Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 148905 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ni Nengah Kristanti Supraba
"Skripsi ini membahas bangunan Pura Subak Kedangan dan Perannya di dalam sistem irigasi subak. Tujuan penelitian ini untuk merekonstruksi kegiatan religi pada masa Bali kuno lewat peninggalan bangunan Pura Subak Kedangan dan mengetahui perannya terhadap kegiatan irigasi subak serta kegiatan-kegiatan religi yang dilakukan di pura ini. Di dalam skripsi ini dijabarkan mengenai konsep subak serta fungsinya dalam hal religi, bangunan Pura Subak Kedangan secara keseluruhan dan tinggalan-tinggalan arkeologi di dalamnya, fungsi setiap bangunan dan makna simbolik ornamen hiasnya, serta upacara-upacara ritual padi yang dilakukan. Melalui penjelasan mengenai bangunan pura dan ritual upacara yang dilakukan, dapat diketahui bagaimana peran Pura Subak Kedangan dalam sistem subak. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa Peran Pura Subak Kedangan sangat berkaitan dengan kesuburan serta kemakmuran kegiatan pertanian dan persawahan milik para penyungsungnya.

This thesis discusses Pura Subak Kedangan building and its role in the subak irrigation system. The purpose of this study to reconstruct the religious activities in the period of ancient Bali through Pura Subak Kedangan and know its role on subak irrigation activities and religious activities are performed in this temple. In this thesis described about subak concept and the religious function, Pura Subak Kedangan building overall and and archaeological remains in it, the function of every building dan symbolic meaning of the ornament, and rice (paddy) ritual ceremonies are performed. Through the description of the building of temples and ritual ceremonies, it can be seen how the role of Pura Subak Kedangan in subak system. Based on the survey results revealed that the role of Pura Subak Kedangan is associated with fertility and prosperity of agriculture and paddy fields belonging to local people."
2013
S46465
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fajria Novari Manan
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1989
631.7 FAD s
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Riantama Sulthana Fauzan
"Sebagai sistem pertanian kearifan lokal Bali, kedaulatan pangan Subak terancam dalam menjaga keberlanjutan pangan di wilayah Bali. Hal ini disebabkan karena para petani tidak lagi sepenuhnya menjalankan prinsip Tri Hita Karana dalam kegiatan usaha taninya dan beralih pada sistem pertanian Revolusi Hijau. Kabupaten Tabanan yang memiliki prestasi ketahanan pangan terbaik di Indonesia juga ikut terancam, karena Subak sebagai garda terdepan penjaga kedaulatan pangannya sudah tidak seberdaya dulu. Maka dari itu, penilitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauh apa Revolusi Hijau telah mendegradasi kedaulatan pangan Subak yang menerapkan nilai-nilai Tri Hita Karana sehingga, dapat mengetahui akar permasalahan dan solusi yang dapat dilakukan untuk mempertahankan kedaulatan pangan. Tesis ini menggunakan desain penelitian kualitatif dan metode Life History untuk memahami berbagai perubahan yang terjadi di Subak secara mendalam. Pengumpulan data menggunakan observasi, literatur dan melakukan wawancara secara langsung kepada tiga Subak di kabupaten Tabanan. Hasil penelitian menunjukkan adanya pergeseran orientasi dari sistem pertanian berbasis manusia menjadi modal dan teknologi. Hasil dari pergeseran tersebut merubah beberapa aspek dalam Subak antara lain; sarana produksi yang mengandalkan input eksternal, sistem gotong royong yang tergantikan dengan upah, kesejahteraan petani yang memburuk, konsep pertanian yang menjadi tidak berkelanjutan, tradisi ritual yang mulai ditinggalkan dan perilaku petani yang individual membuat lemahnya posisi dan keberdayaan organisasi Subak. Tesis ini membuahkan temuan, bahwa Revolusi Hijau tidak secara langsung mempengaruhi kedaulatan pangan Subak, melainkan para petani yang terpengaruh oleh perubahan yang dibawa Revolusi Hijau menjadikan Subak menjadi tidak berdaulat. Kedaulatan pangan dapat tercapai dengan penerapan budaya yang kuat, salah satunya adalah menjalankan nilai-nilai Tri Hita Karana sebagai instrumen kedaulatan pangan berbasis budaya.

