Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 97115 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fajar BS Lase
"Perubahan politik yang terjadi pasca amandemen UUD NRI Tahun 1945 berdampak pada kewenangan pembentukan undang-undang berada dibawah lembaga legislatif. Melalui undang undang MD3, kedudukan DPR RI terkait fungsi legislasi tercermin dari struktur kelembagaannya yang khusus menangani fungsi legislasi, yaitu Badan Legislasi. Badan Legislasi memiliki sembilan tugas, dimana tugas pokoknya adalah Prolegnas dan Harmonisasi undang-undang. Pencapain Kinerja yang rendah dari Badan Legislasi dalam pembentukan Undang-Undang, jauh dari Prolegnas menunjukkan adanya permasalahan dalam proses pembentukan undang-undang di DPR RI. Berdasarkan penelitian terdapat delapan faktor dominan yang secara signifikan menghambat kinerja Badan Legislasi DPR dalam proses pembentukan undang-undang.

Political changes that occurred after the constitution amendment NRI 1945 impact on the authority of the laws formation under the legislature. Through laws MD3, position related legislative function of Parliament reflected in its institutional structure that focuses on the functions of legislation, namely Legislation Board. Legislation Board has nine duties, where the main duty is PROLEGNAS and Harmonization of legislation. Achievement of low performance of Legislation Board in the formation of Laws, far from PROLEGNAS, indicate a problem in the formation of legislation in the House of Representatives. Based on research, there are eight dominant factor that significantly hamper the performance of Board Legislation in the process of law making."
Depok: Universitas Indonesia, 2013
T35238
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Nur Ghenasyarifa Albany Tanjung
"Pembentukan undang-undang selama ini bersifat periodik, tidak mencerminkan perencanaan yang berkelanjutan, dan tidak efektif. Hal ini tergambar dengan berakhirnya periode masa keanggotaan DPR RI saat ini maka berakhir pula pembentukan undang-undang, sehingga pembentukan undang-undang periode selanjutnya dimulai dari awal. Carry over dalam pembentukan undang-undang berdasarkan Pasal 71A Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 hadir sebagai solusinya. Penelitian ini menganalisis mengenai konsep carry over dalam pembentukan undang-undang berdasarkan Pasal 71A Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 dan sebelum diundangkannya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019; implementasi dan kendala dalam penerapan mekanisme carry over dalam pembentukan undang-undang berdasarkan Pasal 71A Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 dari periode masa keanggotaan DPR RI tahun 2014-2019 ke tahun 2019-2024; serta konsep carry over dalam pembentukan undang-undang yang sesuai dengan proses pembentukan undang-undang yang baik. Hasil penelitian tersebut bahwa carry over dalam pembentukan undang-undang berdasarkan Pasal 71A Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 terjadi dalam hal sudah pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah pada periode masa keanggotaan DPR RI sebelumnya, dengan kesepakatan DPR, Presiden, dan/atau DPD dapat dimasukan ke dalam Prolegnas periode masa keanggotaan DPR RI selanjutnya. Carry over sebelum diundangkan Undang-Undang Nomor 15 tahun 2019 merupakan padanan kata untuk RUU luncuran atau luncuran pembahasan yang dikenal dalam penyusunan Prolegnas tahunan, yang terjadi antar tahun dalam periode masa keanggotaan DPR yang sama. Implementasi carry over dalam pembentukan undang-undang dari periode masa keanggotaan DPR RI tahun 2014-2019 ke tahun 2019-2024, pada umumnya sama seperti pembentukan undang-undang pada umumnya, yang membedakan adalah RUU yang dibentuk pada periode masa keanggotaan DPR RI tahun 2019-2024 tidak melewati tahap penyusunan lagi karena dianggap sudah dijalankan pada periode masa keanggotaan DPR RI tahun 2014-2019. Kendala dalam penerapan carry over adalah belum tersedianya peraturan pelaksana, konsep carry over multitafsir, dan politik hukum terkait pembentukan undang-undang yang dinamis. Konsep carry over dalam pembentukan undang-undang yang sesuai dengan proses pembentukan undang-undang yang baik adalah carry over dalam pembentukan undang-undang sesuai dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik dan politik hukum dalam pembentukan perundang-udangan yang bertujuan untuk pemenuhan cita hukum. Saran dari penelitian ini hendaknya mekanisme carry over dalam pembentukan Undang-Undang berdasarkan Pasal 71A Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 dapat disosialisasikan dengan lebih masif lagi dibentuk Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai ketentuan lebih lanjut mekanisme carry over serta mekanisme carry over dilaksankan dengan memperhatikan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik dan politik hukum dalam pembentukan undang-undang yang baik, yang sesuai dengan cita hukum bangsa yang tercermin dalam Pancasila.

