Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 102970 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Apria Ivoni Suci
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kewenangan dari Pengadilan Niaga dalam memutus Perkara Klaim Penjaminan Simpanan sebagaimana putusan Nomor 05/Gugatan Lain-lain/2011/PN.NIAGA.JKT.PST. Penelitian ini merupakan penelitian hukum yang bersifat yuridis normatif dengan menggunakan data sekunder, diantaranya peraturan perundang-undangan dan buku. Hasil dari penelitian ini diperoleh kesimpulan yang menjawab permasalahan, yaitu bahwa Pengadilan Niaga berwenang untuk mengadili perkara klaim penjaminan simpanan, namun sebelum menentukan apakah Pengadilan Niaga berwenanag atau tidak perlu diteliti lebih dalam lagi apa saja dasar yang menjadikan Pengadilan Niaga berwenang untuk memeriksa dan memutus perkara dan selain itu pihak Majelis Hakim dalam kasus ini juga harus lebih memperkaya pengetahuannya dalam memutus perkara, karena perkara klaim penjamina simpanan tidak termasuk ke dalam perkara yang pembuktiannya sederhana seperti yang umum ditemui apabila berpekara di Pengadilan Niaga, oleh karena itu inia dalah tantangan tersendiri bafi Majelis Hakim yang menjalaninya.

This study aims to determine the authority of the Commercial Court in deciding Deposit Insurance Claim Case No. 05/Gugatan Lain-lain/2011/PN.NIAGA.JKT. PST as the verdict. This research is a normative juridical law using secondary data, such as legislation and books. The results of this study concluded that answered the problem, namely that the Commercial Court is authorized to hear the case of deposit insurance claims, but before the Commercial Court the authority to determine whether or not needs to be investigated more deeply what makes the foundation of the Commercial Court is authorized to examine and rule on cases and other than that the judge in this case should also be enriched his knowledge in deciding the case, because the case of deposit insurance claims do not belong to a simple proof in cases such as commonly encountered when litigating in the Commercial Court, therefore this is a challenge for the judges who live it.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
S45888
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chika Unique Putrinda
"Para pelaku usaha semakin banyak melakukan transaksi dagang yang sifatnya lintas batas negara atau dikenal dengan perdagangan internasional. Salah satu bentuk transaksi dagang yang dilakukan pembiayaan usaha dagang yang dituangkan dalam perjanjian utang-piutang. Perbedaan yuridiksi hukum tidak membatasi dilaksanakannya suatu perjanjian, yaitu perjanjian yang dilakukan diantara diantara Badan Hukum Indonesia dan Badan Hukum Asing. Adanya perbedaan yuridiksi tersebut menimbulkan permasalahan, yaitu hukum mana yang mengatur serta forum mana yang berwenang dalam menyelesaikan sengketa yang terjadi diantara para pihak, dimana masing-masing negara memiliki aturan hukumnya sendiri. Hal ini juga berkaitan dengan kondisi bila salah satu pihak mengajukan upaya hukum penyelesaian sengketa melalui permohonan pernyataan pailit di Pengadilan Niaga. Permasalahan timbul karena terdapat dua kewenangan pengadilan niaga dari dua negara berbeda untuk mengadili perkara kepailitan, dimana Debitur merupakan Badan Hukum Asing yang memiliki yuridiksi hukum di luar negeri dan tidak memiliki kegiatan usaha yang dilakukan di suatu kantor pusat di Indonesia. Sementara di dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tidak mengatur mengenai dengan jelas permasalahan kepailitan antara negara tersebut atau yang dikenal dengan kepailitan lintas batas negara. Untuk menjawab permasalahan tersebut, maka dalam penelitian ini akan dilakukan dengan metode penelitian yuridis normatif. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa berdasarkan asas kebebasan berkontrak para pihak dapat menentukan sendiri isi perjanjian, seperti memasukan ketentuan mengenai pilihan hukum (choice of law) dan pilihan forum (choice of forum). Hal ini menjadikan Pengadilan Niaga Indonesia memiliki kewenangan untuk mengadili dan memutus perkara kepailitan berdasarkan penunjukan hukum dan yuridiksi Indonesia yang dituangkan oleh para pihak di dalam klausula perjanjian.

