Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 221454 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dewi Astuti
"Latar belakang. Pemandu lalu Iintas udara (PLLU) mempunyai tanggungjawab yang tinggi yang akan mempertinggi kemungkinan stresor kerja kualitatif. Namun masih terdapat yang mempunyai stresor beban kerja kualitatif rendah. Tujuan penelitian untuk mengidentifikasi stresor kerja kua1itatif (SBKL) rendah dan faktor yang berkaitan di antam PLLU di Bandara Soekarno-Hatta.
Metode. Studi kros-seksional pada November 2008 dengan subjek PLLU efektif bekerja minimal 6 bulan. Penelitian ini menggunakan kuesioner standar survei diagnostik stres.Kuesioner stresor rumah tangga yang diisi subjek.
Hasil. Subyek berumur 27-55 tahun terdiri dari 121 PLLU dengan SBKL sedanglberat dan serta 14 PLLU dengan SBKL rendah. Stresor yang rendah dalam hal stresor tanggung jawab personal, stresor ketaksaan peran, stresor pengembangan karir. serta persepsi suhu ruangan tidak dingin meningkatkan SBKL rendah. Sebaliknya, subjek yang menikah menurunkan risiko SBKL rendah Faktor jenis kelarnin, umur, jumlah anak, pendidikan, kebiasaan merokok, kebiasaan olah raga, jabatan, unit kerja, masa kerja, pengalaman pemanduan lalu­ lintas penerbangan bennasalah, pelatihan manajemen stres, pekerjaan tambahan, penerangan, kebisingan, tempat duduk, tata letak, ruangan, stresor konflik peran dan stresor rumah tangga tidak terbukti berhubungan dengan SBKL rendah. Subjek yang mempunyai stresor tanggung jawab personal rendah dibandingkan dengan yang berat berisiko 6,4 kali lipat SBKL rendah [odd rasio suaian (ORa)=6,39; 95% interval kepercayann (Cl) = 1,12-36,44]. Subyek dengan persepsi subyektiftidak dingin dibanding terlalu dingin kemungkinan 9,2 kali lipat SBKL rendah (ORa= 9,22; Cl95% = 1,69-50,09).
Kesimpulan. Stresor tanggung jawab personal rendah dan suhu nyaman meningkatkan kemnungkinan SBKL rendab pada PLLU. Oleh karena itu perlu program konseJing SBKL dan penyediaan baju hangat yang ergonomis.

Background: Air traffic controllers (ATCs) have high responsibility which may resulted qualitative work load stressor (QLWS). However, some of them stilt have slight QLWS.This study identified several risk factors related to slight qualitative work load stressor among the ATCs.
Methods. This cross sectional study was conducted in November 2008 at International Soekarno-Hatta Airport. Subjects consisted of active ATCs with minimum 6 months working tenure. The study used standard diagnostic as well as home stressor questionnaire surveys) and filled by the participants.
Results. Subjects aged 27 - 55 years consisted of 121 ATCs with mederatelheavy QLWS and 14 ATCs with the slight QLWS. Low personal responsibility, ambiguity, as well as development career stressor, freezing room temperature perception increased risk slight QLWS However, married subjects had lower risk to be slight QLWS. Several demographic factors and habits, job (title, unit, length of employment), experience to control near miss flights, stress management training, role conflict and home stressor were not noted had correlation with slight QLWS. Subjects with tow than moderate/high personal responsibility stressor had increased risk to be slight QLWS for 6,4-fold (adjusted odd ratio (ORa)6,39; 95% confidence interval (Cl) 1.12-36.44). Those who felt comfortable than freezing room temperature had 9.2-fold risk to be slight QLWS (ORa9.22; 95% CI 1.69-50.09).
Conelusion. Low personal responsibility stressor and comfortable room temperature increased risk slight QLWS. Hence, ATCs need to be provided ergonomic warm jacket and the qualitative work load stressor counseling program."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2008
T11524
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Oktavidal Felani Putra
"Latar Belakang : Beban kerja pada pemandu lalu lintas udara dengan penggunaan layar VDT dapat menimbulkan risiko sindrom mata kering yang dapat mengganggu fungsi penglihatan sehingga berisiko menurunkan keselamatan penerbangan. Tujuan dari penelitian ini adalah melihat prevalensi sindrom mata kering pada pemandu lalu lintas udara di bandara Soekarno Hatta beserta faktor-faktor risiko yang berhubungan.
Metode : Desain penelitian menggunakan potong lintang dengan total sampling. Dilakukan pada pemandu lalu lintas udara unit controller ACC dan APP di bandara Soekarno Hatta. Sindrom Mata Kering diukur menggunakan dua macam pemeriksaan, yaitu secara subjektif dengan menggunakan kuesioner Occular Surface Dissease Index OSDI dan secara objektif dengan menggunakan tes schirmer. Variabel yang dianalisis adalah Usia, jenis kelamin, jabatan, masa kerja, jumlah pesawat yang ditangani 1 hari, merokok, gangguan fungsi penglihatan.
