Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 32257 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Kaehlig, Carl-Bernd, 1951-
Jakarta: Tata Nusa, 1993
R 346.04 Kae i
Buku Referensi  Universitas Indonesia Library
cover
M. Hawin
Bulaksumur, Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 2010
346.04 HAW i
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Nabila
"Waralaba memiliki kaitan yang erat dengan kekayaan intelektual yang ditandai dengan disyariatkannya kekayaan intelektual yang terdaftar dalam suatu perjanjian waralaba. Kekayaan intelektual yang terdaftar dalam PP Nomor 42 Tahun 2007 dan Permendag No. 71 Tahun 2019 dapat berupa kekayaan intelektual yang sudah mendapat sertifikat atau yang masih dalam proses pendaftaran, Hal ini memiliki perbedaan dengan konsep perlindungan kekayaan intelektual yang bergantung pada jenis kekayaan intelektualnya. Perbedaan ini menimbulkan banyaknya pemberi waralaba yang telah memberikan waralaba padahal mereknya masih dalam proses pendaftaran seperti PT Kopi X dan PT Kopi Y. Sehingga muncul  permasalahan mengenai kesesuaian pengaturan tentang kekayaan intelektual dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba dan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Waralaba dengan undang–undang di bidang kekayaan intelektual serta bagaimana perlindungan hukum bagi penerima waralaba dari Kopi X dan Kopi Y jika perjanjian waralaba tidak memenuhi ketentuan undang-undang di bidang kekayaan intelektual. Dengan menggunakan metode penelitian normatif didapatkan kesimpulan bahwa Pengaturan tentang kekayaan intelektual terdaftar dalam PP No 42 Tahun 2007 dan Permendag No. 71 Tahun 2019 tidak sesuai dengan pengaturan kekayaan intelektual terdaftar di UU kekayaan intelektual serta belum ada pengaturan yang secara jelas mengatur tentang perlindungan hukum bagi penerima waralaba yang perjanjian waralabanya melanggar ketentuan UU di bidang kekayaan intelektual sehingga perlindungan hukumnya dikembalikan pada perjanjian waralaba Kopi X dan Kopi Y.

Franchising has a relation with intellectual property which is indicated by the requirement that intellectual property be registered in a franchise agreement. Intellectual property registered in Government Regulation No. 42 of 2007 and Ministry of Trade Regulation No. 71 of 2019 can be in the form of intellectual property that has received a certificate or which is still in the registration process, this is difference with the concept of intellectual property registered on intellectual property regulation. This difference has led to many franchisors who have granted franchises even though their trademarks are still in the registration process, such as PT Kopi X and PT Kopi Y. The problem raised are regarding the suitability of the regulation on intellectual property in Government Regulation Number 42 of 2007 concerning Franchising and Regulation of the Minister of Trade Number 71 of 2019 concerning the Implementation of Franchising with laws in the field of intellectual property and how legal protection is for franchisees from Kopi X and Kopi Y if the franchise agreement does not meet the provisions of the law in the intellectual property sector. By using normative research methods, it can be concluded that the regulation on intellectual property is registered in Government Regulation No. 42 of 2007 and Ministry of Trade Regulation No. 71 of 2019 is not in accordance with the “intellectual property registered” which regulated in the intellectual property law and there are no regulations which clearly regulate legal protection for franchisees whose franchise agreements violate the provisions of the law in the field of intellectual property thus, the legal protection is returned to the franchise agreements."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aditya Harin Nugroho
"ABSTRAK

Skripsi ini didasari oleh penurunan tingkat kriminalitas Polda Metro Jaya tahun 2007-2011. Sehingga meneliti determinan yang berpengaruh terhadap kriminalitas terutama dalam pencarian faktor yang menurunkan kriminalitas properti. Menggunakan data tahun 2010, model yang digunakan dalam penelitian adalah Spasial Auto Regressive (SAR). Hasil penelitian menunjukkan bahwa memasukkan faktor spasial meningkatkan goodness of fit model dan terdapat dependensi spasial antara satu wilayah dengan wilayah lain. Determinan yang menentukan tingkat kriminalitas Polda Metro Jaya adalah pengeluaran perkapita, jumlah pengangguran usia muda, jumlah penduduk usia muda, jumlah kasus narkoba dan presentase penyelesaian kasus lalu kemudian diberikan juga rekomendasi kebijakan berdasarkan hasil.


ABSTRACT

This thesis is based on the decrease in crime rates 2007-2011 at Polda Metro Jaya. Thus it examined the determinants that influence crime, especially in the search for factors that decrease property crime. Using 2010 data, the model used in the study is the Spatial Auto Regressive (SAR). The results showed that incorporating spatial factors increase the goodness of fit of models and there are spatial dependencies between one region to another. Determinants that determine the level of criminality at Polda Metro Jaya is per capita spending, the number of youth unemployment, the number of young people, the number of drug cases and the percentage of completion of the case and then it also granted policy recommendations based on the results.

