Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 166895 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Marcia Dewi Hartanto
"Pada wanita pascamenopause sering ditemukan penyakit jantung koroner. Meningkatnya kejadian penyakit jantung koroner erat kaitannya dengan menurunnya kadar estrogen di dalam darah wanita menopause. Penggunaan aspirin pada wanita pascamenopause dengan risiko rendah masih merupakan suatu kontroversi. Untuk membantu rasionalisasi penggunaan aspirin sebagai pencegahan primer kejadian kardiovaskular pada wanita pascamenopause, dilakukan pengukuran efek antitrombotik aspirin pada fungsi platelet pada wanita pascamenopause dibandingkan pramenopause. Efek antitrombotik aspirin dinilai melalui penurunan kadar metabolit Tromboksan B: yaitu kadar 11~dehidro Tromboksan B2 (11-dTxBz} dalam urin wanita pascamenopause dibandingkan dengan wanita pramenopause yang meminum aspirin iOO mg selama 7 hari.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian aspirin pada 15 wanita pascamenopause dan 15 wanita pramenopause, menghambat secara bermakna produksi ll-dTxB2 pada wanita pascamenopause dan juga pada wanita pramenopause. Persentase penurunan 11-dTxBz pada wanita pascamenopause lebih tinggi secara bermakna dibandingkan penurunan ll-dTx- pada wanita pramenopause. Dengan demikian pada wanita pascamenopause dengan risiko rendah dapat dipertimbangkan pemberian aspirin 1 00 mg sebagai pencegahan primer penyakit kardiovaskular.

The frequency of coronary heart disease is more prevalence in postmenopausal women than in premenopausal women. Estrogen may have cardioprotective effects in premenopausal women, but may diminish in postmenopausal women. The usefulness of aspirin to prevent cardiovascular events in postmenopausal women without a history of cardiovascular disease is still a controversy. This study was conducted to search more evidences of the role of aspirin in primary prevention in healthy postmenopausal women through the antithrombotic measurement. Aspirin 100 mg was given each day to 15 healthy postmenopausal women and premenopausal women for 7 consecutive days.
The result of this study was that the ingestion of aspirin 100 mg for 7 consecutive days reduced urinary 11-dehydro-thromboxane B2 significantly different in both postmenopausal and premenopausal women. The percentage of the decrease was significantly higher in postmenopausal than in premenopausaL The result of this study supports the usefulness of aspirin 100 mg in a healthy postmenopausal women with low risk as a primary prevention of a cardiovascular diseases."
Depok: Universitas Indonesia, 2008
T32805
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Zita Arieselia
"Prevalensi penyakit kardiovmakular meningkat dengan tajam pada wanita pasca menopausa Pada wanita pasca menopause terjadi peningkatan produksi trombosit dan penurunan produksi prosiasiklin. Aspirin dosis rendah (75 - 150 mg) telah lama dikenal sebagai penghambat agregasi trombosit. Aspirin bekerja dengan menghambat produksi tromboksan (suatu zat proagregasi trombosit dan vasokonslriktor poten) serta produksi prostasiklin (suatu zat antiagregasi trombosit dan vasodilator poten).
Studi ini merupakan uji klinik Lidak tersamar dengan 2 kelompok paralel. Kelompok pertama terdiri dari 15 orang wanita pramenopause (3 40 tahun) dan kelompok kedua 15 orang wanita pasca menopause yang telah henti haid selama 3 - 5 tahun. Urin 24 jam dikumpulkan dari setiap subyek sebelum dan sesudah minum aspirin 100 mg salama 7 hari berturut-turut, Kadar prostasiklin dalam win dalam bentuk metabolitnya, 2,3-dinor-6-keto-prostaglandin-F1.1, dianalisis menggunakan metode EIA (Enzyme immunoassay). Tromboksan, dalam bcntuk metabolitnya (ll-dehidro-tromboksan-B2), juga diukur dalam sampel urin ini pada studi terdahulu.
Studi terdahulu menunjukkan bahwa aspirin menurunkan kadar tromboksan secara bermakna pada kedua kelompok dengan persentase penurunan yang lebih besar secara bermakna pada wanita pasca menopause dibandingkan wanita pramenopause. Hasil studi ini menunjukkan bahwa aspirin menurunkan kadar prostasiklin secara bermakna pada wanim pramenopause (selisih = 78,44 nglg kreatinin; p = 0,001) maupun wanita pasca menopause (sclisih = 35,7l ng/g kreatinin; p < 0,001), namun persentase penurunan antara kedua kelompok tidak berbeda bermakna (46,26% vs_ 40,94%; p = 0,574). Penurunan kadar tromboksan dan proslasiklin oleh aspirin perlu dibandingkan (dalam bcntuk penurunan rasio kadar ll- dehidro-tromboksan-B2 / 2,3-dinor-6-keto-prostaglandin-Fu, dalam urin) untuk menilai ekasi aspirin sebagai antitrombodk Perhitungan rasio kadar ll-dehidro-tromboksan-B2/ 2,3-dinor-6-keto-proslaglandin-Fm sebelum pemberian aspirin jauh lebih tinggi pada wanila pascamenopause dibandingkan wanita pramenopause (4,09 vs. 1,l3; p A 0,001)_ Pcnurunan rasio kadar 11-dchidro-tromboksan-Bd 2,3-dinor-6-keto-prostaglandin-Fm olch aspirin jauh lebih besar pada wzmita pasca menopause dibandingkan wanita pramenopause (l,9l vs. 0, 17; p = 0,022).
Dengan demikian disimpulkan bahwa aspirin menurunkan kadar prostasiklin secara bermakna pada masing-masing kelompok dengan persentase penurunan yang tidak berbeda antara kedua kelompok, namun menurunkan rasio kadar 11-dchidro-tromboksan-BJ 2,3-dinor-6-keto-prostaglandin-F1,, yang jauh lebih besar pada wanita pasca menopause dibandingkan pada wanila pramenopausa.

