Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 164227 dokumen yang sesuai dengan query
cover
R.A. Yentri Marchelino
"Penelitian yang mengungkap hubungan antara kecerdasan emosi dan kematangan karir sangat jarang ditemukan dalam literatur. Selain itu, perbedaan kelompok berdasarkan jenis kelamin dan program pendidikan pada kedua variabel ini masih menunjukkan hasil yang inkongruen. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengisi kesenjangan dalam literatur tersebut. Peneliti mengharapkan akan ada hubungan yang bermakna antara kecerdasan emosi dan kematangan karir. Diharapkan juga bahwa jenis kelamin sena program pendidikan akan mernpunyai efek utama terhadap kedua variabel dependen tersebut.
Tiga puluh satu orang siswa akselerasi (M = 15.03/SD = 0.60) dan tujuh puluh satu siswa reguler (M = 16.23/SD = 0.59) dari dua sekolah menengah atas di Jakarta berpartisipasi dalam penelitian ini. Penelitian ini mengungkap hubungan yang positif dan bermakna antara kematangan karir dan kecerdasan emosi (r = 0.657,p < 0.01). Ditemukan bahwa skor kematangan karir laki-laki lebih tinggi secara signifikan (F= 9.11, p < 0.01) daripada perempuan dan kematangan karir siswa akselerasi lebih tinggi secara signifikan dari siswa reguler (F = 15.52,p < 0.01). Sedangkan pada kecerdasan emosi, tidak ada perbedaan bermakna yang ditemukan.
Motivasi menjadi pembahasan penting dalarn diskusi, juga berkembangan karir perempuan, tenitama pada kelompok siswa berbakat.

The relationship between emotional intelligence and career maturity has not been much revealed. Furthermore, mean differences due to gender and educational program still showed incongruency in the results. The aim of this study was to fill that literature gap. It was expected that emotional intelligence and career maturity would have a significant relationship. The main effects caused by gender and educational program on career maturity and emotional intelligence was hypothesized too.
Thirty one students in accelerated program (14 = 15.03/SD — 0.60) and seventy one students in regular program (NI ---- 16.23/SD = 0.59) from two high schools in Jakarta participated in this study. This study revealed the significant and positive correlation between career maturity and emotional intelligence (r 0.657, p < 0.01). It was found that career maturity of male students was significantly higher than female (F 9.11, p < 0.01) and career maturity of accelerated students was significant)/ higher than regular ones (F = 15.52, p < 0.01). No significant group differences found in emotional intelligence.
Motivation came out as one of topics in discussion, and the career development of female students, especially those who are gifted.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2008
T33912
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Yanthi Haryati
"Pelanggaran disiplin sekolah menjadi masalah yang kerapkali dilakukan oleh remaja. Bentuk peianggaran disiplin sekolah yang dilakukan dapat berupa: agresi fisik, contohnya pemukulan, perkelahian, dan perusakan; kesibukan berteman saat guru mengajar, mencari perhatian, seperti mengedarkan tulisan, atau gambar-gambar dengan maksud mengalihkan perhatian dari pel^aran; menentang wibawa guru, misalnya tidak mau menurut, memberontak, memprotes dengan kasar, dan mencari perselisihan dengan mengkritik, menertawakan dan mencemooh, merokok, datang terlambat, membolos, kabur dari kelas, mencuri, menipu, berpakaian tidak sesuai dengan ketentuan, memeras, minum minuman keras dan menggunakan obat-obat terlarang (Kooi dan Schutx dalam Sukadji 2000).
