Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 83815 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Simbolon, F. Hilarius
"Skripsi ini membahas mengenai keberadaan otonomi asli yang dimiliki desa ketika desa tersebut berubah statusnya menjadi kelurahan. Otonomi asli yang dimiliki desa berbeda dengan otonomi daerah, dimana otonomi desa berasal dari dalam desa itu sendiri dan sudah tumbuh dan berkembang sejak dahulu, sementara otonomi daerah merupakan pemberian dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Ketika desa diubah menjadi kelurahan, keberadaan otonomi asli yang dimilikinya mulai diragukan apakah seutuhnya bertahan atau hilang semuanya.
Skripsi ini membahas pengaturan desa sejak jaman penjajahan sampai saat ini karena setiap pengaturan mempunyai ciri khas tersendiri. Penelitian ini termasuk penelitian Yuridis Normatif yaitu suatu penelitian yang bertujuan untuk menjelaskan dan menganalisis. Hasil penelitian menyarankan untuk dibuatnya suatu pengaturan bagi kelurahan agar otonomi desa yang dahulu ada tetap bertahan.

This thesis discusses existence of village autonomy in terms of changing village into district. The original village autonomy is unlike the autonomous region, village autonomy came from itself and had growned and developed since long time ago, while autonomus region was given by government. When village is changed into district, does that autonomy remain still or disappear?
This thesis discusses village regulation from colonial era until this time because it?s distinctive characteristics. This research is a normative juridicial study aims to describe and analyze. The results suggest to make regulation so village autonomy can remain still when it?s changed into disctrict.
"
Depok: Universitas Indonesia, 2013
S46480
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adhining Prabawati Rahmahani
"ABSTRAK
Sejak berlakunya UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Perundang-Undangan.yang menggantikan UU No. 10 Tahun 2004,
Peraturan Desa tidak lagi disebutkan secara eksplisit dalam UU No. 12
Tahun 2004.Tujuan dari penelitian ini bertujuan untuk mengetahui status
peraturan desa setelah berlakunya UU No. 12 Tahun 2011dengan
menafsirkan serangkaian pasal 7 ayat (1), 7 ayat (2). 8 ayat (1) dan 8 ayat
(2) dan dikombinasikan dengan masa sebelum berlakunyaUU No. 6 Tahun
2014 tentang Desa dengan masa setelah berlakunyaUU No. 6 Tahun 2014
tentang Desa. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normative dengan
menggunakan kajian kepustakaan dan perundang-undangan, disusun secara
sistematis dan komprehensif kemudian didapat kesimpulan yang
mempunyai relevansi langsung dengan permasalahan terkait yang diteliti.
Status Peraturan Desa setelah berlakunya UU No. 12 Tahun 2011 dan jika
dikombinasikan dengan masa sebelum berlakunyaUU No. 6 Tahun 2014,
maka masih termasuk dalam kategori peraturan perundang-undangan karena
pengundangannya dalam Lembaran Derah/Berita Daerah. Sedangkan
setelah berlakunya UU No. 6 Tahun 2014 tidak termasuk dalam kategori
peraturan perundang-undangan, karena diundangkan dalam Lembaran
Desa/BeritaDesa, keberadaannya diakui dan mengikat bagi masyarakat. Jika
dikaji dengan teori kewenangan, pembentukan Peraturan Desa ini
merupakan kewenangan subdelegasi yang diberikan oleh DPRD kepada
BPD dalam tataran pemerintahan desa. Ketentuan sub delegasi juga
dijabarkan dalam pasal 13 UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi
Pemerintahan.Untuk mengembalikan status peraturan desa masuk dalam
kategori peraturan perundang-undangan maka diperlukan revisi pasal 69
ayat 11 UU No. 6 tahun 2014 atau dengan mengeluarkan produk hukum
berupa Permendagri yang menentukan bahwa PeraturanDesa diundangkan
di Lembaran Daerah/Berita Daerah dan pembentukan Peraturan Desa agar
lebih ditingkatkan lagi partisipasi masyarakat karena hal ini merupakan hal
yang sangat penting dalam perwujud dan demokrasi di pemerintahan desa

ABSTRACT
Since the enactment of Law No. 12 Year 2011 on the Establishment
