Ditemukan 58946 dokumen yang sesuai dengan query
Siti Solihah
"Skripsi ini membahas ambiguitas identitas dua Korea berkaitan dengan tema dalam film Euihyeongje. Narasi film dianalisis dengan metode penelitian close reading. Pendekatan dalam penelitian ini adalah New Historicism yang menekankan keterkaitan teks sastra dengan kekuatan sosial, ekonomi, dan politik yang melingkupinya serta latar belakang sejarah yang ada.
Hasil pembahasan membuktikan bahwa tema utama dalam film Euihyeongje adalah ambiguitas identitas diri yang terlihat pada tokoh, penokohan, dan alur yang mengacu pada tema utama. Rasa permusuhan dan perbedaan nasionalisme menjadi pemicu konflik dan sikap ambigu kedua tokoh utama. Secara keseluruhan, film ini mendukung ambiguitas identitas tokoh dan mengukuhkan pembentukan identitas baru yang dipandang sebagai hal positif.
This thesis explains the ambiguity two Korean identity which related to the theme of the movie Euihyeongje. Narrative in films were analyzed by the method of close reading research. The approach in this research is New Historicism that emphasize relation of literary texts with social, economic, political power, and also historical background as well. The research results proved that main theme in the Euihyeongje movie is the ambiguity of self identity. It could be seen in the character, characterization, and plot which refer to the main theme. The hostility and nationalism disparity that instigated conflict and ambiguous attitudes both of the main characters. Overall, this film supports ambiguity of identity and confirms the formation of a new identity that viewed as positive matter."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2013
S46223
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Heri Purwoko
"Dinamika sosial budaya yang terjadi di Papua membuat banyak pihak larut dalam dilema dan perjuangan yang berkelanjutan tanpa penyelesaian yang jernih sejak masa integrasi dengan Indonesia hingga kini. Film Aku Ingin Menciummu Sekali Saja menampilkan paradoks akan makna perjuangan. Di satu sisi berjuang adalah dengan mengangkat senjata, di sisi lain dimaknai sebagai usaha untuk kehidupan yang lebih baik tanpa kekerasan. Film ini menghadirkan ambiguitas dan ketidakajegan dalam posisi ideologi yang direpresentasikan melalui karakter-karakter dalam film. Melalui film Aku Ingin Menciummu Sekali Saja, penulis mengelompokkan setidaknya terdapat tiga identitas yang direpresentasikan, yaitu: (a.) identitas negara atau pemerintah pusat Republik Indonesia yang ditunjukkan melalui tokoh Perempuan, serta kehadiran dan fungsi aparat militer, (b) identitas Organisasi Papua Merdeka yang diperlihatkan aktifitas mereka dalam Kongres Papua II, bendera Bintang Kejora, pengidolaan tokoh Theys Eluay, dan sebagian rakyat Papua yang mendukung atau bersimpati terhadapnya, serta (c) sebagian penduduk Papua yang berada di antara, direpresentasikan melalui tokoh Arnold dan Ibu. Untuk melihat apakah ada indikasi keberpihakan atas persoalan identitas nasional Papua dan Indonesia, maka penulis menggunakan cultural studies dengan pendekatan analisis tekstual dan teori representasi. Penulis menitikberatkan pada kode-kode visual sinematik berupa mise-en-scene, karakter, gestur, dialog, dan jalinan antar shot dalam film Aku Ingin Menciummu Sekali Saja untuk mengetahui politik identitas yang direpresentasikan dalam film tersebut.