Bahkan masalah yang berhubungan dengan sekolah menjadi salah satu masalah besar dalam rentang masa remaja selain obat-obatan terlarang, kehamilan remaja, dan delinkuensi. Banyak hal yang menjadi penyebab terjadinya peianggaran disiplin sekolah, salah satunya adalah sejauh mana kesesuaian perilakunya dengan keterampilan-keterampilan kecerdasan emosi menurut Goleman. Begitu juga menurut Gunarsa & Gunarsa (2003) dan Sarwono (2003) yang menyatakan bahwa faktor pribadi merupakan salah satu dari penyebab terjadinya permasalahan remaja. Penelitian dilakukan melalui pendekatan kuantitatif terhadap 100 orang siswa SXM yang berada di wilayah Depok, Jawa Barat.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan yang signitikan antara kecerdasan emosi dan peianggaran disiplin sekolah. Arah hubungannya negatif, artinya semakin tinggi kecerdasan emosi semakin rendah peianggaran disiplin sekolah. Beberapa ranah dalam kecerdasan emosi yang berhubungan dengan peianggaran disiplin sekolah adalah kemampuan mengenali emosi diri, mengelola emosi dan kemampuan mengenali emosi orang lain. Sedangkan unluk ranah kemampuan memotivasi diri dan membina hubungan dengan orang lain tidak ada hubungan dengan peianggaran disiplin sekolah.
Saran yang diberikan adalah perlu adanya peningkatan keterampilan kecerdasan emosi pada siswa sehingga dengan demikian remaja dapat terbantu dalam mencapai tugas-tug£is perkembangannya dan turut membantu terciptanya kegiatan belajar yang baik. Perlu diperhatikan pula hal-hal lain yang menjadi faktor penyebab terjadinya pelanggaran disiplin sekolah misal faktor keluarga, faktor pengaruh peer-group, faktor sosial ekonomi dan faktor lingkungan, sehingga para remaja sebagai harapan bangsa dapat mencapai identitas diri yang positif dan mereka akan tiba di masa dewasa yang dapat memberi kontribusi yang mulia untuk kesejahteraan bangsanya."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
S2878
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nuraida
"Penelitian ini berdasarkan timbulnya masalah-masalah pada peserta akselerasi pada tingkat SMU di DK1 Jakarta, antara lain: siswa terlihat kurang komunikasi, mengalami ketegangan, tidak barsemangat., kurang bergaul dan tidak suka pada pelajaran olah raga (sumber: Hasil wawancara dengan Salah satu wakil kepala sekolah pelaksana akselerasi). Masalah ini diduga karena tidak tercapainya Salah satu tujuan program akselerasi yaitu meningkatkan mutu kecerdasan emosional. Menurut para ahli akselerasi disamping memiliki pengaruh posi1if (Clark, 1983) juga mempunyai pengaruh negatif (Southern dan Jones, 1991) terhadap penyesuaian sosial dan penyesuaian emosional. Pelaksanaan akselerasi di Amerika pada sisiem pendidikan yang demokratis dan kurikulum disesuaikan dengan bakat dan minat. Sedangkan pelaksanaan akselerasi di Indonesia berbasis kurikulum Nasional. Berdasarkan masalah tersebut maka ingin diteliti kecerdasan emosional siswa akselerasi di Indonesia pada tingkat SMU. Pertanyaan penelitian yang diajukan adalah apakah pelaksanaan akselerasi program akselerasi Indonesia yang berbasis Kurikulum Nasional mampu memacu mum peninkatan kecerdasan emosional siswa berbakat intelektual? Apakah skor Kecerdasan Emosional siswa kelas akselerasi sama atau lebih rendah dcngan skor siswa regular? Bagaimana deskripsi enam faktor pendukung akselerasi di tiga SMU yang diteliti. Atas dasar pertanyaan penelitian itu, maka penelitian ini benujuan untuk mcngetahui dampak prograum akselerasi di Indonesia yang berbasis kurikulum nasional terhadap kecerdasan emosional siswa peserta akselerasi. Rancangan penelitian ini adalah Ex Post Facto. Sampelnya 44 siswa akselerasi, 80 siswa reguler, 33 guru dan 3 pihak penanggung jawab akselerasi serta 6 orang staf. 