Hasil : Dari 316 PLLU unit controller hanya 134 responden yang bersedia mengikuti penelitian dan 124 responden yang memenuhi kriteria inklusi. Didapatkan prevalensi sindrom mata kering 60,5 dengan mayoritas adalah derajat ringan sebesar 33,1 . Faktor-faktor dominan yang berhubungan dengan sindrom mata kering adalah jabatan dan gangguan fungsi penglihatan. Jika dibandingkan dengan PLLU dengan jabatan supervisor pengawas maka PLLU dengan jabatan senior yang memang tugasnya adalah sebagai pelaksana di ACC dan APP lebih cenderung sindrom mata kering [ Odd Ratio OR = 3,54 ; 95 interval kepercayaan IK 1,44 -8,71; nilai p = 0,006 dan gangguan fungsi penglihatan dengan sindrom mata kering menunjukkan hasil analisis multivariate OR = 0,44; 95 interval kepercayaan IK = 0,20-0,96; nilai p=0,038].
Simpulan : Jabatan dan gangguan fungsi penglihatan berhubungan dengan terjadinya sindrom mata kering pada pemandu lalu lintas udara di bandara Soekarno Hatta.Kata Kunci : Jabatan;gangguan fungsi penglihatan;sindrom mata kering;PLLU

Background Workload of the Air Traffic Controller using a VDT can increase the incidence of dry eye syndrome and lead to limitation of the visual capacity, this condition can decrease the flight safety.
Methods The design of the study was Cross sectional with total sampling of all Air Traffic Controller ACC and APP unit in Soekarno Hatta Airport. Two type of measurements was used to identify dry eye syndrome, using Ocular Surface Disease Index OSDI questionnaire for subjective and Schirmer Test as the objective test. Variables included were age, sex, job position, length of service, number of aircrafts handled in one day, smoking, visual disorders.
Results From 316 Air Traffic Controllers only 134 were willing to participate and only 124 respondents meet the inclusion criterias. The prevalence of dry eye syndrome among ATC is 60,5 , mostly 33,1 is mild dry eye syndrome. The dominant factors that associated with dry eye syndrome in ATC were job position and the visual disorders. Senior controllers have a 3,54 higher risk to get dry eye syndrome compared to supervisors Odd Ratio OR 3,54 95 IC 1,44 8,71 p 0,006 and the visual disorders associated with dry eye syndrome OR 0,44 95 IC 0,20 0,96 p 0,038.
Conclusions Job Position and visual disorders were with dry eye syndrome in Air Traffic Controller at Soekarno Hatta Airport.Keywords Job Position Visual Disorders Dry Eye Syndrome ATC.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Citra Kurniasari Ilyas Nampira
"Latar Belakang : Beban kerja mental pada PLLU yang tidak diimbangi dengan feedback yang cukup akan meningkatkan risiko kelelahan dan menurunkan keselamatan penerbangan. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui hubungan beban kerja mental dan faktor dominan lain dengan kelelahan pada PLLU di bandara Soekarno-Hatta.
Metode: Desain penelitian menggunakan desain pre-post dengan consecutive sampling. Dilakukan pada pemandu lalu lintas udara unit controller di bandara Soekarno Hatta. Penelitian menggunakan NASA-TLX, alat reaction time L-77 Lakassidaya dan HRV. Variabel yang dianalisis adalah beban kerja mental, umur, masa kerja, jenis kelamin, unit kerja, kerja gilir, stres, kebiasaan rokok, alkohol, latihan fisik dan suhu.
Hasil: Dari 334 PLLU unit controller hanya 104 responden yang bersedia mengikuti penelitian dan 103 responden yang memenuhi kriteria inklusi. Didapatkan beban kerja mental memiliki korelasi lemah dengan kelelahan r=0,114 . Faktor-faktor dominan yang berhubungan dengan kelelahan adalah stres, kebiasaan merokok dan masa kerja. PLLU dengan stres mempunyai relative risk 145 lebih tinggi dibandingkan yang tidak stres [ Risk Relative RR = 1,45 ; 95 interval kepercayaan IK 1,055-1,999;p = 0,007], merokok memiliki korelasi sedang r=0,315 dan masa kerja memiliki korelasi lemah p=0,034; r=0,172 dengan kelelahan.
Simpulan: Beban kerja mental, stres, kebiasaan merokok dan masa kerja memiliki hubungan dengan kelelahan pada PLLU di bandara Soekarno Hatta.

Background: Mental workload on ATC which don rsquo t have enough feedback will increase fatigue risk and decrease aviation safety. The aims of this study were to know association between mental workload and other dominant factor with fatigue in ATC at Soekarno Hatta airport.
