Hasil Pencarian

Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 23016 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dini Widinarsih
"ABSTRAK
Penelitian ini dilakukan karena fenomena penggunaan peron oleh pedagang kaki lima (selanjutnya disingkat PKL) mencerminkan terabaikannya hak-hak atas fasilitas kota yang baik dari para pengguna jasa kereta rel listrik (selanjutnya disingkat KRL) Jabotabek kelas ekonomi. Mengapa hal tersebut masih saja dibiarkan terjadi oleh para pengguna jasa tersebut sebagai pihak yang berhak atas penggunaan peron sebagai teritori untuk alctivitas menunggu, naik, dan turun dari KRL Jabotabek kelas ekonomi
Penelitian ini mengkaji permasalahan trsebut dengan menggunakan konsep teritorialitas dan teori keseimbangan/P-0-X Heider melalui metode gabungan antara pendekatan kualitatif dan kuantitatif Instrumen yang digunakan untuk pengumpulan data adalah skala interaksi antara pengguna jasa KRL .Jabotabek kelas ekonomi dengan PKL dalam hal penggunaan peron stasiun pemberhentian (selanjutnya disingkat SP).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dibiarkannya terjadi
penggunaan peron SP sebagai tempat dagang para PKL berkaitan dengan dialaminya keadaan psikologis yang seimbang dalam kognisi kebanyakan pengguna jasa KRL Jabotabek kelas ekonomi yang menjadi subyek penelitian ini.
Keadaan seimbang yang terjadi itu mayoritas berupa kombinasi hubungan P-O-X dengan konfigurasi + - -, Yaitu kombinasi dimana hubungan P-O berupa hubungan sentimen positif hubungan O-X berupa hubungan unit negatif, dan hubungan P-X berupa hubungan sentimen negatif Artinya, kebanyakansubyek penelitian ini kadang-kadang menyukai/membutuhkan PKL di peron tapi menilai sebenarnya
PKL tidak berhak menggunakan peron sebagai tempat berdagang sehingga para subyek tersebut sebenamya keberatan bila keberadaan dan situasi kondisi peron ketika digunakan sebagai tempat berdagang sampai menganggu aktivitasnya menunggu, naik dan turun dari KRL.
Dengan keadaan psikologis yang seimbang tersebut maka kognisi para pengguna jasa KRL berada dalam kognisi yang konsisten, yang tidak menimbulkan tekanan/dorongan untuk mengubah struktur kognisi dalam hubungannya dengan PKL dan peron SP yang digunakan sebagai tempat berdagang PKL. Komponen hubungan unit dan sentimen pada kognisi Pengguna jasa KRL, berhubungan satu sama lain secara harmonis dan tidak ada tekanan untuk berubah.
Namun secara teoritis, kombinasi hubungan P-O-X dengan konfigurasi + - - meski menimbulkan keadaan seimbang bukanlah yang ideal- Kombinasi ideal yang menimbulkan keadaan konsisten dalam kognisi sehingga menghasilkan keadaan psikologis yang lebih menyenangkan adalah kombinasi hubungan P-0-X dengan konfigurasi + + +. Untuk mencapai hal itu maka ada upaya yang bisa dilakukan sebagai saran teoritik. Upaya yang bisa dilakukan antara lain adalah pengaturan dan penataan peron sena pemasangan tanda (prompt) agar peron dapat digunakan sebagaimana mestinya sehingga baik pengguna jasa KRL maupun PKL dapat berhubungan dengan lebih baik, tidak saling mengabaikan hak dan kewajiban."
