologi penelitian ini adalah deskriptif analitis dan metode analisis data dengan yuridis kualitatif. Hasil penelitian menunjukan bahwa penyelesaian kredit macet pada PT Bank X melalui mekanisme AYDA dilakukan berdasarkan rekomendasi Komite Remedial dan pengambilalihan diserahkan kepada Divisi Penyelesaian Kredit (DPYK) baik melalui jual beli secara langsung, pelelangan ataupun pemberian surat kuasa oleh pemilik agunan. Setelah pengambilalihan agunan, Bank juga wajib melakukan pengelolaan, perawatan dan monitoring secara berkala terhadap penyelesaian AYDA yang dimiliki. Hambatan dalam pelaksanaan AYDA pada PT Bank X dapat timbul baik dari aspek internal seperti biaya AYDA yang cukup besar dan pengendalian internal yang lemah dalam pelaksanaan AYDA, serta aspek eksternal seperti hambatan dari pihak ketiga/pemilik agunan dan hambatan yang berasal dari Negara (Pemerintah).

This thesis discusses the settlement of bad debts by the Bank by acquisition of the debtor collateral (Foreclosed Collateral). In practice, the settlement of bad debts through the mechanism of debtor collateral acquisition is not easy and encountered several problems and obstacles. Therefore this study intends to analyze the implementation of the debtor collateral acquisition (Foreclosed Collateral) on practices, especially in this case at PT Bank X as an alternative bad debts settlement and explain what obstacles are encountered in implementing Foreclosed Collateral at PT Bank X as well as necessary efforts conducted by the Bank to overcome these obstacles. This thesis uses a normative juridical research methodology, including studying legislation rules, legal theory and jurisprudence that are relevant to the problem under study. The research data used includes primary data which is data obtained directly from the field through interviews and secondary data obtained through the study of literature. The typology of this research is analytical descriptive and the data analysis method used is qualitative juridical. The results showed that the settlement of bad debts at PT Bank X through the Foreclosed Collateral mechanism was carried out based on the Remedial Committee recommendations and the collateral acquisition was carried out by the Credit Settlement Division (DPYK) either through direct buying and selling, auctions or the issuance of a power of attorney. After the Bank has taken over the debtor`s collateral (Foreclosed Collateral), Bank is required to manage, maintain and monitor periodically the Foreclosed Collateral settlement. Obstacles in the implementation of debtor collateral acquisition (Foreclosed Collateral) in PT Bank X can arise either from internal aspects such as big cost and weak internal controls in the implementation of debtor collateral acquisition (Foreclosed Collateral), as well as external aspects such as obstacles from third parties/owners of collateral and obstacles originating from the State (Government). "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
T52548
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>