Methods: The design of the study was pre post with consecutive sampling of all Air Traffic Controller unit in Soekarno Hatta Airport. This study used NASA TLX, reaction time L 77 Lakassidaya and HRV. The variables analyzed were mental workload, age, lenght of work, gender, work unit, shift, stress, smoking habit, alcohol, physical exercise and temperature.
Results: From 334 Air Traffic Controllers only 104 were willing to participate and only 103 respondents meet the inclusion criterias. Obtained mental workload has a weak correlation with fatigue r 0,114 . The dominant factors associated with fatigue are stress, smoking habits and lenght of work. ATC with stress has a relative risk of fatigue of 145 higher than non stressful ATC Risk Relative RR 1,45 95 confidence interval CI 1,055 1,999 p 0,007 , smoking has moderate correlation r 0,315 and lenght of work has weak correlation p 0,034 r 0,172 with fatigue.
Conclusions: Mental workload, stress, smoking and length of work have associated with fatigue at ATC at Soekarno Hatta airport.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Natalia Prasetio
"ABSTRACT
Peningkatan kepadatan arus lalu lintas penerbangan yang diprediksikan terjadi dalam beberapa tahun kedepan, dapat menambah beban kerja mental pada Air Traffic Controller ATCO . Beban kerja mental yang berat dapat mempengaruhi kemunculan stres kerja pada pekerja yang telah dibuktikan oleh berbagai penelitian. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian sejenis untuk mencegah terjadinya stres kerja pada ATCO di Jakarta Air Traffic Service Center JATSC akibat peningkatan tersebut. Penelitian yang dilakukan menggunakan metode studi cross-sectional dengan menggunakan instrumen NASA-Task Load Index NASA-TLX dan International Stress Management Association ISMA untuk mengukur beban kerja mental dan stres kerja pada 47 responden. Terdapat penambahan dua variabel lainnya, yaitu pendidikan dan masa kerja. Hasil menunjukkan beban kerja mental yang tinggi memiliki hubungan signifikan dan berpola positif dengan stres kerja, sedangkan dua variabel lainnya tidak menunjukkan adanya hubungan yang signifikan terhadap stres kerja. Lebih lanjut, sesuai dengan penelitian serupa lainnya, hasil menampilkan perempuan lebih rentan terhadap stres. Disimpulkan bahwa beban mental kerja memiliki hubungan yang signifikan dengan stres kerja. Intervensi yang dapat dilakukan salah satunya adalah implementasi sistem otomatisasi dengan desain yang berprinsip cognitive ergonomics.

ABSTRACT
The increase of air traffic density, which is predicted will happen in near future, could increase the mental workload of Air Traffic Controller ATCO . Some studies have shown that high mental workload can influence the onset of occupational stress on workers. Thus, it is necessary to perform a similar research for the occupational stress prevention among ATCO in Jakarta Air Traffic Service Center JATSC in anticipation of air traffic uplift. This study uses cross sectional method, along with the usage of NASA Task Load Index NASA TLX and International Stress Management Association ISMA instruments to measure subjective mental workload and occupational health of 47 respondents. There are also two other variables, education and period of employment, to be included in this study. Result shows that high mental workload has a significant and positive correlation with occupational stress, while the other variables don rsquo t show any significant correlation with occupational stress. Moreover, it also shows women are more susceptible to occupational stress than men which corresponds with other similar studies. It is concluded that mental workload has a significant correlation with occupational stress. Prevention can be achieved by implementing automated systems with cognitive ergonomical designs"
2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mirza Irwanda
"Pemandu lalu lintas udara (PLLU) memiliki beban kerja dan tanggungjawab yang besar terhadap keselamatan penerbangan. Hal tersebut dapat memicu terjadinya stress kerja, yang selanjutnya dapat menimbulkan gangguan kesehatan seperti peningkatan tekanan darah. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan antara beban kerja mental, unit kerja, dan masa kerja terhadap peningkatan tekanan darah pada pekerja Jakarta Air Traffic Service Centre JATSC di Bandara Soekarno Hatta. Studi ini bersifat kohort prospektif. Sampel berjumlah 191 orang, berupa pekerja controller maupun non controller. Penelitian dilakukan selama bulan Maret ndash; Juli 2017. Data penelitian dikumpulkan berdasarkan pengukuran tekanan darah, tinggi badan, dan berat badan serta dengan menggunakan instrumen skala NASA ndash; TLX dan skala Burn-out. Peningkatan tekanan darah terjadi bila sistolik ge; 140 mmHg atau diastolik ge; 90 mmHg setelah bekerja. Hasil menunnjukkan pekerja JATSC yang berusia 40 - 65 tahun lebih berisiko mengalami peningkatan tekanan darah sebesar 2,65 kali jika dibandingkan dengan pekerja JATSC yang berusia 21 ndash; 39 tahun [RR=2,65; interval kepercayaan IK 95 = 1,50-4,67; p=0,001]. Pekerja JATSC dengan beban kerja mental sangat tinggi memiliki risiko 3,55 kali lebih tinggi mengalami peningkatan tekanan darah setelah kontrol dibandingkan pekerja JATSC dengan beban kerja mental tinggi. [RR=3,55; interval kepercayaan IK 95 = 2,05-6,16; p

Air traffic controllers have a great workload and responsibility for aviation safety. It can lead to work stress, which can lead to health problems such as increased blood pressure. The purpose of this research is to know the relationship between mental work load, work unit and work period to increase blood pressure at Jakarta Air Traffic Service Center JATSC workers at Soekarno Hatta Airport. This study is a prospective cohort. Sample amounted to 191 people, consist of controller and non controller workers. The study was conducted during March July 2017. The data were collected based on measurements of blood pressure, height, weight, and using NASA TLX and Burn out scale instruments. Increased blood pressure occurs when systolic ge 140 mmHg or diastolic ge 90 mmHg after work. Results showed that JATSC workers aged 40 to 65 were at increased risk of blood pressure by 2.65 times compared with JATSC workers aged 21 39 years RR 2.65 Confidence interval IK 95 1.50 4.67 P 0.001 . JATSC workers with very high mental workloads have a 3.55 times higher risk of increased blood pressure after control than JATSC workers with high mental workload. RR 3.55 Confidence interval IK 95 2.05 6.16 P "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
I Dewa Putu Suma
"ABSTRAK
Kebisingan lingkungan, khususnya di lingkungan bandar udara mulai menggejala di berbagai tempat di dunia.
