Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 41940 dokumen yang sesuai dengan query
cover
"Feracrylum merupakan obat topikal yang mengandung garam besi poliakrilat 0.05 sampai 0.5%. Obat ini terbukti memiliki efek antibakteri dan efektif untuk mengobati luka bakar. Suatu uji klinik tentang efektivitas dan keamanan dari feracrylum dibandingkan dengan silver sulfadiazin (SSD) telah dilakukan pada penderita luka bakar, dengan metode studi terbuka, acak, berpembanding. Feracrylum dan SSD dioleskan tiap hari pada masing-masing satu sisi badan dan hasilnya diobservasi selama 11 hari. Tujuh dari 8 pasien dapat menyelesaikan studi ini. Pada hari 7 dan 11 reepitelisasi meningkat pada sisi tubuh yang mendapat feracrylum yang terlihat dengan berkurangnya luas lesi. Persentase epitelisasi pada kelompok feracrylum adalah 70.53±24.298 dan 81.71±28.922 % pada hari ke-7 dan 11. Angka ini lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok SSD (66.15±25.080 dan 64.64±74.684%). Secara statistik tidak didapatkan perbedaan yang bermakna. Feracrylum terbukti aman dan dapat ditoleransi dengan baik.

Abstract
Instead of haemostatic effect, feracrylum provides antibacterial activity; wound improvement has been clinically proven. Feracrylum is a water soluble mixture of incomplete ferrous salt of polyacrylic acid containing 0.05 to 0.5% of iron in physiologic solution (0.85% solution of sodium chloride). A clinical study on safety and efficacy of feracrylum compared to silver sulfadiazine (SSD) was conducted in burn management, since with the widely use of SSD, the sulfadiazine?s disadvantages lead to wound healing impairment. In this open, randomized, controlled study, feracrylum and SSD were topically applied, each on different side of the burnt areas in parts of body for a treatment period of eleven days. Of eight enrolled patients, seven patients completed the study; one patient withdrew due to acute burn complication. On day 7th and 11th, the re-epithelialization in group receiving feracrylum increased as the raw surface area reduced. Mean percentages of epithelialization on both evaluation days in Feracrylum group were 70.53±24.298 and 81.71±28.922, respectively, which were higher than SSD group (66.15±25.080 and 64.64±74.684 respectively). Feracrylum was found to be safe and well tolerated. This study showed a clinical difference although it was not significant statistically. "
[Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia], 2008
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Nissia Ananda
"Latar Belakang: Pembentukan jaringan parut terkait dengan fibroblast yang dihasilkan selama fase proliferasi dan salah satu strategi untuk menekan pembentukannya yang berlebihan adalah dengan menggunakan bahan perawatan luka. Penggunaan obat herbal saat ini diminati karena menghindari efek samping obat sintetik dan Hydnophytum formicarum berpotensi sebagai antioksidan dan anti inflamasi. Tujuan Penelitian: Menganalisis pengaruhekstrak Hydnophytum formicarum terhadap kerapatan kolagen, angiogenesis, panjang luka, dan reepitelisasi penyembuhan luka. Metode Penelitian: 24 ekor tikus Sprague Dawley dibagi dalam kelompok kontrol dan kelompok perlakuan. Luka dibuat menggunakan biopsy punch. Empat ekor tikus dari tiap kelompok di nekropsi pada hari ke 4, 7 dan 14. Analisa kerapatan kolagen, angiogenesis, panjang luka, dan reepitelisasi dilakukan menggunakan pemeriksaan hematoksilin eosin dan masson’s trichrome. Hasil: Terdapat perbedaan bermakna pada angiogenesis, panjang luka, reepiteliasasi antar kelompok. Angiogenesis pada kelompok perlakuan memiliki jumlah yang lebih sedikit namun lebih matur. Selain itu terdapat interaksi antara pengaplikasian ekstrak Hydnophytum formicarum dan hari nekropsi terhadap kerapatan kolagen dan tingkat reepitelisasi. Kesimpulan: Penggunaan ekstrak Hydnophytum formicarum mempengaruhi pembentukkan jaringan parut yang ditunjukkan kerapatan kolagen, angiogenesis, reepitelisasi, dan panjang luka pada fase granulasi. Tidak terdapat kelainan spesifik pada luka pada kelompok perlakuan. Inhibisi angiogenesis pada aplikasiHydnophytum formicarum berhubungan dengan pembentukan jaringan parut pada luka.