"
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2014
S56957
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Caenegem, William van
[Place of publication not identified]: Bond University Law School, 1994
346.04 CAE i
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Eastaway, Nigel
London: Sweet & Maxwell, 2008
346.048 INT
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Dhimas Widyananda
"Munculnya kebijakan sertifikasi pusat perbelanjaan berbasis Kekayaan Intelektual (KI) oleh Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) merupakan salah satu alasan utama dilakukannya penelitian ini. Secara sederhana, Hak kekayaan intelektual (HKI) dapat dimaknai sebagai suatu hak yang diberikan kepada individu atau organisasi atas ciptaan mereka. Hak ini memberi pemiliknya hak eksklusif untuk menggunakan, memproduksi, dan menjual ciptaan mereka untuk jangka waktu tertentu, serta melindungi ciptaan mereka dari penggunaan atau peniruan tanpa izin. Banyaknya pelanggaran atas KI, terutama Hak Cipta dan Merek, menunjukkan terdapat suatu urgensi yang harus disikapi secara tegas. Berdasarkan data, pelanggaran atas hak cipta dan merek sangat marak terjadi di pusat perbelanjaan. Dampak dari pelanggaran tersebut memberikan kerugian secara ekonomi, baik untuk pemegang hak eksklusif maupun negara. Adanya kebijakan sertifikasi yang diusung oleh DJKI tentu menjadi suatu terobosan yang sangat baik. DJKI tentu memiliki peran yang sangat krusial dalam proses penerapan kebijakan ini, baik dalam tahapan proses sertifikasi maupun pengawasan. Adapun Manfaat dari eksistensi kebijakan ini, diharapkan dapat memberikan kepastian hukum dan memberantas pelanggaran-pelanggaran HKI yang ada. Akan tetapi pada realitas penerapannya, masih banyak ditemukan pusat perbelanjaan yang memperjualbelikan barang yang melanggar ketentuan Hak Kekayaan Intelektual. Dalam proses penelitian, penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum secara doktrinal, yaitu metode penelitian dengan mengacu pada analisis teori hukum dan doktrin hukum yang ada. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masih diperlukan suatu tindakan yang lebih represif untuk memberantas permasalahan hukum kekayaan intelektual. DKJI diharapkan dapat membentuk tim satuan khusus yang bekerja sama dengan instansi pain untuk menegakkan kebijakan ini secara masif.

The introduction of the shopping center certification policy based on Intellectual Property (IP) by the Directorate General of Intellectual Property (DGIP) is one of the primary reasons for conducting this research. Intellectual Property Rights (IPR) can be simply understood as rights granted to individuals or organizations over their creations. These rights give owners exclusive rights to use, produce, and sell their creations for a specific period, as well as protect them from unauthorized use or imitation. The prevalence of IP violations, especially in Copyrights and Trademarks, indicates a pressing urgency that must be addressed firmly. According to data, violations of copyright and trademark rights are rampant in shopping centers. The economic impact of these violations results in losses for both the exclusive rights holders and the nation. The implementation of the certification policy proposed by DGIP represents a significant breakthrough. DGIP plays a crucial role in the implementation of this policy, both in the certification process and in supervision. The benefits of this policy aim to provide legal certainty and eradicate existing IPR violations. However, in reality, many shopping centers are found to trade goods that violate Intellectual Property Rights regulations. In the research process, a doctrinal legal research method was utilized, which involves analyzing legal theories and legal doctrines. The research findings indicate that more stringent measures are still needed to address intellectual property law issues. DGIP is expected to establish a specialized unit in collaboration with relevant agencies to enforce this policy comprehensively."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
St. Paul: Thomson/West, 2010
340 GLO
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Tasyafa Aleysa Taufik
"Pesatnya perkembangan ekonomi kreatif di Indonesia berbanding lurus dengan kebutuhan para pelaku ekonomi kreatif untuk mendapatkan pembiayaan untuk menyokong keberlangsungan usahanya. Mendapatkan akses terhadap kredit perbankan merupakan hal yang penting agar dapat mencapai optimalisasi potensi dari pengembangan ekonomi kreatif melalui skema agunan berbasis kekayaan intelektual melalui jaminan fidusia. Pemerintah Indonesia telah mengakomodasi kebutuhan ini melalui lahirnya UU No. 24 Tahun 2019 tentang Ekonomi Kreatif serta peraturan pelaksanaannya pada PP No. 24 Tahun 2022. Agar skema tersebut dapat terlaksana secara efektif pada saat PP No. 24 Tahun 2022 berlaku pada Juli 2023, masih diperlukannya kejelasan terkait dengan penilaian agunan kekayaan intelektual, ketersediaan pasar sekunder, serta ketersediaan pihak penilai. Berangkat dari latar belakang tersebut, dilakukannya penelitian dengan rumusan masalah terkait dengan bagaimana pengaturan pemberian kredit bank bagi pelaku ekonomi kreatif serta bagaimana perlindungan hukum bagi bank terhadap pemberian kredit yang menggunakan kekayaan intelektual sebagai objek jaminan fidusia. Adapun tujuan dari penelitian ini ialah untuk mengetahui aturan serta analisis terkait dengan perlindungan hukum bagi bank yang memberikan kredit dengan jaminan atau agunan kekayaan intelektual. Penelitian ini dilakukan secara yuridis normatif dengan menggunakan data sekunder yang didukung dengan wawancara. Berdasarkan penelitian ini, masih dibutuhkan adanya pengaturan serta regulasi terkait diterimanya agunan dalam bentuk kekayaan intelektual. Sehingga, pembentukan peraturan dari lembaga pengawas sektor keuangan sebagai serta peraturan pendukung dari dunia perbankan harus segera diakselerasi penyusunannya agar dapat menjadikan pembiayaan berbasis kekayaan intelektual terkhusus melalui pemberian kredit di Indonesia dapat terlaksana.

