Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 176728 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Marie Antoinette Cherie Winokan
"ABSTRAK
Tujuan penelitian adalah diketahuinya kadar seng serum pada pasien DM tipe 2
dan hubungannya dengan asupan seng, protein hewani, fitat, dan serat. Penelitian
ini merupakan studi potong Iintang pada pasn DM tipe 2 usia 40-64 tahun yang
berobat jaian di Poliklinik Metabolik Enclokrin Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI/RSCM pada bulan Mei sampai Juni 2009. Sebanyak 68 pasien DM tipe 2
menyatakan kesediaannya mengikuti penelitian ini dan di akhir penelitian terdapat
58 subjek (85,29%) yang mengikuti penelitian ini dengan lengkap. Data diperoieh
dari wawancara, pengukuran antropometri, evaluasi asupan makanan
menggunakan rntode jizod recaff 2 x 24 jam, food record tiga hari, dan FFQ
semikuantitatifl Selain ilu juga dilakukan pemeriksaan kadar Seng serum, kadar
glukosa darah puasa, dan kadar giukosa darah dua jam setelah makan. Nilai
median asupan seng dari food record didapatkan sebesar 5,95 mg (4,92 - 7,l3
mg) pada laki-Iaki dan pada perempuan sebesar 5,|6 mg (4,54 »- 6,03 mg), hanya
3,-45% subjek yang mempunyai asupan seng yang cukup menurut AKG. Sebanyak
8l,03% subjek memiliki proporsi asupan protein hewani yang lebih rendah
daripda rekomendasi dan 93,l0% subjek memiliki tingkat estimasi tingkat
absorpsi Seng yang rendah, serta asupan sera! yang cukup. Sebagian besar (77,6%)
subjek penelitian termasuk kategori hiperglikemik dan sebanyak l2,07% subjek
penelitian memiliki kadar seng serum rendah, yaitu 3,45% pada laki-laki dan
8,62% pada perempuan. Didapatkan korelasi lemah bemnakna (r = 0,226, p =
04344) antara ltadar seng serum dengan asupan protein hewani, dan persentase
asupan protein hewani memiliki korelasi derajat cukup (r=0,375) dengan kadar
Seng serum (p=0,0U2). Tidal-t didapatkan hubungan bermakna antara kadar song
serum dengan asupan seng, protein hewani, serat, dan estimasi tingkat absorpsi
seng."
2009
T32879
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Muningtya Philiyanisa Alam
"Proses inflamasi pada kanker kepala dan leher menyebabkan peningkatan sitokin proinflamasi dan sintesis protein fase akut c-reactive protein, CRP yang kemudian menyebabkan perubahan metabolisme dan anoreksia pada penderitanya. Seng merupakan zat gizi yang memiliki peran penting dalam menekan inflamasi, namun dilaporkan sekitar 65 pasien kanker kepala dan leher mengalami kekurangan seng. Penelitian potong lintang ini bertujuan mengetahui korelasi antara asupan seng dan kadar seng serum dengan kadar c-reactive protein CRP sebagai upaya menekan inflamasi sehingga dapat mengurangi morbiditas dan mortalitas pasien kanker kepala leher. Dari 49 subyek yang dikumpulkan secara konsekutif di Poliklinik Onkologi RS Kanker Dharmais, 67,3 adalah laki-laki, rentang usia subyek 46 ndash;65 tahun. Frekuensi terbanyak 65,3 adalah kanker nasofaring dan 69,4 berada pada stadium IV. Seratus persen subyek memiliki asupan seng dibawah nilai angka kecukupan gizi. Rerata kadar seng serum subyek adalah 9,83 2,62 mol/L. Sebanyak 51 subyek memiliki kadar CRP yang meningkat. Terdapat korelasi negatif yang lemah antara kadar seng dengan kadar CRP subyek r =-0,292, p =0,042, namun tidak terdapat korelasi antara asupan seng dengan kadar CRP subyek p =0,86.

