Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 171872 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Tinon Mahanani Sadubudi
"Yang dapat melakukan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum dengan diterbitkannya UU 2/2012 adalah Instansi. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui implikasi yuridis berlakunya UU 2/2012 bagi PT PLN (Persero) terhadap proses pengadaan tanah untuk kepentingan umum dalam rangka penyediaan tenaga listrik untuk masyarakat serta bagaimanakah penggantian atas tanah, bangunan, tanaman yang berada di bawah sepanjang jalur transmisi dalam rangka Penugasan Pemerintah kepada PT PLN (Persero) dalam pembangunan transmisi. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif dimana bidang yang diteliti adalah bidang hukum. Bentuk penelitian dalam penulisan ini adalah Penelitian Preskriptif yang tujuannya memberikan jalan keluar atau saran untuk mengatasi permasalahan. Alat Pengumpulan Data dengan studi dokumen. Sumber data yang utama dalam penelitian ini adalah data sekunder sedangkan data primer hanya sebagai penunjang. Data sekunder diperoleh dari penelitian kepustakaan yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. Setelah mendapatkan data yang diperlukan, data diolah dan dianalisis dengan menggunakan metode kualitatif. Analisis data bersifat Deduktif-induktif.
Hasil Penelitian menunjukan bahwa PT PLN (Persero) adalah Badan Usaha Milik Negara termasuk dalam kategori Instansi, apabila mendapatkan penugasan khusus dari Pemerintah. Jika tidak dengan Penugasan Pemerintah, walaupun peruntukan pembangunannya termasuk dalam kategori untuk kepentingan umum tidak dapat menggunakan mekanisme dan prosedur sesuai dengan UU 2/2012. Pemerintah dapat memberikan Penugasan Khusus kepada PT PLN (Persero). Untuk Penugasan Khusus Pemerintah dalam rangka membangun transmisi pengadaan tanahnya dilakukan sesuai mekanisme dan prosedur yang diatur UU 2/2012. Dengan demikian penggantian kepada pihak yang berhak atau pihak yang memiliki tanah, bangunan, tanaman adalah ganti kerugian maka seluruh tanah, bangunan, tanaman baik yang digunakan langsung maupun tidak langsung digunakan untuk pembangunan transmisi akan menjadi milik PT PLN (Persero), sebab dengan memberikan ganti kerugian maka akan terjadi pelepasan dan penyerahan hak untuk tanah, bangunan, tanaman yang telah diberikan ganti kerugian tersebut. Hal tersebut mengakibatkan dana yang dikeluarkan untuk pengadaan tanah akan sangat besar.

Law Number 2/2012 provides for institutions to acquire land for development of public facilities. This research examines the judiciary implications of the law for PT PLN (Persero) and its land acquisition processes in its effort to provide electricity for the masses. The research also takes a closer look at how compensation for land, property, and vegetations under the company's transmission lines in relation to its government-mandated purpose to expand electric power transmission. The approach taken in the research is of normativejudicial research method, with a research focus on its legal aspects. Specifically, the research is a prescriptive research, with a purpose to provide solutions and/or suggestions which will lead to solutions, based on conducted literary and document research. Primary source for the research was secondary documents, while primary documents were used as supporting evidences. The secondary documents were obtained through bibliographical research of materials pertaining to research subject matter. After all data was collected, it was further subjected to analysis with qualitative methods. Employed data analysis is both deductive and inductive.
The research exhibits that PT PLN (Persero) is a state-owned enterprise, which falls into the category of institution provided that it has obtained a government mandate. Without the mandate, even if the purpose of land acquisition is for public facility, the company cannot exercise the mechanisms and procedures provisioned by Law Number 2/2012. However, the government can task the company with a special assignment. Special assignments from the government for efforts of transmission expansion entitle the company to acquire land in accordance to the law's provisions. This comes with the consequence of exchanging land ownership with certain amount of compensation as a loss reprisal. With the loss reprisal, all titles of land, property, and vegetations are effectively transferred to the company for use for electric transmission purposes. Inevitably, cost and expenses associated with land acquisition can be tremendous. Unfortunately for the company, this translates to astronomical amounts of land acquisition expenses.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T35305
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rini Ismiati
"Pengadaan tanah untuk kepentingan umum sangat rawan dalam pelaksanaannya karena menyangkut hajat hidup orang banyak. Sedangkan proses pengadaan tanah dalam hal pembebasan tanah tidak akan terlepas dari masalah ganti rugi, oleh karena itu dalam menetapkan bentuk dan besarnya ganti rugi harus dilakukan musyawarah untuk mencapai kesepakatan dan tidak dibenarkan adanya paksaan.
