Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 199561 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Basuki Kartono
"Dari tahun 2005 sampai dengan tahun 2006 telah terjadi Kejadian Luar Biasa (KLB) difteri di Kabupaten Tasikmalaya pada kelompok umur 1 ? 15 tahun sebanyak 55 anak (15 kasus meninggal, AR = 0,45% dan CFR = 31,91%). Pada Januari 2007 juga telah terjadi KLB difteri di Kabupaten Garut pada kelompok umur kasus 2 ? 14 tahun sebanyak 17 anak (2 kasus meningal, CFR = 11,76%, AR = 1,5%). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan lingkungan rumah dengan kejadian difteri pada Kejadian Luar Biasa (KLB) difteri tersebut. Penelitian menggunakan desain kasus kontrol. Kasus berasal dari 15 desa lokasi KLB difteri sebanyak 72 anak dan kontrol berasal dari 1 desa terpilih secara random yang bukan dari kecamatan lokasi KLB difteri sebanyak 72 anak. Pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara dengan ibu anak pada kelompok kasus maupun kelompok kontrol menggunakan kuesioner untuk mendapatkan data lingkungan rumah, sumber penularan, status imunisasi dan pengetahuan ibu. Hasil analisis multivariat menunjukkan bahwa variabel yang berhubungan bermakna dengan kejadian difteri adalah kepadatan hunian ruang tidur, kelembaban dalam rumah, jenis lantai rumah, sumber penularan, status imunisasi dan pengetahuan ibu. Disimpulkan bahwa lingkungan rumah, pengetahuan ibu dan sumber penularan bukanlah faktor utama yang mempengaruhi terjadinya difteri, sedangkan yang paling dominan dalam mempengaruhi kejadian difteri adalah status imunisasi, yaitu risiko terjadinya difteri pada anak dengan status imunisasi DPT/DT yang tidak lengkap 46,403 kali lebih besar dibandingkan dengan anak dengan status imunisasi yang lengkap. Untuk itu cakupan program imunisasi hendaknya makin ditingkatkan sehingga semua anak terlindungi oleh imunisasi difteri.
Since 2005 up to 2006 diphtheria out break had occur in Tasimalaya District among 1 ? 15 year old children. Total cases are 55 children with cases died with the Case Fatality Rate (CFR) 31.91%. Further on, January 2007 the same out break occur in Garut District, with 17 cases and 2 cases died (CFR 11.76%). Research objective is to identify the correlation of housing environmental condition with the diphtheria out break. Design study was case control study. The amount of 72 cases had taken from the 15 villages on the out break areas and the same amount (72) non cases taken from the village out of the out break areas. Data were collected through interviewed with structure questioner with the mother as the respondent. Data collected were housing environment, the source of infection, immunization status, and mother knowledge concerning the diphtheria. Research conclude that factors involved in diphtheria out break are housing member room density, housing humidity, quality of the floor, the source of the infection, immunization status of the children, and mother knowledge about the disease. The importance factors for the diphtheria out break are immunization status, with the OR of 46.403 greater of non immunization children compare with those had immunization. Therefore immunization program should be further intensified in order to give fully diphtheria protection for the hole children population in those areas."
Tasikmalaya: Dinas Kesehatan Kabupaten Tasikmalaya, 2008
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Rusli
"Penyakit difteri merupakan penyakit menular bersifat akut yang disebabkan bakteni (corynebacterium diphteriae). Kejadian difteri di Kabupaten Cianjur dilaporkan mulai tahun 1997-2000 bertumut-turut yaitu sebesar 0,32; 0,58; 0,52; 3,6 per 100.000 penduduk. Pada tahun 2001 (sampai dengan bulan Juni) telah terjadi Kejadian Luar Biasa (KLB) difteri semua kelompok umur sebanyak 141 kasus, dan meninggal 26 kasus atau afiack rate (AR) = 4,9% dan _ case fatality rate (CFR = 18,4%). Kelompok umur yang diteliti yaitu umur bawah 10 tahun sebanyak 109 kasus (77,3%) dengan AR = 8.9% dan CFR = 19,3%) KLB tersebut terjadi di Desa Padaluyu Puskesmas Cugenang, Desa Lembahsari Puskesmas Cikalongkulon, dan di Desa Bojongkasih Puskesmas Kadupandak, sedangkankan cakupan imunisasi difien di ketiga daerah KLB tersebut mencapai cakupan diatas target (80%). Oleh karena itu dipandang perlu untuk melakukan penelitian mencan penyebab kejadian Juar biasa (KLB) tersebut.
Tujuan penelitian yaitu untuk mengetahui hubungan status imunisasi difteri dengan kejadian difteri pada KLB difteri tersebut. Penelitian menggunakan desain kasus kontrol. Kasus adalah anak umur dibawah 10 tahun yang di diagnosis oleh petugas kesehatan sebagai kasus difteri yang tercatat pada register rawat jalan/rawat inap puskesmas atau rumah sakit. Jumlah kasus yang dapat diidentifikasi dan register tersebut sebanyak 84 orang. Kontrol adalah anak umur bawah 10 tahun bukan kasus difteri sebanyak 252 orang berasal dari desa KLB yang diambil secara acak untuk diikutsertakan dalam penelitian.
Pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara dengan ibu anak pada kelompok kasus maupun kelompok kontrol menggunakan kuesioner untuk mengukur status imunisasi difteri, pengetahuan ibu, sikap ibu dan melakukan pengukuran status gizi anak, kepadatan hunian. Analisis data mulai dari analisis bivariat, analisis stratifikasi, dan analisis multivariat (regresi logistik ganda) dengan menggunakan alat bantu komputer program SPSS versi 10.0.
Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan status imunisasi difteri dengan kejadian difteri pada KLB difteri (p < 0,05) dengan nilai OR sebesar 2,74 (CI 95%; 1,47—5,12) setelah dikontrol oleh pengetahuan ibu. Variabel covariat pengetahuan ibu merupakan confounding terhadap hubungan status imunisasi difteri dengan kejadian difteri tersebut dengan nilai OR sebesar 2,72 (CI 95%; 1,55—4,76). Status gizi anak variabel berpengaruh terhadap kejadian difteri anak pada KLB difteri, secara statistik bermakna (p<0,05), Status gizi anak tersebut merupakan variabel independen terhadap kejadian difteri anak pada KLB difteri karena terbukti tidak terjadi interaksi dengan variabel utama (hasi) uji interaksi) begitu pula bukan merupakan faktor confounding (hasil uji confounding) dengan nilai OR sebesar 2,17 (95% CT, 1,26—3,75).
Saran-saran yang dianjurkan kepada Puskesmas Cugenang, Cikalongkulon, dan Kadupandak Kabupaten Cianjur yaitu agar masyarakat (bu) yang mempunyai bayi diberikan pelayanan imunisasi difteri secara lengkap tiga dosis, dan diberikan penyuluhan secara rutin melalui kelompok dasa wisma atau kelompok pengajian agar pengetahuannya meningkat antara lain tentang: manfaat imnunisasi difteri, tanda/gejala difteri, bahaya difteri, dan cara penularan difteri, Saran untuk masyarakat agar meningkatkan status gizi dengan cara mengkomsumsi makan bergizi atau menanam sediaan pangan sumber zat gizi pada pekarangan halaman rumah, sedangkan untuk Dinas Kesehatan Kabupaten Cianjur yaitu mempnioritaskan kepiatan termasuk pengganggaran di daerah KLB antara lain yaitu Program Imunisasi DPT, Program Perbaikan Gizi, Program Penyuluhan Kesehatan.

Diphthena is an acute communicable disease caused by bacteria (Corynebacterium diphteriac). The reported diphtheria. incidences (per 100,000 populations) in District of Cianjur, from 1997 to 2000, were 0.32, 0.58, 0.52, and 3.6. Up to June 2001, there was an outbreak of 141 diphtheria cases (aftack rate = 4.9%), Among all cases, 26 were died (case fafality rate = 18.4%). Among 141 cases, about 109 cases (77.3%) were children under 10 year olds that became our study population. The corresponding affack rate (AR) and cuse fatality rate (CFR) in our study population were 8.9% and 19.3%. The outbreak was occurred in Padaluyu village (served by Cugenang community health center), Lembahsari village (served by Cikalongkulon community health center} and Bojonpkasth village (served by Kadupandak community health center), wherein the immunization coverage in those 3 villages had surpassed the target proportion (1.¢. 80%). It was then thought to be necessary to invesligate what the reason of the outbreak was.
The objective of this case-control study was to know the relationship between anti-diphtheria immunization status and diphtheria occurrence, during an outbreak of diphtheria in that areas. Cases were under-10 children diagnosed by health providers as diphtheria cases recorded in community health center and hospital registries, Number of cases identified from those registries was 84. Controls were 252 under-10 children uninfected by diphtheria and sampled randomly from the villages of outbreak.
Data was collected by interviewing the mothers of cases and controls. Using questionnaires, the (anti-diphtheria) immunization status, mother’s knowledge and attitude, child nutritional status and house density were measured. The bivariate analysis, stratification analysis and multivariate analysis were all done using computer statistical package SPSS version 10.
The result showed that after adjustment of mother’s knowledge, there was a statistically significant association between immunization status and diphthena (OR=2.74; CI 95%: 1.47—5.!2; p < 0.05). Variable of mother’s knowledge was a confounder. Child nutritional status was also a risk factor associated significantly with child diphthena (p < 0.05). No interaction between variables was found in this study.