'Hipoiesis yang diajukan meliputi Ha dan Ho. Ha; skor kecerdasan emosional pesrta akselerasi sama dengan skor kecerdasan emosional kelas regular. 1-lo: Bahwa Skor K€CBl`dBS3Il Emosional peserta akselerasi lebih rendah dad pada siswa kelas reguler. Untuk mengukur kecerdasan emosional digunakan EH yang berdasarkan teori Salovey dan Bar-On. Alat ini hasil adaptasi dan telah digunakan oleh sn Lanawari dalam peneiniannya pada SMU Methodist Jakarta tahun 1999, Sedangkan umuk pelaksanaan akselerasi diteliti berdasarkan pada teori Coleman (l995) dan Buku Pedoman Program Percepatan Belajar (Diknas). Hasil onelitian sebagai berikut: Perranza, Skor kecerdasan emosional siswa akselerasi tidak lebih tinggi daripada siswa kelas reguler. Skor kecerdasan emosional peserta akselerasi sama dengan peserta kelas regular dengan angka signilikansinya 0.l73. Kecerdasan emosional terdiri dari lima dimensi. Berikut ini akan dijelaskan perbedaan perdimensi yaitu: Sell'-Awareness nilai signillkansinya 0204, Self-Control nilai signifikansinya 0,56, Self-Motivation dengan nilai signilikansinya- 0.36, emphalhy nilai signilikansinya 0.096 dan social-skill nilai signitEkansinya0_377. Kedua, hal-hal yang berkaitan dengan enam faktor pendukung akselerasi; (1). guru, yaitu tingkat pendidikan guru sebagian besar lulusan Sl. Mayoritas menggunakan metode ceramah dalam mengajar (2). kurikulum, yaitu masih menggunakan Kurikulum Nasional (Kurnas), (3). pada prosedur seleksi diterima siswa yang memiliki IQ di bawah 125, (4). Tidak ada kesinambungan antara landasan filosois sekolah dengan filosolis program akselerasi, (5). orientasi staf (pustakawan, Laboran,dan Bimbingan Konseling), masih sangat minim; BP hanya berperan dalam proses seleksi dan pada penyelesaian masalah-masalah, (6). Belum ada evaluasi program secara khusus
Kesimpulan bahwa dampak program akselerasi yang berbasis kumas tidak meningkatkan kecerdasan emosional siswa akselerasi. Salah satu penyebabnya karena jumlah pelajaran dan alokasi waktunya sangat padat. Kemungkinan lain karena akselerasi tingkal SMU di lndonesia belu dilaksanakan baik dan terencana. Saran kepada peneliti untuk meneliti pengaruh program akselerasi yang berbasis Kurikulum Nasional terhadap kecerdasan emosional dengan penelitian experimental kelompok yang pertama diberikan kurikulum yang spesifik dan kelompok yang lain diberikan kurikulum Nasional. Berkaitan dengan rendahnya kecerdasan emosional peserta akselerasi disarankan untuk mengurangi jumlah pelajaran yang harus di pelajari oleh anak berbakat intelektual."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2003
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fauza Qurrotu Aini
"Emosi sebagai salah satu faktor yang menentukan perilaku manusia sudah banyak diketahui dari pengalaman sehari-hari, misalnya dengan bergembira maka segala sesuatu yang dikerjakan akan baik hasilnya, dalam kesedihan maka pekerjaan menjadi kacau (Amold dalam Markam, 1992). Namun apabila seorang remaja akhir mempunyai kecerdasan pada dimensi emosionalnya, maka ia akan mampu mengendalikan reaksi atau perilakunya (Epstein dalam Achir, 1988). Menurut Goleman (1995) kecerdasan emosi yang baik akan mengontrol agresivitas remaja.
Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran mengenai kecerdasan emosi dan agresivitas pada remaja akhir, hubungan antara kecerdasan emosi dengan agresivitas, pengaruh dari dimensi-dimensi kecerdasan emosi terhadap agresivitas, serta perbedaan kecerdasan emosi dan agresivitas pada remaja akhir laki-laki dan perempuan. Penelitian ini dilakukan melalui pendekatan kuantitatif dengan tehnik incidental sampling, jumlah subyek 92 orang siswa-siswi SMA yang berada pada tahapan perkembangan remaja akhir.
Alat ukur yang digunakan adalah Emotional Intelligence Inventory (Eli) dan Aggnession Questionnaire (AQ). Pengujian validitas alat ukur dilakukan dengan expert judgement dap Pearson Product-Moment Correlation, sedangkan uji reliabilitas dilakukan dengan Coefficient Alpha dengan indeks reliabilitas Eli sebesar .9191 dan AQ sebesar .8333.
Hasil penelitian secara umum ada hubungan negatif antara kecerdasan emosi dengan agresivitas pada remaja akhir, artinya semakin tinggi kecerdasan emosi pada remaja akhir maka agresivitasnya akan semakin rendah, serta ditemukan adanya pengaruh dimensi-dimensi kecerdasan emosi terhadap agresivitas. Namun hanya dimensi empati (empathy), kesadaran diri (self awareness) dan kontrol diri (self controf) yang mempunyai pengaruh terbesar dalam mengontrol atau mengurangi agresivitas, dengan kata lain peningkatan pada dimensi empati, kesadaran diri dan kontrol diri, sangat berpengaruh dalam mengontrol agresivitas. Sedangkan dimensi motivasi diri dan keterampilan sosial mempunyai pengaruh kecil terhadap agresivitas. Dari analisa tambahan, ada perbedaan kecerdasan emosi dan agresivitas pada remaja laki-laki dengan perempuan.
Saran yang diajukan perlu adanya suatu program pelatihan untuk siswasiswi yang berusaha mengembangkan keterampilan-keterampilan emosi, disesuaikan dengan situasi sekolah, rumah dan masyarakat."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
S3449
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nuri Fauziah
"Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap bagaimana dinamika kecerdasan emosi pada siswa akselerasi di SDN Kendangsari I Surabaya. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus intrinsik. Unit analisis dari penelitian ini adalah dinamika kecerdasan emosi siswa akselerasi ditinjau dari lima dimensi kecerdasan emosi, yaitu mengenal emosi, mengelola emosi, memotivasi diri, mengenal emosi orang lain dan membina hubungan. Prosedur pemilihan subjek yang dilakukan adalah model pemilihan tipikal, yaitu subjek yang diambil dianggap mewakili kelompok normal. Dalam pemilihannya peneliti meminta kesediaan siswa akselerasi yang ada untuk menjadi subjek. Dari sembilan siswa akselerasi yang terdapat di sekolah itu, empat orang siswa menyatakan kesediaannya menjadi subjek penelitian. Adapun teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah tematik, dengan menggunakan koding dari hasil transkrip wawancara yang telah diverbatim, serta basil observasi dalam bentuk catatan lapangan. Teknik analisis ini terdiri dari tiga tahapan yaitu ; open koding, axial koding, selective koding. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pola asuh dan kebiasaan yang didapat siswa mempengaruhi dinamika kecerdasan emosi yang terjadi. Perbedaan sikap serta perilaku di sekolah maupun di rumah juga sedikit banyak dipengaruhi oleh faktor tersebut. Hal ini yang mempengaruhi keterampilan siswa dalam mengenal emosi, mengelola emosi, memotivasi diri, mengenali emosi orang lain, serta membina hubungan. Disamping itu iklim kompetitif yang kental serta keterampilan memotivasi diri siswa mempengaruhi motivasi berprestasi mereka yang dapat dikatakan cukup tinggi tersebut. Disisi lain mengenai keterbatasan pergaulan yang mereka hadapi tidak lantas mempengaruhi keterampilan membina hubungan dengan orang lain, meskipun demikian pada kenyataannya mereka cenderung lebih senang berteman dengan teman sesama akselerasi saja, dan menghabiskan sebagian besar waktu bermain di kelasnya. Hal inilah yang mengindikasikan bahwa kecenderungan perilaku eksklusif juga berlaku pada siswa-siswa akselerasi tersebut."