The prevalence of cardiovascular diseases in women increases sharply after menopause. In postmenopausal women, thromboxane production increases while prostacyclin production decreases. Low dose mpirin (75 - 150 mg) has long been known as an antiplatelet aggregator. Aspirin reduces the production of both thromboxane (potent thrombocyte aggregator and vasoconstrictor) and prostacyclin (anti thrombocyte aggregator and potent vasodilator).
The present study was an open-label clinical trial with 2 parallel groups. One group consisted of 15 premenopausal women (age 2 40 years) while the other group 15 postmenopausal women (for 3 - 5 years). Twenty-four hours urine was collected from each subject before and after aspirin 100 mg daily for 7 days. The concentration of prostacyclin was measured as its metabolite (2,3-dinor-6-keto-prostaglandin-Fm) in urine using EIA (Enzyme immunoassay). Thromboxane as its urinary metabolites (11-dehidro-tromboksan-Bg) was also measured in these same urine samples in the previous study.
Previous study showed that aspirin significantly reduced thromboxane in both groups, with significantly larger percentage reduction in postmenopausal women compared to premenopausal women. Results of the present study showed that aspirin reduced prostacyclin signilicantly in both premenopausal women (mean difference = 78.44 ng/g creatinine; p = 0.001) and postmenopausal women (mean difference = 35.71 ng/g creatinine; p < 0.001), but the percentage reduction between the groups was not significantly different (46,26% vs. 4O,94%; p = O,574). The decrease in thromboxane and prostacyclin should be compared (as the decrewe in the ratio of ll-dehidro-tromboksan-B2 / 2,3-dinor-6-keto- prostaglandin-Fia) to assess aspirin efficacy as an antithrombotic. Calculation of the ratio of 11-dehidro-trombol
It was concluded that aspirin reduced prostacyclin significantly in each group with nons ignificant percentage reduction between groups, but reduced the 11-dehidro-tromboksan-BU 2,3-dinor-6-keto-prostaglandin-Fi., ratio much larger in postmenopausal women compared to that in premenopausal women."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009
T32325
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Gloria Gandasari S.
"Tujuan : Mengetahui efek penambahan premedikasi dexmedetomidin intravena dengan dosis rendah 0,3 μg/kg dibandingkan dengan lidokain intravena 1,5 mg/kg terhadap tanggapan kardiovaskular akibat tindakan laringoskopi dan intubasi orotrakea.
Metode : Uji klinik tersamar ganda. Penelitian dilakukan di Instalasi Bedah Pusat RSCM pada bulan Desember 2004 sampai dengan Pebruari 2005, pada 90 pasien dewasa yang menjalani operasi berencana dengan anestesia umum dan fasilitasi intubasi orotrakea. Pasien dibagi secara acak menjadi 2 kelompok; 45 pasien mendapat penambahan premedikasi dexmedetomidine intravena 0,3 µg/kg 10 menit sebelum intubasi dan 45 pasien lainnya mendapat penambahan premedikasi lidokain intravena 1,5 mg/kg 2 menit sebelum intubasi. Parameter kardiovaskular yang diukur yaitu tekanan darah sistolik - diastolik, tekanan arteri rata-rata dan laju jantung. Analisa statistik melihat perbedaan pada dua data kategori digunakan uji chi-square. Perubahan kardiovaskular pada tiap kelompok dipakai uji wilcoxon, dan melihat perbedaan kardiovaskular antara kedua kelompok dipakai uji Mann-Whitney.
HasiI : Saat intubasi pada kedua kelompok terjadi peningkatan tanggapan kardiovaskular bermakna secara statistik dibandingkan dengan nilai sesaat sebelum intubasi. Tanggapan kardiovaskular pada kelompok dexmedetomidin lebih rendah bermakna secara statistik dibandingkan dengan kelompok lidokain. Ini membuktikan bahwa baik dexmedetomidin maupun lidokain belum dapat mencegah tanggapan kardiovaskular akibat laringoskopi dan intubasi orotrakea, tetapi dexmedetomidin mempunyai efek yang lebih balk bennakna secara statistik dibandingkan dengan lidokain dalam hal mengurangi tanggapan kardiovaskular akibat laringoskopi dan intubasi. Ada 2 sampel yang dikeluarkan, masing-masing 1 sampel dari kelompok dexmedetomidin dan lidokain."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Doei Eng Tie
"