As a Balinese local wisdom agricultural system, Subak's food sovereignty is threatened in maintaining food sustainability in the Bali region. This is because the farmers no longer fully implement the principle Tri Hita Karana in farming activities and switch to the Green Revolution agricultural system. Tabanan Regency, which has the best food security achievements in Indonesia, is also under threat, because Subak, as the front line guard for food sovereignty, is no longer as empowered as before. Therefore, this research aims to find out to what extent the Green Revolution has degraded the food sovereignty of Subak which applies the values of Tri Hita Karana hence, can find out the root of the problem and solutions that can be done to maintain food sovereignty. This thesis uses a qualitative research design and methods Life History to understand the various changes that occurred in Subak in depth. Data collection used observation, literature and direct interviews with three subaks in Tabanan district. The results showed that there was a shift in orientation from human-based agricultural systems to capital and technology. The results of this shift changed several aspects of Subak, including; production facilities that rely on external inputs, mutual assistance systems that are replaced by wages, deteriorating farmer welfare, agricultural concepts that are becoming unsustainable, ritual traditions that are starting to be abandoned and individual farmer behavior weaken the position and organizational empowerment of Subak. This thesis led to the finding that the Green Revolution did not directly affect Subak's food sovereignty, but farmers who were affected by the changes brought about by the Green Revolution made Subak non-sovereign. Food sovereignty can be achieved through the implementation of a strong culture, one of which is by upholding the values of Tri Hita Karana as a culturally-based instrument for food sovereignty."
Jakarta: Sekolah Kajian dan Stratejik Global Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gede Sedana
Denpasar: Pustaka Larasan, 2017
631.587 GED m
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Dewa Agung Gede Agung
"ABSTRAK
Sejak Pelita I (1969) pemerintah melaksanakan pembaharuan di sektor pertanian dengan Panca Usaha Tani melalui Bimas dan Inmas. Kabupaten Tingkat II Bangli sebagai salah satu Kabupaten di Bali, juga tidak terlepas dari pelaksanaan program tesebut. Tujuan dari program ini untuk meningkatkan hasil pertanian sehingga swasembada pangan tercapai. Sistem Subak merupakan institusi yang bergerak dan mengatur segala aktivitas pertanian sawah dengan cara-cara yang bersifat tradisional dan turun-temurun. Ajaran Tri Hita Karana merupakan landasan filsafat kerja mereka untuk mencapai kemakmuran hidup. Dengan proses modernisasi dalam bidang pertanian, menyebabkan terjadi perubahan pada sektor usaha produksi pertanian. Fenomena ini menarik untuk dikaji. Studi ini akan berusaha mencari jawaban atas masalah pokok: bagaimana keberadaan institusi subak di Kabupaten Tingkat II Bangli dengan ditanamnya pada varietas unggul?. Dari masalah pokok ini dapat dijabarkan menjadi dua sub-masalah yaitu: (1) sejauh manakah pengaruh ditanamnya padi varietas unggul terhadap cara kerja Krama Subak?, dan (2) bagaimanakah pengaruh ditanamnya padi varietas unggul terhadap ekonomi pertanian?.
Secara temporal kajian ini dari tahun 1969-1998. Penelitian ini termasuk jenis penelitian sejarah. Karena itu langkah yang dilakukan secara kronologis sesuai dengan tuntutan metode sejarah. Adapun langkah-langkah tersebut adalah; heuristik, kritik, interpretasi dan historiografi. Data yang tekumpul bersifat deskriptif, dengan sumber data arsip (nasional dan daerah), hasil wawancara, surat kabar, artikel dan buku.