Background: Formation of scar tissue associated with fibroblast and wound care material is used to suppress the formation of excessive scar tissue. Herbal medicine is currently popular because it avoids the side effects of synthetic drugs and Hydnophytum formicarum has antioxidant and anti-inflammation potential. Purpose: Analyzing the effects of Hydnophytum formicarum extract on collagen density, angiogenesis, wound length, reepithelialization in wound healing. Material and Method: 24 mice are divided in the control and treated group. Wounds were made using biopsy punch. Four rats from each group were necropsed on day 4, 7 and 14. Collagen density, angiogenesis, wound length, reepithelialization were then analyzed using hematoxylin eosin and masson’s trichrome staining. Results: There were significant differences in the results of the angiogenesis analysis, wound length, reepitheliasation between the groups. Angiogenesis in the treatment group had smaller number but more mature. There was interaction between the application of Hydnophytum formicarum extract and necropsy day on collagen density and reepithelialization rate. Conclusion: Hydnophytum formicarum extracts affected the formation of scar tissue as indicated by collagen density, angiogenesis, reepithelialization, wound length in granulation phases. Inhibition of angiogenesis in the application of Hydnophytum formicarum is related to the formation of scar tissue in the wound."
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Tujuan Menguji secara in vitro kemampuan kasa steril hidrofobik Cutimed® Sorbact® untuk mengikat mikroorganisme multiresisten penyebab luka, methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA) dan Pseudomonas aeruginosa. Metode Desain penelitian ini adalah potong lintang. Penelitian dilakukan di Departemen Mikrobiologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia pada bulan Januari 2009. Pengujian kasa steril hidrofobik untuk mengikat mikroorganisme secara in-vitro dilakukan dengan cara menghitung jumlah MRSA dan Pseudomonas aeruginosa yang terikat pada 1 cm persegi selapis kasa steril hidrofobik Cutimed® Sorbact®. Setiap pengujian dilakukan secara triplo pada waktu paparan 0,5, 1, 5, 10, dan 30 menit serta 1, 2, 3, dan 4 jam. Untuk melihat kemampuan daya ikat kasa steril hidrofobik terhadap mikroorganisme uji, sebagai pembanding dilakukan juga uji daya ikat secara in vitro dari kasa steril konvensional terhadap mikroorganisme uji, pada waktu paparan 0,5 menit dan 2 jam. Hasil Kasa steril hidrofobik Cutimed® Sorbact® mempunyai kemampuan untuk mengikat MRSA dan Pseudomonas aeruginosa mulai dari waktu paparan 0,5 menit dan mencapai maksimal pengikatan pada paparan selama 2 jam. Dibandingkan dengan kasa steril konvensional, kasa steril hidrofobik Cutimed® Sorbact® mempunyai kemampuan yang lebih kuat untuk mengikat MRSA dan Pseudomonas aeruginosa. Kesimpulan Kasa steril hidrofobik Cutimed® Sorbact® mempunyai kemampuan mengikat MRSA dan Pseudomonas aeruginosa yang lebih baik daripada kasa steril konvensional.

