Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 93346 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Siahaan, Robert Adinata
"Skripsi ini mengaji tentang penguatan identitas etnis pada pemuda Kristen Batak dalam Naposobulung HKBP Kebayoran Selatan. Dalam konteks kota Jakarta yang plural, HKBP tidak hanya memiliki peran kerohanian, tapi juga menjadi wadah dalam penguatan identitas etnis Batak. Melalui Naposobulung, HKBP berusaha menanamkan pengetahuan adat Batak pada generasi muda yang dibesarkan di Jakarta dan menguatkan solidaritas antar pemuda Batak di Jakarta yang plural agar identitas Batak para pemuda tidak hilang. Para pemuda memiliki berbagai alasan sendiri mengapa penguatan identitas etnis Batak menjadi penting dalam pluralitas kehidupan kota Jakarta.

This thesis examines the strengthening of ethnic identity on the Batak Christian youth in Naposobulung of South Kebayoran HKBP. In the context of a pluralistic city like Jakarta, HKBP not only has the role of spirituality, but also a strengthening forum in Batak ethnic identity. Through Naposobulung, HKBP trying to instill Batak knowledge on the younger generation who grew up in Jakarta and strengthen the solidarity between young Batak people in pluralistic Jakarta so that youth Batak identity is not lost. The youth have their own reasons why strengthening the Batak ethnic identity became important in their life in Jakarta."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2013
S52631
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Posma Hotmer P.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
S5851
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gultom, Perdana Putra
"Dalam asumsi umum dan beberapa studi, kelompok muda perkotaan digambarkan dengan sifat ingin bebas, memberontak, dan tidak ingin diatur. Asumsi yang juga sering muncul adalah kelompok muda perkotaan cenderung lebih sekuler dan tidak aktif dalam praktik kesalehan atau keagamaan. Penelitian ini akan menjelaskan bagaimana kelompok muda perkotaan melakukan usaha membangun kesalehan mereka. Penelitian dilakukan pada kelompok Naposobulung HKBP Srengseng Sawah yang merupakan bagian kelompok muda gereja. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dan pendekatan etnografi yang mencakup observasi partisipan dan wawancara mendalam untuk menjelaskan usaha Naposobulung HKBP Srengseng Sawah dalam membangun dan menjaga kesalehan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat berbagai kegiatan yang diadakan oleh kelompok ini untuk membangun kesalehan, kegiatan tersebut dikelompokkan menjadi kegiatan ibadah, rekreasional dan pelayanan. Praktik atau kegiatan tersebut dilihat sebagai usaha pemenuhan kebutuhan kekristenan dan persekutuan dengan saudara seiman dalam usaha membangun kesalehan. Naposobulung HKBP Srengseng Sawah juga melakukan negosiasi kesalehan terhadap berbagai pengaruh eksternal.

In general assumptions and several studies, the youth group is described as free, rebellious, and don’t want to be controlled. The assumption that often arises is young people tend to be more secular and not active in pious or religious practices. This research will explain the efforts of a youth group to build their piety. This research was conducted on the Naposobulung HKBP Srengseng Sawah, a church youth group. This study uses qualitative research method and ethnographic approach, includes participant observation and in-depth interview to explain the efforts of Naposobulung HKBP Srengseng Sawah to build and maintain their piety. The results showed that there were various activities that classified as worship activity, recreational, and service activities. The practice or activity is seen as an effort to fulfil the Christian needs and build fellowship with youth believers. Naposobulung HKBP Srengseng Sawah also conduct piety negotiations with various external influences.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eunike Princella
"ABSTRACT
Setiap suku di Indonesia memiliki nilai dasar yang dijadikan pedoman dalam hidup. Pada masyarakat Batak, Dalihan Na Tolu merupakan budaya dalam bentuk sistem kekerabatan yang dijunjung tinggi pada masyarakat Batak untuk mendapatkan tiga berkat hidup, yakni hamoraon kekayaan, hagabeon keturunan, dan hasangapon kehormatan. Studi-studi sebelumnya menjelaskan perubahan Dalihan Na Tolu pada masyarakat Batak perkotaan namun tidak membahas bagaimana upaya mempertahankan nilai Dalihan Na Tolu tersebut dalam lingkup keluarga. Penelitian ini ingin membahas bagaimana sosialisasi yang dilakukan pada keluarga etnis Batak Toba dalam menghadapi perubahan sosial di perkotaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Dalihan Na Tolu dan 3 tiga berkat hidup orang Batak masih dipertahankan di masyarakat Batak perkotaan. Pola sosialisasi yang efektif digunakan keluarga khususnya orang tua dalam menurunkan nilai Dalihan Na Tolu dan 3 tiga berkat hidup adalah dengan pola sosialisasi demokratis. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan teknik pengumpulan data wawancara mendalam pada keluarga Batak Toba yang masing-masing keluarga terdiri dari satu ayah, satu ibu, dan dua anak yang berjemaat di HKBP di DKI Jakarta.