Business actors increasingly carry out trade transactions that are cross-border in nature or known as international trade. One form of trade transactions conducted trade business financing as outlined in the debt-receivable agreement. Differences in legal jurisdiction do not limit the implementation of an agreement, that is, an agreement between the Indonesian Legal Entities and Foreign Legal Entities. The difference in jurisdiction raises problems, namely which laws govern and which forums are authorized to resolve disputes between parties, where each country has its own legal rules. This also relates to the condition if one party submits a legal remedy for dispute resolution by requesting a bankruptcy statement at the Commercial Court. The problem arises because there are two commercial court authorities from two different countries to adjudicate bankruptcy cases, where the Debtor is a Foreign Legal Entity that has legal jurisdiction abroad and does not have business activities conducted at a head office in Indonesia. While Law No. 37/2004 does not clearly regulate bankruptcy issues between these countries or known as cross-border bankruptcy. To answer these problems, this research will be conducted using the normative juridical research method. From this study it can be concluded that based on the principle of freedom of contracting the parties can determine their own contents of the agreement, such as entering provisions regarding choice of law and choice of forum. This makes the Indonesian Commercial Court have the authority to try and decide bankruptcy cases based on the appointment of Indonesian law and jurisdiction as outlined by the parties in the agreement clause."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T54750
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Raden Muhammad Ilham Wildatama Wardhana
"Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dan Pengesahan Akta Rencana Perdamaian merupakan langkah hukum yang dilakukan oleh Debitur untuk melindungi perusahaanya dari semua keputusan pailit. Kepailitan berdampak buruk bagi banyak pihak, termasuk karyawan yang berisiko kehilangan pekerjaan karena PHK massal untuk menekan biaya produksi dan perusahaan yang berisiko tidak menghasilkan produk. Oleh karena itu, cara untuk menghindari kepailitan dengan diberlakukan aturan tentang Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang melahirkan suatu keputusan pengadilan yaitu Akta Rencana Perdamaian yang disetujui oleh Kreditur dan Debitur dengan tujuan merestrukturiasi semua utang-utang Debitur untuk dibayarkan di kemudian hari kepada Kreditur dan menghindari perusahaan Debitur dari keputusan pailit sehingga Debitur bisa menjalankan usahanya. Akta Perdamaian tersebut adalah sebuah produk putusan pengadilan yang kedudukannya setara dengan Undang Undang sehingga tidak dapat dilakukan perbuahan dan uapaya hukum dalam bentuk apapun.

The postponement of the obligation to pay debts and the ratification of the Peace Plan Deed is a legal step taken by the debtor to protect his company from all bankruptcy decisions. Bankruptcy is bad for many people, including employees who are at risk of losing their jobs due to mass layoffs to reduce production costs and companies who are at risk of not producing products. Therefore, the way to avoid bankruptcy is the enactment of regulations regarding Postponement of Debt Payment Obligations. The postponement of the obligation to pay debts resulted in a court decision, namely the Deed of Reconciliation Plan which was approved by the Creditors and Debtors with the aim of restructuring all debtors' debts to be visited at a later date to the creditors and avoiding the debtor's company from bankruptcy decisions so that the debtor could carry out development. The Peace Deed is a product of a court whose position is equal to the law so that no amendments and legal remedies can be carried out in any form"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
KAJ 9:3 (2004) (1)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, 2004
347.04 LAP (1)
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Kantor Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Pembangunana Nasional, 2004
345.023 IND c
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Aditya Pratama
"Berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Peradilan Agama merupakan satu-satunya lembaga peradilan yang berwenang untuk menyelesaikan perkara ekonomi syariah secara litigasi. Hal ini juga didukung dengan diterbitkannya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyelesaian Perkara Ekonomi Syariah dan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2019 tentang Pemberlakuan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2019 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan. Namun demikian, terdapat ketidakpastian hukum mengenai kewenangan penyelesaian perkara kepailitan yang timbul dari kegiatan ekonomi syariah. Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah yang merupakan produk hukum Mahkamah Agung dalam bentuk Peraturan Mahkamah Agung, menyatakan bahwa kewenangan untuk menjatuhkan putusan pailit/taflis, sebagai kewenangan Pengadilan/Mahkamah Syar'iyah dalam lingkungan Peradilan Agama. Sedangkan kepailitan itu sendiri sejatinya secara tegas dinyatakan sebagai kewenangan Pengadilan Niaga dalam lingkungan Peradilan Umum dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dan Buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan. Sehingganya, perkara-perkara kepailitan yang timbul dari kegiatan ekonomi syariah, sampai saat ini diadili di Pengadilan Niaga. Adapun pengaturan kepailitan yang digunakan untuk menyelesaikan perkara di Pengadilan Niaga, hingga saat ini tidak memperhatikan prinsip-prinsip syariah yang diperlukan untuk menyelesaikan perkara tersebut. Dengan demikian, sangatlah diperlukan pengaturan kepailitan ekonomi syariah yang secara tegas mengatur tata cara penyelesaian perkara ini sesuai dengan prinsip syariah serta pengadilan yang berwenang menyelesaikannya.