Panca Usaha Tani adalah lima langkah yang harus dilakukan untuk meningkatkan produksi pertanian. Kelima langkah tersebut adalah; (1) irigasi, (2) pengolahan tanah, (3) pemilihan bibit unggul, (4) pemupukan, dan (5) pemberantasan hama. Ini menjadi pedoman bagi petani dalam aktivitasnya di sawah. Sejak itu juga petani mulai mengenal berbagai macam jenis pada baru seperti PB5, PB6, IR28 dan sebagainya, jenis pupuk seperti KCl, TSP dan berbagai jenis obat-obat pembasmi hama. Kebijakan ini mempunyai kelebihan diantaranya; (1) panen dapat dilakukan lebih dari dua kali setahun, (2) nasi beras bukan lagi menjadi makanan istimewa yang hanya dapat dikonsumsi oleh golongan tertentu, (3) proses penyuburan tanah tidak memerlukan waktu lama, karena menggunakan pupuk anorganik, (4) pemberantasan hama dapat dilakukan secara spontan, (5) lahan dapat dimanfaatkan dalam waktu seefektif mungkin.
Melalui peranan PPL, dalam dasa warsa pertama akibat dari semua itu sudah mulai nampak. Para petani mulai merasa tergantung dengan cara-cara mempercepat proses produksi pertanian yang bersifat non-alami dan non-tradisional. Diantaranya, (1) proses penyuburan tanah selalu menggunakan pupuk anorganik, memanfaatkan jerami dan sisa-sisa gulma sebagai bahan penyubur mulai ditinggalkan, (2) tergesernya cara-cara pemberantasan hama yang bersifat niskala, (3) mulai menghilangnya penanaman jenis padi lokal, (4) semakin menipisnya sifat gotong royong dalam aktivitas di sawah.
Sistem Subak dengan segala aktivitasnya mulai berubah. Fatelikan sebagai salah satu fungsionaris subak yang sangat sentral, karena bertanggung jawab terhadap pendistribusian air, mulai tidak nampak. Pengaturan air lebih banyak dilakukan oleh setiap petani yang membutuhkan saja. Penggantian tembukuan dari bahan kayu dengan beton tidak akan menjamin lagi proses pembagian air secara merata. Begitu juga dengan sistem religi, tidak berlakunya sistem penanggalan secara absolut dalam aktivitas petani di sawah. Pelaksanaan upacara dilakukan lebih bersifat individu sesuai dengan tingkat aktivitas masing-masing petani.
Dengan segala upaya yang dilakukan oleh pemerintah, ekonomi pertanian belum mampu memberikan daya tarik terutama golongan pemuda untuk berprofesi menjadi petani. Bermata pencaharian sebagai petani dimata masyarakat dianggap masih berstatus rendah. Apalagi dengan naiknya harga-harga pupuk, pestisida yang sudah menjadi kebutuhan pokok petani, menyebabkan profesi petani semakin terpuruk sehingga petani tetap hidup subsistem.

ABSTRACT
Subak System, The Five Agricultural Effort and Agricultural Developement in the Regent of BangliSince Five Years Plan I (1969) the Indonesia government has carried out new method in the agricultural sector by using Five Agricultural Effort through Bimas (Mass Guidance in Agricultural) an Inmas. Bangli, as one of the regencies in Bali, has also a part of the program. The goal of the program is to increase the agricultural product/agricultural fields for reaching self-fulfillment of food. Subak system is the institution operating conducting all the agricultural activities in the traditional ways that has been going on and continually for hundred of years. The Tri Nita Karana doctrine is the philosophical basic working by which they can live prosperity. This phenomena is very interesting to be studied. This Study is an endeavor to look for an answer to the main problem, that is: how this agricultural institution in Subak in the regency of Bangli have to use cultivate the superior rice seed. From this main problem can be sub-divided into two sub-divisions, those are: (1) how is the effect of cultivating superior rice seed on by using Krama Subak method?, and (2) how is the effect of superior seeds cultivation being used to the farmers economically?.
Temporarily this research has been done in the year of 1969-1998. This research is considered to be a research of history, within the steps taken here are carrying in a chronological ways in order to meet the requirement as a history method. The step mentioned are heuristic, criticism, interpretations and historiography. The datas being collected have descript character, with the sources taken the national archive, personal interview, news paper, articles and books.