Intensitas kebisingan yang disebabkan oleh pesawat udara terutama bermesin jet, turbojet dan turbofan merupakan masalah utama terhadap lingkungan baik di dalam bandar udara maupun diluar wilayah bandar udara. Sesungguhnya kebisingan lingkungan yang disebabkan oleh pesawat udara dikarenakan oleh jumlah pesawat udara yang beroperasi, yang dihitung secara kumulatif selana 24 jam dengan segala aktivitasnya, baik waktu mendarat, tinggal landas, pergerakan menuju landasan pacu, dan uji mesin.
Berdasarkan studi-studi yang telah dilakukan beberapa bandar udara di Eropa dan Amerika, dinyatakan bahwa kebisingan yang disebabkan oleh kegiatan bandar udara mengakibatkan kerugian bagi masyarakat pemukim di sekitar bandar udara, yang pada gilirannya mengakibatkan adanya pembatasan-pembatasan jam-jam operasi suatu bandar udara.
Pengaruh buruk dari kebisingan terhadap manusia sangat luas memberikan efek tingkah laku berupa efek fisiologi maupun efek psikologi, yang mengakibatkan terganggunya dalam penerimaan pesawat televisi. Disamping itu dapat pula mengganggu konsentrasi belajar anak-anak sekolah, rumah-rumah sakit.
Dan bilamana pemaparan kebisingan yang dialami seseorang secara berulang-ulang akan mengakibatkan ketulian.
Bandar Udara Internasional Jakarta Soekarno-Hatta, telah menetapkan kawasan-kawasan kebisingan dengan tingkat-tingkat kebisingannya yaitu daerah kebisingan tingkat I, tingkat II dan tingkat III. Namun dalam kenyataan adanya desa-desa yang penduduknya eukup padat berada pada kawasan kebisingan tingkat III.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui sejauhmana pengaruh tingkat kebisingan lingkungan bandar udara terhadap jumlah masyarakat pemukim di sekitar bandar udara.
Mengetahui sejauhmana kesadaran masyarakat pemukim di sekitar bandar udara terhadap akibat-akibat pengaruh kebisingan.
Untuk maksud penelitian tersebut, penelitian dilakukan di desa-desa (RW-RW) sekitar bandar udara berdasarkan pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut :
Berdasarkan titik 0 bandar udara sebagai "Reference Point", ditentukan 3 tempat (RW-RW) yang mempunyai jarak di bawah 3 km yaitu desa Neglasari, Selapajang Jaya dan Benda. Sedangkan 3 desa (RW-RW) lain terletak antara jarak 3 sampai dengan 8 km yaitu desa Kedaung Wetan, Jatimulya dan Dadap. (ICAO Airport Planning Manual 1985).
Berdasarkan kawasan kebisingan desa-desa (RW-RW) yang menjadi obyek penelitian kawasan kebisingan tingkat III, dengan tingkat kebisingan 75 dB, terletak desa Neglasari, Selapajang Jaya dan Benda, kawasan kebisingan tingkat II dengan tingkat kebisingan 70 dB, terletak desa Dadap dan Jatimulya, dan Kedaung Wetan.
Sebagai subyek penelitian atau responden adalah kepala keluarga yang tinggal dalam Rukun Warga desa-desa penelitian yang berlokasi terdekat dengan zona-zona kebisingan yang paling tinggi dan jumlah sampel adalah sebanyak 300 Kepala Keluarga untuk di desa penelitian Pengumpulan data diperoleh melalui observasi, dan kuesioner dengan menggunakan daftar pertanyaan yang dilakukan di rumah-rumah responden.