The law-making process so far has been periodic, does not reflect sustainable planning, and is not effective. This is illustrated by the end of the current period of The Indonesia House of Representatives, so the law-making process is also ending, so that the law-making process for the next period starts from beginning. Carry over of the law-making process according to Article 71A Act No. 15 of 2019 is present as a solution. This study analyzes the carry-over concept on the law-making process according to Article 71A of Act Number 15 of 2019 and prior to the enactment of Act Number 15 of 2019; implementation and constraints on carry over mechanism of the Law-Making Process According to Article 71A Act No. 15 of 2019 of The Indonesia House of Representatives Period 2014-2019 to Period 2019-2024; and carry-over concept on the law-making process that are in accordance well-law making process. The results of this study show that the carry-over concept on the law-making process according to Article 71A of Act Number 15 of 2019 occurred in the event that the Inventory List of Problems has been discussed during the previous of The Indonesia House of Representatives period, with the agreement of the The Indonesia House of Representatives, President, and/or The House of Regional Representatives, that it can be included in the Prolegnas of the next period of The Indonesia House of Representatives. The carry-over concept on the law-making process of prior to the enactment of Act Number 15 of 2019, is the equivalent of the launch bill or launch discussion which is known in the preparation of the annual Prolegnas, which occurs between years within the same period of The Indonesia House of Representative. The implementation on carry over mechanism of the Law-Making Process According to Article 71A Act No. 15 of 2019 of The Indonesia House of Representatives Period 2014-2019 to Period 2019-2024 is generally the same as the formation of laws in general, what distinguishes is the bill that was making during of The Indonesia House of Representative period 2019-2024, does not pass the drafting stage again because it is considered to have been implemented during period 2014-2019. Constraints in implementing carry-over include the unavailability of implementing regulations, the concept of carry-over with multiple interpretations, and legal politics related to dynamic of law-making process. Carry-over concept on the law-making process that are in accordance well-law making process are carry over in the law-making process in accordance with the principles of good statutory formation and legal politics in the law-making process that aim to fulfill legal ideals. The suggestion from this research are that the carry-over mechanism of the law-making process according to Article 71A of Act Number 15 of 2019 can be more massively socialized; a Government Regulation has been established to regulate further provisions on the carry over mechanism; and the carry-over mechanism is carried out by taking into the principles of good statutory formation and legal politics in the law-making process which are in accordance with the ideals of national law as reflected in Pancasila."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Windy Christiani
"Penelitian ini membahas mengenai penyebab terhentinya proses legislasi Rancangan Undang Undang Kesetaraan dan Keadilan Gender RUU KKG di DPR-RI. Urgensi penyusunan RUU KKG pertama kali dilakukan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anal KPPPA pada tahun 2009, namun, ditetapkan sebagai RUU Inisatif DPR-RI pada tahun 2010, dan terhenti pada tahun 2014. Selama proses penyusunannya, RUU KKG menuai perdebatan dari kalangan masyarakat sipil dan fraksi di DPR-RI. Argumen penelitian ini adalah tidak adanya komitmen politik dari anggota DPR-RI untuk menghasilkan Undang Undang tentang Kesetaraan dan Keadilan Gender secara formal. Tidak adanya komitmen tersebut terlihat dalam perdebatan yang terjadi selama proses penyusunan RUU KKG sebagai akibat dari penolakan dua fraksi yang menolak penggunaan konsep gender pada RUU KKG. Untuk menganalisis kebijakan, penelitian ini menggunakan pendekatan ldquo;What rsquo;s Problem Represented to Be? rdquo; oleh Carol Lee Bacchi. Melalui pendekatan ini ditemukan bahwa proses legislasi RUU KKG memang sudah bemasalah karena diawali sebagai inisiatif eksekutif KPPPA dan diberikan kepada badan legislatif yang hampir keseluruhan anggotannya tidak memiliki komitmen politik untuk menyelesaikan RUU KKG.