ABSTRACT
Each ethnics in Indonesia has a basic value that is used as a guide in life. In Batak community, Dalihan Na Tolu is a culture in the form of a kinship system that is upheld in the Batak community to get three blessings of life, namely hamoraon wealth, hagabeon generation, and hasangapon honor. Previous studies have explained Dalihan Na Tolu 39 s change to the Batak community in urban context but did not discuss how to maintain the value of Dalihan Na Tolu itself in the family sphere. This research would like to discuss how socialization conducted on Toba families in facing social changes in urban areas. The results show that Dalihan Na Tolu and three blessings of life are still maintained in Batak community in urban context. The effective socialization patterns used by families, especially parents in teaching Dalihan Na Tolu and three blessings of life is the democratic socialization. This research used qualitative method with in depth interview to Toba family which each family consist of one father, one mother, and two children who are members of HKBP in DKI Jakarta. "
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sihotang, Tama Sintaria
"Studi mengenai pemilihan pasangan hidup di kalangan pemuda perkotaan menujukkan terjadinya perubahan tren. Saat ini, pemilihan pasangan cenderung didasarkan pada faktor inklusif yaitu usia, pendidikan, pekerjaan, status sosial ekonomi serta penampilan fisik dibandingkan dengan kesamaan etnisitas. Berbeda dengan pemuda suku Batak perkotaan, disamping faktor inklusif terdapat pula faktor eksklusif yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan pasangan. Faktor eksklusif yang dimaksud adalah kesamaan etnisitas yang berasal dari dorongan keluarga luas. Artikel ini membahas mengenai bagaimana pandangan pemuda suku Batak perkotaan terhadap pemilihan pasangan hidup yang bersifat inklusif dan eksklusif. Dalam mengkaji fenomena ini, penulis menggunakan pendekatan pertukaran. Pemuda suku Batak perkotaan terbagi menjadi dua tipologi dalam pemilihan pasangan. Pertama, memilih pasangan berdasarkan faktor inklusif dan eksklusif. Kedua, pemilihan pasangan berdasarkan faktor inklusif saja. Artikel ini menggunakan metode kualitatif, data yang dikumpulkan diperoleh melalui wawancara mendalam.

The study of the mate selection among urban youths shows a shift in trends. The current selection of mates tends to be based on inclusive factors such as age, education, employment, socio-economic status, and physical appeareance compared to the similarity of ethnicity. In contrast to the urban Batak youth, in addition to the inclusive factor there is also an exclusive factor that needs to be considered in the selection of mate. The exclusive factor in this article is the common ethnicity derived from the family’s encouragement. This article discusses how the views of urban Batak youth against the inclusive and exclusive factors on mate selection. Urban Batak youth is divided into two typologies in the selection of mate. First, choose a mate based on inclusive and exclusive factors. Second, choose a mate based on inclusive factor only. In examining this phenomenon, the author uses exchange theory as an approach. This article uses qualitative method, colletected data obtained thorugh in-depth interviews.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2018
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Silalahi, Duma Yanti
"Penelitian ini membahas tentang warisan budaya tidak berwujud masyarakat
Batak yang dikenal dengan nama Dalihan Na Tolu yang namanya diambil dari
benda budaya berupa tungku batu tiga kaki. Tujuan penelitian ini adalah untuk
membuat sebuah bentuk pameran tetap yang dapat meluluhkan stereotip negatif
yang berkembang di masyarakat umum terhadap masyarakat Batak, dengan
menampilkan Dalihan Na Tolu sebagai identitas masyarakat Batak yang
dikomunikasikan lewat pameran tetap Museum Batak TB Silalahi Center
(selanjutnya disingkat Museum Batak TBSC). Penelitian ini menggunakan
pendekatan kualitatif. Data dikumpulkan melalui metode observasi dan
dokumentasi. Data kemudian diolah secara deskriptif analitik. Hasil analisis data
menunjukkan bahwa: (1) Dalihan Na Tolu merupakan warisan budaya tidak
berwujud yang patut diangkat menjadi identitas masyarakat Batak di Museum
Batak TBSC; (2) Museum Batak TBSC saat ini belum menonjolkan Dalihan Na
Tolu sebagai identitas Batak dalam pameran tetapnya; (3) Menampilkan Dalihan
Na Tolu di Museum Batak TBSC dapat dilakukan dengan menghubungkan
koleksi yang disusun dalam satu tema dengan Dalihan Na Tolu; (4) Untuk
menyederhanakan pemahaman terhadap Dalihan Na Tolu dilakukan dengan cara
menghasilkan makna konotasinya dengan teori Roland Barthes dari makna
harafiah Dalihan Na Tolu sebagai tungku batu tiga kaki; (5) Makna konotasi
Dalihan Na Tolu adalah struktur Sosial masyarakat Batak, masyarakat yang
seimbang, Masyarakat yang menjunjung kerjasama, masyarakat yang rukun dan
saling menghormati; (6) Pameran tetap Museum Batak TBSC didekonstruksi dan
disusun dalam sepuluh tema yang merangkul keunikan masyarakat Batak dan
setiap tema akan membangun salah satu makna konotatif Dalihan Na Tolu.