The inflammatory process of head and neck cancer leads to increase the proinflammatory cytokines and the synthesis of c reactive protein CRP , which then causes metabolic alteration and anorexia in the patients. Zinc is one of nutrient that has an important role in suppressing inflammation. It is reported that about 65 of head and neck cancer patients have zinc deficiency. The aim of this cross sectional study is to determine the correlation between zinc intake and serum zinc levels with CRP level as an effort to reduce inflammation to reduce the morbidity and mortality of head and neck cancer patients. Subjects were collected by consecutive sampling in the Oncology Polyclinic Dharmais Cancer Hospital, from 49 subjects 67,3 were men, most subjects were in the age range between 46 ndash 65 years. The highest frequency 65,3 is nasopharyngeal cancer and 69,4 are already in stage IV. All subjects in this study have a zinc intake below the recommended dietary allowance RDA in Indonesia. The mean serum zinc level of the subjects was 9.83 2.62 mol L. Most subjects have elevated CRP levels. There was a weak significant negative correlation between zinc concentration and CRP levels of subjects r 0.292, p 0.042, but there was no correlation between zinc intake and CRP levels of subjects p 0.86. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irene
"Tujuan penelitian adalah diketahuinya kadar seng serum pada pasien kanker kepala dan leher serta hubungannya dengan status radiasi. Penelitian ini merupakan studi potong lintang pada pasien kanker kepala dan leher stadium lokoregional lanjut usia 19-59 tahun yang berobat jalan di Poliklinik Umum Radioterapi RSUPNCM pada bulan Juli sampai Oktober 2011. Sebanyak 36 subyek mengikuti penelitian ini dengan lengkap. Data diperoleh dari wawancara, pengukuran antropometri, penilaian asupan makanan menggunakan metode food record 2x24 jam dan pemeriksaan kadar seng serum. Nilai rerata asupan seng dari food record sebesar 7,11 ± 3,12 mg/hari. Sebanyak 100% subyek dalam kelompok belum radiasi termasuk dalam kelompok asupan seng kurang, sementara 35% subyek dalam kelompok sedang radiasi mempunyai asupan seng yang cukup. Terdapat perbedaan bermakna antara asupan seng pada kelompok belum radiasi dengan kelompok sedang radiasi (5,95 ± 2,57mg vs 8,04 ± 3,26mg; p=0,044). Sebanyak 52,8% subyek memiliki rasio fitat terhadap seng yang tinggi dan tidak ditemukan perbedaan bermakna antara kelompok belum radiasi dengan kelompok sedang radiasi (p=l,OO). Sebanyak 88.89% subyek penelitian termasuk dalam kelompok dengan kadar seng serum rendah. Tidak didapatkan hubungan yang bermakna antara asupan seng maupun rasio fitat terhadap seng dengan kadar seng serum (p=0,873 dan p=0,243). Tidak didapatkan hubungan yang bermakna antara status radiasi dengan kadar seng serum (p=0,873).

The study aimed to assess serum zinc levels in head and neck cancer patients and its association with radiation status. This cross-sectional study involved 19-59 years locoregional advanced disease head and neck cancer outpatients in General Clinic of Radiotherapy Department, Cipto Mangunkusumo Hospital. Thirty six subjects · completed the study. Data were obtained from interviews, anthropometric measurements, and dietary assessments using 2x24 hours food record, and serum zinc measurements. Mean figure of zinc intake obtained from food record was 7.11 ± 3.12 mg/hari. All subjects in irradiated group had low zinc intake, while 35% subjects in radiated group had sufficient zinc intake. Significant difference on zinc intake was obtained between irradiated and radiated groups (5.95 ± 2.57mg vs 8.04 ± 3.26mg, p=0.044). High phytate zinc ratio was found in 52.8% subjects and there was no significant difforence on phytate zinc ratio between irradiated and radiated groups (p=I.OO). Majority of subjects was categorized as having low serum zinc levels (88.89%). There was no significant association between zinc intake and phytate zinc ratio toward serum zinc levels (p=0.873 dan p=0.243). No significant association was also seen between radiation status and serum zinc levels (p=0.873)."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
T58406
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nesyana Nurmadilla
"Salah satu faktor yang menentukan BB lahir bayi adalah asupan nutrisi ibu yang adekuat. Beberapa nutrien diketahui memiliki efek terhadap BB lahir bayi di antaranya adalah protein dan seng. Desain penelitian ini adalah cross-sectional dan dilakukan di 10 puskesmas kecamatan di Jakarta Timur sejak Februari hingga April 2015 dengan subjek ibu hamil berusia 19–44 tahun dengan usia kehamilan 32–37 minggu.
Data asupan protein didapatkan dengan metode 24-hour recall, sedangkan asupan seng dengan metode Semi Quantitative Food Frequency Questionnaire dan 24-hour recall. Pengambilan darah dilakukan sebelum ibu melahirkan dan diperiksa dengan metode Atomic Absorption Spectrophotometry. Berat badan lahir bayi diukur segera setelah bayi lahir. Sebanyak 116 subjek mengikuti penelitian hingga akhir.
Analisis statistik menunjukkan tidak terdapat korelasi antara asupan protein dengan kadar seng serum (r = 0,042, p = 0,653), tidak terdapat korelasi antara asupan seng dengan kadar seng serum (r = 0,155, p = 0,096), tidak terdapat korelasi antara asupan seng dengan BB lahir bayi (r = - 0,09, p = 0,303), dan tidak terdapat korelasi antara kadar seng serum dengan BB lahir bayi (r = -0,116, p = 0,215). Penelitian ini belum berhasil menemukan hubungan antara asupan protein, seng, dan kadar seng serum dengan BB lahir bayi.