Dalam tahun 1674 Antony van Leeuwenhoek di Leiden menemukan lensa jang dapat memperbesar pandangan pada benda jang amat ketjil jang samar atau sama sekali tidak dapat dilihat oleh mata biasa.

Kemudian tertjiptalah mikroskop jang lambat laun diperbaiki hingga sekarang kita mengenal fase-contrast dan elektronntikroskop jang dapat memperbesar pandangan sampai 200.000 kali.

Demikianlah, semendjak terbentuknja mikroskop itu, manusia beladjar kenal dengan apa jang dinamakan cellula dalam bahasa Latin atau dalam bahasa Indonesia sel".

Dengan penemuan sel jang dianggap pada waktu itu merupakan satuan jang terketjil dan terachir pada sctiap machluk, berubahlah djuga pandangan manusia terhadap penjakit. Kalau didjaman kuno ilmu ketabiban sebagian besar dipengaruhi oleh haluan religieus-magis-mystik dan humeral, maka semendjak ditemukan sel", perhatian ditudjukan pada sel itu.

Demikianlah pada tahun 1855 tertjiptalah patologi selluler jang dipelopori oleh Robert Virchow. Terdengarlah pada waktu itu sembojan jang berbunji :

"Qmnis cellula e cellula" (tidak mungkin terbentuknja sel tanpa adanja sel). Singkatnja dan maknanja jalah : semua peristiwa jang bersangkut-paut dengan penghidupan terletak pada integritet daripada sel jang membentuk tubuh manusia. Ilmu ketabiban beralih kedjurusan ilmiah exact (exacta wetenschap). Penjakit hanja dapat dibuktikan dan dipastikan, kalau dapat dilihat perubaban pada se1 tubuh dan/atau ditemukan sel" kuman jang patologis atau dapat dinjatakan kelainan pada tjairan tubuh. Memang benar, pada sebagian benar daripada penjakit dapat ditemukan kelainan' di sel atau tjairan tubuh.

Tetapi lambat laun ditemukan djuga keadaan penjakit jang tidak disertai oleh kerusakan strukturil atau djika ada terdapat kerusakan strukturil, keluhan ternjata tidak selalu berimbang dengan deradjat kerusakan itu. Maka timbullah aliran baru dikalangan kedokteran untuk melihat penjakit tidak hanja dari sudut organis-humoral, tetapi djuga dari sudut psikik atau kedjiwaan jang dipelopori oleh sardjana terkenal seperti Alexander, Saul, French, Weiss, Dunbar, Binger d.l.l. dan di kalangan kita di Indonesia ini oleh Professor Aulia.