This study discusses the intangible cultural heritage of Batak society known as
Dalihan Na Tolu. The name of Dalihan Na Tolu is taken from the name of a
material culture which means the form of three-foot stone hearth. The purpose of
this study is to create a permanent exhibition form that can be devastatingly
negative stereotypes of the Batak people that developed in the general public, by
displays Dalihan Na Tolu as Batak society identity that communicated through
the permanent exhibition of Museum Batak TB Silalahi Center (hereinafter
abbreviated as Museum Batak TBSC). This study used a qualitative approach.
Data were collected through observation and documentation methods, and then
processed by descriptive analytic. Results of data analysis indicate that: (1)
Dalihan Tolu is an intangible cultural heritage should be communicated as
Batak’s identity; (2) Currently, Museum Batak TBSC not accentuate Dalihan Na
Tolu as Batak identity; (3) Showing Dalihan Tolu in Batak Museum can be done
by connecting Dalihan Na Tolu with the collection is arranged in a theme; (4) The
understanding of Dalihan Na Tolu is simplified through generating connotation
meaning of Dalihan Na Tolu through Roland Barthes's theory; (5) Connotation
meanings of Dalihan Na Tolu is the social structure of Batak society, balanced
society, people who uphold cooperation, society of harmony and mutual respect;
(6) The permanent exhibition of Museum Batak TBSC deconstructed and
organized into ten themes that embrace the uniqueness of Batak society and each
theme will build one of the connotative meaning of Dalihan Na Tolu.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2013
T34953
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Universitas Indonesia, 2000
S33674
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Hana Puspita Grace
"Salah satu Folklor yang cukup dikenal di Indonesia, Folklor Sigale Gale dari Samosir merupakan suatu folklor yang sangat melekat dengan kehidupan masyarakatnya. Sigale Gale menjadi bagian yang penting karena selain kegunaannya menjadi atraksi wisata, Sigale Gale juga merupakan warisan budaya yang diturunkan dari generasi ke generasi. Folklor bisa menjadi bagian dari identitas bagi mayarakat yang hidupnya memiliki keterikatan terhadap folklor tersebut. Identitas tempat dapat dibangun dari persepsi masyarakat tentang suatu hal yang terlekat pada tempat tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persepsi Masyarakat Batak Toba terhadap Sigale Gale dan apa makna Sigale Gale bagi Masyarakat Toba di Samosir sebagai bagian dari identitas tempat mereka. Sigale Gale yang terdapat di Samosir berada di kecamatan Simanindo, Pulau Samosir, terdapat empat lokasi Sigale Gale yang tersebar dalam empat desa, lokasi ini didapatkan dari hasil wawancara dengan informan kunci dan pengambilan sampel dilakukan dengan snowball sampling. Pada masing- masing lokasi dilakukan observasi, dokumentasi, dan wawancara yang hasilnya dianalisis untuk menggunakan metode analisis deskriptif dan juga triangulasi sehingga terlihat bagaimana persepsi masyarakat terhadap Sigale Gale dan Identitas Tempat masyarakat yang dipengaruhi oleh Sigale Gale pada di setiap lokasi. Berdasarkan hasil analisis dari penelitian ini, tiga lokasi diantara kempat lokasi menggunakan Sigale Gale sebagai objek wisata yaitu Desa Ambarita, Desa Tomok, dan Desa Simanindo, sedangkan, satu desa yaitu Desa Garoga tidak menggunakan Sigale Gale sebagai objek wisata. Selain itu, dari keempat desa, dua diantaranya melestarikan Sigale Gale dengan alasan untuk menjaga warisan keluarga karena Sigale Gale yang dimiliki desa mereka merupakan harta benda yang penting bagi keluarga mereka, Desa ini adalah Desa Garoga dan Desa Simanindo. Hasil dari penelitian ini nantinya akan dihubungkan dengan prinsip hidup Batak yang merupakan bagian dari identitas Masyarakat Batak Toba yaitu Hamoraon (kekayaan), Hagabeon (Keturunan), dan Hasangapon(Kehormatan). Berdasarkan analisis, dapat disimpulkan bahwa identitas Sigale Gale Desa Ambarita dan Tomok memiliki arti hamoraon, Desa Simanindo memiliki arti hamoraon dan hagabeon, sedangkan Desa Garoga memiliki arti hagabeon dan hasangapon.