It is recommended that the Cugenang, Cikalongkulon, and Kadupandak community health centers should provide the complete 3 dose anti-diphtheria immunization service and conduct routine education program to the communities conceming benefit of immunization, diphtheria symptoms and signs, seriousness and the mode of transmission of the disease. The communities are also advised to increase their nutritional status through consuming healthy meal or planting food sources in their back yard. For Health District Office of Cianjur, it is supgested to pnontize quality improvement in DPT immunization program, nutrition improvement program, and health education program.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2003
T6405
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Januar Tree Kencana
"Penyakit difteri disebabkan oleh infeksi corynebacteritum diphteriae merupakan salah satu penyakit menular yang dapat dicegah dengan imunisasi, penyakit ini masih menjadi masalah kesehatan yang serius karena seringkali menimbulkan kejadian luar biasa (KLB) di berbagai negara maupun belahan dunia. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan pada tahun 2017 telah terjadi KLB difteri di 20 propinsi dan 95 kabupaten / kota di Indonesia, termasuk Propinsi Banten dan salah satunya adalah di Kabupaten Serang. Di kabupaten Serang Status imunisasi dan statu gizi masyarakat masih menjadi masalah kesehatan, Cakupan imunisasi yang masih rendah di beberapa Desa dalam kecamatan dan status gizi buruk masih ditemukan, oleh karenanya penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan status imunisasi dan status gizi dengan kejadian difter! pada KLB di kabupaten Serang Propinsi Banten Tahun 2017-2018. Desain penelitian yang digunakan adalah kasus kontrol dimana variabel penelitiannya adalah status imunisasi dan status gizi serta variabel kovariat yaitu lingkungan fisik tempat tinggal, pengetahuan dan riwayat bepergian. Berdasarkan hasil penelitian secara multivariat dengan menggunakan regresi logistik di dapatkan hasil bahwa status imunisasi mempunyai OR : 3,777 95% CI = 1.48 -9.60 P Value 0.005 sedangkan Status Gizi memiliki OR : 1,23 90% CI = 0.44 — 3,41 P Value 0,680 setelah dikontrol dengan Variabel Umur, Jenis Kelamin, Pengetahuan, Riwayat Bepergian, lingkungan fisik Rumah, pencahayaan alami, Kelembaban dan kepadatan Hunian.

Background: Diphtheria as a one of the most contagious diseases that can be prevented by immunization (VPD) is still a serious health problem because it often causes outbreak in various countries including Indonesia. Based on data from the Ministry of Health of the Republic of Indonesia, during 2017 there have been diphtheria outbreaks in 20 provinces and 95 regency/cities including Serang Regency.This study aims to determine the relationship between immunization and nutritional status with the diphtheria outbreaks in Serang Regency of Banten Province in 2017-2018.
Methods: This study was an analytic study using case control design with 172 respondents consisting of 43 cases and 129 controls. Logistic regression analysis was performed to obtain an estimate of the relationship between immunization and nutritional status with diphtheria after controlled covariate variables.
Result: Proportion of immunization and good nutrition in the case is lower than in control. Immunization and nutrition in both cases were 51.2% and 76.7% while in controls were 77.5% and 81.4%. The association (OR) between immunization status and diphtheria was 3.78 (95% CI: 1.48-9.60) after controlling to age, room density and natural house lighting while the association (OR) between nutritional status and diphtheria was 1.23 (95% CI: 0.44-3.41) after controlling to age, knowledge, humidity, and immunization status.
Conclusions: The proportion of immunization in diphtheria cases is still low. Nonimmunization status are at risk for diphtheria 3.78 times. The Health Office is expected to conduct routine monitoring and evaluation of basic immunization programs, especially in areas with low coverage and provide information to the community about diphtheria, including factors such as immunization, nutrition, and the physical environment of the house.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2018
T49934
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Novita Sari
"Difteri menjadi penyumbang kejadian luar biasa KLB bagi sebagian wilayah di Indonesia, tidak terkecuali dengan wilayah Provinsi Jawa Barat. Kejadian difteri yang tercatat pada tahun 2015 dan 2016 terekam naik. Kasus difteri meningkat dari 59 kasus menjadi 153 kasus. Kota Depok menjadi salah satu penyumbang kasus yang memiliki angka kejadian yang fluktuatif. Tren penyakit sempat menurun pada 2013-2015, namun kemudian naik pada tahun 2016 menjadi 8 kasus.
Penelitian ini membahas tentang bagaimana implementasi kebijakan, yang dilihat dari sumber kebijakan, pengaturan sumber daya, karakteristik instansi pelaksana, struktur birokrasi, komunikasi, pengaruh disposisi dan keadaan sosial-ekonomi dan politik dalam pengendalian Kejadian Luar Biasa KLB difteri dan Outbreak Response Immunization ORI di Kota Depok tahun 2017. Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan desain deskriptif, melalui wawancara mendalam dan telaah dokumen.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa masih terbatasnya sumber daya terutama SDM, kurangnya kepedulian lintas sektor dan faktor lingkungan sosial, yakni adanya penolakan dari masyarakat untuk vaksinasi, menjadi tantangan dalam pengendalian Kejadian Luar Biasa KLB difteri dan Outbreak Response Immunization ORI di Kota Depok. Diharapkan, kepada implementor kebijakan dapat berkomitmen untuk bekerja sama dengan baik, dan memperhatikan faktor-faktor yang berpengaruh dalam implementasi kebijakan, serta dukungan pemerintah dalam menyediakan vaksin yang halal dan aman serta penelitian mengenai bioterorisme juga dapat dilakukan sebagai pemecahan kasus difteri yang fluktuatif setiap tahunnya.