This study discusses the cessation of the legislation process of the Gender Equality and Equity Bill (RUU KKG) in House of Representatives (Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia/ DPR-RI). The urgency of the drafting RUU KKG was first undertaken by the Ministry of Women's Empowerment and Child Protection (KPPPA) in 2009, however, was stipulated as a Bill initiated by the DPR-RI in 2010, and later was suspended in 2014. During the drafting process, RUU KKG reaps debates from civil society and fractions (fraksi) within the DPR-RI. The argument of this study focuses on the absence political commitment amongst members of DPR-RI to produce a legislation that formally promote gender equality and equity. The lack of such commitment manifested in the debate that took place during the drafting of RUU KKG where only two party fractions objected the bill and insisted on misunderstanding the concept of 'gender'. In the analysis, this research uses "What's Problem Represented to Be?" approach by Carol Lee Bacchi. Through the approach, this study conveys that the RUU KKG's legislation process in the DPR-RI had been problematic since the beginning because it started as a hand-over "initiatives" from the executive (KPPPA) and given to the legislative body whose members in general had not possessed political commitment to producing a national policy for promoting gender equality."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2017
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Eko Jaya, 1986
344.598 UND
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Nur Ramadhan
"Proses harmonisasi peraturan perundang masih menemui beberapa persoalan, beberapa diantaranya seperti belum adanya pengaturan yang komperhensif di tingkat undang-undang, belum maksimalnya pengharmonisasian yang dilakukan oleh Kementerian Hukum dan HAM, dan masih belum tepatnya mekanisme pengharmonisasian yang dilakukan selama ini. Permasalahan tersebut berimplikasi pada kualitas peraturan yang dihasilkan, diantaranya pembentukan peraturan menghabiskan waktu yang cukup lama dan peraturan masih tersandera dengan mekanisme harmonisasi yang diterapkan dewasa ini. Sehingga persoalan-persoalan tersebut perlu dilakukan penataan guna menghasilkan peraturan perundang-undangan yang berkualitas. Penelitian hukum ini menggunakan bentuk yuridis normatif, dilakukan dengan pendekatan kualitatif, dengan menggunakan sumber hukum primer berupa peraturan perundang-undangan dan bentuk kebijakan lainnya, serta sumber hukum sekunder berupa literatur dan informasi lain yang valid dan relevan, sehingga menghasilkan penelitian dalam bentuk perskriptif-analitis. Penataan yang diusulkan dalam penelitian ini berkaitan dengan mengatur proses harmonisasi peraturan perundang-undangan secara detail dalam undang-undang, penguatan peran naskah akademik sebagai bentuk pengharmonisasian dan pengembalian fungsi perancang pada kementerian atau lembaga. Oleh karena itu, penelitian ini diharapkan dapat menjawab mengenai urgensi penataan proses harmonisasi peraturan perundang-undangan yang dapat mewujudkan pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik.