Metode statistik yang dipakai adalah uji kai kwadrat (chi square) k
dengan rumus 2 _ (0 - E)2
i=1 E
dimana ; 0 frekuensi yang diperoleh dari penelitian E _ frekuensi teoritis.
Dari hasil-hasil penelitian yang diperoleh menghasilkan kesimpulan sebagai berikut:
Bahwa adanya bandar udara dengan segala kegiatannya memberi dampak positif bagi kehidupan masyarakat, baik yang secara langsung terkait dengan kegiatan bandar udara maupun secara tidak langsung.
Dengan adanya kegiatan bandar udara menimbulkan kebisingan yang mempengaruhi kualitas hidup masyarakat pemukim di sekitar bandar udara seperti terlihat bahwa desa Benda, Neglasari dan Selapajang Jaya, Kedaung Wetan dimana tingkat kebisingannya telah melampaui batas persyaratan kebisingan maksimal yang ditentukan SO dB.
Dalam pengujian untuk mengetahui kesadaran masyarakat diperoleh kesimpulan bahwa masyarakat yang bermukim di sekitar bandar udara belum mempunyai kesadaran atas dampak-dampak yang diakibatkan oleh kebisingan lingkungan tersebut.
Belum adanya kesadaran masyarakat terhadap pengaruh dampak kebisingan dikarenakan pendidikan rata-rata masyarakat yang bermukim di sekitar bandar udara adalah cukup rendah, disamping sebagian besar masyarakat pemukim adalah penduduk asli desa-desa tersebut, yang hidup dari hasil pertanian dan kegiatan lain yang berkaitan derigan kegiatan bandar udara.
Peningkatan kualitas masyarakat di sekitar bandar udara harus dilakukan dengan peningkatan kualitas lingkungan namun dengan adanya bandar udara kebisingan lingkungan yang disebabkan oleh kegiatan bandar udara merupakan suatu hal yang tidak dapat dihindari namun dapat dikurangi dengan pengaturan tata guna tanah dan rekayasa teknik seperti akustik penghalang, peredam suara (Noise breaker) yang tentunya perlu biaya besar.
Kegunaan hasil penelitian.
Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk mengatasi langkah-langkah yang perlu ditempuh agar masyarakat pemukim di sekitar bandar udara terhindar dari dampak kebisingan.
Usul tindakan; untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap dampak kebisingan, maka diperlukan waktu yang cukup panjang yaitu dimulai dengan peningkatan pendidikan baik secara formal atau informal yang nantinya diharapkan dengan kesadaran sendiri karena mengetahui akibat dampak kebisingan secara fisiologis atau psikologis akan meninggalkan lokasilokasi atau menghindari lokasi yang kena dampak.
Untuk memberikan masukan bagi Perencana dalam penyusunan rekayasa teknik bandar udara dan penataan penggunaan tanah disekitarnya.

ABSTRACT
Environmental noise, specially found in the environment of an airport, has been a common phenomenon all over the world.
Noise intensity that is coused by aircraft, mainly jet, turbojet and turbofan engined aircraft is the main problem for the environment, either inside or outside airport area. Environmental noise caused by aircraft is resulted from the total amount of their 24 hours activities including various manoeuvres such as landing, take of, surface movement and engine run-up.
According to studies'that have been conducted at several airports in Europe and United States of America, it is stated that noise caused by an airport operation harms the society who live in the surrounding the airports, which eccordingly results in the restrictions of the airport operating hours.
Adverse impact of noise on human beings may result in various effect, i.e effecting behaviour, either physiologically or psychologically. It also distorts television broadcast, disturbs schools and hospitals. Continuous noise affect might cause deafness.
Jakarta International Airport Soekarno-Hatta has determined its noise areas, according to its noise area phases, phases I, phases II and phase III area. However there is a lot of villages with dense population situated in phase III area.
Based on that above reasons, the objectives of this research can be clarified as follows :
To study the extent of the impact of aircraft noise on the number of communities surrounding the airport.
To study the awareness of the people who live nearby the airport of the negative impact of airport noise_.
This research has been carried out in the several villages surrounding the airport based on the following considerations : 1) Based on their distance from the airport q reference point as central point, the villages are devided into two groups :
a villages, Neglasari, Selapajang Jaya and Benda, a.i.L.h a
distance of less then 3 km and,
b 3 villages, Kedaung Wetan, Jatimulya and Dadap, with a
distance betwen 3 to 8 km, as object of the research.
2) Based on noise area, objects of research are Neglasari, Selapajang Jaya and Benda laying in the phase III noise area, Dadap, Kedaung Wetan and Jatimulya in phase II noise area. Objects of the research (respondents) are heads of household who live in the 6 villages close to the most sensitive noise area, with the total sampels of 360 respondents. Data collecting was conducted through observations, interviews and questionaires.
ix Statistical method used in this research is the chi-square, with
i-1
where : 0 = Frequency taken from the research E = Theorethical frequency.