One of the factors affecting birth weight is mother’s adequate nutrient intake. Several nutrients are known to its effect to birth weight, which among them are protein and zinc. A cross-sectional study was conducted in 10 district public health centres in East Jakarta since Februari until April 2015. Subjects of the study were pregnant mothers aged 19–44 years old whose gestational age between 32–37 weeks.
Protein intake was computed based on 24-hour recall method, while zinc intake was computed based on Semi Quantitative Food Frequency Questionnaire and 24-hour recall method. Blood specimens were collected before giving birth and being assesed by Atomic Absorption Spectrophotometry method. Birth weight was measured soon after the baby was born. One hundred and sixteen subjects followed the study until the end.
Statistical analysis showed there were no correlation between protein intake and maternal zinc serum (r = 0,042, p = 0,653), no correlation between zinc intake and maternal zinc serum (r = 0,155, p = 0,096), no correlation between zinc intake and birth weight (r = -0,09, p = 0,303), and no correlation between maternal zinc serum and birth weight (r = - 0,116, p = 0,215). This study has not been able to prove any relationship between maternal intake of protein, zinc, zinc serum and birth weight.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T58684
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eka Maya Sari
"ABSTRAK

Latar Belakang: Kehamilan merupakan suatu proses yang membutuhkan asupan seng yang adekuat guna menunjang kesehatan ibu dan janin. Defisiensi seng akibat kurangnya asupan dan bioavailabilitas seng dalam diet masih merupakan masalah di negara berkembang termasuk Indonesia.

Tujuan: Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat kadar seng serum dan hubungannya dengan asupan makanan dalam upaya perbaikan asupan seng pada kehamilan trimester tiga.

Desain: Penelitian dilakukan terhadap 51 subjek ibu hamil trimester tiga dengan menggunakan desain studi potong lintang dan consecutive sampling.

Hasil: Dari penelitian diperoleh hasil rerata kadar seng serum pada subjek penelitian adalah 39,32±6,28 µg/dl dengan frekuensi seng serum rendah dari normal sebesar 92,16%. Semua subjek penelitian tidak memenuhi asupan seng, serat, energi dan protein sesuai AKG. Asupan besi subjek penelitian melebihi AKG pada 96,1% subjek dan semua subjek memiliki rasio molar fitat lebih dari 15. Terdapat korelasi lemah yang tidak bermakna secara statistik antara asupan seng (r=0.068), besi (r=0,09), fitat (r=0,081), serat (r=0,026), energi (r=0,073) dan protein (r=0,033) dengan seng serum subjek penelitian.

Kesimpulan: Kesimpulan dari penelitian ini adalah tidak terdapat hubungan antara asupan seng, besi, fitat, serat, energi dan protein dengan seng serum subjek penelitian. Dibutuhkan edukasi tentang bahan makanan sumber yang baik untuk memperbaiki asupan seng, besi, fitat, serat, energi dan protein pada ibu hamil.