The process of harmonization of laws and regulations still encounters several problems, some of which are the absence of comprehensive regulations at the level of laws, the harmonization carried out by the Ministry of Law and Human Rights has not been maximized, and the harmonization mechanisms that have been carried out so far have not been precise. These problems have implications for the quality of the regulations produced, including the formation of regulations that take a long time and regulations are still held hostage by the current harmonization mechanism. So that these problems need to be arranged in order to produce quality legislation. This legal research uses a normative juridical form, carried out with a qualitative approach, using primary legal sources in the form of legislation and other forms of policies, as well as secondary legal sources in the form of literature and other valid and relevant information, resulting in research in a descriptive-analytical form. . The arrangement proposed in this study relates to regulating the process of harmonization of laws and regulations in detail in laws, strengthening the role of academic texts as a form of harmonization and returning the designer's function to ministries or institutions. Therefore, this research is expected to be able to answer the urgency of structuring the process of harmonization of laws and regulations that can realize the formation of good laws and regulations."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chaidir Ali
"Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UUP3) lahir dari adanya pendelegasian kewenangan mengatur yang timbul dari ketentuan Pasal 22A UUD 1945. Dimana pada ketentuan Pasal 22A UUD 1945 menentukan bahwa ketentuan lebih lanjut tentang pembentukan undang-undang diatur dengan undang-undang. Hal tersebut menunjukkan bahwa materi muatan mengenai mekanisme teknis formil pembentukan undang-undang bukanlah materi muatan UUD 1945 sebagai konstitusi Republik Indonesia. Hal tersebut pun berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan memperoleh dukungan dari teori konstitusi yang menyatakan bahwa materi muatan konstitusi senantiasa berisikan hal yang pokok dan penting. Misalnya seperti jaminan hak asasi manusia maupun norma fundamental ketatanegaraan seperti pengaturan tugas, fungsi, dan pengisian lembaga utama negara. Meskipun demikian pada konteks Indonesia materi muatan tentang pembentukan undang-undang yang diatur di dalam UUP3 tersebut memiliki signifikansi dalam pengujian konstitusionalitas undang-undang di Indonesia. Sebab sejak amandemen ketiga UUD 1945, Republik Indonesia telah membentuk lembaga negara baru berupa Mahkamah Konstitusi yang salah satu wewenangnya adalah untuk melakukan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945. Akan tetapi bentuk pengujian undang-undang tersebut tidaklah dibatasi dalam artian materil semata atau juga dalam segi formil. Pada praktiknya sejak berdiri pada 2003 yang lalu, Mahkamah Konstitusi secara kontinu menerima dan memutus pengujian materil maupun formil konstitusionalitas undang-undang. Sehubungan dengan pelaksanaan pengujian formil konstitusionalitas undang-undang ini lah UUP3 akhirnya memiliki signifikansi untuk diberikan kedudukan sebagai tolok ukur dalam pengujian tersebut. Hal tersebut disebabkan oleh minimnya pengaturan terkait pembentukan undang-undang di dalam UUD 1945. Meskipun UUD 1945 telah menetapkan sejumlah landasan berpikir dan prinsip proses pembentukan undang-undang, akan tetapi UUD 1945 tidaklah mengatur mengenai ketentuan metode dan teknis formil pembentukan undang-undang. Sebab hal tersebut memang bukanlah materi muatan UUD 1945 secara teoretik. Dengan demikian UUP3 khusus dalam konteks pengujian formil konstitusionalitas undang-undang harus digunakan sebagai tolok ukur dalam pengujian tersebut. Karena jika hal tersebut tidak diterapkan maka sudah barang tentu Mahkamah Konstitusi akan mengalami kesulitan dalam memutus permohonan pengujian formil konstitusionalitas undang-undang yang diterimanya. Pandangan tersebut pun memperoleh dukungan dari sejumlah teori hierarki norma, judicial review, maupun pendekatan konsep pendelegasian kewenangan mengatur. Selain itu pada praktiknya terdapat sedikitnya 22 (dua puluh dua) Putusan Mahkamah Konstitusi yang menggunakan UUP3 dalam kedudukannya sebagai tolok ukur dalam pengujian formil konstitusionalitas undang-undang.