Lengkap +
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
T38228
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amiarti Anissa
"Memori merupakan salah satu fungsi penting bagi individu, baik di dalam menjalin hubungan dengan lingkungannya maupun menjalankan aktivitasnya sehari-hari seperti bekerja ataupun menyelesaikan tanggung jawabnya. Menurut Santrock (2002) memori adalah kemampuan individu untuk menahan atau menyimpan sejumlah informasi di dalam pikirannya seiring dengan berjalannya walciu. Dampak dari terganggunya fungsi memori, diungkapkan oleh Lezak (1995) membuat individu menjadi tergantung pada orang lain, kemampuan untulc belajar terganggmg serta menurunkan kinerjanya. Selain itu juga akan membuatnya sulit menjalin hubungan ataupun membuat kontak sosial yang bermakna dengan lingkungannya. Gangguan memori dapat terjadi pada kasus-kasus lansia, stroke, cedera kepala., Serta yang mengalami kerusal-can fungsi pada bagian otak tertentu.
Memori dapat dibagi berdasarkan beberapa kriteria penggolongan. Diantaranya ada yang disebut dengan, short term memory (STM) dan long term memory (LTM), penggolongan ini berdasarkan durasi atau waktu. Selain itu berdasarkan proses terbentuknya, terbagi menjadi declarative dan procedural memory. Lalu berdasarkan isi (sifat) informasi atau peristiwa yang harus diingat. Misalnya memori yang berhubungan dengan pengalaman yang terjadi pada diri individu itu sendiri atau bersifat pribadi (episodic memory) dan semantic memory
berhubungan dengan memoxi mengenai pengetahuan umum individu, misalnya abjad dan peristiwa sejarah (Lezak, 1995). Fungsi memori, walaupun tidak seluruhnya, mengalami perkembangan dan perubahan seiring dengan bertambahnya usia.
Assessment terhadap fungsi memori merupakan bagian yang penting di dalam evaluasi klinis dan neutopsikologis, terutama pada orang dewasa. Hal ini disebabkan oleh banyak gangguan neuropsikiatri pada orang dewasa yang melibatkan gangguan fungsi kognitif, antara lain fungsi memori (Poon, dalam Kaufman 1990). Terkadang keluhan pasien mengenai kesulitan mengingat bersifat tidak reliabel atau berubah- ubah, maka diperlukan tes untuk membantu mengukur fungsi memori individu secara objektif(Gregory, 1987).
WMS merupakan salah satu tes memori yang paling banyak digunakan pada pemeriksaan fungsi memori individu, tes ini terdiri dari 7 subtes. Terlepas dari kelemahan-kelemahannya, tes ini terus dipertahankan karena sifatnya praktis dan sederhana. Fungsi memori yang diukur ialah declarative memory, working memory, recall, serta peran dari aspek-aspek lain yang turut mempengaruhi memori individu yaitu atensi dan learning. Di Indonesia telah dilakukan penelitian tentang WMS, namun jumlah sampelnya masih sangat terbatas dan tes ini belum pemah dibuat gambaran skomya pada populasi dewasa muda dan menengah dengan latar belakang
pendidikan SMU sederajat.
Untuk menjawab permasalahan penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan kuantitalif dengan metode analisa statistik deskriptif; yaitu membandingkan skor rata-rata setiap subtes pada dua kelompok usia. Kemudian dilihat apakah ada perbedaan yang signiiikan. Metode pengambilan sampel yang digunakan pulposive sampling, dengan jumlah total sampel sebanyak 60 orang.
Berdasarkan hasil analisa data, maka skor rata-rata populasi dewasa muda secara umum lebih tinggi dibandingkan populasi dewasa menengah. Pada kedua kelompok usia subtes yang mendapat nilai tertinggi ialah subtes orientasi, keterangan pribadi dan kini, serta belajar asosiasi-pasangan kata mudah. Sedangkan skor terendah adalah pada subtes memori logis. Ditemukan ada perbedaan yang signifikan antara kedua kelompok usia pada subtes : orientasi, memori logis, deret angka mundur, reproduksi visual, belajar asosiasi (skor total dan pasangan kata sulit).
Pada penelitian ini masih perlu adanya rentang usia yang lebih sempit lagi karena batasan dewasa muda dan menengah adalah rentang yang cukup luas. Pengambilan sampel juga sebaiknya tidak hanya difokuskan pada suatu institusi sehingga dapat diperoleh keterwakilan sampel."