Sebetulnja tjara melihat dan merawat penderitaan seseorang dengan memperltatikan sudut ,psikologi atau kedjiwaan ini, tidaklah merupakan aliran fikiran baru. Tjara ini telah dipraktekkan oleh ilmu ketabiban klassik hingga sekarang, terutama oleh ,,familie-dokter" jang mengetahui riwajat hidup serta tindak-tanduk pasiennja dari masa ketjilnja didalam lingkungan keluarga dan masjarakat disekitarnja, walaupun tidak dengan tjara teratur dan sering tidak diinsafi oleh dokter itu sendiri.

Dengan memperhatikan sudut psikologi dalam hal mempeladjari penjakit, tidaklah berarti kita mengurangi perhatian terhadap kelainan atau kerusakan somatis atau ketubuhan, tetapi kita lebih banjak daripada dulu mempeladjari pengaruh djiwa terhadap penjakit itu.

Tidak lagi seorang dokter akan merawat sesuatu anggota tubuh, seperti djantung, kulit, alat pernafasan, alat pentjernaan d.s.b., tetapi jang diperhatikan jalah sipenderita keseluruhannja, tidak hanja sendi lahirnja, tetapi djuga sendi batinnja.

Demikianlah, berbagai djenis keluhan dapat timbul pada seseorang. tidak hanja oleh karena menderita kerusakan atau gangguan somatis (ketubuhan), tetapi oleh karena penderitaan psikik (kedjiwaan), penderitaan batin, atau oleh karena kedua-duanja.

Sering ditemukan gangguan fungsi pada sesuatu anggota tubuh jang hanja merupakan „spreckbuis" atau pembitjara daripada penderitaan batin.

Aliran baru ini, jang mempeladjari hubungan diantara penderitaan batin, emosi dan fungsi anggota tubuh dinamakan ,,psychosomatic medicine" atau ilmu kedokteran kedjiwa-ragaan.

"
Jakarta: UI-Press, 1961
PGB Pdf
UI - Pidato  Universitas Indonesia Library
cover
Vanda Mustika
"Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran peningkatan fraksi ejeksi ventrikel kiri dan peningkatan kapasitas aerobik pasien pasca sindrom koroner akut setelah intervensi koroner perkutan sebelum dan sesudah terapi latihan jalan.
Metode: Penelitian ini adalah studi intervensi dengan desain pre dan post satu kelompok pada 22 subjek pasca sindroma koroner akut setelah intervensi koroner perkutan yang mengikuti program rehabilitasi jantung fase II. Subjek diberikan latihan jalan dengan intensitas submaksimal 3 kali seminggu, selama 8 minggu dengan jarak yang ditingkatkan setiap latihan. Sebelum memulai dan setelah selesai program latihan jalan dilakukan pemeriksaan kapasitas aerobik dengan uji jalan 6 menit dan pemeriksaan echokardiografi untuk menentukan fraksi ejeksi ventrikel kiri.
Hasil: Didapatkan peningkatan fraksi ejeksi ventrikel kiri yang signifikan (p<0,001), dengan rerata sebelum diberikan latihan jalan 61,49 + 11,94 % dan setelah diberikan latihan jalan mengalami kenaikan menjadi sebesar 65,85 + 8,68 %. Kapasitas aerobik yang dinilai dengan uji jalan 6 menit juga memberikan hasil yang bermakna secara statistik, sebelum diberikan latihan jalan memiliki rerata 16,05 + 3,01 mL/kgBB/menit dan setelah diberikan latihan rerata kapasitas aerobik mengalami kenaikan menjadi sebesar 19,71 + 2,83 mL/kgBB/menit.
Kesimpulan: Pemberian latihan jalan dalam program rehabilitasi jantung fase II pada pasien pasca sindroma koroner akut setelah intervensi koroner perkutan dapat meningkatkan fraksi ejeksi ventrikel kiri dan kapasitas aerobik.