Dalam pembebasan tanah untuk pembangunan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Cipeucang oleh Pemerintah Kota Tangerang Selatan, Panitia Pengadaan Tanah dalam musyawarah telah menetapkan ganti rugi dalam bentuk uang, sedangkan musyawarah dilakukan hanya untuk menetapkan besarnya saja. Sehingga dalam pelaksanaannya terdapat pemilik yang keberatan dengan ganti rugi dalam bentuk uang dan menuntut ganti rugi dalam bentuk tanah pengganti.
Dari latar belakang tersebut, dipandang perlu untuk dilakukan penelitian untuk menjawab pertanyaan bagaimana implementasi penentuan pemberian ganti rugi kepada masyarakat dalam rangka pengadaan tanah untuk digunakan sebagai TPA Cipeucang Tangerang Selatan, apabila dikaitkan dengan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006.
Hasil penelitian mengungkapkan bahwa musyawarah penentuan pemberian ganti rugi tidak dilakukan secara konsekuen karena masyarakat tidak diberikan pilihan bentuk ganti rugi sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 sehingga terdapat pemilik yang keberatan menerima ganti rugi dalam bentuk uang.
Disarankan agar untuk pengadaan tanah selanjutnya, Panitia Pengadaan Tanah dapat melakukan musyawarah untuk menentukan bentuk dan besarnya ganti rugi secara konsekuen, tanpa ada paksaan serta memberi ganti rugi dengan memperhatikan faktor-faktor sosial dan ekonomi masyarakat yang tanahnya dibebaskan.

Land acquisition for the development for public interest is highly vulnerable on its implementation as it is strongly related to public livelihood concern. The land acquisition process itself in terms of land relinquishment, however, will never be apart of compensation matter. Consequently, it shall be discussed in setting form and value of the compensation to reach out agreement and any coercion is prohibited.
In the land acquittalaimed for landfill project of Cipeucang by the Local Government of South Tangerang, the Land Acquisition Committee, in the discussion, had stipulated the compensation in the form of cash, whereas the discussion was carried out to set the value only. In consequence, as it is implemented there was objection from the land lords on the form of cash and they demanded the compensation in the form of substituted land.
Build upon this background, it is deemed necessary to conduct some research to answer the question of how the setting of compensation to the public was implemented in terms of land acquisition aimed for landfill of Cipeucang, South Tangerang, associated with the Regulation of the President of the Republic of Indonesia Number 65 of 2006.
The research result reveals that the discussion of setting the compensation was not consequently conducted because the community was not given options regarding to the compensation forms as stipulated in the Regulation of the President of the Republic of Indonesia Number 65 of 2006 and it resulted objection from the land owners on compensation in the form of cash.
It is suggested for the future, the Land Acquisition Committee could consequently discuss to set the form and value of compensation, without any coercion and give compensation by considering social and economic factors of the community whose land is acquitted.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T34854
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maya Yuristha Payoga Putri
"Pengadaan Tanah menurut Undang-Undang nomor 2 tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum adalah kegiatan menyediakan tanah dengan cara memberikan ganti kerugian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak. Dalam praktiknya sering kali masyarakat dirugikan dalam pengadaan tanah.Permasalahan yang kerap kali melatar belakangi timbulnya sengketa pengadaan tanah ialah penolakan masyarakat setempat terhadap lokasi pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan yang berakibat kerugian terhadap pemegang hak atas tanah.
Tesis ini membahas mengenai sengketa pengadaan tanah untuk pembangunan Bandar udara baru di Daerah Istimewa Yogyakarta, khususnya di Kabupaten Kulon Progo antara 43 warga Kulon Progo dengan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, dengan menganalisa Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang telah mengabulkan gugatan warga Kulon progo tersebut.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana praktik pengadaan tanah untuk pembangunan Bandar Udara Kulon Progo beserta dengan tahapan-tahapan pengadaan tanah ditinjau dari Undang-Undang nomor 2 tahun 2012 dan untuk mengetahui bagaimanakah penerapan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 dan peraturan perundangan-undangan yang lain tercermin dalam Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara nomor 07/6/2015/PTUN.YK tanggal 6 Juli 2015.Bentuk penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif, yang didasarkan pada bahan pustaka atau data sekunder.