Abstract
Aim To do in vitro test to assess the efficacy of hydrophobic dressing Cutimed® Sorbact® to bind multiresistant bacteria that caused wound infection, the methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA) and Pseudomonas aeruginosa. Method This was a cross sectional study that was conducted in the Department of Microbiology, Faculty of Medicine, University of Indonesia, on January 2009. In-vitro testing of sterile hydrophobic dressing to bind microorganisms was conducted by counting MRSA and Pseudomonas aeruginosa that were bound to 1 square centimetre of single layer sterile hydrophobic dressing (Cutimed® Sorbact®). Every test was done in triplicate at 0.5, 1, 5, 10, 30 minutes, 1, 2, 3, and 4 hours. To compare the hydrophobic dressing capability to bind microorganisms, in vitro testing of sterile conventional dressing to bind microorganisms on 0.5 minutes and 2 hours was done. Result The binding capacity of sterile hydrophobic dressing began at 0.5 minutes and teached a maximum at 2 hours. Compared with conventional dressing, sterile hydrophobic dressing had more binding capability to MRSA and Pseudomonas aeruginosa. Conclusion Hydrophobic dressing (Cutimed® Sorbact®) had a higher capability to bind MRSA and Pseudomonas aeruginosa compared to conventional dressing. "
[Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia], 2009
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Yuliardy Limengka
"ABSTRAK
Latar belakangFistel enterokutan FEK adalah salah satu komplikasi paling ditakuti pada pembedahan abdomen, baik bagi ahli bedah maupun tim kesehatan lainnya. Komplikasi ini menyebabkan morbiditas yang signifikan, hingga kemungkinan kematian. Dengan kemajuan teknologi pada teknik perawatan operatif dan non operatif pun, komplikasi-komplikasi yang disebabkan oleh FEK masih sulit dihindari. Negative pressure wound therapy NPWT telah lama digunakan untuk merawat luka kronis, dengan tujuan mengurangi oedema jaringan, memperbaiki sirkulasi, membantu pembentukan jaringan granulasi sehat, dan menghambat lokalisasi kuman. Pada karya tulis ilmiah ini, dilaporkan seorang pasien laki-laki berusia 29 tahun dengan FEK dan komplikasi-komplikasinya yang berhasil dirawat menggunakan NPWT. Ini adalah kasus pertama perawatan FEK menggunakan NPWT di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo. MetodeSebuah laporan kasus berbasis bukti. SimpulanHasil penelitian ini menyimpulkan bahwa penggunakan NPWT aman dan efektif untuk merawat FEK, baik sebagai terapi definitif maupun terapi jembatan sebelum pembedahan definitif.

ABSTRACT
IntroductionEnterocutaneous fistula ECF is one of the most challenging abdominal complications, for surgeons and other healthcare members, which involves significant morbidity and potentially mortality. Despite advancements in both operative and non operative therapy, fistula related complications are still unavoidable. Negative pressure wound therapy NPWT had been used years to treat chronic wound, to decrease tissue oedema, improve circulation, promote healthy granulation tissue, and inhibit bacterial growth. We report the first use of NPWT to successfully treat ECF patient in our hospital. Case PresentationA 29 year old male was admitted to Cipto Mangunkusumo Hospital with septic shock and generalized peritonitis due to bowel perforation. Following resuscitation and laparotomy, the patient developed laparotomy wound dehiscence and multiple high output fistulas. The pathologic examination revealed intestinal tuberculosis infection. During the course of treatment, the patient developed cellulitis, dermatitis, hipoproteinemia, and severe malnutrition. After unsatisfactory results using conservative dressings for one month, NPWT was applied. Improvements were observed immediately after three days. Spillage contaminations were controlled, and the number of active fistulas decreased. One month following the end of NPWT, keystone flap was performed to facilitate closure. No complications occurred.ConclusionThe results in suggest that NPWT is a safe and effective alternative to treat ECF, whether to achieve fistula closure or as a bridge to definitive surgery."
2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Liya Arista
"Praktik Spesialis Keperawatan Medikal Bedah dengan Kekhususan pada Sistem Muskuloskeletal ini bertujuan untuk mengaplikasikan peran perawat sebagai pemberi asuhan, pengelola, pendidik dan peneliti. Peran sebagai pemberi asuhan dilakukan dengan mengelola sebanyak 30 pasien yang mengalami masalah pada sistem muskuloskeletal dan satu pasien kelolaan utama dengan kasus Fraktur Terbuka Ekstremitas Bawah dengan pendekatan teori self-care Orem.