Law of The Republic of Indonesia Number 3 of 2006 on Amendment to Law Number 7 of 1989 on Religious Courts, states the religious court as the only judiciary institution with exclusive jurisdiction to litigate sharia economic based cases. This provision also supported by Regulation of The Supreme Court Number 14 of 2016 on sharia economic cases settlement procedures and Circular Letter of The Supreme Court Number 2 of 2019 on Enactment of 2019 Supreme Court Chamber Plenary Meeting Results as The Guidelines for Court Duties Implementation. However, there is some uncertainty regarding competence or jurisdiction over bankruptcy cases that stemmed from sharia economic activities. The Sharia Economic Law Compilation which is a product of the Supreme Court Regulation, stipulates that the Religious Courts has the authority to issue sharia economic based bankruptcy judgement/Taflis. On the other hand, Law of the Republic of Indonesia Number 37 of 2004 on Bankruptcy and Suspension of Debt Payment Obligations and Book II of Implementation of Court Duties and Administration Guidelines, explicitly states that bankruptcy itself is a part of commercial court jurisdiction. Thus, bankruptcy cases that stemmed from sharia economic activities are being settled in commercial court. For that matter, the set of laws that are implemented in commercial court to settle those kinds of bankruptcy cases, are not specifically sharia compliant. Therefore, it is urgent that a sharia compliant law which specifically provides the procedures on these kinds of bankruptcy cases be enacted."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mohd. Din
"ABSTRAK
Sistem Peradilan Pidana terdiri dari sub sistem Polisi, Jaksa Penuntut Umum, Hakim, dan Lembaga Pemasyarakatan. Bekerjanya Sistem Peradilan Pidana ini harus terpadu dan saling mengisi antara sub sistem. Sub sistem Polisi sebagai sub sistem hulu atau sebagai gerbang berkenalannya seseorang dengan Sistem Peradilan Pidana sangat menentukan untuk proses selanjutnya, kernampuan teknik keresersean yang dimiliki oleh Polisi (penyidik) harus didukung dengan teknik yuridis dari Jaksa Penuntut Umum, sehingga diperlukan koordinasi. KUHAP sebagai induk dasar berpijaknya Sistem Peradilan Pidana telah mengatur koordinasi tersebut berupa:
pemberitahuan dimulainya penyidikan, petunjuk penuntut umum dalam pemeriksaan tambahan (Prapenuntutan), perpanjangan penahanan, dan pemberitahuan penghentian penyidikan.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana koordinasi antara penyidik dan penuntut umum, apa hambatan dalam melakukan koordinasi, kebijakan apa yang telah ditempuh dalam menanggulangi hambatan itu dan bagaimana pengawasan penuntut umum terhadap berkas perkara yang dikembalikan kepada penyidik.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa koordinasi antara penyidik dan penuntut umum belum berjalan sebagaimana yang di.tentukan oleh KUHAP. Hambatan yang paling mendasar adalah menyangkut sarana telekomunikasi, karena jarak antara Polsek dengan kejaksaan Negeri relative Jauh. Sedangkan upaya yang dilakukan adalah dengan terus meningkatkan koordinasi dan mengadakan gelar perkara."