Regulations Undangan.yang replace Law No. 10 In 2004, the Village
Regulations no longer explicitly mentioned in Law No. 12, 2004. The
purpose of this study aims to determine the status of village regulations
after the enactment of Law No. 12 in 2011 to interpret a series of article 7
paragraph (1), 7 (2). 8 paragraph (1) and 8 (2) and combined with the
period prior to the enactment of Law No. 6 of 2014 concerning the village
with the period after the enactment of Law No. 6 of 2014 concerning the
village. This research is normative juridical using study literature and law,
arranged systematically and comprehensively then be concluded that have
direct relevance to the issues related to the investigation. Regulatory Status
The village after the enactment of Law No. 12 Year 2011 and when
combined with the period before the enactment of Law No. 6 In 2014, it was
included in the category of legislation for enactment in the Gazette of
Regional / Local News. Meanwhile, after the enactment of Law No. 6 Year
2014 are not included in the category of legislation, as promulgated in the
Gazette of the Village / Village News, its existence is recognized and
binding for the community. If assessed by the authority of the theory, the
formation of a Village Regulation subdelegasi authority granted by
Parliament to BPD at the level of village government. Conditions
subdelegasi also spelled out in article 13 of Law No. 30 Year 2014 on
Government Administration. To restore the status of village regulations in
the category of legislation would require a revision of article 69 paragraph
11 of Law No. 6 2014 or by issuing a legal product in the form of
Regulation specifies that the Village Regulations promulgated in the
Regional Gazette / Regional News and the establishment of village
regulations that further enhanced community participation because it is a
very important point in the realization of democracy in village
administration."
2016
T45611
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Rahmaniah Jamaluddin
"Desa merupakan kesatuan masyarakat hukum dengan kewenangan menyelenggarakan pemerintahan sendiri berdasarkan asas rekognisi dan subsidiaritas. Terdapat dua jenis kewenangan desa yaitu kewenangan asal usul dan kewenangan lokal berskala desa yang salah satunya mencakup perencanaan pembangunan dan tata ruang desa. Namun, seringkali perencanaan pembangunan desa belum menyentuh aspek penataan ruang. Apalagi, peraturan yang ada hanya mengatur kewenangan pemerintah pusat dan daerah dalam penataan ruang. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif. Jenis data yang digunakan adalah data sekunder yang diperoleh dari bahan hukum primer dan sekunder dengan cara studi kepustakaan dan wawancara. Data yang diperoleh dianalisis secara kualitatif dan disajikan secara preskriptif-analitis. Hasil penelitian menunjukkan Desa tidak termasuk dalam hierarki penataan ruang berdasarkan Undang-undang Penataan Ruang karena desa bukanlah daerah otonom melainkan merupakan bagian dari wilayah daerah. Sehingga, dalam hal perencanaan, desa masuk ke dalam substansi yang diatur dalam RTRW Kabupaten sebagai bagian dari wilayah kabupaten. Desa memiliki kewenangan penataan ruang sebagai kewenangan asli desa berdasarkan asas subsidiaritas. Penyusunan tata ruang desa merupakan bagian dari RPJM Desa yang dalam proses penyusunannya harus diselaraskan dengan RTRW Kabupaten. Kewenangan desa dalam penataan ruang perlu didukung dengan adanya peraturan yang mempertegas kedudukan dan kewenangan desa dalam penataan ruang. Selain itu, hubungan perencanaan tata ruang kabupaten/kota dengan desa seharusnya tidak hanya berdasarkan kegiatan kawasan dan sebagai bagian dari RPJM Desa, tetapi harus memposisikan desa sebagai pemerintahan dengan kewenangan lokal berskala desa untuk melakukan penataan ruang yang hendaknya diperhatikan masukan dan aspirasinya sebagai pertimbangan pusat maupun daerah dalam menentukan arah kebijakan perencanaan ruang dan pembangunan.