The socio-cultural dynamics occurring in Papua have left many parties immersed in ongoing dilemmas and struggles without clear resolution since the period of integration with Indonesia until now. The film Aku Ingin Menciummu Sekali Saja (I Want to Kiss You Only Once, 2002) displays the paradox of the meaning of struggle. On the one hand, fighting is by taking up arms, on the other hand interpreted as an effort to a better life without violence. This film presents ambiguity in the ideological position represented through the characters in the film. Through the film Aku Ingin Menciummu Sekali Saja, the writer groups at least three identities that are represented: (a) the identity of the state or central government of the Republic of Indonesia shown through women character, as well as the presence and function of the military apparatus, (b) the identity of the Free Papua Organization which were shown their activities in the Second Papuan Congress, the Morning Star flag, the idolizing of Theys Eluay, and some Papuans who supported or sympathized with him, and (c) some Papuans who were in between, represented through the figures of Arnold and Mother. To see if there are indications of alignments on the issue of Papuan and Indonesian national identity, the authors use cultural studies with textual analysis and representation theory approaches. The author focuses on cinematic visual codes in the form of mise-en-scenes, characters, gestures, dialogues, and interwoven shots in the film Aku Ingin Menciummu Sekali Saja to find out the identity politics represented in the film."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Charissa Sakina
"
ABSTRAKFilm yang berjudul Fatima 2015 merupakan sebuah film Prancis karya sutradara Philippe Faucon yang mengangkat tema mengenai kehidupan imigran di Prancis. Film ini berkisah mengenai kehidupan seorang wanita asal Aljazair yang bernama Fatima. Ia menjadi imigran di Prancis bersama kedua orang anak perempuannya yang bernama Nesrine dan Souad. Tokoh Fatima selalu menggunakan bahasa Arab dalam kesehariannya. Fatima juga membawa serta kebudayaan dan tradisinya sebagai orang Arab walaupun ia tinggal di Prancis. Berbeda dengan Fatima, kedua orang anaknya menggunakan bahasa Prancis dalam kesehariannya dan juga menganut kebudayaan Prancis. Dalam film ini, kerap terjadi konflik antara tokoh Fatima dengan kedua anaknya. Film ini dianalisis melalui aspek naratif dan dihubungkan dengan aspek sinematografisnya. Analisis dilakukan dengan menggunakan teori dari Boggs dan Petrie 2008 serta Hall 1990 . Hasil analisis dari penelitian ini menunjukkan jika penyebab konflik antara Fatima dan kedua anaknya diakibatkan perbedaan identitas mereka. Tokoh Fatima yang merupakan imigran generasi pertama masih menganut identitas asal negaranya sedangkan kedua anak Fatima berhasil terintegrasi oleh model integrasi yang diterapkan Prancis sehingga kedua anak Fatima memiliki identitas Prancis.
ABSTRACTFatima 2015 is a French film by Philippe Faucon with the theme of immigrant life in France. This film is about the life of an Algerian woman named Fatima. She became an immigrant in France with her daughters named Nesrine and Souad. Fatima characters always use Arabic in her daily life. Fatima also brought her culture and tradition as an Arab even though she lived in France. In contrast to Fatima, her daughters speak French in their daily life and also embrace French culture. In this film, there is often a conflict between Fatima with her two daughters. The film is analyzed through the narrative aspect and is associated with the cinematographic aspect. For the analysis theories from Boggs and Petrie 2008 and Hall 1990 were used. The results of the analysis show that the causes of the conflict between Fatima and her daughters were due to differences in their identities. Fatima who represents the first generation immigrants still adheres to the identity of their country of origin while Fatima rsquo;s daughters successfully integrated to the French integration model that applied so they have French identity. "
2018
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja Universitas Indonesia Library
Firdha Amelia
"Tema LGBT, khususnya gay atau boys love, marak diangkat untuk drama serta film Korea Selatan akhir-akhir ini. Beberapa di antaranya mengisahkan perjuangan kaum gay untuk bisa hidup bebas menunjukkan identitas mereka serta terhindar dari stigma negatif dan diskriminasi yang dilayangkan oleh masyarakat. Piteopaenui Kkum dipilih oleh penulis sebagai film yang mewakili representasi identitas kaum gay di Korea Selatan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memaparkan representasi identitas gay dalam film Piteopaenui Kkum. Identitas kaum gay yang terdapat dalam film Piteopaenui Kkum diperoleh dengan menggunakan semiotika model John Fiske melalui metode analisis deskriptif. Penulis menganalisis para tokoh dalam film dengan menggunakan teori penokohan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa film pendek Piteopaenui Kkum merepresentasikan identitas kaum gay yang sulit mengekspresikan diri, mengalami perundungan secara fisik dan verbal, dan mendapat label stereotip yang cenderung buruk sehingga pada akhirnya kedua tokoh utama ini menyerah pada keadaan dengan mengorbankan hubungan mereka.