1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M. Farid
"ABSTRAK
Penduduk Sumatera Barat yang mayoritas masyarakat Minangkabau dikenal kuat berpegang kepada adat, tetapi dapat menerima perobahan norma yang disebabkan oleh pergantian penguasa yang lebih luas (negara). Aturan hukum yang berkembang dalam masyarakat Minangkabau ada dua bentuk; aturan yang datang dari Tuhan (Islam) berupa Al-Quran dan Hadits, dan aturan adat yang juga terdiri dari dua unsur. Pertama yang bersifat esensial dan tidak dapat berobah, kedua yang dapat berobah dalam bentuk hasil mufakat rapat nagari. Dengan demikian aturan adat Minangkabau terdiri dari bentuk adat, adat istiadat, adat yang diadatkan, adat yang teradat. Adat adalah bentuk asli yang tidak dapat berobah seperti sistem garis keturunan nasab ibu, peran penghulu dan mamak, pembagian nagari menjadi suku, dan hukum alam sebagai dasar falsafah adat Minangkabau. Adat istiadat, adalah kebiasaan masyarakat untuk wilayah tertentu dalam wilayah Minangkabau, seperti aturan-aturan yang bersifat seremonial. Adat yang diadatkan, adalah sesuatu yang datang dari pemerintah (negara) atau pemerintah daerah, seperti peraturan luhak dan rantau yang kemudian dirobah oleh Pemerintah Kolonial Belanda menjadi peraturan kelarasan. Adat yang teradat, adalah aturan berupa hasil kesepakatan rapat nagari. Di sini jelas bahwa aturan yang berlaku dan berkembang dalam masyarakat Minangkabau cukup bervariasi; hukum Islam, Aturan adat dengan segala bentuknya, hukum negara yang bekerja secara bersamaan dalam mengatur hubungan antar individu dan antar kelompok masyarakat.
Setiap norma tersebut lengkap dengan pranatanya, sehingga memungkinkan bagi masyarakat untuk memilih pranata hukum mana yang dapat memberikan peluang untuk mencapai keinginan mereka. Sebaliknya juga tidak tertutup kemungkinan bahwa pranata hukum yang ada juga ikut memilih kasus mana yang akan mereka tampung dan mana yang ditolak, berdasarkan kepentingan lembaga itu sendiri. Seperti apa yang pernah dikemukakan oleh Keebet V. Benda Beckmann tentang Forum Shopping dan Shopping Forum. Dalam menjelaskan pola pilihan hukum dan pranatanya itu tidak dapat dilepaskan dari sistem kebudayaan, sistem kepercayaan, dan sistem hukum yang berkembang dalam masyarakat.
Inti kebudayaan atau model pengetahuan masyarakat memiliki unsur-unsur yang saling berkaitan, yang antara lain adalah sistem kepercayaan dan organisasi sosial. Kedua unsur ini tidak hanya berhubungan dengan unsur-unsur ekonomi, bahasa dan komunikasi, kesenian, teknologi, ilmu pengetahuan masyarakat saja, tetapi juga menghubungkan pengaruh alam terhadap keteraturan, konflik, dan penyelesaian konflik, Hal ini disebabkan karena sistem kepercayaan dapat menjadi sumber norma (hukum agama), dan organisasi sosial dapat membentuk norma pula (hukum adat dan hukum negara), Keduanya dapat mengatur masalah yang sama dalam masyarakat yang sama pula. Karena itu hukum agama, hukum adat, dan hukum negara dapat menciptakan keteraturan. Tetapi juga dapat menimbulkan konflik, yang juga dapat memberikan penyelesaian.
Pendekatan antropologi hukum yang digunakan dalam membuktikan kerangka teoritis di atas adalah metode kasus sengketa (Hoebel, 1983) untuk dapat memudahkan mencari hukum apa yang berlaku. Karena model ini membutuhkan waktu yang cukup lama, maka tidak tertutup kemungkinan untuk menggunakan mentode kasus non-sengketa (Holleman, 1986) untuk menemukan ide atau prinsip normatif yang terkandung dibelakang prilaku hukum yang aktual. Untuk menghubungkan individu sebagai pusat analisis dengan lingkungannya digunakan metode kasus yang diperluas (Van Velaen, 1967) dan konsep semi-autonomous social fiel ( Moore, 1983).