Peran perawat sebagai peneliti dilakukan dengan penerapan tindakan keperawatan yang berbasis bukti ilmiah (Evidence-Based Nursing Practice) yaitu dengan menerapkan wound drain management untuk mencegah kehilangan darah berlebih post operasi Total Joint Arthroplasty. Sedangkan peran sebagai pengelola dilakukan deengan menyusun suatu panduan komunikasi efektif yang terstruktur dengan metode SBAR untuk mengkomunikasikan kondisi pasien dengan masalah sistem muskuloskeletal. Seluruh rangkaian kegiatan tersebut bertujuan untuk mewujudkan asuhan keperawatan holistik dalam meningkatan kualitas pelayanan keperawatan.

Clinical Practice of Medical-Surgical Nursing Specialist in the specialty of Orthopaedic Nursing aims to apply the role of nurses as a direct patient care providers, managers, educators and researchers in the clinical setting. Role as a care provider has done by managed 30 patients with musculoskeletal problems and one patient (major managed cases) with Open Fracture of Lower Extremities using Orem’s Self-Care Nursing Theory Approach.
The role of nurses as a researcher has conducted by applying the nursing action based on scientific evidence (Evidence-Based Nursing Practice), the evidence is wound drain management to prevent excessive blood loss post Total Joint Arthroplasty. The role as a nursing manager has been done by applying SBAR method as a strategy to achieve effective communication at orthopaedic ward. All activities aim to realizing the holistic nursing care in order to improve the quality of nursing services.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2015
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Afriyanti Sandhi
"LATAR BELAKANG: Erythropoetin (EPO) sebagai hematopoietic growth factor, menarik perhatian para peneliti akibat efeknya dalam melindungi jaringan. EPO berinteraksi dengan vascular endothelial growth factor (VEGF) dan menstimulasi mitosis dan motilitas sel endotel dalam proses neo-angiogenesis; dan hal ini penting dalam fenomena kompleks penyembuhan luka, Tujuan penelitian ini adalah menyelidiki efek pemberian EPO pada penyembuhan luka bakar eksperimental di hewan coba.
METODE: Lima belas ekor tikus Sprague-Dawley, strain dari Rattus Novergicus dengan berat antara 300-350 gram yang merupakan subjek hewan coba pada penelitian ini dibuat perlakuan eksperimental luka bakar grade 2B (dermis dalam). Lalu hewan coba akan dibagi ke dalam tiga grup secara acak dan mendapatkan terapi injeksi EPO dosis rendah (600 IU/mL), injeksi EPO dosis tinggi (3000 IU/mL) dan tidak mendapatkan perlakuan terapi apapun (grup kontrol). Setelah 14 hari observasi, dilakukan penilaian secara kuantitatif dari proses penyembuhan luka dengan menghitung persentasi epitelialisasi menggunakan perangkat lunak Analyzing Digital Images®. Dilakukan pula penilaian secara kualitatif dengan menghitung skor perubahan histopatologis pada penyembuhan luka.
HASIL: Ukuran luka dan percepatan epitelialisasi dihitung pada hari ke-0, hari ke-5, hari ke-10 dan hari ke-14. Didapatkan bahwa hasil rerata ukuran raw surface (p value: 0.012 pada hari ke-5; 0.009 pada hari ke-10 and 0.000 pada hari ke-14) dan persentase penyembuhan luka (p value: 0.011 pada hari ke-5; 0.016 pada hari ke-10 and 0.010 pada hari ke-14), nilai terbaik dicapai oleh grup injeksi EPO dosis rendah. Evaluasi histopatologis menunjukkan bahwa skor tertinggi untuk re-epitelialisasi, jaringan granulasi dan neo-angiogenesis juga didapatkan pada grup injeksi EPO dosis rendah.