Objectives: To examine the effect of walking exercise on left ventricular ejection fraction (LVEF) and aerobic capacity in post acute coronary syndrome patient after percutaneus coronary intervention.
Methods: This study is an interventional study with one group pre and post design on 22 subjects post acute coronary syndrome patient after percutaneus coronary intervention in phase II cardiac rehabilitation program. Subjects were given walking exercise programme with submaximal intensity 3 times a week, for 8 weeks with increased distance every attendance. Aerobic capacity were measured with 6 Minute Walking Test, Ejection Fraction were measured with Echocardiography, both were done before and after the walking exercise program.
Results: There were significant improvement in left ventricular ejection fraction (p<0,001), mean LVEF before exercise was 61,49 + 11,94 % and after exercise was 65,85 + 8,68 %. Aerobic capacity also show a significant improvement (p<0,001), with mean aerobic capacity before exercise was 16,05 + 3,01 mL/kgbodyweight/minutes and mean after exercise was 19,71 + 2,83 mL/ kgbodyweight/minutes.
Conclusion: Walking exercise in phase II cardiac rehabilitation program in in post acute coronary syndrome patient after percutaneus coronary intervention can improve the left ventricular ejection fraction and aerobic capacity.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Gupita Nareswari
"[ABSTRAK
Latar belakang : Penyebab kematian nomor tiga di Indonesia adalah Penyakit Jantung Koroner (PJK). PJK dapat dievaluasi dengan menilai skor Coronary Artery Calcium (CAC) menggunakan modalitas radiologi CT cardiac. Permasalahan saat ini adalah modalitas CT cardiac tidak tersedia di semua institusi kesehatan, sehingga dibutuhkan modalitas lain yang berguna untuk skrining skor CAC menggantikan modalitas CT cardiac. Dari 4 modalitas yang dapat mendeteksi skor CAC,pemeriksaan USG Doppler arteri karotis komunis merupakan modalitas terpilih untuk melakukan skrining.
Tujuan : Menilai apakah terdapat korelasi antara skor CAC dengan nilai CIMT dan RI arteri karotis komunis menggunakan modalitas USG Doppler arteri karotis komunis.
Metode : Penelitian cross sectional ini menggunakan data primer dari pasien yang menjalani pemeriksaan CT cardiac dengan temuan skor CAC. Subjek penelitian yang masuk ke dalam kriteria penerimaan kemudian dilakukan pemeriksaan USG Doppler arteri karotis komunis bilateral dan dilakukan pengukuran terhadap nilai CIMT dan nilai RI.
Hasil : Jumlah subjek penelitian adalah 27 orang, dengan hasil terdapat korelasi positif bermakna dengan nilai korelasi sedang antara skor CAC dan nilai CIMT maksimum dengan persamaan : skor CAC = -85.51 + 199.82 x nilai CIMT maksimum. Terdapat korelasi positif bermakna dengan nilai korelasi sedang antara skor CAC dan nilai RI arteri karotis komunis dengan persamaan : skor CAC = -503.53 + 849.00 x nilai RI.
Kesimpulan : Modalitas USG Doppler arteri karotis komunis pengukuran nilai CIMT dan nilai RI dapat digunakan sebagai modalitas skrining untuk memperkirakan skor CAC pada pasien.

