Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 195244 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
C. Devikemalawaty
"Skripsi ini dibuat dalam rangka memenuhi prasyarat dalam mencapai gelar Sarjana Hukum dari Faku1tas Hukum Universitas Indonesia. Metode penelitian yang dipergunakan adalah metode penelitian kepustakaan dan metode penelitian lapangan. Lembaga jaminan merupakan sarana utama untuk menunjang kelancaran kegiatan ekonomi suatu negara. Fiducia Eigendoms Overdracht atau lazimnya disebut Fiducia merupakan salah satu lembaga jaminan yang lahir dan berkembang melalui yurisprudensi dan te1ah mendapat tempat dalam praktek perbankan di Indonesia. KUH Perdata tidak memuat peraturan tentang lembaga ini. Namun sebagai suatu lembaga hukum yang semula berasal dari hukum perdata barat, eksistensi dan perkembangannya dapat dikaitkan dengan aturan yang dimuat dalam KUH Perdata, khususnya lembaga hukum jaminan. Oleh karena itu ketentuan Gadai dan Hipotik dapat diterapkan secara analogis pada fiducia. Sampai saat ini lembaga Fiducia belum di bakukan kedalam perundang-undangan tersendiri, sehingga dalam perkembangannya menghadapi masalah-masalah dalam praktek pelaksanaannya. Antara lain soal eksekusi, fiducia atas bangunan dan fiducia ulang. Sering dijumpai putusan-putusan Mahkamah Agung yang saling bertentangan satu dengan lainnya, sehingga menghambat perkembangan fiducia. Misalnya berdasarkan keputusan Mahkamah Agung No. 1500k/Sip/1978 kreditur fiducia seperti halnya gadai mempunyai wewenang untuk melaksanakan parate eksekusi. Akan tetapi putusan lainnya, yaitu keputusan Mahkamah Agung No. 3201k/Pdt/1984 menentukan dalam kreditur (hipotik) dalam melaksanakan eksekusi harus dilakukan melalui Pengadilan Negeri. Untuk itu para pihak yang akan menggunakan lembaga fiducia sebagai jaminan kredit tidak saja berpedoman pada yurisprudensi, melainkan lebih mendasarkan aturannya pada perjanjian yang sebelumnya telah di sepakati kedua pihak. Sejalan dengan kebutuhan akan kredit yang semakin meningkat, dalam praktek terbuka kemungkinan untuk menjadikan bahan baku dan barang yang akan ada menjadi obyek fiducia. Diperlukan kecermatan kreditur dalam membuat isi perjanjian secara terperinci, dengan memperhatikan aspek kesusilaan dan ketertiban umum sehingga terhindar atau setidaknya memperkecil resiko kerugian di kemudian hari."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1990
S20496
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yossylinda S. Rusli
"ABSTRAK
Dalam melaksanakan azas pemerataan seperti yang tercantum didalam GBHN (Tap No. IV/1IR/ 1978), untuk pelaksanaannya diperkan suatu dana dalam bentuk kredit yang disalurkan oleh bank bank pemerintah maupun swasta. perjanjian kredit merupakan dasar hukum dalam pemberian kredit dan untuk pengamanan bagi kredit yang disalurkan tersebut dikuatkan dengan adanya jarninan berupa barang-barang bergerak dan tidak bergerak. Perjanjian kredit merupakan perjanjian pokok (innominat) yang dilengkapi dengan perjanjian lainnya yang bersifat accesoir yaitu perjanjian mengenai jaminan. Perjanjian kredit tunduk pada ketentuan umum Perjanjian yang diatur didalam KUH Perdata, menganut sistem terbuka dimana para pihak bebas mencantumkan apa saja yang diinginkan sepanjang tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan. Karena azas terbuka tersebut maka terbuka kemungkinan lain yang diatur oleh KUH Perdata dan itulah sebabnya ingin disoroti jaminan apa, pengikatan macam apa dan proseclure bagaimana yang ditempuh para pihak dalam suatu pemberian kredit. Dasar hukum perjanjian kredit ialah UUP 1967 30. pasal 1754 KUH Perdata. pada hakekatnya jaminan kredit yang pertama adalah icepercayaan, agar kepercayaan ini terwujud bila perjanjian tidak dilaksanakàn semestinya maka diperlukan jaminan dalam bentuk jaminan umum berdasarkan pasal 1131 KUH Perdata dan jaminan khusus didasarican pada pasal 24 UUF 1967 yang dalam prakteknya di Bank Dagang Negara terdiri atas jaminan utama dan jaminan tambahan, juga dalam praktek eksekusi langsung atas jaminan tidak pernah dilakukan oleh bank dalam hal debitur wanprestasi. Eksekusi jaminan harus melalui PIJFN yang mana prosesnya lama dan biayanya mahal, sebaiknya dialihkan pada pengadilan perdata atau lebih baik lagi oleh bank sendiri deini menogakkan wibawa hukum. Selain itu perlu dipikirkan pembentukan peraturan mengenai jaminan yang bersifat unifikasi."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1984