Wilayah Sumatera Barat sekarang hanya sebagian dari wilayah Minangkabau lama, tetapi daerah utamanya memang Sumatera Barat sekarang, sehingga sering dipahami bahwa Minangkabau itu adalah Sumatera Barat. Padahal wilayah Sumatera Barat ada yang bukan Minangkabau seperti Mentawai. Berdasarkan kondisi alamnya mata pencaharian dan perekonomian masyarakat mangandalkan pertanian yang bergerak menjadi semitradisional. Berdasarkan mata pencaharian dan perekonomian ini muncul kelas sosial petani pemilik tanah yang lebih tinggi derajatnya dan petani penggarap (orang manapek). Walaupun ada profesi lain yang dianggap terhormat oleh masyarakat seperti pedagang atau pengusaha, PNS dan ABRI (pejabat negara) tetapi jumlahnya sedikit, sehingga dalam ceremonial dan perlakuan adat tetap mengacu kepada dua kelas tersebut.
Walaupun agama masyarakat keseluruhan Islam, tetapi kepercayaan mereka dapat dikategorikan menjadi; yang berpendidikan SLTP ke bawah mencampurkan Islam dengan Mitos, SLTP dan SLTA peralihan antara bentuk pertama dengan Islam rasional, SLTA ke atas mempraktekkan Islam secara moderat dan rasional.
Dalam kasus-kasus perkawinan masyarakat Minangkabau memilih norma yang ada dengan mempertimbangkan status sosialnya dalam masyarakat, politik dan ekonomi, agama untuk dapat mencapai penyelesaian sesuai dengan yang diinginkan. Mereka tidak akan memilih lembaga adat kalau status sosial mereka secara adat lemah, seperti kelompok masyarakat manapek mereka lebih memilih hukum agama dan hukum negera. Atau bisa saja mereka menggabung ketiga sistem hukum tersebut, seperti dalam kasus perceraian. Untuk memutus perkara mereka pilih Pengadilan Agama dan hukum Islam, tetapi untuk pembagian harta bersama dan pengasuhan anak menggunakan aturan adat. Ketika terjadi pertentangan antara norma adat dengan lainnya, tetapi masyarakat nekad untuk melanggar norma adat dan memilih norma lain, maka mereka akan mendapat sangsi dari lembaga adat, Seperti melanggar aturan larangan menikah bagi orang satu suku. Semua ini dapat dilihat dari beberapa kasus yang penulis ungkap dalam bab IV,
Dalam kasus sengketa kewarisan masyarakat Minangkabau menggunakan lembaga adat untuk harta pusaka tinggi. Sementara untuk harta bersama mereka sering menyelesaikannya dengan pendekatan kekeluargaan melalui pesan mamak, sehingga akhirnya pengaruh norma adat lebih kental dari hukum Islam dan hukum negara. Inilah penyebabnya masyarakat Minangkabau tidak pernah membawa perkara kewarisan mereka ke pengadilan agama atau pengadilan negeri. Pola penyelesaian kasus sengketa waris masih sama seperti sebelum berlakunya undang-undang tentang Pengadilan Agama.
Masalah perwakafan tidak dikenal dalam adat Minangkabau, sehingga mereka murni menggunakan aturan wakaf menurut agama Islam, Cuma saja mereka mensyaratkan kalau harta yang akan diwakafkan adalah harta pusaka tinggi harus melalui persetujuan anggota paruik yang berhak. Kalau itu harta pusaka rendah pemilik babas mewakafkannya sesuai hukum Islam. Cuma saja sering terjadi proses wakaf hanya dengan aturan hukum Islam saja, tanpa mematuhi hukum negara sehingga tanah wakaf sering tidak memiliki sertfikat.
Dari beberapa kasus yang penulis ungkap dapat dibuktikan bahwa norma-norma yang berlaku di masyarakat Minangkabau bersumber dari sistem kepercayaan (Islam), dan organisasi sosial yang menimbulkan hukum adat dan hukum negara. Semua norma ini saling berinteraksi dan dapat menjadi sumber keteraturan, konflik, dan juga sebagai sumber penyelesaian konflik. Dengan demikian kewenangan peradilan agama tidak hanya diatur oleh hukum negara, tetapi juga oleh norma-norma lain. Untuk itu pengadilan agama harus memperhatikan norma-norma lain tersebut dalam memutus perkara, atau pendekatan pluralisme hukum adalah pendekatan yang tepat untuk menyelesaikan kasus-kasus dalam kewenangan peradilan agama."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rusli Muhammad
Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006
347.01 RUS p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>