ABSTRAK

Background: Pregnancy is a process that requires an adequate zinc intake to support maternal and perinatal health. However, zinc deficiency due to inadequate intake and zinc bioavailability in diet still remain a problem in developing countries, including Indonesia.

Objective: The aim of this study is to investigate serum zinc levels and its relation to food intake in order to improve zinc intake in late pregnancy.

Design: The method used in this study was cross sectional, consecutive sampling on 51 late pregnancy subjects.

Results: The study results mean serum zinc level was 39.32±6.28 µg/dl with prevalence of serum zinc below normal 92.16%. All of the subjects did not meet the RDI of zinc, fiber, energy and protein. As 96.1% subjects meet the RDI of iron and all subjects had phytate-zinc molar ratio more than 15. There was a weak correlation that not statistically significant between the intake of zinc (r=0.068), iron (r=0.09), phytate (r=0.081), dietary fiber (r=0.026), energy (r=0.073) and protein (r=0.033) with serum zinc.

Conclusion:This study conclude that there was no association between intake of zinc, iron, phytate, dietary fiber, energy and protein with serum zinc level in late pregnancy. Pregnant women need a nutritional education about good food source to improve zinc, iron, dietary fiber, energy, and protein intakes.

"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Okta Festi Amanda
"Penyakit ginjal kronik (PGK) merupakan salah satu komplikasi serius yang sering terjadi pada pasien diabetes melitus tipe 2. Dibutuhkan sebuah penanda yang dapat mendeteksi PGK sejak awal untuk mencegah progresifitasnya. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan antara kadar malondialdehida (MDA) serum dengan estimasi laju filtrasi glomerulus (eLFG). MDA merupakan penanda stres oksidatif yang diprediksi berperan dalam tahap awal kerusakan ginjal.
Desain penelitian ini adalah potong lintang. Populasi yang digunakan adalah pasien DM tipe 2 rawat jalan di Puskesmas Pasar Minggu. Sampel yang dianalisis sejumlah 50 orang (14 laki-laki, dan 36 perempuan, rentang usia 39-74 tahun), diambil dengan tenik total sampling. Kadar MDA diukur secara spektrofotometri berdasarkan reaksi antara MDA dengan asam tiobarbiturat, dengan nilai koefisien korelasi (r) dari metode tersebut 0,9996 dan koefisien variasi (%KV) intra dan antar pengukuran berkisar 2,75-13,33%.
Nilai eLFG diukur berdasarkan metode kinetik Jaffe, dengan koefisien korelasi (r) 0,9994 dan %KV intra dan antar pengukuran berkisar 2,91 – 9,52%. Kadar MDA pasien DM tipe 2 diperoleh 0,82 ± 0,26 nmol/ml, dan nilai eLFG diperoleh 78,30 ± 26,77 (Cockroft-Gault); 76,08 ± 24,17 (MDRD study); dan 79,25 ± 21,04 (CKD-EPI). Terdapat hubungan yang bermakna antara kadar MDA dengan nilai eLFG berdasarkan persamaan Cockroft-Gault (p =0,039, r = -0,293), tetapi tidak terlihat hubungan yang bermakna dengan nilai eLFG berdasarkan persamaan MDRD study dan CKD-EPI (p = 0,051 dan p = 0,053; r = -0,277 dan r = -0,275).