Village is a legal community with the authority to organize its own government based on the principles of recognition and subsidiarity. There are two types of village authority, they are origin authority and local authority that include develoment planning and village spatial planning. However, development planning in village has not touched spatial planning aspect. Moreover, the existing regulation of spatial planning only regulate the authority of the central and local government . This research is a normative legal research. The type of data used in this research is secondary data that obtained from primary and secondary legal materials using library research and interview method. The data then analyzed with qualitative approach and presented in a prescriptive-analytical. The results of this research shows that the village is not include in the spatial planning hierarchy based on the Spatial Planning Law because the village is not an autonomous region but is part of a regional area. So, the village include as the substance that regulated in the Regency spatial planning as the part of the regency area. Village has spatial planning authority as its origin authority based on the principle of subsidiarity. Process of making village spatial planning is a part of village development planning that must be harmonized with regency spatial planning.  The authority of the village in spatial planning needs to be supported by regulations that emphasize the position and authority of the village in spatial planning. Moreover, the relationship between regency spatial planning and the village should not only be based on regional activities and as part of the village development planning, but also put the village as a government with local authority to do spatial planning with aspirations that should be  considered as the reasoning of central and local government in determining the direction of spatial planning and development policies.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
H.A.W. Widjaja,1940-
Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2004
352 HAW o
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
H.A.W. Widjaja,1940-
Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2008
352 HAW o
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
H.A.W. Widjaja,1940-
Jakarta : Rajawali, 2010
352 WID o
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
H.A.W. Widjaja,1940-
Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2003
352 HAW o
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Virginia Olivia
"Melalui berbagai program kebijakan, pemerintah memberikan stimulus agar desa mampu mengelola potensi yang ada, sehingga desa dapat berkembang secara mandiri dalam meningkatkan perekonomiannya. BUMDes merupakan salah satu program yang menjadi andalan pemerintah dalam upaya pembangunan desa, dengan menjalankan perannya sebagai lembaga ekonomi dan lembaga sosial, keberadaan BUMDes diharapkan mampu meningkatkan kemandirian ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis secara empiris pengaruh bidang usaha dan jumlah usaha yang dikelola oleh BUMDes terhadap tingkat pembangunan desa di Indonesia. Dengan Menggunakan metode Propensity Score Matching dan regresi linear pada data BUMDes antara tahun 2019 dan 2021. penelitian ini memberikan kesimpulan bahwa BUMDes yang menjalankan bidang usaha sosial dan komersial memiliki dampak yang lebih signifikan pada tingkat pembangunan desa yang diukur melalui Indeks Desa Membangun (IDM), dibandingkan dengan BUMDes yang hanya memiliki salah satu bidang usaha. Sementara, semakin banyak jumlah usaha yang dijalankan justru akan menurunkan efektifitas keberadaan Bidang Usaha BUMDes terhadap tingkat pembangunan desa.

Through various policy programs, the government provides incentives to empower villages to harness their potential, enabling them to develop independently and enhance their economic growth. BUMDes (Village-Owned Enterprises) is one of the flagship programs of the government in the effort to develop villages, playing roles as economic and social institutions. The existence of BUMDes is expected to improve economic self-reliance and community welfare. This research aims to empirically analyze the influence of the business sector and the number of businesses managed by BUMDes on the level of village development in Indonesia. The study uses Propensity Score Matching and linear regression methods on BUMDes data between 2019 and 2021. The research concludes that BUMDes engaged in social and commercial sectors have a more significant impact on village development, measured through the Village Development Index (Indeks Desa Membangun or IDM), compared to BUMDes with only one sector of business. However, an increase in the number of businesses managed by BUMDes actually decreases the effectiveness of the presence of the Business Sector of BUMDes on village development."
Jakarta: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bambang Giyanto
"Istilah desa sudah dikenal jauh sebelum penjajahan Belanda dimulai, dan sebagaimana dikemukakan oleh bahwa: Tidak dapat diketahui dengan pasti kapan permulaan adanya ?Desa? (Suryaningrat,1992), Sedangkan yang dimaksud Desa adalah suatu kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai susunan asli berdasarkan hak asal usul yang bersifat istimewa (Widjaja, 2008). Desa merupakan institusi yang otonom dengan tradisi, adat istiadat dan hukumnya sendiri serta relatif mandiri (Widjaja, 2008). Sebutan Desa sangat beragam di Indonesia, pada awalnya merupakan organisasi komunitas lokal yang batas-batas wilayahnya, dihuni oleh sejumlah penduduk, dan mempunyai adat-istiadat untuk mengelola dirinya sendiri atau self-gouverning community ( Eko, 2008).
Dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia sejak jaman penjajahan hingga sekarang, keberadaan Desa diakui dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Seiring dengan perkembangan jaman dan tuntutan masyarakat desa dapat diubah statusnya menjadi kelurahan sebagaiaman diatur dalam peraturan perundang-undangan sesuai dengan usul dan prakarsa Pemerintah desa bersama Badan Permusyawaratan Desa.
Pada tahun 2005 sebagian desa di Kabupaten Tangerang diubah statusnya menjadi Kelurahan. Hal yang sama juga di Kota Serang pada tahun 2011 sebagian desa diubah menjadi Kelurahan. Desa dengan Kelurahan adalah berbeda, Desa adalah otonom yang diberi kewenangan untuk mengurus dan mengatur rumah tangganya sendiri, sedangkan kelurahan adalah SKPD Kabupaten/Kota. Dalam perubahan tersebut terjadi pro dan kontra, serta tidak sebagaimana yang diharapkan oleh masyarakat. Sehubungan dengan perubahan status tersebut dilakukan penelitian terhadap perubahan desa menjadi kelurahan suatu kajian kelembagaan.
Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan kelembagan adalah organisasi, karena istilah kelembagaan dan organisasi penggunaannya dapat dipertukarkan (Uphoff, 1986). Adapun ruang lingkup penelitian ini adalah perubahan struktur, teknologi, produk, orang budaya organisasi dan budaya masyarakat. Penelitian ini merupakan studi kasus, pendekatan yang dilakukan adalah penelitian kualitatif dengan paradigm penelitian post positivisme, Sebagai unit analisis adalah 5 (lima) kelurahan di Kecamatan Kelapa Dua Kab. Tangerang, dan 3 (tiga) kelurahan di Kecamatan Taktakan Kota Serang.
Dalam penelitian ini menghasilkan 4 (empat) temuan pokok sesuai tujuan penelitian. Pertama, proses perubahan desa menjadi kelurahan tidak didasarkan aspirasi masyarakat, melainkan lebih banyak kepentingan politis baik di Tangerang maupun Serang; kedua di Tangerang pelayanan kepada masyarakat diluar jam kerja tidak maksimal, karena hilangnya unsur wilayah dalam struktur organisasi kelurahan, sedangkan di Serang pelayanan kepada masyarakat menjadi maksimal; ketiga, baik di Tangerang maupun Serang, status perangkat desa yang menjadi perangkat kelurahan sampai saat ini belum jelas; keempat, di Tangerang dengan desa berubah menjadi kelurahan, maka terjadi perubahan nilai-nilai di masyarakat, sedangkan di Serang tidak terjadi.
Dalam perubahan desa mejadi kelurahan di masa yang akan datang maka di rekomendasikan, pertama perlu dilakukan sosialisasi terlebih dahulu, agar tidak terjadi pro dan kotra di masyarakat; kedua, perlu dipersiapkan desain organisasi kelurahan yang berasal dari desa; ketiga, perlu kejelasan status SDM dalam perubahan desa menjadi kelurahan; keempat, agar nilai-nilai budaya masyarakat desa tidak hilang maka perlu diakomodir pada kelurahan yang berasal dari desa.

Desa (village) is a term that has been used for a long time ago prior to the Dutch colonization as stated by Suryadiningrat (1992) that it is unknown when exactly it was first introduced. Desa (village) is a unit of law abiding society that has an original structure based on the privilege rights of origin (Widjaja, 2008). Desa is an autonomous institution with their own traditions, customs and laws, which is relatively independent (Widjaja, 2008). Desa is very diversified in Indonesia. In the beginning it was a local community organization whose territorial boundaries were dwelled by a number of people that had customs to self- govern or self-governing community (Eko, 2008).
In the history of Indonesian nation the existence of desa has been acknowledged in various rules of laws ever since the colonization era until today. Along with the progress of the time and the demands, the status of desa community can be transformed into a village administrative unit (kelurahan) as stipulated in the rules of laws based on the proposal and ideas of the village governance along with Village Consultative Board (Badan Permusyaratan Desa).