LGBT themes, especially gay or boys love, have been widely used in South Korean dramas and films recently. Some of them tell the story of the struggle of gay people to be able to live freely, show their identity and avoid negative stigma and discrimination posted by the community. Piteopaenui Kkum was chosen by the writer as a film that represents the representation of gay identity in South Korea. The purpose of this study is to describe the representation of gay identity in the film Piteopaenui Kkum. The identity of the gay people in the film Piteopaenui Kkum is obtained by using the semiotic model of John Fiske through descriptive analysis method. The author analyzes the characters in the film by using the theory of characterization. The results show that the short film Piteopaenui Kkum represents the identity of gay people who find it difficult to express themselves, experience physical and verbal abuse, and get stereotyped labels that tend to be bad so that in the end these two main characters give up on the situation at the expense of their relationship."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir Universitas Indonesia Library
Evita Dwirasanti
"Dalam hidup, setiap orang memiliki identitas. Untuk mencapai identitas tertentu, seseorang harus melalui beberapa tahapan pembentukan identitas. Sepanjang hidup seseorang, baik orang tersebut sadar atau tidak, proses pembentukan identitas terus berlangsung. Mulai saat orang tersebut lahir, ia sebenarnya telah memperoleh identitas tertentu. Seiring dengan perkembangan, banyak faktor yang mengubah identitasnya. Proses yang rumit ini terus-menerus berlangsung seiring dengan bertambahnya usia. Makalah ini bertujuan untuk mengidentifikasi pembentukan identitas pemeran utama perempuan dalam film The Help. Menggunakan teori perkembangan identitas Erikson, makalah ini menyimpulkan bahwa identitas pemeran utama perempuan mendapatkan pengaruh dari pengalamannya pada masa remaja. Masa remaja menjadi tahap yang paling penting yang membentuk identitasnya. Hasil ini dapat diketahui melalui perlakuannya terhadap orang kulit hitam dan putih dan hubungannya dengan keluarga, teman-teman dan kekasihnya.
In life, every person has an identity. To reach certain identities, a person needs to undergo several stages of identity construction. Throughout one's life, whether or not the person realizes, the processes still keep on going. Starting from the moment a person is born, the person actually has already acquired certain identities. As the person grows up, many factors create several changes on his or her identity. This complex process keeps going simultaneously as the person gets older. This paper attempts to identify the identity construction of the main female character in the movie The Help.Using Erikson’s theory of identity development, this paper concludes that the main female character’s present identity is affected by her adolescent experiences. Adolescence appears to be the most significant stage that constructs her identity. This result is seen through her treatments toward black and white people and her relationships with her family, friends, and boyfriend."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2013
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja Universitas Indonesia Library
Rafianti
"Tulisan ini membahas mengenai representasi identitas gay dalam film berjudul yaganbihaeng. Film yaganbihaeng berhasil menampilkan dinamika kehidupan seorang remaja gay di tengah lingkungan sekolah. Berbeda dari film remaja lainnya yang biasanya membahas sisi percintaan atau pendidikan, film ini membahas isu identitas seksual yang masih sangat minim keberadaanya. Hal ini lah yang menjadikan film ini objek dari penelitian ini. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memaparkan representasi identitas gay dan representasi gay di lingkungan remaja dan sekolah dalam film yaganbihaeng. Metode yang digunakan dalam tulisan ini adalah metode analisis deskriptif dan teori representasi Stuart Hall. Representasi yang digambarkan oleh film ini kebanyakan berupa sebuah kritik sosial terhadap masyarakat. Kritik mengenai pandangan dan perilaku masyarakat luas terhadap seorang homoseksual di dunia nyata yang cenderung buruk dan diskriminatif.
This paper discusses the representation of gay identity in the movie titled yaganbihaeng. Yaganbihaeng film managed to show the dynamics of the life of a gay teenager in the middle of a school environment. This is what makes this film the object of this research. Different from other teen films which usually discuss the side of love or education, this film discusses the issue of sexual identity which is currently a rare issue to be discussed. The purpose of this study was to find how the representation of homosexual identity and homosexual representation in the teens and schools in the film yaganbihaeng represented. The method used in this study is descriptive analysis method and representation theory of Stuart Hall. The representation described by this film is mostly in the form of a social criticism of society. Criticism of the views and behavior of the wider community which tends to be bad and discriminatory against a homosexual in the real world."
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2019
MK-Pdf
UI - Dokumentasi Universitas Indonesia Library
Rizki Nurmaya Oktarina
"
ABSTRAKDongeng putri yang diproduksi oleh Disney telah menjadi salah satu jenis cerita yang membuat perusahaan Disney sangat terkenal. Stereotip putri-putri yang diproduksi oleh Disney pada awalnya berkulit putih. Seiringnya waktu, Disney mulai memfilmkan sebuah film animasi dengan putri yang lebih berwarna. Pada tahun 2009, Disney mengeluarkan putri ras Afrika-Amerika bernama Tiana melalui film The Princess and the Frog (2009). Namun ada ambiguitas yang tercermin dalam penggambaran karakter black dalam film ini. Untuk membantu menganalisis film ini, teori semiotikanya Barthes akan digunakan. Dengan teori tersebut penulis akan melihat bahwa di satu sisi Disney ingin menunjukan Amerika sudah “buta warna”. Film ini terlihat seperti sebuah cerminan yang dipercaya Disney benar dan ideal tentang masyarakat Amerika. Disisi lain, dalam cerminan masyarakat yang ideal ini, black masih tergambarkan dalam strata sosial bawah. Dari sini kita dapat melihat bahwa gagasan “semua manusia diciptakan sederajat” yang tertuliskan dalam deklarasi kemerdekaan Amerika, tidak sepenuhnya diterapkan dalam masyarakatnya.