The Five Agricultural Plan are those of five steps that has to be done for increasing the agricultural fields. Those five step are: (1) Irrigation, (2) land cultivating, (3) the choice of superior rice seeds, (4) fertilization, and (5) eradiation of pests. These five guidance have become the guidelines for the farmers in their activities in the rice fields. Since the farmers have known of new rice seeds like PB5, PB6, 1828 etc. Beside the kind of fertilizer -like KCl, TSP, and many other plant pests killer. This policy have many advantages, among them are: (1) harvests can be more than twice a year, (2) rice is not the very special food that can be consumed by the upper class in the society, (3) land fertilizing does not take long time, because of using an organic fertilizer, (4) plant pests killing can be done spontaneously, (5) land can be planned effectively in order to reach the most benefit.
In the first decade through the effort of Agricultural Field Tutors (PPL), the promoting result of realization of all those five guidance can be seen. The farmers were getting to feel dependent for quickening the production process by using methods that are no longer natural, using non-traditional techniques. Among them are: (1) the process of fertilizing the land by using an organic or chemical fertilizer, did not use straw and other gulma anymore as land fertilizer, (2) putting away all ancient techniques of getting rid of plan pests that was considered niskala, (3) their did not use the local seeds to cultivate they land, (4) individual mutual cooperation among those people were getting less, especially when they worked in flids.
Subak system with all its activities had changed. Patelikan: a man whose function as a leader in the farmer Subak system, supervised water distribution, is not longer seen. Water distribution has been done by the farmers in the individual way only by those who need it. The modification of tembukuan which was formerly made of wood and replaced by reinforced concrete will no longer guarantee the water distribution as smooth as well. And so with the religious system, the calendar system is no longer used absolutely in the fields by the farmers. Religious ceremony is no carried out individually, according to the farmers personal activities.
With all efforts endeavored by the government, agricultural economy has not been able to give much interests to younger farmers to become farmer. Job's farmer is considered lower in the social status. The higher pesticides price of fertilizer and pesticides which become farmer's basic need, has caused the profession as farmers has gone further down, so, that living as farmers, has made them lower in their status and they lived still sub-systemly.
"
1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Iskandar Ahmad
"Penelitian tentang Masyarakat Transmigrasi Swakarsa di Suli pada tahun 1972-1994 ini bertujuan untuk menjelaskan proses perubahan yang terjadi pada masyarakat transmigrasi swakarsa di Desa Suli Donggala akibat penerapan Subak dan Panca Usaha Tani. Secara khusus penelitian ini menjelaskan tentang penerapan sistem subak dan Panca Usaha Tani, di desa Suli oleh masyarakat transmigrasi swakarsa dan Bali yang kemudian secara perlahan-lahan diikuti oleh masyarakat asli setempat (To-Kai).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dengan adanya penerapan sistem subak sangat membantu transmigrasi swakarsa Bali dalam meningkatkan produksi pertanian di desa Suli. Dengan sistem subak maka transmigran swakarsa asal Bali membuka lahan persawahan tanpa mengabaikan kegiatan-kegiatan seperti bercocok tanam dan berladang. Meskipun demikian pada masa awal pelaksanaan sistem subak pendapatan produksi panen petani belum memuaskan sebagai akibat terbatasnya penggunaan air, karena tidak memperoleh pembagian air yang cukup sesuai dengan kebutuhan tanaman padi.