In year 2005 the status of the majority of villages in Tangerang regency were transformed into village administrative unit. In year 2011 the same went for that of Serang city. Desa and village administrative unit are different. The former is an autonomy that is authorized to self-govern their affairs whereas the latter is Regency/City Apparatus Work Unit (SKPD). Such changes raised the case of for and against, and in fact, they are far from their expectations. In relation to that, the research of institutional studies was conducted concerning the changes from desa to village administrative unit.
In this research what is meant by institution is organization because both terms can be used interchangeably (Uphoff, 1986). The scope of the research is the changes in structure, technology, products, people, organization and society cultures. This research is a case study adopting qualitative approach with post positivism research paradigm. As the units of analysis, there are 5 (five) village administrative units in KelapaDua district of Tangerang regency, and 3 (three) village administrative units in Taktakan district of Serang city.
The research found 4 (four) main findings in line with the purposes of the research. Firstly, the changes from desa to village administrative unit did not come from the society's aspirations, in fact it was dominantly based on political interests both in Tangerang and in Serang.; secondly, in Tangerang the public services outside working hours were not optimum due to the loss of territorial element within the village administrative unit organization, but in Serang the services were optimum; thirdly, either in Tangerang or in Serang, the status of the village apparatus that had been shifted to village administrative unit apparatus was not yet clear ; fourthly, in Tangerang changing values within the society occurred, but not in Serang.
In conclusion, for future changes it is, therefore, necessary to give the following recommendations: first, it is necessary to conduct socialization first prior to the changes to avoid the case for and against within the society; second, it is also necessary to prepare organizational design of a village administrative unit that is originallya desa; third, for such changes it is also necessary to have a clear status of the human resources; fourth, in order to avoid the loss of the village communal valuesit is, therefore, necessary to accommodate them in the village administrative unit originated from a desa.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2013
D1419
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lambiombir, Herpie
"Disertasi ini membahas mengenai Penyelenggaraan Pemerintahan Desa dalam Mewujudkan Kemandirian Desa di Kabupaten Kepulauan Tanimbar. Permasalahan mengenai kemandirian desa di Kabupaten Kepulauan Tanimbar muncul pasca pelaksanaan UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa mulai diberlakukan, hal ini menyebabkan terbentuklah pemerintahan desa secara administratif sehingga menyebabkan terjadinya kondisi penyesuaian berlakunya aturan undang-undang Desa dengan kondisi Pemerintah desa di Kabupaten Kepulauan Tanimbar yang secara umum masih terbilang prematur dalam menyikapi berlakunya undang-undang desa dengan berbagai tuntutan serta program yang harus dilaksanakan dalam proses pemerintahan desa. Pemahaman mengenai dinamika pengaturan desa masih terbilang minim sehingga menyebabkan jalannya roda pemerintahan desa menjadi tidak seimbang, belum lagi ditambah dengan kualitas sumber daya manusia yang tidak memadai sehiggga menyebabkan sering terjadi konflik dalam pemerintahan desa baik yang dilakukan oleh aparat pemerintah desa maupun oleh masyrakat desa yang berimbas terjadinya konflik berkepanjangan antar desa sehingga dinamika pemerintahan desa belum dapat berjalan secara normal sesuai dengan tuntutan aturan Undang-Undang No 6 Tahun 2014. Penulisan ini menggunakan penelitian hukum normatif yang dilengkapi dengan data primer dan sekunder yang dilakukan secara diskriptif kualitatif untuk menjawab pertanyaan mengenai : 1)Bagaimana Dinamika pengaturan desa-desa di Indonesia? 2)Bagaimana implementasi UU Desa terhadap penyelenggaraan pemerintahan desa di Kabupaten Kepulauan Tanimbar? 