Depok: Pusat Keberbakatan-Fakultas Psikologi UI, 2008
150 GRJKK 2:1 (2008)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Anggraini Sukardi
"Menjalin hubungan cinta adalah hal yang diingini oleh setiap individu. Individu yang menjalin hubungan cinta cenderung lebih bahagia daripada yang tidak. Bagi individu dewasa muda, menjalin hubungan pacaran merupakan pencapaian status dewasa (Bell, 1971), masa pemilihan pasangan hidup (Hurlock, 1980) ataupun untuk memenuhi kebutuhan psikologis dan emosional seseorang.
Masa pacaran dianggap penting karena terdapat banyak faktor didalamnya yang akan menjadi hal penting dalam kehidupan perkawinan (Strong & De Vault, 1988). Hubungan pacaran sebagai suatu bentuk hubungan cinta pada akhirnya diharapkan menuju perkawinan, sehinga hubungan pacaran dilihat sebagai persiapan untuk saling mengenal dan menyesuaikan diri.
Hubungan pacaran yang diharapkan oleh setiap individu adalah hubungan yang memuaskan. Kepuasan seringkali berhubungan dengan kebahagian. Pada penelitian Emmons (dalam Myers, 1996) diketahui bahwa mahasiswa yang paling bahagia adalah yang merasa puas dengan kehidupan cintanya Pentingnya kepuasan menunjukkan seseorang memiliki fisik dan psikologis yang sehat. Dengan hubungan pacaran yang memuaskan diharapkan dapat diambil keputusan matang menuju perkawinan yang bahagia.
Kepuasan dalam hubungan pacaran mendorong individu untuk mempertahankan hubungan tersebut. Sedangkan keputusan itu bersifat subyektif dan dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya adalah tingkat keterlibatan, keterbukaan diri, tuntutan atau harapan pasangan untuk berubah (Tysoe, 1992). Masalah komunikasi dan kematangan emosi juga menjadi faktor yang mempengaruhi kepuasan dalam hubungan pacaran (Hendrick, 1989).
Hubungan yang intim dapat berkembang dengan mudah bila memiliki kapasitas untuk berbagi dan memahami orang lain. Seseorang yang matang mampu berkomunikasi secara terbuka, sensitif terhadap kebutuhan orang lain dan memiliki toleransi yang tinggi. Karena itu emosi yang matang diperlukan untuk mencapai kepuasan dalam hubungan pacaran.
Mahasiswa sebagai individu yang berada pada tahap dewasa muda dituntut untuk memiliki hubungan pacaran dan bersikap matang dalam bertindak. Oleh sebab itu penelitian ini menggunakan mahasiswa sebagai subyek penelitian.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara kematangan emosi dan kepuasan dalam hubungan pacaran pada mahasiswa, juga hubungan antara aspek-aspek di dalam kematangan emosi dengan kepuasan dalam hubungan pacaran. Disamping itu juga, tujuan penelitian ini ingin melihat gambaran kematangan emosi pada mahasiswa serta gambaran kepuasan dalam hubungan pacarannya.
Yang menjadi subyek penelitan ini adalah mahasiswa Universitas Indonesia dengan lamanya hubungan pacaran sedlikitnya satu tahun. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik incidental sampling yang terkumpul sebanyak 77 orang subyek. Alat pengumpulan data adalah menggunakan kuesioner Emotional Maturity Scale dari Dean (1966) sebagai alat pengukur kematangan emosi dan Relationship Assesment Scale dari Hendrick (1988) sebagai alat pengukur kepuasan dalam hubungan pacaran. Pengolahan data dilakukan dengan analisa deskriptif, korelasi dan regresi majemuk. Keseluruhan pengolahan data dilakukan dengan bantuan program SPSS 7.5.