The result of the research can be summarized as follows :
The existence of the airport has positive impact on the people living nearby the airport, either they are directly or indirectly involved in the activity of the airport.
The airport operations is the source of noise which is affecting the life quality of the society who live nearby the airport, as in the villages of Benda, Neglasari, Selapajang Jaya and Kedaung ketan_, which noise level has been exceeding the maximum requirement 60 dB.
3) The results prove that the people who live nearby the airport do not aware of the existence of noise and its impact.
The unawareness of the noise impact is mainly because they are not well educated and most of them have lived there for years.
The improvement of the quality of life of the society around the airport must be carried out together with the improvement of the environmental quality ; but enviromental noise that is caused by the airport operation remains as a problem that can not be ignored or mittigated, but it is posible to reduce that effects of noise by land use planning and acoustical barriers.
Benefits of the research :
The result of this research can be used as reference for future actions to be taken in order to avoid the noise impact on the surrounding communities of the airport.
Proposed action : the knowledge and awereness of the society in the field of noise impact must be improved by educating them either formally or informally. Although is takes time, it is hoped that eventually they will leave or avoid noise zone on their own conciousness after realizing that noise can adversely affect human beings, physiologically or psychologically.
To give the input to the planner, as a reference in making airport design and land use planning on the surrounding of the airport.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1991
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Galuhwati
"Bandara Soekarno-Hatta sebagai bagian dari internasional airport, merupakan prasarana yalg penting untuk transportasi. Sebagai suatu sistem yang penting dalam transportasi udarayang harus mempunyai tempat (terminal, landasan pacu, ta:riways). Disamping fasilitas bandara setiap operator harus memperhatikan kualitas pelayanan. Sistem transportasi udara tidak bisa terpisatrkan dari adarrya barrdara sebagai fasilitas utama. Meskipun de.mikian bandara bukan men4nkan tujuan ahkir perjalanan seorang penumpffig, tetapi bandara adalah tempat yang pertama yang dilihat penumpang. Bandara menjadi bagian dari industri transportais udara dan sekarang ini banyak orang menggunakan pesawat sthag:d, pilihan.
Bandara Internasional Soekarno-Hatta adalah bandara terbesar dan tersibuk di Indonesia. Berdasarkan data dari PT. Angkasa Pura, BUMN pengelola bandara sekaligus operator mencatat di tahun 2014 jumlatr penumpang mencapai 62.000.000 penumpang. Dimana kapasitas hanya mencapai 18.000.000 juta penumpang. Karena bandara Soekarno -Hattamempunyai masalah operasional dan non-operasional. Masalah operasional seperti kenaikan jumlah penumparrg, tertundanya waktu take-off dan waktu mendarat yang lama sedangkan masalah non-operasional seperti akses ke bandara Soeta susah atau macet, kurangnya taksi maupun transportasi publik.
Kita dapat membayangkan kepadatan dan kemacetan di SHIA dan kondisi yang ada akan mengurangi kepuasan penumpang. Kepuasan penumpang adalah prarr'*ri1g: untuk kelanjutan operasi bandara. SHIA memerlukan pengembangan untuk memperbaiki sistem yang ada dan sekarang SHIA mempunyai sistem baru yaitu Grand Design of SHIA. Peneliti sebelumnya telatr membahas tentang kuantitatfi indikator di SHIA seperti waktu tunggu, waktu proses dan pemanfaatan tempat di terminal menggunakan sofivare simulasi yaitu ProModel verci 7.5.
Dalam penelitian ini akan membahas kualitatif indikator di SHIA untuk melanjutkan penelitian yang ada. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi variabel dari kualitas servis sebagai referensi dalam pengembangan.

Soekarno-Hatta Airport, in particular international airports, are omong the most vital transportation infrastructures. As an essentiql system of air *ansryat infrastructure they represent the physical site (terminals, runwoys, taxiways). Besides the airport facilities each operator airport must concern about their service quality. System of air transportation fiever been separated lftrn fftv existence of the airport as the main support. Even though the airport is not the final destination, but it represented the first time looked for customer. The airport becomes the part of industry transportation and nowadays a lot of people uiing air transportation.
Soekarno-Hatta International Airport (SHU) is the biggest and the busiest in Indonesia. Based on data from Angkasa Pura II, the compony that manages or as operator SHU that passengers in 2014 amounted 62 million. V[/hereas the capacity of SHU only 18 million passengers'. Because of that SHIA has ct problem operational and non-operational. Operational problems such as increase of passenger's reduced emergency slots, time delayed take-ffi and landing.lnw. to wait too long ond non-operational problems such os access to SHU ,s congestion,lack of tmi and transportation public.