Penelitian ini menggunakan penelitian kepustakaan yang berdasarkan data pustaka dan norma-norma hukum tertulis dengan mengkaji penerapan atas kaidah maupun norma dalam hukum positif. Tipe penelitian yang digunakan penulis bersifat eksplanatoris.
Hasil penelitian diperoleh bahwa dalam pelaksanaan pengadaan tanah untuk pembangunan Bandar udara Kulon Progo telah dilakukan sesuai tahapan-tahapan yang termuat dalam Undang-Undang nomor 2 tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan bagi Kepentingan Umum namun dalam pelaksanaan tahapan-tahapan tersebut yang tidak sempurna sehingga menimbulkan sengketa antara para pihak.

According to the Land Acquisition Act Number. 02 of 2012 on Land Acquisition for Development for Public Interest?s activities to provide land by way of giving proper and fair compensation to those who are entitled to receive such proper compensation and fair to the entitled party. In practice most of the time the local communities suffer caused by land acquisition process. The origin problems are often the emergence of the dispute of the land acquisition is that local community rejected against the location of the land acquisition for development purposes which resulted lost to the title holders. The issues which often happen to be the background of the occurrence of the disputes in land acquisition is the rejection of the local communities towards the location of the land acquisition for the development which causes disadvantages for the land title holders.
This thesis discusses the dispute of the implementation land acquisition for the construction of a new airport in Yogyakarta, especially in the regency of Kulon Progo between 43 local citizens with the Governor of Special Region of Yogyakarta, by analyzing the Verdict of the Administration Court that has been in favor of the citizens of Kulon Progo.
This Study aimed to find out how the implementation of land acquisition for the construction of the Kulon Progo?s new Airport along with the stages of land acquisition in term of Law Number 2 of 2012 and determine how the application of Law No. 2 of 2012 and the laws and the regulations that reflected in The State Administrative Court?s Verdict number 07/6/2015 PTUK YK. Dated July, 6th 2015.This study forms a normative juridical research, which is based on library materials or secondary data.
This research uses library research based on literature data and legal norms written by reviewing the implementation of the rules and norms of the positive law. This type of research used by the author is explanatory.
The result showed that the implementation of land acquisition for the construction of airport Kulon Progo has been executed in accordance with the stages contained in Law Number 2 of 2012 on Land Acquisition for Development for Public Interest, but in the implementation of the steps has not sufficiently Implemented which, causes dispute between the parties.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
T45000
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arrumaisha Rani Khairunnisa
"Tesis ini berisi analisis tentang pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum terhadap kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi di Indonesia yang ditinjau dari Pedoman Tata Kerja BP MIGAS Nomor 027/PTK/XII/2007 Tentang Pengadaan Tanah dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Penelitian ini menggunakan metode yang bersifat yuridis normatif dengan tipologi penelitian yang sifatnya eksploratoris dan juga metode analisis data yang bersifat kualitatif.
Hasil penelitian menyatakan bahwa prosedur pengadaan tanah untuk kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi yang kini mengacu pada Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum mengakibatkan jangka waktu pengadaan tanah menjadi semakin lama sehingga dapat menghambat program percepatan penambahan cadangan produksi minyak dan gas negara, yang akan membuat kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi di Indonesia mengalami stagnasi.
Peneliti menyarankan agar pemerintah segera mengembalikan prosedur pengadaan tanah untuk kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi pada Pedoman Tata Kerja BP MIGAS Nomor 027/PTK/XII/2007 Tentang Pengadaan Tanah.

The thesis contains an analysis about the acquisition of land for development in the public interest to the oil and gas upstream business activities in Indonesia, a review of the BP MIGAS Work Procedures Guidelines Number 027/PTK/XII/2007 Concerning Acquisition of Land and Law Number 2 of 2012 Concerning Acquisition of Land for Development in the Public Interest. The research is using juridical normative methods with an exploratorical research typology and qualitative data analysis method.
The results stated that the current procedures to acquire land for the oil and gas upstream business activities refers to the Law Number 2 of 2012 Concerning Acquisition of Land for Development in the Public Interest causes a much longer period that could inhibits the acceleration of additional reserves program of the state’s oil and gas, which could cause a stagnation in the oil and gas upstream business activities in Indonesia.