Lengkap +
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
T37907
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Meliala, Adrianus Eliasta, 1966-
"Penelitian ini bermaksud mengetahui profil kognisi mengenai polisi dari sudut kanak-kanak yang terbagi dalam tiga tahapan perkembangan usia. Dengan mengetahui perbedaan dan perbandingan struktur kognisi tersebut terhadap sosok polisi dan peran polisi, dihipotesakan bahwa kognisi dari kelompok kanak-kanak dengantingkat usia yang semakin tinggi akan menampilkan struktur yang lebih lengkap dan kompleks tentang obyek polisi. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa gambaran struktur tersebut memang memperlihatkan pemerkayaan pada kelompok yang lebih tinggi.

The aim of this research is to investigate cognitive profile on police based on the view of children from three different developmental stages. It is hypothesized that the more older children are the more knowledgeable they are in relation to the police?s role and its typology and function. The result shows that the elder group of students indicate better knowledge and more understanding in terms of the police and what they normally do."
Lengkap +
Depok: Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, 2003
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"Sensory perception: mind and matter aims at a deeper understanding of the many facets of sensory perception and their relations to brain function and cognition. It is an attempt to promote the interdisciplinary discourse between the neurosciences and psychology, which speaks the language of cognitive experiences, and philosophy, which has been thinking about the meaning and origin of consciousness since its beginning. Leading experts contribute to such a discourse by informing the reader about exciting modern developments, both technical and conceptual, and by pointing to the big gaps still to be bridged. The various chapters provide access to scientific research on sensory perception and the mind from a broad perspective, covering a large spectrum of topics which range from the molecular mechanisms at work in sensory cells to the study of the unconscious and to neurophilosophy."
Lengkap +
Wein: Springer, 2012
e20401776
eBooks  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Muji Rakhmawati
"Borderline Intellectual Functioning (BIF) memiliki populasi yang cukup besar dan sangat potensial untuk diteliti. Namun demikian, belum banyak penelitian yang memfokuskan diri pada partisipan BIF berkaitan dengan kemampuan executive function (EF) yang mereka miliki. Hal ini dapat disebabkan karena BIF dapat didefinisikan secara berbeda antara satu lembaga dengan lembaga yang lain, sehingga populasi yang besar ini justru sering kali terlewatkan dari pengamatan. EF sendiri yang dianggap sebagai salah satu cara yang paling efektif dalam mengukur fungsi kognitif pada kelompok BIF secara lebih menyeluruh, belum memiliki definisi yang disepakati oleh para peneliti. Hal ini menyebabkan EF dapat didefinisikan secara berbeda dan diukur dengan cara yang berbeda pula pada berbagai literature yang telah ada. Sementara itu, BIF yang didefinisikan secara berbeda pada masing-masing institusi tersebut diatas pun, pada akhirnya mengakibatkan kelompok BIF dalam penelitian EF yang ada digabungkan ke dalam satu kriteria yang sama dengan kelompok mild intellectual disability (MID) atau justru terlewatkan sehingga tidak termasuk dalam pembahasan penelitian.
Performa EF dari beberapa penelitian sebelumnya dinyatakan dipengaruhi oleh usia, tingkatan inteligensi dan jenis kelamin. Penelitian ini ingin mengangkat performa EF pada partisipan dengan BIF yang berusia 12 tahun 0 bulan sampai dengan 15 tahun 0 bulan, dibandingkan dengan kelompok chronological age (CA), mental age (MA), dan MID. Dengan membandingkan kelompok BIF dengan ketiga kelompok lainnya, diharapkan dapat tercermin kekuatan dan kelemahan EF pada kelompok BIF secara lebih spesifik. Pertanyaan penelitian yang diajukan adalah: (1) apakah terdapat perbedaan performa pada masingmasing subkomponen EF pada kelompok BIF dibandingkan dengan kelompok CA, MA, dan MID?; (2) Jika terdapat perbedaan performa pada masing-masing subkomponen EF tersebut, maka bagaimanakah gambaran kekuatan dan kelemahan kelompok BIF dibandingkan dengan ketiga kelompok lainnya; (3) Apakah jenis kelamin memiliki peranan yang berpengaruh pada performa EF, terutama pada generativity?; (4) Apakah tingkatan inteligensi dan jenis kelamin memiliki peranan terhadap perbedaan performa pada masing-masing subkomponen EF?