We can imagine the density ond the congestion in SHM and that conditions will make reducing of passengers' satisfaction. The possenger's sotisfaction is important matter to sustainability operation of the airport. SHIA need improvement to define the performonce of the system and now SHIA has a new system called Grand Design of SHU. Previous researchers tallrcd obout the quantitative indicators at SHU such as waiting time, processing time ,rt:d" utilization oreo terminal simulation technique using one of simulation tool, ProModel version 7.5.
In this research will discuss qualitative indicator in SHIA to continue previous research. The objective of this research is to identify the variables of serttice quality of passenger's service as reference in improving and increosing the service quality that has been provided by SHIA to its consumers and the last objective for lookingfor the relationship between quantitative and qualitative. The method used in this research is a qualitative model of service qua14, meosurement (SERVQUAL) developed by Parasuramon et al., physical meosurements PJP2U service standards established by Director General of Civil Aviation, Republic Indonesia.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2014
T42885
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dyah Listiyaningsih
"ABSTRAK
Human error merupakan salah satu sifat alami yang dimiliki oleh manusia
(human nature) sehingga setiap harinya manusia pasti selalu mengalami error.
Namun biasanya konsekuensi dari human error ini biasanya relatif kecil (minor)
sehingga sering diabaikan. Namun pada kondisi tertentu human error dapat
menimbulkan konsekuensi yang lebih serius (major), misalnya saja ialah human error
yang terjadi pada chemical process industry, nuclear power, health care, dan tentu
saja dalam penerbangan (aviation).
Menurut penelitian Alabama & Northwest Florida Filght Standards District
Office, tingkat kesalahan manusia (human error) pada bidang Air Traffic Control
menduduki persenatase 90%. Selain itu banyak kasus kecelakaan penerbangan yang
menganggap Air Traffic Controller yang bersalah dan menduga sebagai penyebab
kecelakaan, tidak ada kontribusi ?Pilot Error? .
Desain studi dalam penelitian ini bersifat campuran (mix), di mana di
dalamnya dilakukan baik pendekatan kualitatif maupun kuantitatif sekaligus. Unit
kajian ialah mendapatkan besaran persentase dari masing-masing jenis
ketidaksesuaian interaksi dalam perspektif ergonomik dan unsur human error .
Pendekatan kualitatif deskriptif untuk mendapatkan kajian terkait unsur human error
yang terjadi dengan task analysis.
Hasil kajian menunjukkan bahwa kejadian human error di bidang ATC
Bandar Udara Soekarno-Hatta memang cukup tinggi dengan persentase skill based
error 77,2%, perceptual error 62,3%, decision error 71,1%. Sedangkan untuk hasil
ketidaksesuaian faktor peralatan (mechanical failure), lingkungan (environment),
psikologis (beban kerja mental) masing-masing mencapai 93,9%, 94,7% dan 91,2%.

ABSTRACT
Human error is one of nature which is owned by a man (human nature) so that
every day human being must always be in error. But usually the consequence of
human error is usually relatively small (minor) so often overlooked. However, in
certain conditions of human error can cause more serious consequences (major), such
is human error that occurs on the chemical process industry, nuclear power, health
care, and of course in aviation (aviation).
According to research Alabama & Northwest Florida Filght Standards District
Office, the degree of human error (human error) in the field of Air Traffic Control
persenatase 90% occupied. In addition, many aviation accident cases are considered
Air Traffic Controllers who are guilty and the suspect as the cause of the accident,
there is no contribution "Pilot Error".
Design studies in this research are mixed (mix), where it performed well in
qualitative and quantitative approaches as well. Unit of study is getting a percentage
of the amount of each type of mismatch interaction in perspective ergonomics and
human error element. Descriptive qualitative approach to obtain relevant study
elements of human error that occurs with task analysis.
The study results showed that the incidence of human error in ATC Soekarno-
Hatta Airport is quite a high percentage of 77.2% skill based errors, perceptual errors
62.3%, 71.1% decision error. As for the discrepancy factor of equipment (mechanical
failure), environment (environment), psychological (mental workload) respectively
reached 93.9%, 94.7% and 91.2%.;"
2011
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Samosir, Lamria
"Penulisan dalam skripsi ini membahas tentang proses pembangunan bandar udara internasional Soekarno Hatta Jakarta yang telah memberikan dampak terhadap masyarakat sekitar tahun 1980-1992.
Kehadiran bandar udara internasional Soekarno Hatta Jakarta disebabkan karena bandar udara Kemayoran dan bandar udara Halim Perdanakusuma dalam tidak mampu mengatasi masalah penerbangan di Jakarta tahun 1970. Bandar udara internasional Soekarno Hatta Jakarta berfungsi untuk menampung peningkatan jumlah pengguna transportasi udara yang terjadi setiap tahunnya. Keberadaan bandar udara internasional Soekarno Hatta Jakarta menjadi pendorong berdirinya PT. Angkasa Pura II (Persero) sebagai pengelola bandar udara bagian Indonesia barat termasuk bandar udara internasional Soekarno Hatta Jakarta.