Chronic kidney disease (CKD) is one of serious complication that most common in type 2 diabetes mellitus patients. It is important to find a marker that can detect it earlier to prevent its progression. The aim of this study was to analyze the correlation between malondialdehyde (MDA) concentration and estimated glomerular filtration rate (eGFR). MDA is an oxidative stress marker which was predicted allies in early stage of kidney damage.
The design of this study is cross sectional. The population was type 2 DM outpatients at Pasar Minggu Local Government Clinic. Total sampling method was used in sample selection. Samples being analyzed were as much as 50 patients (14 males, 36 females, age ranges : 39-74 years). MDA was measured by spectrophotometric based on its reaction with thiobarbituric acid. The coefficient correlation (r) of this method was 0.9996 and the coefficient of variation (%CV) within and between run were 2.75 - 13.33%.
eGFR was measured based on kinetic Jaffe method. Its coefficient correlation (r) was 0.9994 and %CV within and between run were 2.91-9.52%. MDA concentration in type 2 DM patients in this research was 0.82 ± 0.26 nmol/mL and the eGFR values were 78.30 ± 26.77 (Cockroft-Gault); 76.08 ± 24.17 (MDRD study); and 79.25 ± 21.04 (CKD-EPI). There was a significant correlation between MDA concentration and eGFR based on Cockroft-Gault formula (p =0.039, r = -0.293), but there were no significant correlation between MDA concentration and eGFR based on MDRD study and CKD-EPI (p = 0.051 and p = 0.053; r = -0.277 and r = -0.275).
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2013
S46473
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Alex Saputri
"Malondialdehida merupakan produk peroksidasi lipid yang diduga bertanggung jawab sebagai penyebab terjadinya nefropati diabetik. Penelitian ini menilai hubungan antara kadar malondialdehida serum dengan UACR dan laju filtrasi glomerulus sebagai parameter fungsi ginjal. Penelitian ini menggunakan 54 pasien diabetes melitus tipe 2 sebagai sampel (3 laki-laki dan 51 perempuan, rentang usia 42-74 tahun).
Kadar malondialdehida serum diukur secara spektrofotometri menggunakan asam tiobarbiturat. Laju filtrasi glomerulus diperoleh dari nilai kreatinin serum. Kreatinin urin diukur dengan metode Jaffe dan albumin urin diukur dengan metode bromkresol hijau. Kadar malondialdehida pasien diabetes diperoleh sebesar 2,46 ± 2,58 nmol/mL; nilai UACR sebesar 42,32 ± 76,67; dan nilai laju filtrasi glomerulus sebesar 104,75 ± 46,16 (Cockroft-Gault); 89,52 ± 25,86 (MDRD study); dan 99,49 ± 46,11 (CKD-EPI).
Hasil analisis hubungan antara malondialdehida dengan Cockroft-Gault (p = 0,491, r = -0,096); MDRD study (p = 0,618, r = -0,069); CKD-EPI (p = 0,611, r = -0,071); UACR (p = 0,583, r = 0,076). Ditemukan hubungan yang bermakna antara nilai UACR dengan laju filtrasi glomerulus Cockroft-Gault (p = 0,019, r = -0,318); MDRD study (p = 0,007, r = -0,361); CKD-EPI (p = 0,010, r = -0,348). Tidak ditemukan hubungan yang bermakna antara malondialdehida dengan laju filtrasi glomerulus dan UACR.

Malondialdehyde is a product of lipid peroxidation that is suspected as a cause of diabetic nephropathy. This study assessed the relation between malondialdehyde level with UACR and glomerular filtration rate as renal function parameters. This study is using 54 patients type 2 diabetes mellitus as samples (3 men and 51 women, age range 42-74 years).
Malondialdehyde was measured by spectrophotometry using tiobarbiturat acid. Glomerular filtration rate was obtained from serum creatinine value. Urine creatinine was measured based on Jaffe method and urine albumin was measured with bromcressol green. Malondialdehyde level of diabetic patients was 2.46 ± 2.58 nmol/mL; UACR was 42.32 ± 76.67; and glomerular filtration rate were 104.75 ± 46.16 (Cockroft-Gault); 89.52 ± 25.86 (MDRD study); and 99.49 ± 46.11 (CKD-EPI).
The analysis result of the relationship between malondialdehyde and Cockroft-Gault (p = 0.491, r = -0.096); MDRD study (p = 0.618, r = -0.069); CKD-EPI (p = 0.611, r = -0.071); and UACR (p = 0.583, r = 0.076) . There were significant correlation between UACR and glomerular filtration rate Cockroft-Gault (p = 0.019, r = -0.318); MDRD study (p = 0.007, r = -0.361 ); CKD-EPI (p = 0.010, r = -0.348). There were no significant correlation between malondialdehyde level and glomerular filtration rate or UACR.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2014
S54999
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rishka Purniawati
"Saat hamil terjadi peningkatan kebutuhan berbagai mikronutrien salah satunya adalah seng. Asupan seng yang adekuat selama kehamilan berperan dalam kesehatan janin. Namun, defisiensi seng sebagai akibat dari asupan yang tidak adekuat atau bioavailabilitas seng yang rendah masih menjadi masalah bagi negara berkembang seperti Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana hubungan antara asupan seng dalam diet dengan kadar seng serum ibu hamil trimester satu dalam rangka menurunkan angka defisiensi seng di Indonesia. Penelitian ini menggunakan studi potong lintang dengan jumlah subjek penelitian adalah 62 ibu hamil trimester satu dipilih melalui simple random sampling.
Dari penelitian ini diperoleh nilai media asupan seng pada ibu hamil trimester satu adalah 2.26 (0.3-51.8) mg/hari. Sebanyak 90.3% subjek penelitian tidak memenuhi asupan seng sesuai rekomendasi AKG. Nilai median kadar seng serum ibu hamil trimester satu dalam penelitian ini adalah 61.29 (39.0-102.0) ug/dL.
Terdapat korelasi negatif lemah dan bermakna secara statistik antara kadar seng serum dan asupan seng dalam diet ibu hamil trimester satu (r = -0.266, p = 0.037). Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa kadar seng serum perlu dipertahankan dalam interval normal, antara lain dengan kecukupan asupannya dari makanan dan suplementasi, khususnya selama masa kehamilan