Hasil penelitian dari 121 partisipan yang terlibat dalam penelitian ini memperlihatkan bahwa terdapat perbedaan performa pada masing-masing subkomponen EF jika dilihat berdasarkan perbedaan tingkat inteligensi (kecuali pada subkomponen shifting), tetapi tidak pada performa berdasarkan perbedaan jenis kelamin, dan interaksi antara tingkatan inteligensi dan jenis kelamin. Perbedaan jenis kelamin yang sering dikaitkan dengan generativity pada penelitian sebelumnya tidak tercermin pada penelitian ini. Pada performa working memory, kelompok BIF memiliki performa yang lebih lemah dibandingkan dengan CA, namun lebih kuat jika dibandingkan dengan kelompok MA dan kelompok MID. Performa inhibition pada kelompok BIF setara dengan kelompok CA, namun lebih kuat dibandingkan dengan kelompok MA dan kelompok MID. Pada tugas shifting, kelompok BIF memiliki performa yang lebih lemah dibandingkan dengan kelompok CA, namun setara dengan kelompok MA dan kelompok MID. Performa kelompok BIF pada planning dan problem solving setara dengan kelompok CA dan kelompok MA, namun lebih kuat dibandingkan dengan kelompok MID. Sementara itu, pada generativity (verbal fluency phonemic letter S) kelompok BIF memiliki performa yang setara dengan kelompok CA dan kelompok MA, namun lebih kuat dibandingkan dengan kelompok MID. Disisi lain, pada generativity (verbal fluency semantic category binatang), performa kelompok BIF setara dengan kelompok CA namun lebih kuat dibandingkan dengan kelompok kelompok MA dan kelompok MID.
Penelitian ini berhasil memperlihatkan bahwa kelompok BIF memang memiliki pola performa EF yang berbeda dibandingkan dengan kelompok CA, kelompok MA, dan kelompok MID. Sudah seharusnya kelompok BIF tidak lagi digolongkan dalam kriteria yang sama dengan kelompok MID, melainkan justru memiliki kriteria tersendiri yang terpisah dari kelompok MID.

Borderline intellectual functioning (BIF) has considerable population and great potential for research. However, there is not much research that focuses their subjects relating to participants with BIF and their executive functions (EF). This is due to BIF that can be defined very differently from one institution to another, so that the large population is often overlooked from fact of observation.
EF itself is regarded as one of the best ways to measure cognitive function for individual with BIF, but has not yet reached the universal definition by the researchers. Thus, EF can be defined and measured differently in different ways. BIF different definition on each institution in turn, results of BIF group in EF research most of the time combined in the same criteria with a mild intellectual disability (MID) group or even overlooked altogether in research related to their EF. EF performance in some previous studies revealed to be influenced by age, level of intelligence, and sex. The aim of this study is to lift the EF performance in participants with BIF group age ranges from 12 years 0 months to 15 years 0 months, compared with chronological age (CA), mental age (MA), and MID groups. By comparing BIF group with the three other groups, is expected to reflect on the strengths and weaknesses of EF in BIF groups more specifically. The research question posed is: (1) whether there are differences in performance on each of EF subcomponents on BIF group compared with the CA, MA, and MID groups ?; (2) If there is a difference in performance on each of EF subcomponents, then how is the strengths and weaknesses of BIF group compared with the three other groups; (3) Does gender have an influential role in the performance of EF, especially on generativity ?; (4) Is the level of intelligence and gender has a role to differences in performance on each EF subcomponents?