Selain itu juga sistem subak bagi masyarakat transmigrasi swakarsa Bali dianggap merniliki etos sosial religius sehingga dapat memacu semangat kerja masyarakat transmigran swakarsa di desa Suli dalam melakukan kegiatan di bidang pertanian. Sehubungan dengan hal tersebut pelaksanaan sistem subak yang berkaitan dengan aspek sosial religius didasarkan pada keyakinan menurut kepercayaan agarna yang dianut oleh masyarakat transmigrasi swakarsa Bali yaitu agama Hindu yang berlandaskan Tri Hita Karama (Tiga Penyebab Kebaikan) dalam lembaga subak di gambarkan dalam tiga unsur yakni : Pertama, unsure parhyangan dengan membangun para subak di desa Suli sebagai perwujudan bhakti ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa (Ike Hyang Widhi Wasa). Kedua, unsur Pawongan merupakan perwujudan hubungan harmonis di antara para anggota subak yang diikat dengan .susunan organisasi dan peraturan yang dibuat lewat musyawarah mufakat Ketiga, unsur Palimahan yang berwujud lahan persawahan serta prasarana dan sarana irigasi dari subak tersebut yang di kelola dengan penuh tanggung jawab.
Keberadaan subak sebagai organisasi tradisional masyarakat transmigrasi swakarsa Bali di Suli dapat membantu pelaksanaan panca usaha tani di wilayah tersebut Dalam periode 1985 - 1988 desa Suli terdapat perubahan dari sebuah desa swadaya menjadi desa swasembada di Kabupaten Donggala. Kemudian tingkat produksi panen petani pada periode ini mencapai rata-rata 4,16 ton gabah kering panen (gkp) per hektar. Hal ini menunjukkan terdapat perubahan tingkat produksi panen petani pada masa sebelumnya yaitu periode subak 1972 - 1985 dimana hasil produk panen petani rata-rata 2,1 ton gabah kering panen (gkp) per hektar. Kemudian pada tahun 1989 - 1990 mulai meningkat lagi dengan produksi panen rata-rata di perkirakan 7,28 ton gabah kering panen (gkp) per hektar. Selanjutnya tahun 1990-1994 produksi panen menurun lagi menjadi rata-rata 7,05 ton gabah kering panen (gkp) per hektar antara lain disebabkan faktor persediaan air untuk keperluan tanaman padi tidak terpenuhi sesuai dengan kebutuhan tanaman tersebut karena bendungan induk mengalarni kerusakan. Dan juga faktor penggunaan sarana produksi pertanian untuk tanaman padi tidak memenuhi ketentuan yang semestinya. Selain itu pelaksanaan panca usaha tani dan sistem subak sangat ditunjang dengan adanya kebijakan Pemerintah Daerah Sulawesi Tengah tentang program Gerakan Terobosan Pernbangunan Desa."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2002
T11492
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sugama Putra
"Tesis ini melihat bahwa subak sebagai fenomena kebudayaan Bali yang sarat nilai kearifan lokal, saat ini eksistensinya semakin terdesak karena pesatnya pembangunan di berbagai sektor nonpertanian sehingga mengakibatkan tanah pertanian subak semakin berkurang dan bahkan potensi musnahnya subak di masa mendatang sangatlah mungkin terjadi. Oleh karena itu perlu adanya kepastian letak sebaran lahan pertanian pangan berkelanjutan dalam peraturan daerah di Bali sehingga tanah pertanian subak akan terlindungi dari alih fungsi menjadi tanah nonpertanian sekaligus memberdayakan para petani subak. Masalah alih fungsi tanah pertanian subak menjadi fokus analisis dengan menggunakan teori Hukum Refleksif. Penelitian hukum ini adalah penelitian hukum normatif atau kepustakaan dengan menggunakan sumber data berupa data sekunder dan dikombinasi dengan metode jurimetri. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya perubahan kebijakan nasional di bidang penataan ruang yang mengalokasikan peruntukan pertanian seluas 80.417 hektar di Bali. Penelitian ini juga menemukan ketidaksinkronan antara peraturan-peraturan daerah mengenai rencana tata ruang wilayah di Bali dengan rencana pola ruang peruntukan pertanian nasional seluas 46.591 hektar. Rekomendasi penelitian ini antara lain menganjurkan agar seluruh pemerintah daerah di Bali menginsafi dan mematuhi arahan kebijakan nasional di bidang penataan ruang dengan menyinkronkan peruntukan pertanian sekaligus memastikan letak sebaran lahan pertanian pangan berkelanjutan dalam peraturan-peraturan daerah mengenai rencana tata ruang wilayahnya sesuai dengan kebijakan nasional yang telah digariskan.