SIMPULAN: Pada studi hewan coba menggunakan tikus Sprague-Dawley ini, didapatkan bahwa injeksi Recombinant Human EPO (rHuEPO) dapat mempercepat proses re-epitelialisasi dan penyembuhan luka yang disebabkan oleh luka bakar grade 2B (dermis dalam). Temuan ini diharapkan akan membuka pengetahuan baru dalam peningkatan kualitas terapi pada penyembuhan luka bakar.

BACKGROUNDS: The hematopoietic growth factor erythropoietin (EPO) attracts attention due to its all-tissue-protective pleiotropic properties. EPO interacts with vascular endothelial growth factor (VEGF) and stimulates endothelial cell mitosis and motility in neo-angiogenesis; thus it may of importance in the complex phenomenon of wound healing. The purpose of this study is to investigate the effect of EPO in experimental burn wounds healing.
METHODS: Fifteen healthy Sprague-Dawley, strain of Rattus Novergicus weighing 300-350 grams, were prepared to achieve deep dermal burns. Animals were randomized to receive either low-dose EPO injection (600 IU/mL), high-dose EPO injection (3000 IU/mL) or nothing (control group). After 14 days of observations, a quantitative assessment of wound healing was determined by percentage of wound closure and epithelialization using Analyzing Digital Images® Software. And qualitative assessment was done to evaluate the score of histopathological changes in wound healing.
RESULTS: The size of the wound area and re-epithelialization rate percentage was determined on Day-0, Day-5, Day-10 and Day-14. The average of raw surface areas measurement (p value: 0.012 in day-5; 0.009 in day-10 and 0.000 in day-14) and healing percentage of the lesions (p value: 0.011 in day-5; 0.016 in day-10 and 0.010 in day-14) were significantly best in the low- dose EPO group compared to the control group and high-dose EPO group. The histopathology evaluation revealed that the highest score for re-epithelialization, granulation tissue and neo- angiogenesis were achieved by the low-dose EPO injection group than in both control and high- dose EPO injection groups.
CONCLUSIONS: In this animal study using Sprague-Dawley rats, Recombinant Human EPO (rHuEPO) injection administration prompted the evidences of improved re-epithelialization and wound healing process of the skin caused by deep dermal burns. These findings may lead to a new therapeutic approach to improve the clinical outcomes for the management of burns wound healing.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cut Yulian Fitriani
"Pendahuluan: Celah orofasial (COF) memerlukan perawatan palatoplasti untuk menutup fistula yang terdapat di palatum. Akan tetapi, pembentukan jaringan parut di area operasi berkaitan erat dengan gangguan pertumbuhan. Modifikasi teknik bedah dan pendekatan farmakologi telah diteliti untuk mengetahui efeknya terhadap pembentukan jaringan parut dan keberhasilan palatoplasti. Ikan gabus, Channa striata, merupakan salah satu ikan endemik Asia Tenggara yang secara empiris dipercaya dapat membantu penyembuhan, terutama pascamelahirkan. Sejumlah penelitian telah menunjukan efek dari ekstrak Channa striata terhadap penyembuhan luka, namun belum ada penelitian pada penyembuhan luka di palatum tikus. Penelitian ini bertujuan untuk melihat efek ekstrak Channa striata terhadap penyembuhan luka di palatum tikus secara histologis. Metode: Sebanyak 36 tikus Sprague dawley dibuatkan luka pada palatum dengan metode punch biopsy. Dari 36 tikus tersebut, dibagi dalam 3 kelompok, yaitu kelompok perlakuan dengan kombinasi topikal dan peroral ekstrak Channa striata, kelompok kontrol positif diberi gel gengigel dan suplemen vitamin C, dan kelompok kontrol negatif dirawat dengan gel tanpa bahan aktif. Kemudian dilakukan pengamatan pada hari ke-3, -7, dan - 14 setelah perlakuan secara klinis untuk mengamati luas luka mikroskopik. Sebanyak 4 tikus dari masing-masing perlakuan dinekropsi pada setiap hari pengamatan untuk dibuatkan preparat pengamatan