The results of the 121 participants involved in this research showed that there are differences in performance on each of the EF subcomponents when viewed by the different levels of intelligence (except on shifting), but not in performance by gender, and the interaction between the levels of intelligence and gender. The gender differences which is often associated with generativity are not reflected this in previous study. In the performance of working memory, BIF group had a weaker performance compared to CA group, but more higher than the MA and MID groups. Inhibition performance on par with CA group, yet more stronger than the MA and MID groups. At shifting task, BIF group had a weaker performance compared to CA group, but equivalent to the MA and MID groups. BIF group performance in planning and problem solving are equivalent with CA and MA groups, yet more powerful than the MID group. Meanwhile, the generativity (verbal fluency phonemic letter S) BIF group has equivalentperformance to CA and MA groups, but yet still higher than the MID group. On the other hand on the generativity (semantic category verbal fluency animals), BIF group equivalent to the performance of the CAgroup yet more higher than the MA and MID groups.
This study successfully demonstrated that the BIF group does have a different pattern of EF performance compared to the CA, MA, and MID groups. BIF groups should no longer be classified under the same criteria as MID group, but rather has its own criteria separated from the MID group.
"
Lengkap +
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2016
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wilson, Josephine F.
Australia: Tomson Wadsworth, 2003
152 WIL b
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Soemarmo Markam
Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2010
612.8 SOE p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Juliana Murniati
"Penelitian ini dimaksudkan untuk mengungkap struktur kognisi diri pada masyarakat di Indonesia. Minat terhadap studi ini beranjak dari temuan Hosfstede di tahun 70-an yang mengungkapkan bahwa budaya-budaya bervariasi menurut individualisme-kolektivisme (III); dengan mendasarkan pada bentuk hubungan individu dengan individu lain dalam suatu masyarakat: jika hubungan antar individu dalam masyarakat itu erat berarti budaya kolektivisme; sebaliknya jika renggang, berarti individualisme. Bentuk kehidupan demikian berimplikasi terhadap struktur kognisi diri individunya: budaya individualisme akan membentuk struktur kognisi diri yang berorientasi pada pilihan dan prestasi personal; sementara budaya kolektivisme akan membentuk struktur kognisi diri yang berorientasi pada pilihan dan prestasi kelompok tempat ia menjadi anggota. Studi-studi mengenai kognisi diri telah banyak dilakukan dalam budaya individualisme maupun. kolektivisme, namun bukan di Indonesia, yang diindikasikan kolektivisme. Sejauh yang peneliti ketahui, belum ada penelitian intensif berkenaan dengan kognisi diri yang dilaksanakan dalam lingkungan Indonesia.
Penelitian ini berkiprah pada pandangan yang melihat self sebagai struktur kognisi. Hal ini berarti bahwa pembahasan akan beranjak dari pendekatan kognisi sosial, yakni kajian mengenai bagaimana individu memahami dirinya sendiri dan orang lain dalam situasi sosial. Struktur kognisi diri pada dasarnya adalah tampilan mental seseorang mengenai atribut-atribut pribadi, peran-peran sosial; pengalaman lampau, dan tujuan-tujuan mendatang.
Penelitian ini berupaya mengungkap struktur kognisi diri pada budaya-budaya yang tergolong besar Indonesia, yakni Jawa, Sunda, Minang, dan Batak. Sampel penelitian terdiri dari siswa/i SMU dari empat suku bangsa itu, yaitu Jawa, Sunda, Minang, dan Batak, baik yang berdiam di daerah asal maupun yang berdiam di Jakarta sejak lahir, tetapi masih menggolongkan dirinya ke dalam salah satu dari keempat suku bangsa itu. Dalam penelitian ini, keempat suku bangsa yang berdiam di Jakarta dikategorikan sebagai golongan budaya tersendiri, yakni budaya Jakarta. Usaha ini ditempuh dengan Twenty Statements Test (TST) atau the I am technique, yang pada dasarnya merupakan instrumen bebas budaya untuk menggali kekayaan kognisi diri yang muncul secara spontan dan salient. Data-data kemudian diolah dengan menggunakan analisa multidimensional scaling (MDS), analisa kluster, dan analisa koresponden.