Diphtheria is contributor of outbreak KLB for some regions in Indonesia, included West Java Province. Diphtheria cases recorded increased through 2015 2016, cases increased from 59 cases to 153 cases. Depok City became one of the contributors of cases that have fluctuating incidents. Disease trends have declined in 2013 2015, but then increased in 2016 to 8 cases.
This study discusses policy implementation, viewed from policy sources, resource arrangements, the characteristics of implementing agencies, bureaucratic structures, communications, the influence of dispositions and socio economic and political circumstances in control of Diphtheria Outbreak and Outbreak Response Immunization ORI in Depok City in 2017. This type of research is qualitative research with descriptive design, through in depth interviews and document review.
The results showed that the limited resources, especially human resources, the lack of cross sectoral concern and social environment factors, like the rejection of some community for vaccination, became a challenge in controlling the Diphtheria Outbreak and Outbreak Response Immunization ORI in Depok City. It is expected that policy implementers can commit to working together, and taking into the influential factors in policy implementation, as well as government support in providing halal and safe vaccines and research on bioterrorism can also be done as solving cases of diphtheria fluctuating annually.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Luh Inta Prilandari
"Latar belakang: Difteri merupakan penyakit infeksi bakteri yang diperantarai oleh
toksin. Corynebacterium diphtheriae adalah penyebab tersering difteri. Diagnostik
laboratorium harus dilakukan dengan cepat untuk menunjang diagnosis klinis difteri.
Pemeriksaan mikroskopik tidak direkomendasikan karena tidak spesifik, kultur dan uji
toksin yang merupakan uji baku emas cukup memakan waktu, membutuhkan
keterampilan dan pengalaman serta hanya dilakukan di laboratorium rujukan. PCR
merupakan metode pemeriksaan yang cepat, sensitif dan spesifik. Duplex real-time PCR
dapat mendeteksi bakteri penyebab tersering dan gen pengkode toksin secara simultan.
Tujuan penelitian: Melakukan optimasi uji duplex real time PCR untuk deteksi C.
diphtheriae potensial toksigenik dan menerapkannya pada spesimen usap tenggorok
pasien tersangka difteri.
Metode: Duplex real-time PCR menggunakan dua pasang primer dan probe dengan
target gen rpoB C.diphtheriae dan toksin difteri subunit A Tox. Parameter yang
dioptimasi adalah suhu penempelan, konsentrasi masing-masing primer dan probe,
inhibitor, reaksi silang dengan patogen lain dan ambang batas deteksi uji. Kemudian uji
diaplikasikan pada spesimen usap tenggorok pasien tersangka difteri yang dirawat di
RSPI Sulianti Saroso pada periode 2018-2019. Sebagai perbandingan dilakukan uji Elek
untuk konfirmasi toksigenitas dan analisa data klinis pasien.
Hasil: Kondisi optimal uji didapat pada suhu penempelan 55oC, konsentrasi primer Cd
0,4 μM, primer Tox 0,6 μM, probe Cd 0,5 μM dan probe Tox 0,625 μM, volume elusi
ekstraksi DNA 50 μL, volume cetakan DNA 5 μL dan ambang batas deteksi 2 CFU/ml.
Uji tidak bereaksi silang dengan mikroorganisme lain yang dicobakan. Dari 89 sampel,
proporsi positif C.diphtheriae potensial toksigenik dengan uji duplex real-time PCR
adalah 21,3%, sedangkan proporsi positif C.diphtheriae toksigenik menggunakan uji
baku emas adalah 11,2%.
Kesimpulan: Duplex real time PCR untuk deteksi C.diphtheriae potensial toksigenik
telah dioptimasi dan diaplikasikan pada pasien tersangka difteri. Diharapkan uji ini
dapat meningkatkan diagnosis laboratorium kasus difteri.

Background: Diphtheria is toxin-mediated bacterial infection. The most common
etiology is Corynebacterium diphtheriae. Laboratory diagnostic should be done
immediately to support clinical diagnosis. Microscopic examination is not
recommended, culture followed by toxin test is consider gold standard but timeconsuming,
require experience and only done in referral laboratory. PCR is fast,
sensitive and specific. Duplex real-time PCR can detect bacteria and toxin-encoding
gene simultaneously.
Objective: Optimizing duplex real-time PCR assay for detection of potentially
toxigenic C.diphtheriae and applicate the assay on throat swab of suspected diphtheria
patient.
Method: Two pair of primers and specific probe targeting rpoB gene of C.diphtheriae
and A-subunit of diphtheria toxin gene were used in this study. Parameters including
annealling temperature, concentration of primers and probes, inhibitors, cross reaction
and detection limit were being optimized to receive optimal condition. The optimized
assay was applicated on throat swab of suspected diphtheria patient in Sulianti Saroso
Infectious Disease Hospital at 2018-2019. Elek toxigenity test was used for comparison
and clinical data of the patient were analyzed.