The thesis finds that the existence of subak as a Balinese cultural phenomenon full with local wisdom values is at the moment being put aside because of massive development in various non-agricultural sectors so that then land of subak agriculture lessens and the potential of subaks extinction in the future is very likely. Therefore certainty in the spread-out locations of sustainable food agricultural land in the regional regulations in Bali is needed so that subak agricultural land will be protected from land convertion to be non-agricultural land and subak farmers wil be empowered. The problem of subak agricultural land conversion is the focus analysis by using the theory of Reflexive Law. This legal research is a normative or literature legal research by using data sources of secondary data, combined with a jurimetrics method. The research result shows that there is a change of national policy in spatial improvement which allocates agricultural purposes of 80,417 hectares in Bali. The research also finds inconsistency between regional regulations on spatial planning in Bali and national agricutural purposes of spatial pattern planning of 46,591 hectares. The recommendations of the research among others suggest that all regional governments in Bali realize and comply with the national policy guidance in spatial planning by alligning the agricultural purposes and making sure that the locations of sustainable food agricultural land distribution shall be included in the regional regulations on regional spatial planning in accordance with the predetermined national policy."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
T54363
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Christofer Satria
"Penciptaan ini dilatarbelakangi oleh ketetarikan pencipta terhadap keindahan dan fenomena subak di Bali khususnya daerah Gianyar dan Bangli. Subak adalah organisasi kemasyarakatan yang mengatur sistem pengairan sawah, yang digunakan untuk bercocok tanam padi di Bali. Subak biasanya memiliki pura yang dinamakan Pura Uluncarik yang diperuntukan untuk "Dewi Sri" (dewi kemakmuran dan kesuburan). Penciptaan ini difokuskan pada fotografi decopuage keindahan dan phenomena subak Bali khususnya daerah Gianyar dan Bangli. Berorientasi dari keindahan dan fenomena subak di Bali, pencipta ingin mengungkapkan ke dalam sebuah karya fotografi decopauge, dengan menggunakan dua teknik yang berbeda menjadi satu kesatuan, sehingga kesan foto akan lebih berbeda dan mengikuti tekstur batu yang digunakan. Berdasarkan hal tersebut pencipta menggunakan teori transformasi, untuk perubahan dari karya asli be-dalam karya baru dan teori semiotika, sebagai pembuatan karya untuk melihat komposisi foto dan tekstur batu yang digunakan. Metode yang digunakan adalah metode observasi dan metode dokumentasi, yang difokuskan didaerah Gianyar dan Bangli. Pencipta berharap dengan adanya perancangan ini, dapat memberikan dampak baik terhadap Subak di Bali terutama daerah Gianyar dan Bangli, dan dapat menjadi media yang menarik untuk memelihara dan menjaga Subak di Bali."