Hasil dari penelitian yang didapat adalah terdapat hubungan yang signifikan antara kematangan emosi dan kepuasan dalam hubunga pacaran pada mahasiswa. Dari masing-masing dimensi dalam kematangan emosi yang memberikan kontribusi terbanyak terhadap kepuasan dalam hubungan pacaran adalah dimensi hubungan pria wanita, toleransi stres dan komunikasi.
Sama untuk penelitian selanjutnya, sebaiknya digunakan juga metode wawancara sehingga dapat terlihat kepuasannya secara subyektif. Pengambilan data berpasangan juga baik dilakukan sehingga dapat dilihat perbandingan pandangan pasangannya. "
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1999
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nuraini Faizal
"Untuk menjadi bangsa yang sejahtera, maju dan mandiri, adalah penting bagi Indonesia untuk meningkatkan kualitas generasi mudanya; mengingat mereka adalah sumber daya manusia Indonesia yang akan memegang peranan dalam pembangunan bangsa pada masa yang akan datang. Namun, kenyataan sebagian besar generasi muda (remaja) kita saat ini. nyaris menempatkan kepercayaan masyarakat akan kemampuan, kualitas dan peran generasi muda di masa depan pada titik nadir. Sebagian dari mereka melakukan kenakalankenakalan seperti minum minuman keras, menonton film biru, tawuran, penggunaan obat terlarang, dan lain-lain (Sutoyo dalam Susiwo, 1995).
Satu hal pokok yang agaknya disepakati adalah bahwa perilaku kenakalan berpangkal dari lemahnya pengendalian diri (Biran, dalam Sanusi, Badri, Syafruddin, 1996). Oleh karena pengendalian diri merupakan komponen dari kematangan emosi, maka perlu dilakukan upaya-upaya yang mendukung pembentukan kematangan emosi secara optimal pada remaja.
Peneliti berasumsi bahwa salah satu wahana yang dapat digunakan untuk meningkatkan kematangan emosi remaja adalah aktivitas waktu luang. Adapun salah satu aktivitas remaja yang dapat digolongkan ke dalam aktivitas waktu luang adalah aktivitas/kegiatan ekstrakurikuler sekolah atau sering disingkat dengan ekskul.
Kegiatan ekstrakurikuler sekolah dipilih sebagai wakil dari aktivitas waktu luang remaja disebabkan karena kegiatan ekstrakurikuler sekolah merupakan bagian dari sekolah sebagai suatu institusi yang memberikan lebih banyak evaluasi pada remaja dibandingkan rumah atau keluarga (Burns. 1993). Di dalamnya remaja dituntut untuk secara dinamis menyesuaikan diri dan belajar menghadapi aneka karakter manusia dan situasi yang pada akhirnya mengarah kepada terbentuknya kematangan diri remaja, khususnya pada aspek emosi.
Oleh karena itu. dalam kesempatan ini akan diteliti hubungan antara partisipasi dalam kegiatan ekstrakurikuler sekolah dengan kematangan emosi siswa SMU. Selain itu, juga diteliti dimensi manakah dari kematangan emosi yang secara signifikan berhubungan dengan partisipasi siswa SMU dalam kegiatan ekstrakurikuler sekolah. Kemudian, kegiatan ekstrakurikuler manakah yang secara signifikan berhubungan dengan kematangan emosi siswa SMU, serta memberikan sumbangan terbesar bagi kematangan emosi. Untuk itu selam korelasi Pearson Product Moment. digunakan perhitungan statistik Multiple Regression.
Pelaksanaan penelitian berlangsung selama 3 minggu (25 Mei 2001-14 Juni 2001). Dengan menggunakan metode accidental sampling, peneliti menyebarkan 100 kuesioner kepada penghubung di 4 sekolah di Jakarta Selatan, yaitu SMUN 34, SMUN 28, SMUN 38, SMUN 97; masing-masing 25 buah. Hingga tanggal 14 Juni 2001, terkumpul 100 kuesioner.