histologis. Pewarnaan hematoksilin dan eosin dilakukan untuk mengamati panjang luka mikroskopik, reepitelisasi, dan angiogenesis, sedangkan pewarnaan Masson’s trichrome digunakan untuk mengamati kerapatan kolagen. Hasil dan Pembahasan: Pada hasil pengamatan ukuran luka, didapatkan bahwa terdapat perbedaan bermakna secara statistik (p<0,05) ukuran luka makroskopik pada hari ke-3 dan -14, reepitelisasi pada hari ke -7 dan -14, dan kerapatan kolagen pada hari ke-14. Di sisi lain, tidak terdapat perbedaan bermakna antarperlakuan pada pengamatan panjang luka mikroskopik dan angiogenesis. Ekstrak Channa striata terbukti dapat berdampak pada penyembuhan luka di palatum tikus. Kesimpulan: Berdasarkan penelitian ini, terlihat bahwa pemberian ekstrak Channa striata topikal dan peroral dapat mengurangi ukuran luka tikus, meningkatkan tingkat reepitelisasi, meningkatkan kerapatan kolagen, dan meningkatkan angiogenesis secara signifikan pada beberapa titik waktu yang diukur, tetapi efektivitasnya lebih rendah daripada gel gengigel dan vitamin C.

Introduction: Orofacial clefts (OFC) require palatoplasty treatment to close the fistulae present in the palate. However, scar tissue formation at the surgical site is closely associated with growth disturbance. Modification of surgical techniques and pharmacological approaches have been investigated for their effects on scar tissue formation and palatoplasty success. Snakehead fish, Channa striata, is one of the fish endemic to Southeast Asia that is empirically believed to aid healing, especially postpartum. A number of studies have shown the effect of Channa striata extract on wound healing, but there has been no study on wound healing in the palate of rats. This study aims to look at the effect of Channa striata extract on wound healing in the rat palate histologically. Methods: A total of 36 Sprague Dawley rats were wounded on the palate by punch biopsy method. The 36 rats were divided into 3 groups, namely the treatment group with topical and peroral combination of Channa striata extract, the positive control group was given gengigel gel and vitamin C supplement, and the negative control group was treated with gel without active ingredients. Then observations were made on day-3, -7, and -14 after clinical treatment to observe the microscopic wound area. A total of 4 rats from each treatment were necropsied on each observation day to make histological observation preparations. Hematoxylin and eosin staining was performed to observe microscopic wound length, re-epithelialization, and angiogenesis, while Masson's trichrome staining was used to observe collagen density. Results and Discussion: In the observation of wound size, there was a statistically significant difference (p<0.05) in macroscopic wound size on days 3 and 14, re-epithelialization on day 7 and 14, and collagen density on day 14. On the other hand, there was no significant difference between treatments in the observation of microscopic wound length and angiogenesis. Channa striata extract was shown to have an impact on wound healing in the rat palate. Conclusion: Based on this study, it was shown that topical and peroral administration of Channa striata extract can reduce the size of rat wounds, increase the rate of re-epithelialization, increase collagen density, and enhance angiogenesis significantly at several time points measured, but its effectiveness is lower than gengigel gel and vitamin C."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Fifinela Raissa
"ABSTRAK