Denpasar: Institut Seni Indonesia Denpasar, 2017
700 JSRD 21:2 (2017)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
I Ketut Setiawan
"Pertanian, sebagai mata pencaharian utama dalam kehidupan manusia, telah mengalami suatu proses perkembangan yang cukup panjang. Penemuan kepandaian bercocok tanam atau pertanian merupakan suatu peristiwa besar dalam proses perkembangan kebudayaan manusia, bahkan sering kali peristiwa itu disebut sebagai suatu "revolusi" dalam peradaban umat manusia (Gordon Childe, 1953). Masa ini amat penting dalam sejarah perkembangan masyarakat, karena pada masa ini beberapa penemuan baru berupa penguasaan sumber-sumber alam bertambah cepat. Berbagai macam tumbuh-tumbuhan mulai dipelihara, cara untuk memanfaatkan hutan belukar dengan menebang dan membakar pohon-pohon serta pemanfaatan lahan pertanian mulai dikembangkan, sehingga tercipta ladang-ladang dan persawahan yang memberi hasil-hasil pertanian (Soejono, 1975 : 153)
Namun demikian, hingga saat ini para ahli masih sulit menentukan kapan sesungguhnya manusia mulai melakukan kegiatan bercocok tanam atau pertanian tersebut. Sehubungan dengan hal itu, Koentjaraningrat.mengemukakan : "sejak makhluk manusia timbul di muka bumi ini kira-kira 2.000.000 tahun yang lalu, ia hidup dari berburu, sedangkan baru kira-kira 10.000 tahun yang lalu ia mulai menemukan bercocok tanam. Tentu sekarang timbul suatu pertanyaan yang amat menarik, ialah : di manakah di muka bumi timbul revolusi kebudayaan yang merobah pola hidup itu ? Soal asal mula bercocok tanam hanya bisa menjadi lapangan untuk berbagai dugaan dan spekulasi yang sebenarnya sukar dibuktikan dengan nyata. Rupa-rupanya bercocok tanam tidak terjadi sekonyong-konyong, tetapi kepandaian itu timbul berangsur-angsur di berbagai tempat di dunia. Mungkin usaha percocok tanam yang pertama mulai dengan aktivitas mempertahankan tumbuh-tumbuhan di tempat-tempat yang tertentu, terhadap serangan binatang-binatang, atau membersihkannya dari rumput-rumputan yang merusak. Dalam pekerjaan ini, manusia tentu mudah dapat mengobservasi bagaimana misalnya biji yang jatuh dapat tumbuh lagi, atau mendapatkan bagaimana potongan batang singkong misalnya dapat menjadi tumbuh-tumbuhan baru apabila ditancapkan di tanah, dan sebagainya. Demikianlah dapat dibuat berbagai teori yang mencoba menjawab soal bagaimana manusia itu untuk pertama kali mulai bercocok tanam, tanpa dapat dibuktikan (1974 : 37)
Kelompok masyarakat yang hidup dari bercocok tanam, biasanya tinggal di dalam lingkungan alam yang memiliki curah hujan yang cukup, sehingga menjamin kelangsungan tanam-tanaman. Selain itu, daerah-daerah yang didiami oleh masyarakat ini terdiri dari areal hutan lebat, tanahnya basah, dan mungkin pula berawa,-rawa, dan masyarakat yang demikian biasanya memiliki pola perkampungan yang bersifat menetap. Untuk kelangsungan hidupnya, mereka melakukan kegiatan bercocok tanam, yaitu menanam berbagai jenis tanam-tanaman, dan salah satu diantaranya adalah padi.
Padi, merupakan tanaman pertanian kuno yang sampai sekarang menjadi tanaman utama di Asia Tenggara. Bukti-bukti arkeologis menunjukkan bahwa padi telah dibudidayakan oleh masyarakat petani1 sejak lama. Beberapa daerah yang diduga menjadi daerah asal tanaman padi adalah India utara bagian timur, Bangladesh utara, Burma, Thailand, Vietnam dan Cina bagian selatan (Chang, 1976). Hasil penelitian Chang juga menunjukkan bahwa padi telah dibudidayakan di Asia sejak masa Neolitik, yaitu 5000 SM.
Kebudayaan bercocok tanam padi menurut Bellwood (1985 : 119 - 121) dibawa oleh para migran dari Asia Tenggara bagian utara, yang dulunya mendiami daerah sekitar pulau Formosa dan kepulauan Filipina bagian barat. Mereka bermigrasi ke selatan, akhirnya tinggal menetap di kepulauan nusantara2, menularkan ke budaya mereka dan..."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Joep Spiertz
"Subak di Bali merupakan suatu organisasi sosial masyarakat yang biasanya dikaitkan dengan norma-norma dan sistem pengetahuan orang Bali. Dalam melihat organisasi tersebut untuk dikaji dalam kajian Antropologi Hukum, hal yang harus dilakukan oleh peneliti adalah menentukan dalam konteks apa suatu institusi semacam itu dilihat. Pentingnya menentukan konteks permasalahan secara cepat bertujuan untuk menghindari penjelasan yang terlalu panjang lebar tentang keterkaitan antara sub-sub sistem dalam kebudayaan itu sendiri."
1989
PDF
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>