The demand for funding by creative economy promoter to finance their ongoing operations is strongly correlated with the rapid growth of the creative industry in Indonesia. Having access to credit banking is crucial to maximizing the creative economy's potential for growth through a fiduciary guarantee-based scheme for intellectual property-based collateral. With the introduction of Law No. 24 Year 2019 concerning the Creative Economy and its implementing rules in Government Regulation No. 24 of 2022, the Indonesian government has met this demand. Government Regulation No. 24 of 2022 must still be fully implemented by July 2023 in order for the system to function as intended in terms of intellectual property judgment, secondary market accessibility, and appraiser accessibility. In order for the scheme to be implemented effectively at the time of Government Regulation No. 24 of 2022 comes into effect in July 2023, it is still fully required related to intellectual property judgment, secondary market availability, and the availability of appraisers. Departing from this background, research was conducted with the formulation of issues, which is in terms of what is the regulation that regulates bank lending to creative economy promoter and how to provide legal protection for banks against granting credit that uses intellectual property as an object of fiduciary guarantees. The objective of this research is to comprehend the rules and analysis related to legal protection for banks that provide credit with guarantees or intellectual property guarantees. With the aid of interviews and secondary data, this study was done as juridical-normative research. According to this research, protocols and rules governing the acceptance of collateral in the form of intellectual property are still necessary. In order for Indonesia to be able to finance intellectual property, particularly through the provision of credit, it is necessary to hasten the creation of laws from agencies responsible for the financial sector as well as supporting regulations from the banking industry."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cut Sjahrifa
"Dalam era informasi sekarang ini, hak kekayaan intelektual (HaKI) menjadi komoditas yang menguntungkan dalam dunia bisnis, bahkan menjadi faktor yang diutamakan dalam aspek perdagangan Internasional. Ditetapkannya Perjanjian TRIPS sebagai aturan multilateral mencerminkan kenyataan ini. Sebagai badan dunia yang mengatur standar-standar internasional HaKI, WIPO sangat berperan dalam menentukan seberapa jauh tingkat perlindungan HaKI diberikan.
Bagi negara-negara berkembang, adanya kewajiban untuk menerapkan Perjanjian TRIPS merupakan suatu beban (cost) yang berat dan sulit dilakukan mengingat infrastruktur hukumnya yang belum canggih dan keadaan perkonomiannya yang belum semaju negara-negara industri. Negara-negara berkembang berpendapat bahwa TRIPS membuat mereka semakin sulit untuk memperoleh alih teknologi yang mereka butuhkan dari negara-negara maju. Pandangan seperti ini semakin diperkuat oleh peranan WIPO yang, dalam pandangan negara-negara berkembang, juga mendukung aturan perlindungan HaKI yang semakin tinggi. Oleh sebab itu, menurut negara-negara berkembang,peranan WIPO harus berubah.
Penulisan pada tesis ini menggunakan konsep persepsi sebagai kerangka teori untuk menjelaskan mengapa negara-negara berkembang melihat perlu adanya perubahan dalam peranan WIPO. Hasil dari penelitian ini menggambarkan bahwa persepsi telah mendorong negara-negara berkembang untuk menuntut adanya dimensi pembangunan dalam arah dan kegiatan WIPO."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2006
T21468
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>