ABSTRACT
Background : Coronary artery disease (CAD) known as the third cause of morbidity in Indonesia. CAD can be evaluated using CAC scoring from CT cardiac. Nowadays the issue related to its availability, not all health institution has this modality. We need other modality imaging that can replace CT cardiac for screening CAC scoring. From 4 modalities imaging that can evaluated CAC scoring, common carotid artery Doppler ultrasonography is the modality of choice for screening.
Purpose : To evaluate correlation value between CAC scoring and carotid intima media thickness (CIMT) and resistive index common carotid artery using Doppler ultrasonography.
Method : Cross sectional research using primary data CAC scoring from CT cardiac. All subject that met research?s criteria will have bilateral common carotid artery Doppler ultrasonography measurement of CIMT and common carotid artery resistive index value.
Result : Total subject is 27 people. There is a positive correlation with medium correlation value between CAC scoring and maximum CIMT using this approach : CAC scoring = -85.51 + 199.82 x maximum CIMT value. There is also a positive correlation with medium correlation value between CAC scoring and common carotid artery resistive index value using this approach : CAC scoring = -503.53 + 849.00 x resistive index value.
Conclusion : Common carotid artery Doppler ultrasonography measurement of CIMT and common carotid artery resistive index value is a promising screening modality to predict patient?s CAC scoring., Background : Coronary artery disease (CAD) known as the third cause of morbidity in Indonesia. CAD can be evaluated using CAC scoring from CT cardiac. Nowadays the issue related to its availability, not all health institution has this modality. We need other modality imaging that can replace CT cardiac for screening CAC scoring. From 4 modalities imaging that can evaluated CAC scoring, common carotid artery Doppler ultrasonography is the modality of choice for screening.
Purpose : To evaluate correlation value between CAC scoring and carotid intima media thickness (CIMT) and resistive index common carotid artery using Doppler ultrasonography.
Method : Cross sectional research using primary data CAC scoring from CT cardiac. All subject that met research’s criteria will have bilateral common carotid artery Doppler ultrasonography measurement of CIMT and common carotid artery resistive index value.
Result : Total subject is 27 people. There is a positive correlation with medium correlation value between CAC scoring and maximum CIMT using this approach : CAC scoring = -85.51 + 199.82 x maximum CIMT value. There is also a positive correlation with medium correlation value between CAC scoring and common carotid artery resistive index value using this approach : CAC scoring = -503.53 + 849.00 x resistive index value.
Conclusion : Common carotid artery Doppler ultrasonography measurement of CIMT and common carotid artery resistive index value is a promising screening modality to predict patient’s CAC scoring.]"
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Selvi Belina
"Perawat spesialis kardiovaskuler berperan dalam praktik keperawatan berupa pemberi asuhan keperawatan tingkat lanjut, melakukan pembuktian ilmiah keperawatan dan agen pembaharu. Asuhan keperawatan dilakukan pada kasus pasien post operasi bedah jantung MVR (Mitral Valve Replacement) dan 30 pasien gangguan sistem kardiovaskuler dengan pendekatan model konservasi Levine. Model konservasi Levine efektif digunakan pada pasien dengan gangguan sistem kardiovaskuler. Evidence based nursing dilakukan dengan menerapkan edukasi berdasarkan kebutuhan pasien Acute Coronary Syndrome (ACS) untuk menurunkan kecemasan dengan hasil yang signifikan (p value 0,000). Proyek inovasi menerapkan format handover dengan metode SBAR (Situation, Background, Assessment, Recommendation).

Cardiovascular specialist nurses play a role in nursing practice in the form of advanced nursing care providers, scientific proof of nursing and change agents. Nursing care is performed in the case of postoperative heart surgery patients MVR (Mitral Valve Replacement) and 30 patients with cardiovascular system disorder with Levine conservation model approach. Levine's conservation model is effective in patients with cardiovascular system disorders. Evidence-based nursing is done by applying education based on patient Acute Coronary Syndrome (ACS) needs of learning to decrease anxiety with significant results (p value 0,000). The innovation project applies the handover format using the SBAR (Situation, Background, Assessment, Recommendation) method."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2018
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nisa Yartin Thalasa
"Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan desain penulisan cross sectional yang bersifat deskriptif. Penulis melakukan penyebaran kuesioner pada kelompok pekerja yang berisiko terserang penyakit kardiovaskular. Kuesioner berisikan pertanyaan yang berhubungan dengan variabel yang diteliti, yaitu konsumsi makanan, kebiasaan merokok, aktivitas fisik dan stres.
Hasil yang menunjukkan presentase yang besar yaitu terdapat pada konsumsi lemak berlebih dan kurangnya aktivitas fisik. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa sebagian besar pekerja mengadopsi gaya hidup yang kurang sehat, yaitu dengan mengkonsumsi lemak berlebih dan kurangnya aktivitas fisik. Dengan demikian, kedua faktor risiko ini merupakan faktor yang paling dominan di kalangan pekerja yang berisiko di PT Komatsu Indonesia (Cakung, Jakarta) tahun 2012, yang dapat memberikan kontribusi yang besar terhadap timbulnya penyakit kardiovaskular.