Result: The optimum condition for duplex real-time PCR was received upon the
annealing temperature 60oC, concentration of Cd primer 0,4 μM, Tox primer 0,6 μM,
Cd probe 0,5 μM, Tox probe 0,625 μM, DNA elution volume 50 μL, DNA template
volume 5 μL and detection limit 2 CFU/ml. There was no cross reaction found with
other tested microorganisms. Of 89 samples, proportion of potentially toxigenic
C.diphtheriae was 21,3% and proportion of toxigenic C.diphtheriae confirmed by gold
standard was 11,2%.
Conclusion: Duplex real time PCR has been optimized for detection of potentially
toxigenic C.diphtheriae. This method can be used to detect C.diphtheriae and Tox
simultaneosly and increase supporting diagnosis.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Fitriana
"Difteri adalah penyakit infeksi akut saluran nafas atas yang disebabkan oleh Corynebacterium diphtheria, bersifat sangat menular dengan tingkat kematian tinggi. Beberapa tahun terakhir ditemukan kembali kasus difteri di berbagai wilayah Indonesia, walaupun program vaksinasi telah dilaksanakan secara luas. Gejala difteri yang ditimbulkan sebagian besar disebabkan oleh toksin dan dapat berakibat fatal. Kerusakan yang disebabkan oleh toksin yang telah terikat pada sel host tidak dapat diperbaiki walaupun telah diberikan antitoksin.
Beberapa laporan menunjukkan bahwa pemberian antitoksin pada hari pertama pengobatan dapat mempengaruhi angka kematian kurang dari 1%, dan dapat meningkat sampai 30% bila ditunda sampai hari ke 6. Medium diagnosis cepat (MDC) yang akan dikembangkan dalam penelitian ini akan menggabungkan tiga pemeriksaan mikrobiologi dalam satu langkah, yaitu inokulasi, uji biokimia dan serologi.
Penelitian ini merupakan eksperimen laboratorium, yang menggunakan strain referensi dan isolat tersimpan dari Balitbangkes Kemkes RI. Penelitian ini meliputi tiga tahap yaitu : optimasi konsentrasi larutan telurit, komposisi medium, dan konsentrasi Fosfomisin.
Hasil pertumbuhan pada MDC memperlihatkan gambaran halo pada strain yang potensial toksigenik dan presipitat pada strain toksigenik. Waktu pemeriksaan pada MDC sekitar 24-48 jam lebih cepat dari pada prosedur standar.

Diphtheria is an acute infectious disease of upper respiratory tract caused by Corynebacterium diphtheria, and highly contagious with high mortality rate. Few years back cases of diphtheriae were found in various parts of Indonesia, although vaccination programs have been widely implemented. Symptoms of diphtheria largely caused by toxins and can be fatal. Damage caused by toxin that has been bound to the host cell can not be repaired dispite of administration of antitoksin.
Some reports showed that administration of antitoksin on the first day of treatment affected the mortality rate, i.e. less than 1% compared to 30% when delayed until day 6. Medium Diagnosis Cepat (MDC) established in this research will integrate three microbiology examination in one step i.e. inoculation, biochemical and serology tests.
This investigation was a laboratory experiment, using reference strains and isolates stored in The National Research and Development of The Ministry of Health Republik of Indonesia. This study covered three stages is follow : optimization of tellurite solution concentration, medium composition, Fosfomycin concentration.
The results showed halo formation of potentially toxigenic strains and precipitate of toxigenic strain on MDC. The examination MDC was faster than the standard procedure in took about 24-48 hours.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Masfufah
"Difteri merupakan penyakit menular yang dapat menyebabkan kematian. Di Indonesia, Difteri merupakan masalah endemis dimana tingkat kematian Difteri selama lima tahun terakhir mengalami peningkatan yaitu sebesar 1,8% pada tahun 2018 menjadi 8,5% pada tahun 2022. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa riwayat vaksinasi dan pemberian Anti Difteri Serum (ADS) merupakan faktor independen yang mempengaruhi kematian akibat Difteri, namun efek gabungan kedua faktor tersebut belum banyak diketahui. Oleh karena itu, dilakukan penelitian dengan tujuan untuk mengetahui hubungan riwayat vaksinasi Difteri dan riwayat pemberian ADS dengan kejadian kematian Difteri di Indonesia. Penelitian ini menggunakan desain studi kasus kontrol dengan menggunakan data sekunder dari laporan surveilans Difteri Kementerian Kesehatan tahun 2018-2022. Hasil penelitian menunjukkan risiko gabungan pada mereka yang tidak divaksinasi dan tidak diberikan ADS sebesar 4,57 kali (95% CI 2,30-9,09) lebih tinggi dibandingkan kasus Difteri dengan riwayat divaksinasi dan diberikan ADS. Risiko indepeden menunjukkan kelompok yang tidak divaksinasi memiliki risiko kematian 3,03 kali (95% CI 1,93-4,75) lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok yang divaksinasi. Sedangkan kelompok yang tidak diberikan ADS memiliki risiko kematian 0,31 kali (95% CI 0,11- 0,82) lebih rendah dibandingkan dengan kelompok yang diberikan ADS, namun hasil ini mungkin masih dipengaruhi oleh faktor-faktor perancu yang belum dikontrol dalam penelitian ini, sehingga tidak dapat disimpulkan bahwa tidak memberikan ADS justru menurunkan risiko kematian akibat Difteri. Sebanyak 45% kejadian kematian Difteri dikaitkan dengan interaksi antara tidak divaksinasi dan tidak diberikan ADS. Oleh karena itu, penting untuk melakukan upaya bersama untuk meningkatkan cakupan vaksinasi dan pemberian ADS secara tepat untuk menurunkan kejadian kematian akibat Difteri.