The Law on the Establishment of Legislation (UUP3) was emerged from the delegation of regulatory authority arising from the provisions of Article 22A of the 1945 Constitution. Where the provisions of Article 22A of the 1945 Constitution stipulate that further provisions regarding the formation of laws are regulated by law. This shows that the content material regarding the formal technical mechanism of forming laws is not the content material of the 1945 Constitution as the constitution of the Republic of Indonesia. This is also based on the results of the analysis that has been carried out to obtain support from constitutional theory which states that constitutional content material always contains basic and important matters. For example, such as guarantees of human rights and constitutional fundamental norms such as the arrangement of tasks, functions, and the filling of the main state institutions. Nevertheless, in the Indonesian context, the content material regarding the formation of laws regulated in the UUP3 has significance in examining the constitutionality of laws in Indonesia. Because since the third amendment to the 1945 Constitution, the Republic of Indonesia has established a new state institution in the form of the Constitutional Court, one of whose powers is to review laws against the 1945 Constitution. In practice, since its establishment in 2003, the Constitutional Court has continuously accepted and decided on material and formal reviews of the constitutionality of laws. In connection with the implementation of the formal review of the constitutionality of laws, the UUP3 finally has the significance of being given a position as a benchmark in this review. This is caused by the lack of regulation regarding the formation of laws in the 1945 Constitution. Although the 1945 Constitution has stipulated a number of rationale and principles for the process of forming laws, the 1945 Constitution does not regulate provisions regarding formal methods and techniques for forming laws. This is because it is not theoretically content material of the 1945 Constitution. Thus the UUP3 in the context of formal review of the constitutionality of laws must be used as a benchmark in this review. Because if this is not implemented, of course the Constitutional Court will experience difficulties in deciding the application for a formal review of the constitutionality of the law it receives. This view has also received support from a number of normative hierarchical theories, judicial review, as well as the delegation of regulatory authority concept approach. Besides that, in practice there are at least 22 (twenty two) Constitutional Court Rulings that use UUP3 in its position as a benchmark in the formal review of the constitutionality of laws."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Sekretariat Jenderal DPR RI, 2016
R 348.02 IND p
Buku Referensi  Universitas Indonesia Library
cover
Maharanie
"Undang-undang sebagai hukum tertulis dapat lebih menimbulkan kepastian hukum, mudah dikenali, serta mudah untuk membuat atau menggantinya jika sudah tidak diperlukan lagi atau tidak sesuai lagi. Kelemahannya, kadang suatu perundang-undangan bersifat kaku (rigid) dan ketinggalan zaman karena perubahan di masyarakat begitu cepat. Di samping itu karena undang-undangan sering kali dipandang sebagai sebuah produk hukum namun karena dibuat oleh lembaga politik yang maka seringkali bernuansa politis, dalam pembentukannya kadang terjadi political bargaining atau tawar-menawar yang bermuara pada kompromi yang dapat berupa consensus atau kesepakatan politis yang dituangkan dalam norma (pasal) yang kadang kurang mencerminkan kepentingan umum, melainkan hanya untuk kepentingan golongan bahkan kepentingan pribadi. Hal ini kadang kala tidak dapat dihindari dalam proses pembentukan suatu undang-undang. Untuk itu perlu dicermati bagaimanakah tata cara pembentukan suatu undangundang, agar lebih mencerminkan kepentingan warga Negara sebagai pemegang kedaulatan rakyat. Untuk itu perlu dibuka peluang partisipasi publik yang sebesarbsearnya dalam proses pembentukan kebijakan publik. Keterlibatan masyarakat dalam pembuatan sebuah kebijakan seharusnya dilakukan dari awal perencanaan, pembuatan sampai pada tahan evaluasi. Dalam perencanaan awal pembentukan kebijakan masyarakat perlu untuk dilibatkan agar aware terhadap isu yang akan diatur, dalam proses pembentukan agar bisa mengerti bagaimana arah kebijakan tersebut akan dibentuk, dan pada tahap evaluasi agar memberikan masukan terhadap implementasi sebuah kebijakan.

Law as an written regulation give more certainty in the aplication, friendly recognize, and easy to change if it is not compatible anymore. Law also have some weakness which it?s character is very rigid compare with the changing in the society. Law as legsilastive product sometimes seen as a political product which have it?s political atmosphere because in the law making proccess can be some dealing among the actor and that dealing formulate in the article in the act. It is unavoidable sometime in the law making proccess eventhoug that is not reflecting people?s intersest but only the law maker intersest. That is why, it is necessary to scrutinize the procedure of the law making process so law as a public policy more reflecting people?s interest.That is why it?s really important to open public participation in the policy makin widely open. Public participation in the public policy making should be put on the agenda from the begining from planning, policy decisioning, up to evaluation. In the planning proccess people will be awared of the issue that will be regulate, in the decicion making people will see how is the policy maker vision of the issue, and in the evaluation procces people can give their oponion about the policy implementation."
2009
S25461
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>