ABSTRACTDisney princess fairytales have been one of the genres that made the Disney company so famous. At first, Disney princesses were stereotyped as white skinned. As time goes by, Disney started filming animated movies with more colored princesses. In 2009, Disney released a movie based on an African-American princess named Tiana through the movie „The Princess and the Frog‟ (2009). Ambiguities that tends to be racist are still deplicted in the film. To help analyzing this movie, Barthes‟ semiotics theory will be used. By using that theory, the writer will see that in one hand Disney is trying to convey that America has become “color blind”. This movie tends to picturize a reflection what Disney believe is true and ideal about the American society. On the other hand, inside that ideal society, blacks are still pictured as lower class. Here we see that the notion “all men are created equal” which is written in the declaration of Independence, is not fully implemented in the American society."
Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Tambunan, Fitri
"Hubungan antara perempuan dan konstruksi gender telah banyak diteliti sampai saat ini. Beberapa penelitian mengenai kasus ini banyak berfokus pada dampak negatif dari konstruksi gender yang dialami perempuan. Seringkali perempuan menjadi korban dari fenomena konstruksi gender dalam masyarakat sebagaimana perempuan dituntut sesuai dengan harapan masyarakat pada umumnya. Adanya persepsi ini, memunculkan pertanyaan, seperti: apakah perempuan selalu seperti itu? Apakah perempuan harus selalu mengikuti konstruksi gender dalam masyarakat? Konstruksi gender juga berdampak pada peranan manusia dalam masyarakat, dan kemudian menciptakan suatu identitas. Tulisan ini membahas tentang gambaran seorang perempuan (khususnya perempuan yang belum menikah) melalui sebuah film berjudul Confession of a Shopaholic, yang dipengaruhi oleh konstruksi gender dalam masyarakat. Hal ini juga membahas bagaimana respon tokoh perempuan terhadap konstruksi gender yang pada akhirnya berpengaruh dalam pembentukan identitas tokoh perempuan tersebut.
The relation between women and gender construction has been discussed many times. Most discussions of the issue focus on the negative impacts of gender construction for women. Women become the victim of the phenomenon of gender construction in society that they have to be what the society expects them to be. This perception then leads to questions: are women always like that? Do women always have to follow gender construction in society? Gender also constructs human's roles in a society, and those roles then create an identity. This paper talks about a woman?s image (especially a single woman) through a movie Confession of a Shopaholic, which is influenced by gender construction in society. It also extends the woman?s response towards gender construction of the society around her as it later creates her identity."
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2013
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja Universitas Indonesia Library
ATA 16(1-2) 2013
Artikel Jurnal Universitas Indonesia Library
Melfiana Puspita Sari
"Dewasa ini, film yang mempromosikan perempuan sebagai sosok yang kuat menjadi sebuah trend. Ada banyak film populer yang menawarkan cerita di mana perempuan berperang di dalam lingkungan patriarki. Genre film lainnya yang populer di masa kini adalah romansa yang dikombinasikan dengan supranatural. Beautiful Creatures adalah sebuah film yang menawarkan seorang karakter perempuan tangguh yang memiliki kekuatan supranatural. Beberapa media juga mendukung status Lena Ducchanes sebagai seorang feminis. Makalah ini berupaya untuk memperdebatkan pernyataan tersebut. Meskipun penulis Beautiful Creatures bermaksud menjadikan Lena sebagai seorang feminis, ada beberapa sifat Lena serta kondisi yang melemahkan posisi Lena sebagai seorang feminis. Melalui analisis film serta penelitian, tercapai kesimpulan bahwa beberapa factor yang seharusnya mendukung Lena sebagai feminis malah mendukung bagaimana lingkungan patriarki memposisikan perempuan.
Movies that promote woman as a strong figure seem to be a trend now. There are plenty of popular films that offer a story where women fight within patriarchal society. Other popular genres in this era are romance combined with supernatural. Beautiful Creatures is a movie that offers a strong woman character with supernatural power. Some media also support the character Lena Ducchanes as a feminist. This paper attempts to argue that notion. Although Lena is intended to be a feminist by the authors, there are some traits of her and also some conditions that weaken her position as a feminist. Through analysis of the movie and several research studies, a conclusion is reached that some factors that are intended for promoting Lena as a feminist actually reinforce how patriarchal society positions women."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2015
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja Universitas Indonesia Library