Diphtheria is an infectious disease that can cause death. In Indonesia, Diphtheria is an endemic problem with an increasing death rate over the last five years by 1.8% in 2018 to 8.5% in 2022. Previous studies have shown that vaccination and administration of diphtheria antitoxin (DAT) affect mortality, but their combined effect is not widely known. Therefore, a study was conducted to determine the relationship between these two factors and Diphtheria mortality in Indonesia. The research used a case-control design with secondary data from the Ministry of Health's 2018-2022 Diphtheria surveillance report. The findings revealed that individuals who were neither vaccinated nor given DAT had a 4.57 times higher risk of death (95% CI 2.30-9.09) than vaccinated and received DAT group. Unvaccinated individuals had a 3.03 times higher risk of death (95% CI 0.11-0.82) than vaccinated individuals. The risk of death was 0.31 times lower (95% CI 0.11-0.82) in those who did not receive DAT. However, it is important to note that these results may still influenced by uncontrolled factors, thus no conclusion can be drawn regarding the reduction of death risk through withholding DAT. Up to 45% of diphtheria-related mortality were linked to the combination of this two factors. To reduce diphtheria deaths, it is essential to enhance immunization coverage and administer DAT properly."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alfitra Firizkia Luthfiana Dewi
"Perilaku kesehatan merupakan aspek penting dalam upaya pemeliharaan kesehatan rumah. Dalam teori Health Belief Model, faktor pendorong perilaku kesehatan seseorang yang berasal dari faktor pengubah yakni status sosial ekonomi dan pengetahuan menjadi penting untuk diteliti khususnya pada kondisi penghuni rumah susun. Tujuan dari penelitian ini untuk menganalisis hubungan antara status sosial ekonomi dan pengetahuan kesehatan lingkungan dengan perilaku ibu rumah tangga dalam pemeliharaan rumah sehat di Rusunawa Jatinegara Barat. Penelitian ini menggunakan studi cross-sectional dengan pengambilan data primer melalui wawancara kepada ibu rumah tangga pada bulan Mei hingga Juni tahun 2023. Sebanyak 137 ibu rumah tangga terpilih secara simple random sampling. Hasil analisis bivariat menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan pada variabel tingkat pendidikan ibu rumah tangga (OR= 2,883; 95% CI= 1,339−6,209), tingkat pendidikan kepala keluarga (OR= 3,856; 95% CI= 1,711−8,690), dan pengetahuan kesehatan lingkungan ibu rumah tangga (OR= 2,687; 95% CI= 1,304−5,294) dengan perilaku ibu rumah tangga. Sedangkan pada analisis multivariat, variabel tingkat pendidikan kepala keluarga (OR= 3,390; 95% CI= 1,478−7,776) dan pengetahuan kesehatan lingkungan ibu rumah tangga (OR= 2,253; 95% CI= 1,088−4,666) merupakan faktor-faktor dominan memengaruhi perilaku ibu rumah tangga dalam pemeliharaan rumah sehat di Rusunawa Jatinegara Barat. Maka dari itu, Unit Pengelola Rumah Susun Jatinegara Barat diharapkan dapat mengadakan penyuluhan terkait pengetahuan kesehatan di rumah susun guna meningkatkan pengetahuan ibu rumah tangga dalam pemeliharaan rumah sehat di Rusunawa Jatinegara Barat.

Health behavior is an important aspect in efforts to maintain home health. In the theory of the Health Belief Model, the driving factors for a person's health behavior come from modifying factors, namely socioeconomic status and knowledge, which are important to study, especially in the conditions of apartment dwellers. The purpose of this study was to analyze the relationship between socioeconomic status and knowledge of environmental health with the behavior of housewives in maintaining healthy homes in Rusunawa Jatinegara Barat. This study used a cross-sectional study with primary data collection through interviews with housewives from May to June 2023. A total of 137 housewives were selected by simple random sampling. The results of the bivariate analysis showed that there was a significant relationship between the education level of housewives (OR= 2.883; 95% CI=1.339−6.209), the education level of the head of the family (OR= 3.856; 95% CI=1.711−8.690), and environmental health knowledge housewives (OR= 2.687; 95% CI=1.304−5.294) with housewife behavior. Meanwhile, in the multivariate analysis, the variable level of education of the head of the family (OR= 3,390; 95% CI= 1,478−7,776) and knowledge of environmental health of housewives (OR= 2,253; 95% CI= 1,088−4,666) were the dominant factors influencing the behavior of housewives in maintaining healthy homes in Rusunawa Jatinegara Barat. Therefore, the Rusunawa Jatinegara Barat Management Unit is expected to be able to conduct counseling related to health knowledge in flats to increase the knowledge of housewives in maintaining healthy homes in Rusunawa Jatinegara Barat."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eggi Arguni
"Latar belakang: Difteri merupakan penyakit infeksi endemis dan menjadi masalah kesehatan di Indonesia. Pada tahun 2017 kejadian luar biasa difteri terjadi di beberapa provinsi di Indonesia.