Hasil penelitian menunjukan adanya hubungan yang signifikan dan positif antara antara partisipasi dalam kegiatan ekstrakurikuler sekolah dengan kematangan emosi, terutama pada dimensi Mandiri. Mampu Beradaptasi, dan Mampu Berempati. Ini berarti bahwa makin tinggi level partisipasi siswa SMU dalam kegiatan ekstrakurikuler sekolah, maka makin tinggi pula tingkat kematangan emosinya.
Kemudian dari 4 kegiatan ekstrakurikuler yang diteliti, diperoleh hasil bahwa kegiatan ekstrakurikuler yang secara signifikan dan positif berhubungan dengan kematangan emosi siswa SMU adalah kegiatan ekstrakurikuler ROHIS. Ini berarti bahwa makin tinggi level partisipasi siswa dalam kegiatan ekstrakurikuler ROHIS, makin matang pula ia secara emosi. Mengingat satu-satunya variabel bebas yang layak dimasukan dalam model regresi adalah variabel level partisipasi dalam kegiatan ekstrakurikuler ROHIS, maka dapat dikatakan bahwa level partisipasi dalam kegiatan ekstrakurikuler ROHIS memberikan sumbangan terbesar terhadap kematangan emosi.
Sebagai tambahan, hasil pengolahan data kontrol subyek menunjukan bahwa subyek yang berpartisipasi dalam kegiatan luar sekolah lebih matang secara emosi dibandingkan subyek yang tidak berpartisipasi dalam kegiatan luar sekolah.
Untuk penelitian lanjutan, sebaiknya tidak menggunakan metode accidental sampling karena metode ini memungkinkan terjadinya distribusi frekuensi yang scewed sehingga dapat menimbulkan bias dalam melakukan interpretasi hasil penelitian. Bila memungkinkan, sebaiknya sampel diambil dari seluruh kegiatan ekstrakurikuler sekolah dengan proporsi yang seimbang sehingga tidak ada kegiatan ekstrakurikuler yang luput dari perhatian. Agar lebih mendalam, dapat dilakukan penelitian tentang pengaruh dari masing-masing kegiatan ekstrakurikuler sekolah terhadap kematangan emosi. Selain itu, dapat juga diteliti kegiatan di luar sekolah dalam hubungannya dengan kematangan emosi remaja.
Bagi pihak-pihak yang berwenang (Departemen Pendidikan Nasional, kepala sekolah, guru, dan para pendidik) dan para pelaksana kegiatan ekstrakurikuler sekolah, diharapkan untuk lebih menggalakan kegiatan ekstrakurikuler sekolah dengan merancang program-program menarik.sedemikian rupa sehingga seluruh siswa tertarik untuk berpartisipasi dalam kegiatan ekstrakurikuler sekolah. Kepada orang tua dan keluarga, disarankan untuk memberi kebebasan yang seluas-luasnya bagi anak/keluarganya untuk mengikuti kegiatan-kegiatan yang ada, baik kegiatan ekstrakurikuler sekolah maupun kegiatan luar sekolah, dalam rangka mencapai kematangan emosi yang optimal."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2001
S3050
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran tentang intensitas dalam berdzikirsetelah shalat dengan kecerdasan emosi pada siswa siswi SMA X dan SMA Y Bandung. Penelitian menggunkan metode korelasi dan bertujuan memberikan informasi kepada kedua sekolah tentang intensitas dalam berdzikir setelah shalat dengan kecerdasan emosional. Hipotesisnya adalah “ Semakin kurang intensitas dalam bedzikir setelah shalat, semakin rendah emosiaonal pada siswa siswi SMA X di Bandung”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada korelasi positif antara intensitas dalam berdzikir dengan kecerdasan emosi. Artinya semakin kurang intensitas dalam berdzikir setelah shalat maka semakin rendah kecerdasan emosinya."