One of the well-known folklore in Indonesia, Sigale Gale Folklore from Samosir is a folklore that is very attached to the lives of its people. Sigale Gale is an important part because apart from its use as a tourist attraction, Sigale Gale is also a cultural heritage that has been passed down from generation to generation. Folklore can become part of the identity of people whose lives are connected to that folklore. Place identity can be built from people's perceptions about something attached to that place. This research aims to determine the Toba Batak Community's perception of Sigale Gale and what Sigale Gale means to the Toba Community in Samosir as part of their place identity. Sigale Gale in Samosir is in Simanindo sub-district, Samosir Island. There are four Sigale Gale locations spread across four villages. These locations were obtained from interviews with key informants and sampling was carried out using snowball sampling. At each location, observations, documentation and interviews were carried out, the results of which were analyzed using descriptive analysis methods and also triangulation so that it could be seen how people's perceptions of Sigale Gale and the community's place identity were influenced by Sigale Gale at each location. Based on the results of the analysis from this research, three locations among the four locations use Sigale Gale as a tourist attraction, namely Ambarita Village, Tomok Village, and Simanindo Village, meanwhile, one village, namely Garoga Village, does not use Sigale Gale as a tourist attraction. Apart from that, of the four villages, two of them preserve Sigale Gale for the reason of preserving family heritage because the Sigale Gale owned by their village is an important asset for their family. These villages are Garoga Village and Simanindo Village. The results of this research will later be connected to the Batak principles of life which are part of the identity of the Toba Batak Community, namely Hamoraon (wealth), Hagabeon (Descent), and Hasangapon (Honor). Based on the analysis, it can be concluded that the identity of Sigale Gale in Ambarita and Tomok Villages has the meaning of hamoraon, Simanindo Village has the meaning of hamoraon and hagabeon, while Garoga Village has the meaning of hagabeon and hasangapon."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tobing, Suzen Hartaty Rotoea
"Mangongkal Holi merupakan ritual Batak Toba yang hanya bisa dilakukan di kampung halaman marga suku Batak Toba yang terletak di sekitar wilayah Danau Toba. Syarat khusus pelaksanaan Mangongkal Holi menyebabkan popularitas pelaksanaannya menurun di kalangan suku Batak Toba diaspora di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek). Berkaitan dengan hal itu penelitian ini berupaya untuk menemukan artikulasi Mangongkal Holi sebagai wahana identitas Batak Toba Jabodetabek. Dengan memanfaatkan teori ritual Catherine Bell dan konsep artikulasi identitas kultural Stuart Hall, artikulasi suatu ritual oleh masyarakat pemilik ritual dapat dipahami sebagai sarana konstruksi identitas. Lebih lanjut, dapat diketahui pula bahwa Mangongkal Holi memberikan representasi identitas bagi suku Batak Toba. Dengan kata lain Mangongkal Holi tampak memiliki relasi sebagai sarana resistensi perubahan identitas Batak Toba yang berada di diaspora. Ritualisasi Mangongkal Holi menunjukkan adanya rekontekstualisasi nilai-nilai budaya yang dipengaruhi oleh keyakinan dominan Batak Toba. Rekontekstualisasi dilakukan dengan cara pengubahan narasi utama pelaksanaan ritual dari hal yang berbau mitos menjadi narasi alkitabiah. Rekontekstualiasi Mangongkal Holi dapat dinyatakan tidak sempurna sebab masih ada ritualisasi yang didasarkan pada keyakinan Batak Toba sebelumnya yakni hasipelebeguan. ketidaksempurnaan rekontekstualisasi disebabkan masih adanya penganut keyakinan Batak Toba masa lalu dan tahapan ritualisasi yang tidak jauh berbeda. Dalam skala yang lebih luas, dampak ketidaksempurnaan rekontekstualisasi berdampak pada artikulasi Batak Toba Jabodetabek yang mengalami kontingensi atas pelaksanaan Mangongkal Holi. Kontingensi dalam artikulasi individu Batak Toba Jabodetabek melahirkan dikotomi-dikotomi yang