Tujuan: Untuk mengetahui prediktor kematian difteri klinis pada anak di Provinsi DKI Jakarta dan Kabupaten Tangerang selama kejadian luar biasa tahun 2017-2018.
Metode: Penelitian kohort retrospektif dilakukan di lima rumah sakit rujukan di DKI Jakarta dan satu di Kabupaten Tangerang periode 1 Januari 2017-31 Agustus 2018. Pasien anak usia 1-18 tahun dengan diagnosis difteri klinis dinilai faktor prediktor yang berhubungan dengan luaran kematian. Uji korelasi chi square dilakukan untuk mengetahui hubungan variabel bebas dan luaran. Multivariat analisis dilakukan untuk menentukan prediktor kematian. Analisis data dilakukan dengan program SPSS for Window ver 20,0.
Hasil: Pasien anak dengan difteri klinis sejumlah 283 kasus dengan case fatality rate 3,5%. Riwayat imunisasi dasar (RR 6,967; p 0,003), suara serak (RR 7,611; p 0,035), stridor (RR 16,963; p<0,001), bullneck (RR 28,456; p<0,001), limfadenopati (RR 3,838; p 0,045), komplikasi miokarditis (p<0,001), leukositosis >15.000sel/mm3 (RR 7,500; p 0,004), trombositopenia (RR 35,549; p<0,001), kultur C. diphtheriae positif (RR 6,587; p 0,04) berhubungan dengan kematian. Analisis multivariat menunjukkan stridor (HR 11,951; p 0,006), lekositosis (HR 11,425; p 0,01), dan trombositopenia (HR 44,199; p<0,001) berhubungan dengan kematian.
Simpulan: Stridor, lekositosis dan trmbositopenia merupakan faktor prediktor kematian pada difteri klinis anak.

Background: Diphtheria is endemic in Indonesia. In 2017 diphtheria outbreak has taken place in several provinces.
Objective: To identify predictors of mortality of pediatric patients with clinical diphtheria during 2017-2018 outbreak in the Province of Jakarta and Tangerang District.
Methods: A retrospective cohort study has been held at five referral hospitals in the Province of Jakarta and one in Tangerang District during January 2017 and 31 August 2018. The study group is children age group of 1-18 years old admitted with sign and symptoms and discharge as clinical diphtheria. All details that is demographic data, clinical features, immunization status, complication and laboratory profiles and outcome were analysed. Variables were compared among survivors and non survivors to determine the predictors of mortality. A chi square test and cox regression was done to assess association between variables and outcome. Data were analysed using SPSS for Window ver 20,0.
Results: A total of 283 pediatric patients with clinical diphtheria were included in the study group with case fatality rate of 3.5%. Basic immunization status (RR 6.967; p0.003), hoarseness (RR 7.611; p0.035), stridor (RR 16.963; p<0.001), bullneck (RR 28.456; p<0.001), limphadenopaty (RR 3.838; p0.045), myocarditis (p<0,001), leukocytosis >15,000 cell/mm3 (RR 7.500; p0.004), thrombocytopenia <150,000 cell/mm3 (RR 35.549; p<0.001), C. diphtheriae positive culture (RR 6.587; p0.04) were found correlated to mortality. Multivariat analysis showed that stridor (HR 11.951; p0.006), leukocytosis (HR 11,425; p0,01), and thrombocytopenia (HR 44.199; p<0.001) correlated to death.
Conclusion: Diphtheria is fatal disease with increased mortality. Presence of stridor, leukocytosis and thrmbocytopenia are important predictors of mortality.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Didik Supriyono
"Penyakit tuberkulosis paru di Kabupaten Bogor merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang sangat serius dengan jumlah kasus TB Paru BTA (+) tentu meningkat dari 744 tahun 1999 menjadi 1410 tahun 2002. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara faktor risiko lingkungan fisik rumah, karakteristik individu dan kebiasaan kegiatan yang dilakukan penghuni di dalam rumah dengan kejadian penyakit TB Paru BTA (+).
Studi kasus kontrol telah dilaksanakan di Wilayah Kecamatan Ciampea Kabupaten Bogor dengan 125 kasus TB Paru BTA (+) dart 125 kasus TB Paru BTA (-). Untuk menentukan kasus dan kontrol dilakukan pengambilan data dari register TB 01, TB 03, TB 04 dan TB 06 yang berasal dari puskesmas. Data faktor risiko lingkungan fisik rumah dikumpulkan dengan cara observasi dan pengukuran meliputi sinar matahari masuk ke dalam ruangan rumah, sinar matahari masuk ke kamar tidur, luas ventilasi rumah, kelembaban rumah, kepadatan hunian, keadaan terbukanya jendela ruangan rumah, keadaan terbukanya jendela kamar tidur, jenis lantai dan jenis dinding rumah. Data karakteristik individu dikumpulkan dengan cara wawancara meliputi umur, jenis kelamin, dan status imunisasi. Data faktor risiko kebiasaan kegiatan yang dilakukan penghuni di dalam rumah dikumpulkan dengan cara observasi, meliputi kebiasaan merokok, penggunaan obat nyamuk bakar, penggunaan bahan bakar untuk memasak dan kebiasaan membersihkan lantai rumah. Seluruh data yang terkumpul selanjutnya dianalisis secara bivariat dan multivariat.