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hendrianty
"Dewasa ini dunia keuangan dan perbankan khususnya perkreditan telah berkembang cukup pesat dan mempunyai peranan yang sangat penting dalam pembangunan perekonomian nasional. Kemajuan dan keberhasilan tersebut perlu terus dikembangkan dengan pembinaan Yang tepat. Disamping itu perlu juga dilakukan pengendalian dan pengawasan terhadap kegiatan ini. Hal tersebut merupakan tanggung jawab Pemerintah yang di dalam pelaksanaannya diwujudkan dengan dikeluarkannya Paket: Kebijaksanaan 29 Mei 1993 (Pakmei). Dalam Pakmei ini diwajibkan kepada semua bank untuk memberikan kreditnya sebesar 20% dari total kredit yang dikeluarkan oleh bank tersebut kepada pengusaha kecil melalui KUK, kecuali bagi bank-bank asing dan bank-bank campuran yang 50% Kreditnya diberikan untuk ekspor. Peraturan ini dikeluarkan karena ada kecenderungan dari bank-bank yang enggan untuk memberikan kreditnya kepada pengusaha kecil melalui KUK karena berisiko tinggi, yaitu risiko terjadinya kredit macet. Sehubungan dengan hal itu, maka bank yang memberikan kredit bagi pengusaha kecil melalui KUK diperbolehkan untuk mengasuransikan kredit tersebut kepada PT. Asuransi Kredit Indonesia (PT. Askrindo). Adanya asuransi kredit ini dimaksudkan agar bank tidak segan-segan untuk memberikan kredit kepada para pengusaha kecil, karena apabila terjadi kredit macet, maka risiko tersebut telah beralih kepada penanggung (PT. Askrindo). PT. Askindo akan menanggung kerugian yang diderita oleh bank sebesar 70% dari kerugian riil. Jadi bank tidak harus menanggung seluruh kerugian yang dialami dari adanya kredit macet. Pakmei ini dikeluarkan untuk membantu para pengusaha kecil dalam rangka mengembangkan dan memajukan usahanya. Dalam pemberian KUK di BDN, asuransi kredit ini merupakan salah satu alternatif bagi bank untuk mengamankan kredit yang telah dikeluarkan bagi para pengusaha kecil, dan sebagai salah satu pemecahan untuk mengatasi kendala dalam penggunaan lembaga jaminan fiducia dan hipotik dalam praktek di BDN."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1994
S20582
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Baheramsyah
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah eksekusi yang dilaksanakan oleh PUPN dapat menunjang terpenuhinya pengembalian piutang negara yang macet, masalah-masalah apa saja yang timbul di dalam praktek dan apakah keputusan PUPN mengikat para debitur yang lalai (wanprestasi) atau pihak ketiga yang berkepentingan.
Penelitian ini bersifat deskriptif analisis dan penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, sehingga data utama yang dipergunakan adalah data sekunder. Untuk melengkapi data sekunder, juga dipergunakan data primer.
Berdasarkan hasil penelitian maka pembahasan dan kesimpulan yang diperoleh adalah bahwa didalam Undang-Undang No.49 Prp Tahun 1960, PUPN bertugas menyelesaikan piutang negara yang berasal dari kreditur negara (Instansi-Instansi Pemerintah atau Badan Usaha Milik Negara) sedangkan adanya dan besarnya piutang tersebut telah pasti menurut hukum. Dalam melaksanakan tugas, PUPN dengan kuasa undang-undang diberi kewenangan untuk membuat "Pernyataan Bersama" antara Ketua PUPN dengan pihak Debitur, sifat Pernyataan Bersama mempunyai nilai seperti putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, yang eksekutabel (dapat dieksekusi), asal Pernyataan Bersama tersebut berkepala "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa". Selain itu PUPN juga berwenang untuk menetapkan dan melaksanakan Surat Paksa, berupa surat penetapan untuk: 1) Menjalankan sita eksekusi terhadap harta kekayaan Debitur; 2) Menjalankan penjualan lelang atas harta kekayaan Debitur yang telah disita melalui perantaraan Kantor Lelang Negara; 3) Menerbitkan Surat Perintah Pencegahan Berpergian Keluar Negeri; 4) Menerbitkan Surat Perintah Penyanderaan terhadap Debitur dengan persetujuan Kepala Kejaksaan Tinggi; dan 5) Pemblokiran Benda Jaminan milik Penanggung Hutang (Debitur). Atas dasar kewenangan tersebut, maka keputusan PUPN sering dikatakan sebagai peradilan semu (quasi recht spraak) yaitu keputusan yang disamakan dengan keputusan hakim perdata yang telah berkekuatan hukum tetap.