Latar belakang: Salah satu bahan aktif untuk penyembuhan luka adalah ekstrak Centella asiatica. Nanoteknologi khususnya nanopartikel kitosan banyak digunakan untuk meningkatkan bioavailibilitas bahan aktif terkandung ke dalam kulit. Namun efektivitas Centella asiatica ekstrak etanol dalam nanopartikel kitosan terhadap penyembuhan luka bakar dermis superfisial belum diketahui. Tujuan: Mengetahui efektivitas krim CAEENPK dibandingkan dengan krim Centella asiatica ekstrak etanol CAEE , SSD dan dengan kontrol terhadap luka bakar dermis superfisial pada tikus Sprague Dawley. Metode: Sebanyak 20 tikus jantan Sprague-Dawley dibagi menjadi 4 kelompok. Setelah dianestesi, diberi perlakuan 4 buah luka bakar pada punggung tiap tikus dan diberikan perlakuan CAEENPK, CAEE, SSD, dan kontrol . Tiap kelompok tikus dikorbankan pada hari berbeda yakni hari ke-3, 7, 14, dan 21. Dilakukan penilaian makroskopis luas luka , dan mikroskopis rasio dan jarak reepitelialisasi, wound contraction index, luas area luka, dan angiogenesis . Hasil: Tidak didapatkan perbedaan luas luka yang bermakna antarperlakuan pada hari ke-0, 3, 7, 14, dan 21. Namun perlakuan dengan ketiga bahan aktif CAEENPK, CAEE, dan SSD menunjukkan penurunan luas luka makroskopis lebih awal dibandingkan dengan kontrol pada hari ke-3. Secara mikroskopik, tidak didapatkan perbedaan bermakna pada rasio dan jarak reepitelialisasi, wound contraction index, luas area luka, dan angiogenesis. Namun perlakuan dengan CAEENPK menunjukkan luas area luka terkecil pada hari ke-3 dan menunjukkan angiogenesis tertinggi pada hari ke-21. Simpulan: Efektivitas krim yang mengandung CAEENPK terhadap penyembuhan luka bakar pada tikus tidak berbeda bermakna dibandingkan dengan krim yang mengandung CAEE, SSD, dan kontrol. Perlakuan dengan ketiga bahan aktif CAEENPK, CAEE, dan SSD menunjukkan penurunan luas luka makroskopis lebih awal dibandingkan dengan kontrol pada hari ke-3. Secara mikroskopis, perlakuan dengan CAEENPK menunjukkan luas area luka terkecil pada hari ke-3 dan menunjukkan angiogenesis tertinggi pada hari ke-21.

ABSTRACT
Background Centella asiatica extract is known to promote wound healing. Nowadays nanotechnology, especially nanoparticle is used to increase bioavailability of active ingredients into the skin, one of which is chitosan nanoparticle. However, effectiveness of Centella asiatica ethanol extract in chitosan nanoparticle CAEECN towards superficial dermal burn healing is not fully understood. Objective To determine effectiveness of CAEECN cream compared to Centella asiatica ethanol extract CAEE cream, silver sulfadiazine SSD cream and control in superficial dermis burn healing in Sprague Dawley rats. Methods A total of 20 male Sprague Dawley rats were divided into 4 groups. After anesthetizing, 4 superficial dermis burns were made on the back of each rat and was given 4 treatments CAEECN, CAEE, SSD, and control afterwards. Those group were sacrificed on day 3rd, 7th, 14th, and 21st post burn induction. Several evaluations were macroscopic wound size , and microscopic parameters reepithelialization ratio and distance, wound contraction index, wound size, and angiogenesis . Results There were no significant difference of wound size between treatments on day 0, 3, 7, 14, and 21. But three active agents CAEECN, CAEE, and SSD treated group showed early decrease of wound size compare to control group on day 3. Microscopically, there were no significant differences in reepithelialization ratio and distance, wound contraction index, wound size, angiogenesis. Nevertheless CAEECN treated group showed the smallest wound size on day 3 and highest angiogenesis on day 21. Conclusion Effectiveness of CAEECN in burn wound healing in rats showed no significant diference compared to CAEE, SSD, and control. But in three active agents CAEECN, CAEE, and SSD treated group, showed early decrease of wound size compare to control group on day 3. Microscopically, CAEECN treated group showed the smallest wound size on day 3 and highest angiogenesis on day 21."
2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Bryant, Ruth A.
Missouri: Mosby, Elsevier, 2007
617.106 BRY a
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Bryant, Ruth A.
St. Louis, Mo. : Elsevier/Mosby, 2012
617.919 5 BRY a
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>