This research is a quantitative research with a cross sectional descriptive design. Authors conducted questionnaire on the deployment of workers at risk for cardiovascular diseases. The questionnaire contained questions related to the studied variable, that is food intake, smoking habit, physical activity and stress.
Results show that a large percentage is found in excessive fat consumption and physical inactivity. From these result it can be concluded that the most workers adopt an unhealthy lifestyle by excessive fat consumption and physical inactivity. Thus, both risk factors is the most dominant factor in among the risk workers at PT Komatsu Indonesia (Cakung, Jakarta) in 2012, which can contribute greatly to the incidence of cardiovascular diseases.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ratna Sari Dewi
"Latar Belakang : Rasio netrofil-limfosit (NLR) sudah banyak diteliti memiliki hubungan yang erat dengan luaran penyakit kardiovaskular. Hal ini berhubungan dengan proses inflamasi yang dapat menyebabkan perubahan struktural dan fungsi dari jantung yang dapat dinilai dengan salah satunya fraksi ejeksi (EF). Pasien IMA-EST yang mendapatkan IKPP memiliki resiko untuk mengalami perubahan EF yang berhubungan dengan NLR saat admisi.
Tujuan : Mengetahui hubungan antara NLR rendah dengan peningkatan fraksi ejeksi (EF) ventrikel kiri pada pasien IMA-EST yang mendapatkan IKPP.
Metode : Desain penelitian ini adalah kohort retrospektif dan data dilaporkan dalam bentuk deskriptif dan analitik korelasi. Dilakukan analisa hubungan NLR admisi pasien STEMI yang mendapatkan IKPP dengan EF ≤50% yang di ambil dengan ekokardiografi selama perawatan, akan kemudian dilakukan ekokardiografi kembali pada bulan ke-3.
Hasil : Total sampel penelitian adalah 58 subjek dengan 91,4% merupakan laki-laki. Rerata nilai EF I 42% dan EF ke-2 45,9%. Pasien dibagi menjadi 2 kelompok dengan NLR <7 dan >7. Terdapat perbedaan proporsi antara kedua kelompok yang ditunjukan dengan nilai p sebesar 0,05. Subjek yang mempunyai kadar NLR >7 lebih beresiko sebesar 4,30x untuk tidak mengalami perbaikan. Faktor yang paling dominan yang mempengaruhi perbaikan EF pada penelitian ini adalah NLR <7 dengan OR sebesar 6,56 (1,31-32,84) setelah dikontrol oleh variable lekosit dan multivesel diseases.
Kesimpulan : Terdapat hubungan antara NLR dengan perbaikan EF ventrikel kiri pada Pasien IMA-EST yang mendapatkan IKPP

Background : The neutrophil-lymphocyte ratio (NLR) has been widely studied to have a close relationship with cardiovascular disease outcomes. This is related to the inflammatory process that can cause structural and functional changes of the heart which can be assessed by ejection fraction (EF). STEMI patients who receive Primary PCI are at risk for experiencing changes in EF related to NLR at admission.
Objective: To determine the relationship between low NLR and increased left ventricular ejection fraction (EF) in STEMI patients who receive primary PCI.
Methods: The design of this study was a retrospective cohort and the data were reported in descriptive and analytic form. An analysis of the relationship between NLR admissions for STEMI patients who received primary PCI with an EF 50% or below were carried out by echocardiography during treatment, then echocardiography was performed again in the 3rd month.
Results: The total sample of the study ware 58 subjects with 91.4% of males. The mean score for EF I was 42% and EF 2 was 45.9%. Patients were divided into 2 groups with NLR <7 and >7. There is a difference in the proportion between the two groups as indicated by a p-value of 0.05. Subjects who have NLR levels > 7 are 4,30x more at risk for not experiencing improvement. The most dominant factor influencing the improvement of EF in this study was NLR <7 with an OR of 6.56 (1.31-32.84) after being controlled by leukocyte and multivesel diseases variables.
Conclusion: There is a relationship between NLR and left ventricular EF improvement in IMA-EST patients who received PCI
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sarah Rafika Nursyirwan
"Latar belakang Kardiotoksisitas subklinis merupakan kondisi yang sering terjadi pada anak dengan keganasan yang mendapat kemoterapi, tetapi belum dapat terdeteksi menggunakan pemeriksaan ekokardiografi konvensional. Pemeriksaan global longitudinal strain menggunakan ekokardiografi speckle tracking dilaporkan dapat mendeteksi disfungsi ventrikel kiri lebih awal dibandingkan ekokardiografi konvensional. Namun, belum banyak penelitian terkait pemeriksaan kuantitatif fungsi jantung dengan ekokardiografi speckle tracking pada anak dengan keganasan. Studi ini diharapkan dapat membantu deteksi dini gangguan fungsi jantung. Metode Penelitian ini merupakan studi potong lintang di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta terhadap 49 subyek anak berusia 6 bulan sampai 17 tahun 10 bulan pada September-November 2022. Subyek penelitian adalah anak yang baru terdiagnosis keganasan, tidak memiliki masalah jantung sebelumnya, dan mendapatkan kemoterapi kemudian dievaluasi pemeriksaan kuantitatif fungsi jantung dengan pemeriksaan kuantitatif ekokardiografi (konvensional, Doppler jaringan, speckle tracking) sebelum dan sesudah mendapat kemoterapi 3 bulan. Pasien yang mengalami reduksi relatif GLS >15% dilakukan pemeriksaan lanjutan berupa biomarker jantung troponin I. Hasil ekokardiografi speckle tracking dapat dipertimbangkan untuk deteksi disfungsi sistolik ventrikel kiri lebih dini dengan sensitivitas 100% (IK 95% 82,35-100) dan spesifisitas 60% (IK 95% 40,60-77,34). Subyek yang mengalami kardiotoksisitas subklinis didapatkan sebanyak 63,3% ditandai dengan reduksi relatif GLS>15% setelah kemoterapi 3 bulan. Didapatkan penurunan bermakna nilai LPSS ventrikel kiri segmen mid dan segmen apikal serta GLS dari median -18,4 (RIK -17,3 sd. -19,6) % sebelum kemoterapi menjadi -15,3 (RIK -13,65 sd. -17,85) % (p<0,0001) sesudah kemoterapi 3 bulan dengan median dosis kumulatif antrasiklin 150 (RIK 120-300) mg/m2. Reduksi relatif GLS>15% ini ditemukan di saat yang bersamaan belum ditemukan penurunan EF/FS sampai di bawah batas normal. Tidak terbukti usia, jenis kelamin, status nutrisi, dan regimen kemoterapi memengaruhi kardiotoksisitas subklinis pada pasien anak dengan keganasan yang mendapat kemoterapi selama 3 bulan pada penelitian ini. Kesimpulan Pemeriksaan ekokardiografi speckle tracking dapat dipertimbangkan untuk dilakukan dalam mendeteksi kardiotoksisitas subklinis. Pemeriksaan ini memiliki sensitivitas 100% (IK 95% 82,35-100) dan spesifisitas 60% (IK 95% 40,60-77,34).