Dengan Kewenangan yang demikian besar ternyata didalam praktek sering dijumpai masalah-masalah, baik disebabkan oleh faktor ekstern maupun faktor intern. Adapun masalah-masalah tersebut yaitu: 1) Adanya peninjauan kembali terhadap kewenangan PUPN dalam membuat Surat Pernyataan Bersama, Surat Paksa, Penyitaan dan Pelelangan yang diajukan oleh debitur dan/atau pihak ketiga yang berkepentingan ke Pengadilan Tata Usaha Negara, dengan tujuan agar sita dan lelang dapat ditunda atau dibatalkan; 2) Adanya penyitaan kembali oleh Pengadilan Negeri terhadap objek barang yang pengurusannya telah diserahkan atau sedang diurus oleh PUPN; 3) Adanya kesulitan pengosongan terhadap objek benda yang telah dibeli oleh pembeli lelang; 4) Adanya pembatalan penyitaan dan pelelangan, karena penerbitan Surat Paksa sebagai dasar hukum pelelangan tidak didahului dengan Pernyataan Bersama; 5) Adanya perlawanan dari istri/suami orang yang disita dan dilelang barangnya; dan 6) Adanya beberapa barang jaminan yang mendadak disita oleh Kepolisian atau Kejaksaan. Kantor Badan Pertanahan tidak mengeluarkan Surat Keterangan Tanah (SKT) atau Surat Keterangan Pendaftaran Tanah (SKPT) untuk lelang. Masalah dokumen dan berkasberkas yang diserahkan ke PUPN tidak lengkap, juga masalah-masalah lain seperti debitur sudah meninggal dunia, perusahaannya bangkrut, dan masalah agunan yang diserahkan ke PUPN Iebih kecil dari total utangnya.
Dengan adanya masalah-masalah tersebut mengakibatkan: 1) Piutang negara yang diurus PUPN sampai saat ini belum dapat memenuhi piutang negara yang macet; 2) Telah menghambat PUPN dalam menyelesaikan piutang negara secara cepat dan efisien; dan 3) Dengan adanya keberatan dari pihak Debitur dan pihak ketiga, mengakibatkan keputusan PUPN dapat ditunda dan dibatalkan, dengan demikian kekuatan mengikat keputusan PUPN tidak bersifat maksimal.
Berdasarkan hasil penelitian, maka disarankan: 1) Untuk mengatasi permasalahan yang sering terjadi antara PUPN dan pengadilan sehubungan dengan penyitaan dan pelelangan, maka diperlukan Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Keuangan; 2) PUPN perlu melakukan sinkronisasi dan koordinasi dengan lembaga-lembaga hukum yang ada, seperti Mahkamah Agung serta dengan instansi-instansi pemerintah lain yang terkait, seperti Bank Indonesia dan Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan dilakukan secara berkala, dengan agenda mencari pola (model) penyelesaian piutang negara macet; dan 3) Kewenangan PUPN untuk melakukan Sandera (Paksa Badan) dan Pemblokiran Benda Jaminan milik Debitur yang ada di bank, yang selama ini jarang digunakan, hendaknya dimanfaatkan oleh bank dengan memberikan dukungan informasi dan kalau perlu dukungan tempat dan biaya."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T15541
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Novel Hamada
Universitas Indonesia, 1986
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fyria Jantrini S.
"Semenjak diberlakukan Pakto 1988, dunia perbankan di Indonesia mengalami perkembangan yang sangat pesat. Hal ini menimbulkan persaingan antar bank dan masing-masing bank berlomba-lomba menjaring dana masyarakat dengan cara menawarkan produk-produk baru, di samping peningkatan mutu pelayanan kepada nasabah. Saat ini seumber dana tabungan banyak di gemari sebagai sarana pengumpul dana bagi bank. Bank Umum Koperasi Indonesia (Bank BUKOPIN) telah mengeluarkan beberapa jenis tabungan, salah satunya adalah Tabungan Simpanan Keluarga (SiAga). Tabungan SiAga ini dapat dijadikan jaminan kredit. Jaminan kredit adalah suatu komponen penting dalam setiap pemberian kredit oleh bank. Dalam pemberian kredit, pihak bank harus meminta suatu benda yang dijadikan jaminan. Hal tersebut sesuai dengan yang ditetapkan di dalam pasal 24 ayat 1 Undang-undang Nomor 14 tahun 1967, yang menyebutkan bahwa bank dilarang memberikan kredit tanpa adanya jaminan. Suatu kenyataan dewasa ini bahwa setiap pemberian kredit harus ada jaminan, baik adanya pihak ketiga yang menjamin maupun jaminan dengan benda-benda yang cukup menjamin adanya kepastian hukum dan kepastian hak terhadap kreditur. Benda-benda yang dijadikan jaminan dapat berupa benda bergerak dan benda tidak bergerak berdasarkan pasal 511 angka 3 KUHPerdata, maka Tabungan SiAga dapat digolongkan sebagai benda bergerak. Ada dua kemungkinan cara pengikatan untuk suatu benda bergerak, yaitu melalui gadai atau fiducia. tabungan SiAga apabila dijadikan jaminan kredit, pada praktek nya di Bank BUKOPIN, pengikatannya di golongkan sebagai bentuk jaminan gadai. Tabungan SiAga yang dijadikan jaminan kredit ini adalah bentuk jaminan yang sangat disukai oleh bank, jaminan adalah sejumlah uang, karena yang di jadikan sehingga bila debitur melakukan wanprestasi, maka mempermudah bank untuk mengeksekusi, yaitu dapat langsung di uangkan untuk pelunasan piutangnya."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1992
S20581
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Nurul Faisal
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2002
S24183
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>