There is an increasing need in micronutrient including zinc as adequate zinc intake plays role in fetal health. Nevertheless, zinc deficiency as a result of insufficient intake or low bioavailability is a problem in developing countries including Indonesia. This research observe the association between zinc intake and the serum level of zinc in first trimester pregnancy with the goal to reduce zinc deficiency in Indonesia. There are 62 subjects of first trimester pregnant women and this study is done using cross-sectional design with simple random sampling.
It is found that the median of zinc intake in first trimester pregnant women is 2,26 (0,3-51,8) mg/day. This research found that 90,3% of subjects did not fulfill the recommended dietary allowances for zinc intake. The median serum level of zinc in first trimester pregnant women is 61,29 (39,0-102,0) ug/dL. There is weak inverse correlation that is significant statistically between zinc serum level and zinc intake in first trimester pregnant women (p = 0,037, r = -0,266). It is concluded that zinc serum level must be maintained in the normal interval, such as an adequate intake and supplementation, especially during pregnancy
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tarigan, Tri Juli Edi
"Latar belakang: Hipomagnesemia berhubungan dengan kejadian pre-diabetes, konversi ke diabetes tipe 2 dan juga komplikasi kronik diabetes, termasuk albuminuria. Hasil studi hubungan antara kadar magnesium dengan kejadian albuminuria pada diabetes melitus tipe 2 masih kontroversial. Untuk itu perlu dilakukan penelitian hubungan tersebut.
Metode: Potong lintang dengan consecutive sampling pada pasien DM tipe 2 yang sudah terdiagnosis nefropati diabetes. Dilakukan anamnesis faktor risiko, pemeriksaan fisik, kadar magnesium, albumine creatinine ratio dan A1C.
Hasil: Tiga puluh delapan subjek ikut dalam penelitian yang sebagian besar berusia lebih 50 tahun dan memiliki kontrol glikemik yang buruk (81,6%). Pada subjek penelitian yang memiliki kadar Mg <1,7 mg/dl 80% mengalami albuminuria, sementara subjek yang memiliki kadar Mg ≥ 1,7 mg/dl didapat 63,6% subjek penelitian yang mengalami albuminuria. Pada penelitian ini didapatkan koefisien korelasi sebesar 0,006 yang menunjukkan hubungan yang lemah antara kadar magnesium dalam darah dengan albuminuria.
Kesimpulan: Secara statistik tidak ditemukan korelasi antara kadar magnesium dengan albuminuria.