Bandar udara internasional Soekarno Hatta Jakarta menjadi bandar udara terbesar di Indonesia yang dapat menampung jumlah penumpang hingga 18.000.000/tahun. sesuai dengan fungsinya sebagai infrastruktur yang berskala domestik dan internasional maka bandar udara internasional Soekarno Hatta Jakarta telah memberikan dampak negatif dan positif yang dirasakan oleh masyarakat sekitar.
PT. Angkasa Pura II (Persero) harus menunjukkan kepeduliannya terhadap masyarakat sekitar. Terjadinya perubahan kehidupan masyarakat sekitar yang pada awalnya merupakan masyarakat tradisional agraris kini berubah menjadi masyarakat modern yang dilengkapi prasarana dan sarana memadai.

Writing in this paper discusses process development Soekarno Hatta International Airport Jakarta and Its Impact on Communities Around the year 1980-1992.
The presence of the Soekarno Hatta international airport in Jakarta due to the inability of Kemayoran airport and Halim Perdanakusuma Jakarta Aiport can troubling of flight in 1970. The Soekarno Hatta international airport in Jakarta to drive the establishment of PT. Angkasa Pura II (Persero) as the manager of the airport including the western part of Indonesia Soekarno Hatta international airport in Jakarta.
Soekarno Hatta international airport in Jakarta into the largest airports in Indonesia that can accommodate the number of passengers to 18 million/year. according to its function as an infrastructure of domestic and international scale, the international airport of Soekarno Hatta has a negative and positive impact felt by the surrounding community.
PT. Angkasa Pura II (Persero) must show concern for the surrounding community. Changes in people's lives around that was originally a traditional agrarian society now turned into a modern society that is equipped with adequate infrastructure and facilities.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2014
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Erita Narhetali
"ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui persepsi beban kerja mental pemandu
dengan memperhitungkan faktor-faktor yang mempengaruhinya.. Persepsi beban kerja pada
gilirannya juga akan memberi informasi tentang bagaimana interaksi pemandu dengan sistem
teknologi yang digunakannya selama ini, berikut letak masalah yang mereka alami.
Penelitian ini merupakan studi lapangan yang bersifat non-eksperimental karena tidak
memanipulasi variabel yang diteliti. Ada dua jenis pengukuran yang dilakukan yaitu pengukuran
respon subyektif (subjective measure) berupa rating subyektif, dan pengukuran performa psikologis
(performance measure) berupa kemampuan deteksi sinyal. Teknik statistik yang digunakan adaiah
Uji Korelasi Pearson's Product Moment, Uji One-Way Multivariate Analysis of Covariance, dan Uji
Korelasi Parsial. Sampel diambil berdasarkan kemudahan, dengan tetap melihat pada kriteria
sampel. Jumlah sampel yang berhasil diperoleh sebanyak 21 orang pemandu lalu lintas udara
Bandara Soekamo-Hatta, Cengkareng.
Data didapat melalui dua alat ukur, yaitu rating subyektif multidimensi NASA TLX dan
Signal Balance. Skala yang diukur oleh NASA TLX adalah kebutuhan mental, kebutuhan fisik,
kebutuhan waktu, tingkat performa, tingkat usaha, dan tingkat frustrasi. Sedangkan Signal Balance
mengukur performa subyek dalam kecepatan dan akurasi mendeteksi sinyal.
Hasil pengolahan data menyatakan bahwa pemandu lalu lintas udara di Bandara Soekamo-
Hatta mempunyai rata-rata tingkat beban kerja sedang, dan tingkat kemampuan deteksi sinyal di
atas rata-rata. Penelitian ini mengidentifikasi adanya korelasi yang signifikan antara masa kerja
dengan beban kerja. Juga ditemukan adanya pengaruh masa kerja dan jenis tugas terhadap
kombinasi variabel-variabel beban kerja, faktor sistem dan faktor manusia. Namun tidak ditemukan
hubungan antara kemampuan deteksi sinyal dengan beban kerja dan masa kerja.
Beban kerja yang berasal dari aspek psikologis dipersepsi lebih berat daripada beban kerja
yang berasal dari aspek teknis pekerjaan. Hal ini berarti bahwa beban kerja pemandu masih
didominasi oleh beban dari faktor manusia daripada beban yang berasal dari aspek pekerjaan. Oleh
sebab itu, rendahnya performa kerja subyek dapat diidentifikasi sebagai adanya masalah dalam
interaksi manusia dengan sistem teknologi dan organisasi yang diterapkan saat ini. Hal ini tentu
menimbulkan pertanyaan, terlebih mengingat bahwa ternyata dari segi performa mendeteksi sinyal
para pemandu menunjukkan hasil yang amat baik. Maka dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk,
mengetahui faktor-faktor penyebabnya."
2002
S3003
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>