MIMBAR 28:1 (2012)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Siregar, Rury Ervina
"Sensation seeking dapat menjadi prediktor keluaran di organisasi bila diekspresikan melalui beberapa variabel kognisi sosial seperti kecerdasan emosi. Dengan demikian perilaku yang dihasilkan oleh sensation seeking dapat lebih fungsional. Tujuan dari penelitian ini untuk mengidentifikasi apakah sensation seeking dapat diekspresikan melalui kecerdasan emosi untuk memprediksi kinerja individu. Desain dalam penelitian ini menggunakan desain kuantitatif dengan strategi korelasional. Responden dalam penelitian ini berjumlah 167 karyawan yang mengisi kuesioner sensation seeking, kecerdasan emosi dan kinerja individu. Hasil menunjukkan bahwa sensation seeking dan kecerdasan emosi dapat memprediksi kinerja individu secara langsung. Namun, demikian berdasarkan hasil analisis efek tidak langsung (indirect effect) membuktikan bahwa kecerdasan emosi tidak dapat mengekspresikan sensation seeking untuk memprediksi kinerja individu.

When it is expressed through several social cognition variables such as emotional intelligence, sensation seeking may serve as a output predictor within an organization. Thus, behaviors that are generated by sensation seeking may become more functional. The main goal of this study is to identify sensation seeking can be expressed through emotional intelligence in predicting invididual performance. The researcher used quantitative design with correlational strategy. 167 employees filled out questionnaires on sensation seeking, emotional intelligence, and individual perfomance. The results of this study shows that sensation seeking and emotional intelligence are able to predict individual performance directly. However, an indirect effect analysis shows that emotional intelligence can not express sensation seeking in the prediction of individual performance.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2016
T46490
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Sholeh
"Tesis ini bertujuan untuk menguji hubungan antara aspek-aspek dari kecerdasan emosional, itsar (altruism), dan spiritualitas dengan kepuasan kerja. Pada penelitian ini variable independent (IV) berjumlah 15 dan kepuasan kerja sebagai dependent variable (DV). Dengan teknik sampel total, diperoleh sampel sebanyak 66 orang guru yang bekerja di Sekolah Dwi Matra. Data penelitian diolah dengan metode regresi linear berganda dengan taraf signifikansi 0,05. Hasil dan kesimpulan penelitian ini membuktikan bahwa ada hubungan antara aspek-aspek kecerdasan emosional, itsar (altruism), dan spiritualitas dengan kepuasan kerja (r=0,577) namun tidak signifikan (sig 0,090). Nilai R2 dari seluruh varabel yang diujikan sebesar 0,333 atau setara dengan 33 %. Aspek self awareness merupakan satusatunya variabel bebas yang terbukti berkorelasi positif dengan kepuasan kerja (sig.0.039, R2 : 0,130). Aspek ini perlu menjadi prioritas jika akan dilakukan intervensi kepuasan kerja pada guru di Sekolah Dwi Matra.

This thesis aims to examine the relationship between aspects of emotional intelligence, itsar (altruism), and spirituality with job satisfaction. In this study, the independent variable (IV) amounted to 15 and job satisfaction as the dependent variable (DV). With this technique the total sample, obtained a sample of 66 teachers who work at Sekolah Dwi Matra,Jakarta. The research data were processed by the method of multiple linear regression with a significance level of 0.05. Results and conclusions of this study prove that there is a relationship between aspects of emotional intelligence, itsar (altruism), and spirituality with job satisfaction (r = 0.577) but not significant (sig .090). R2 values of all tested variable of 0.333, equivalent to 33%. Aspects of self-awareness is the only independent variables that proved to be positively correlated with job satisfaction (sig.0.039, R2: 0.130). This aspect needs to be a priority if the intervention will be conducted on teacher job satisfaction at Sekolah Dwi Matra."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2011
T29665
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>