Background: Hypomagnesemia associated with occurance of prediabetes, convertion to type 2 diabetes and also chronic complication of diabetes, including albuminuria. Studies that look for correlation magnesium concentration with albuminuria in type 2 diabetes still controvensial that?s why we need to do this research.
Method: Cross sectional study done in type 2 diabetes who have been diagnosed with nephropathy. Correlation Pearson test used to prove correlation between magnesium level with albuminuria.
Result: Thirty eight subjects follow this study, majority of them age more than 50 years old, mostly having bad glycemic control (81,6%).There are 80 % subject with hypomagnesemia (Mg <1,7 mg/dl) suffered from albuminuria while subject with normomagnesia (Mg ≥ 1.7 mg/dl) only 63.6% suffered from albuminuria. This study result in no correlation between magnesium level in type 2 diabetes.
Conclusion: No correlation between serum magnesium concentration with albuminuria.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gracia Jovita Kartiko
"Latar Belakang: Diabetes melitus (DM) tipe 2 merupakan penyakit metabolik kronik progresif dengan sebagian besar populasi berada pada usia produktif. Di Indonesia, capaian kendali glikemik yang optimal hanya didapatkan pada 20-30% pasien. Hal ini meningkatkan risiko komplikasi muskuloskeletal seperti sarkopenia yang sudah mulai terjadi sejak usia 20 tahun. Vitamin D merupakan salah satu suplementasi nutrisi yang direkomendasikan dalam tata laksana sarkopenia.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara vitamin D dengan sarkopenia pada populasi DM tipe 2 usia dewasa nongeriatri.
Metode: Penelitian potong lintang ini melibatkan populasi DM tipe 2 berusia 18-59 tahun yang berobat di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta, Indonesia pada bulan Januari 2021 sampai dengan April 2022. Dilakukan pengukuran massa otot dengan bioimpedance analysis (BIA), kekuatan genggam tangan, kecepatan berjalan, antropometri, serta kadar HbA1c dan vitamin D serum. Titik potong vitamin D ditentukan berdasarkan kurva receiver-operating characteristic (ROC).
Hasil: Dari 99 subjek, 38,4% mengalami sarkopenia, yang terdiri dari 94,7% possible sarcopenia dan 5,3% true sarcopenia. Kadar vitamin D di bawah 32 ng/mL didapatkan pada 78,9% kelompok sarkopenia. Berdasarkan analisis multivariat, prevalensi sarkopenia pada populasi DM tipe 2 dengan defisiensi vitamin D didapatkan 1,94 kali lebih tinggi (p=0,043) dibandingkan dengan populasi DM tipe 2 tanpa defisiensi vitamin D, setelah dilakukan penyesuaian dengan usia, jenis kelamin, HbA1c, dan obesitas.
Kesimpulan: Terdapat hubungan bermakna antara kadar vitamin D dengan sarkopenia pada populasi DM tipe 2 usia dewasa nongeriatri, setelah penyesuaian dengan faktor usia, jenis kelamin, HbA1c, dan obesitas.

Type 2 diabetes mellitus (T2DM) is a chronic progressive metabolic disease with most of the population being at productive age. In Indonesia, optimal glycemic control is only achieved in 20-30% of patients which increases the risk of musculoskeletal complications such as sarcopenia. Sarcopenia has been known to develop since the age of 20. Vitamin D is one of the recommended nutritional supplementations in the management of sarcopenia.
Aim: We aimed to determine the association between serum vitamin D and sarcopenia in nongeriatric adults with T2DM.
Methods: This cross-sectional study involved 18-59 years old T2DM outpatients in Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta, Indonesia between January 2021 and April 2022. We performed muscle mass measurement using bioimpedance analysis (BIA), handgrip strength, gait speed, anthropometrics, as well as serum vitamin D and HbA1c levels. The cut-off Vitamin D level was determined using receiver-operating characteristic (ROC) curve.
Results: A total of 99 subjects were analyzed of which 38.4% had sarcopenia. The proportion of possible sarcopenia was 94.7% and true sarcopenia 5.3%. Vitamin D level below 32 ng/mL was found in 78.9% of the sarcopenia group. Based on multivariate analysis, the prevalence of sarcopenia in the T2DM population with vitamin D deficiency was found to be 1.94 times higher (p=0.043) compared to the T2DM population without vitamin D deficiency, after adjusting for age, sex, HbA1c, and obesity.
Conclusion: There is a significant relationship between vitamin D levels and sarcopenia in nongeriatric adults with T2DM, after adjusting for age, sex, HbA1c, and obesity.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>