3) Bagaimana mewujudkan kemandirian desa melalui penyelenggaraan pemerintahan desa baik secara administrasi maupun adat?. Dari hasil penelitian dapat dilihat bahwa penyelenggaraan pemerintahan desa dalam mewujudkan kemandirian desa di Kabupaten Kepulauan Tanimbar sudah mulai di terapkan dengan baik meskipun Meskipun demikian, penyelenggaraan pemerintahan desa belum berjalan dengan optimal karena masih ditemui berbagai masalah dan kendala dalam mengimplementasikan UU Desa. Mewujudkan kemandirian desa melalui penyelenggaraan pemerintahan desa baik secara administrasi maupun adat adalah pengelolaan dan penataan aspek pemerintahan desa, namun juga berhubungan dengan masalah daerah, potensi daerah, kehidupan sehari-hari dan adat istiadat, kesiapan kelembagaan sosial, politik dan ekonomi pedesaan. Memberdayakan masyarakat desa yang dianggap sebagai metode untuk mencapai kemandirian desa diantaranya melalui partisipasi aktif masyarakat desa untuk menggali dan mengembangkan potensi-potensi yang dimiliki desa serta menuntaskan permasalahan di desa. Konsep dari pemberdayaan adalah bertujuan agar menemukan alternatif-alternatif baru menuju kemandirian dalam penyelenggaraan pemerintahan desa. Oleh karena itu Pengaturan desa-desa di Indonesia hendaknya di berikan pendampingan tidak hanya pembentukan peraturan desa. Peraturan desa ialah produk hukum harusnya berdasarkan dengan teknik pembentukan Perpu yang tertulis pada Undang-Undang Tahun 2011 No. 12 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mengingat keterbatasan SDM, sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan pemerintahan desa, penerapan konsep kemandirian sosial, politik dan ekonomi harus menjadi patokan utama sehingga kondisi desa di Kabupaten Kepulauan Tanimbar dapat menjadi desa yang mandiri secara keseluruhan sehingga dapat menjadi contoh bagi desa desa di kabupaten/kota dalam propinsi Maluku maupun bagi desa-desa lain di Indonesia.

Dissertation discusses the Implementation of Village Government in Realizing Village Independence in the Tanimbar Islands Regency. Problems regarding village independence in the Tanimbar Islands Regency emerged after the implementation of Law no. 6 of 2014 concerning Villages came into force, this led to the formation of village government administratively thus causing conditions for adjusting the entry into force of village laws with the condition of village governments in the Tanimbar Islands Regency which in general were still fairly premature in responding to the enactment of village laws with various demands and programs that must be implemented in the process of village governance. Understanding of the dynamics of village regulation is still relatively minimal, causing the running of the village government to become unbalanced, not to mention the inadequate quality of human resources which causes frequent conflicts within village governance both carried out by village government officials and by the affected village community. the occurrence of prolonged conflicts between villages so that the dynamics of village government cannot run normally in accordance with the demands of Law No. 6 of 2014. This writing uses normative legal research supplemented by primary and secondary data which is carried out in a qualitative descriptive manner to answer questions regarding: 1 ) What are the dynamics of village arrangements in Indonesia? 2) How is the implementation of the Village Law on the implementation of village governance in the Tanimbar Islands Regency? 3) How to realize village independence through the administration of village administration both administratively and customarily? From the results of the study it can be seen that the implementation of village governance in realizing village independence in the Tanimbar Islands Regency has begun to be implemented well, although even so, the implementation of village governance has not run optimally because there are still various problems and obstacles in implementing the Village Law. Realizing village independence through the administration of village government both administratively and customarily is the management and arrangement of aspects of village governance, but also related to regional problems, regional potential, daily life and customs, preparedness of social, political and rural economic institutions. Empowering village communities is considered a method for achieving village independence, including through the active participation of village communities to explore and develop the potentials of the village and resolve problems in the village. The concept of empowerment is aimed at finding new alternatives towards independence in administering village governance. Therefore, the arrangement of villages in Indonesia should be provided with assistance not only in the formation of village regulations. Village regulations are legal products that must be based on the Perpu formation technique written in the 2011 Law No. 12 concerning Formation of Laws and Regulations bearing in mind the limited human resources, facilities and infrastructure in administering village governance, the application of the concept of social, political and economic independence must be the main benchmark so that the conditions of villages in Tanimbar Islands Regency can become independent villages as a whole so that they can become an example for villages in regencies/cities within the Maluku province as well as for other villages in Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>