Background Subclinical cardiotoxicity is a condition that often occurs in children with malignancy who receive chemotherapy, but it has not been frequently detected using conventional echocardiography. Global longitudinal strain examination using speckle tracking echocardiography is reported to be able to identify left ventricular dysfunction earlier than conventional echocardiography. However, there are not many studies related to quantitative examination of cardiac function by speckle tracking echocardiography in children with malignancy. This study is expected to help early detection of impaired heart function. Methods This research is a cross sectional study at RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta on 49 child subjects aged 6 months to 17 years 10 months in September-November 2022. The research subjects were children who had just been diagnosed with malignancy, had no previous heart problems, and received chemotherapy. Then they were evaluated by quantitative echocardiography (conventional, tissue Doppler, speckle tracking) before and after 3 months of chemotherapy. Patients who experienced a relative reduction of GLS > 15% underwent further examination of troponin I.Results Speckle tracking echocardiography can be considered for early detection of left ventricular systolic dysfunction with 100% sensitivity (95% CI 82.35-100) and 60% specificity (95% CI 40.60-77.34). Children with subclinical cardiotoxicity were found to be 63.3% characterized by a relative reduction in GLS>15% after 3 months of chemotherapy, with a significant decrease in mid and apical segment left ventricular LPSS values and GLS from a median -18.4 (IQR -17.3 sd. -19.6) % before chemotherapy to -15.3 (IQR -13.65 sd. -17.85) % (p<0.0001) after 3 months of chemotherapy with a median cumulative dose of anthracycline 150 (IQR 120-300) mg/m2. This relative reduction of GLS> 15% was found at the same time that there was no decrease in EF/FS below normal limits. There was no evidence that age, gender, nutritional status, and chemotherapy regimen had an effect on subclinical cardiotoxicity in pediatric patients with malignancy who received chemotherapy for 3 months in this study. Conclusion Speckle tracking echocardiography can be considered for detecting subclinical cardiotoxicity. This examination has a sensitivity of 100% (95% CI 82.35-100) and a specificity of 60% (95% CI 40.60-77.34)."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>