Hasil analisis bivariat menunjukan bahwa ada 5 variabel faktor risiko lingkungan fisik rumah yang menunjukan hubungan bermakna dengan kejadian penyakit TB Part BTA (+) yaitu sinar matahari masuk ke dalam ruangan rumah (p = 0,000, OR = 5,525 & 95% CI = 3,155-9,674), sinar matahari masuk ke dalam kamar tidur (p = 0,000, OR = 7,098 & 95% CI = 4,045-I2,455), luas ventilasi rumah (p = 0,000, OR = 5,196 & 95% CI = 2,992-9,026), keadaan terbukanya jendela ruangan rumah (p = 0,000, OR - 3,218 & 95% CI = 1,875-5,521) dan keadaan terbukanya jendela kamar tidur (p = 0,000, OR = 6,780 & 95% CI = 3,887-12,140). Dari faktor risiko kebiasaan kegiatan yang dilakukan penghuni di dalam rumah hanya kebiasaan membersihkan lantai rumah yang bermakna (p = 0,003, OR = 4,319 & 95% CI = 1,188-15,701). Selanjutnya, analisis multivariat menunjukan bahwa variabel yang paling dominan dalam mempenganihi terjadinya penyakit TB Paru BTA (+) adalah luas ventilasi rumah. Model persamaan regresi logistik menunjukan bahwa seseorang dengan faktor risiko tinggal di rumah dengan tidak ada sinar matahari yang masuk ke kamar tidur, luas ventilasi rumah yang tidak memenuhi syarat dan tidak terbukanya jendela kamar tidur mempunyai probabilitas untuk menderita penyakit TB Pani sebesar 19 kali lebilh besar dibandingkan dengan seseorang yang tidak mempunyai faktor risiko tersebut. Dapat disimpulkan bahwa lingkungan fisik rumah merupakan faktor risiko yang terbesar dalam mempengaruhi kejadian penyakit TB Paru BTA (+) dibandingkan dengan faktor risiko karakteristik individu dan kebiasaan kegiatan yang dilakukan penghuni di dalam rumah.
Daftar bacaan ; 43 ( 1980 - 2002 )

Physical Environments of House as Risk Factors of Positive Acid Fast Bacilli (AFB+) TB at Ciampea Subdistrict, District of Bogor, 2002 In Bogor District Tuberculosis is a serious problem of public health with AFB+ cases increasing from 744 in 1999 to 1410 in 2002. Previous researches indicate that TB is associated with physical environments, individual characteristics and daily habit in the house. This research is intended to investigate the association of physical environments of house with AFB+ TB cases.
A case-control study has been carried out in Ciampea Subdistrict, District of Bogor, with 125 respondents of AFB+ as cases and 125 respondents of negative AFB as control. Register Form of TB 01, TB 03, TB 04, and TB 06 filled up by Health Center (Puskesmas) was used to determine the case and control. Data on sunlight into dining room, sunlight into bedroom, ventilation width, relative humidity, window opening of dining room, window opening of bedroom, type of wall, type of floor, and house density as physical environments were collected by direct observation and measurement, while data on age, sex and immunization status as individual characteristics were collected by interview. In addition, smoking, use of mosquito coil, use cooking fuels, and floor cleaning as daily habits were collected by observation. Bivariate and multivariate analysis were employed to all collected data.
Bivariate analysis shows that five physical environments of house are significantly associated with AFB+ TB cases, i.e. sunlight into dining room (p = 0.000, OR = 5.25, 95% CI = 3.155 - 9.674), sunlight into bedroom (p = 0.000, OR = 7.098, 95% CI = 4.045 - 12.455), width of house ventilation (p = 0.000, OR = 5.196, 95% CI = 2.992 - 9.026), window opening of dining room (p = 0.000, OR = 3218, 95% CI = 1.875 - 5.521), and window opening of bedroom (p = 0.000, OR = 6.780, 95% CI = 3.887 - 12140). In addition, of daily habit factors only floor cleaning is significantly associated (p = 0.003, OR = 4.319, 95% CI = 1.188 - 15.701). Further, multivariate analysis shows that the dominant risk factor associated with AFB+ TB is house ventilation. Meanwhile, logistic regression model indicates that probability of having AFB+ TB of those who reside in a house with no sunlight coming into bedroom, under standard ventilation width, and closed bedroom window is 19 fold higher than (hose with no such risk factors. It is concluded that physical environments of house are major risk factors compared with individual characteristics and daily habitual activities.
References: 43 (1980 2002)
"
Depok: Universitas Indonesia, 2002
T11254
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>