Secara umum, hasil penelitian menunjukkan bahwa struktur kognisi diri masyarakat Indonesia berada pada kontinuum privat-kolektif, yang juga berarti bahwa Indonesia berada dalam dimensi individualisme-kolektivisme, dan agaknya tepat berada di ambang individualisme. Meskipun tampaknya sedang terjadi pergeseran menuju individualisme, namun nilai-nilai budaya tampaknya masih cukup mengakar dalam kehidupan masyarakatnya. Tentu saja, ini adalah kesimpulan yang masih sangat dini, sehingga penelitian-penelitian lanjutan harus dilakukan.
Hasil analisa juga menunjukkan bahwa Jawa memiliki struktur kognisi diri publik, yang sangat concern dengan bagaimana orang lain menilai dirinya; Sunda cenderung ke struktur kognisi diri kolektif, yang mementingkan keanggotaan kelompok. Sementara Minang, Batak, dan Jakarta didekatkan satu sama lain oleh atribut-atribut psikologis yang menunjukkan struktur kognisi diri privat. Ketiga golongan budaya inilah yang tampaknya lebih condong pada individualisme. Tentu saja, kesimpulan ini masih dini, sehingga sangat diperlukan penelitian-penelitian lebih lanjut."
Lengkap +
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizka Nurbatari
"Usia dini merupakan periode emas dimana banyak perkembangan terjadi secara pesat, tidak terkecuali pada fungsi kognitif tingkat tinggi yakni Executive Function (EF). Dalam upaya pengoptimalan kemampuan EF, berbagai penelitian telah dilakukan untuk mengetahui hal-hal apa saja yang dapat memengaruhi kemampuan EF, salah satunya adalah kelekatan. Namun, penelitian mengenai kelekatan dan EF diketahui masih inkonsisten. Selain itu, kebanyakan penelitian mengenai kelekatan hanya melibatkan ibu saja, padahal diketahui bahwa peran ayah turut berpengaruh terhadap perkembangan anak. Penelitian ini ingin mengetahui lebih lanjut apakah secure attachment antara ayah dan ibu dengan anak dapat memprediksi kemampuan hot dan cool EF anak usia prasekolah. Untuk mengetahui mengenai informasi secure attachment antara ayah dan ibu terhadap anak dan anak, kedua orangtua diminta untuk mengisi Parent Child Reunion Inventory PCRI . Untuk mengetahui kemampuan EF, anak akan diberikan serangkaian tes EF. Penelitian ini diikuti oleh 85 pasang orangtua beserta dengan anak mereka yang berusia 4-6 tahun. Dengan mempertimbangkan SES keluarga, usia, dan jenis kelamin anak, hasil memperlihatkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara secure attachment ayah dan ibu dengan kemampuan EF anak. Faktor-faktor lain selain attachment seperti autonomy support dan scaffolding perlu dipertimbangkan untuk mencapai kemampuan EF anak usia prasekolah yang optimal.

Early childhood known as a golden period where our developmental as a human being develop rapidly, not to mention our Executive Function (EF) skill. In order to optimized EF skills, many research had been conducted to investigate factors that associate to EF skills. It revealed that one of the factor that have association with EF is attachment. Research found that the association between attachment and EF remain inconsistent. On top of that, several studies related to attachment and EF focused only on mother figures without considering fathers. This study investigated prospective associations between father rsquo s and mother rsquo s secure attachment and hot and cool EF skills in preschoolers. In attempt to investigate these topics, parents were administered Parent Child Reunion Inventory PCRI and to investigate EF, the children were administered a battery of EF tasks. 85 parents with their 4 6 years old kid were participated in this study. The results indicated that neither father child attachment nor mother child attachment were significantly related to child performance on EF tasks above and beyond family socioeconomic status SES , child age, and sex. Factors other than attachment, such as autonomy support and scaffolding need to be considered in order to optimize preschooler rsquo s EF skill."
Lengkap +
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2017
S67847
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Reed, Stephen K.
Jakarta: Salemba Humanika, 2011
153 STE ct (1)
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>