kemudian menjadi stereotip dalam masyarakat Batak Toba Jabodetabek seperti kota-desa, hasipelebeguan-kristen, dan bona pasogit-perantauan. Meskipun demikian, pada akhirnya Mangongkal Holi menjadi sarana resistensi yang digunakan oleh suku Batak Toba untuk menjaga konstruksi identitas esensial. Berdasarkan rekontekstualisasi dan kontingensi Mangongkal Holi maka ritual dapat didefinisikan sebagai manifestasi dari wacana dominan dan mengandung catatan historis dan dinamika sosial serta pergulatan wacana yang ada dalam masyarakat tertentu khususnya wacana identitas. Sementara itu, bangunan tugu yang menjadi sarana pelaksanaan ritual menunjukkan kecenderungan menghadirkan tiga corak arsitektur: i) Penggunaan corak nasional tugu yang merupakan simbol lingga dan yoni dengan simbol lain pada bangunan tugu yang mengandung falsafah Batak; ii) Penggunaan simbol dalam bangunan untuk mengisahkan sejarah marga atau klan; dan iii) Penggabungan unsur arsitektur khas suku Batak Toba dengan corak nasional tugu. Selain itu, tugu Batak Toba merupakan lanskap sakral sekaligus lanskap pragmatik bagi marga suku Batak Toba.

Mangongkal Holi is a Toba Batak ritual that can only be performed in the hometown of the Toba Batak clan located around the Lake Toba region. The special requirements for the implementation of Mangongkal Holi have caused the popularity of its implementation to decline among the Toba Batak diaspora in Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang and Bekasi (Jabodetabek). In this regard, this research seeks to find an articulation of Mangongkal Holi as a vehicle for Batak Toba identity in Jabodetabek. By utilising Catherine Bell's ritual theory and Stuart Hall's concept of cultural identity articulation, the articulation of a ritual by the ritual owner community can be understood as a means of identity construction. Furthermore, it can also be seen that Mangongkal Holi provides a representation of identity for the Toba Batak tribe. In other words, Mangongkal Holi appears to have a relationship as a means of resistance to changes in Toba Batak identity in the diaspora. The ritualisation of Mangongkal Holi shows the recontextualisation of cultural values influenced by the dominant beliefs of Batak Toba. Recontextualisation is done by changing the main narrative of ritual from mythological to biblical narratives. The recontextualisation of Mangongkal Holi can be declared imperfect because there are still ritualisations based on previous Batak Toba beliefs, namely hasipelebeguan. The imperfection of recontextualisation is due to the existence of adherents of past Batak Toba beliefs and ritualisation stages that are not much different. On a broader scale, the impact of the imperfection of recontextualisation has an impact on the articulation of the Jabodetabek Batak Toba who experience contingency over the implementation of Mangongkal Holi. Contingency in the articulation of Jabodetabek Batak Toba individuals gave birth to dichotomies which later became stereotypes in the Jabodetabek Batak Toba community such as city-rural, hasipelebeguan-christian, and bona pasogit-diaspora. Nevertheless, in the end Mangongkal Holi became a means of resistance used by the Toba Batak tribe to maintain essential identity construction. Based on the recontextualisation and contingency of Mangongkal Holi, the ritual can be defined as a manifestation of the dominant discourse and contains historical records as well as social dynamics and discourse struggles that exist in a particular society especially the discourse of identity. Meanwhile, The Tugu that are a means of performing rituals show a tendency to present three architectural styles: i) The use of the national style of the monument which is a phallus and yoni symbol with other symbols on the monument building containing Batak philosophy; ii) The use of symbols in the building to tell the history of the clan or clan; and iii) The combination of typical Toba Batak architectural elements with the national style of the monument. In addition, the Toba Batak monument is a sacred landscape as well as a pragmatic landscape for the Toba Batak clan."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>