The researcher suggests the government to immediately returned the acquisition of land procedures to the BP MIGAS Work Procedures Guidelines Number 027/PTK/XII/2007 Concerning Acquisition of Land.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T35567
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chantiqa Shakira Dewi
"Lembaga Konsinyasi merupakan Lembaga hukum yang disediakan undang-undang sebagai salah satu cara hapusnya perikatan melalui tindakan penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan. Yang menjadi dasar hukum adanya Lembaga ini adalah Pasal 1381 dan Pasal 1404 sampai dengan Pasal 1412 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Lembaga Konsinyasi juga diterapkan dalam kegiatan pengadaan tanah untuk kepentingan umum berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah demi Pembangunan untuk Kepentingan Umum (UU No. 2 Tahun 2012). Dalam Lembaga Konsinyasi, terdapat dua aspek yang menjadi syarat sah keabsahannya, yakni penawaran pembayaran dan penitipan atau penyimpanan di pengadilan. Pada kegiatan pengadaan tanah untuk kepentingan umum, Lembaga Konsinyasi tidak hanya digunakan untuk memberikan ganti kerugian kepada pihak menolak bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian. Ketentuan-ketentuan inilah yang digunakan sebagai dasar permohonan penitipan ganti kerugian oleh Pemohon dalam Penetapan Nomor 01/Pdt.P/2012/PN.Tjg dan Penetepan Nomor 19/Pdt.P/2016/PN.Kag.
Consignment Institution is a legal institution provided by law as a way to terminate an agreement through an act of offering cash payment followed by safekeeping. The legal basis of this institution is regulated on Article 1381 and Article 1404 until Article 1412 of the Civil Code. Consignment institution is also applicable on land acquisition matters based on public interest according to the Law Number 2 of 2012 regarding Land Procurement for Development in the Public Interest (Law No. 2 of 2012). In the Consignment Institute, there are two aspects that become legal requirements, which consist of the offer of payment and safekeeping in court. On the matters of land procurement in the public interest, the Consignment Institutions does not only applicable on providing compensation itself. These provisions are used as a basis for the application on safekeeping of the damages by the Applicant on Court Decision No. 01/Pdt.P/2012 PN.Tjg and Court Decision No. 19/Pdt.P/2016/PN.Kag."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia , 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chantiqa Shakira Dewi
"Lembaga Konsinyasi merupakan Lembaga hukum yang disediakan undang-undang sebagai salah satu cara hapusnya perikatan melalui tindakan penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan. Yang menjadi dasar hukum adanya Lembaga ini adalah Pasal 1381 dan Pasal 1404 sampai dengan Pasal 1412 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Lembaga Konsinyasi juga diterapkan dalam kegiatan pengadaan tanah untuk kepentingan umum berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah demi Pembangunan untuk Kepentingan Umum (UU No. 2 Tahun 2012). Dalam Lembaga Konsinyasi, terdapat dua aspek yang menjadi syarat sah keabsahannya, yakni penawaran pembayaran dan penitipan atau penyimpanan di pengadilan. Pada kegiatan pengadaan tanah untuk kepentingan umum, Lembaga Konsinyasi tidak hanya digunakan untuk memberikan ganti kerugian kepada pihak menolak bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian. Ketentuan-ketentuan inilah yang digunakan sebagai dasar permohonan penitipan ganti kerugian oleh Pemohon dalam Penetapan Nomor 01/Pdt.P/2012/PN.Tjg dan Penetepan Nomor 19/Pdt.P/2016/PN.Kag.

Consignment Institution is a legal institution provided by law as a way to terminate an agreement through an act of offering cash payment followed by safekeeping. The legal basis of this institution is regulated on Article 1381 and Article 1404 until Article 1412 of the Civil Code. Consignment institution is also applicable on land acquisition matters based on public interest according to the Law Number 2 of 2012 regarding Land Procurement for Development in the Public Interest (Law No. 2 of 2012). In the Consignment Institute, there are two aspects that become legal requirements, which consist of the offer of payment and safekeeping in court. On the matters of land procurement in the public interest, the Consignment Institutions does not only applicable on providing compensation itself. These provisions are used as a basis for the application on safekeeping of the damages by the Applicant on Court Decision No. 01/Pdt.P/2012 PN.Tjg and Court Decision No. 19/Pdt.P/2016/PN.Kag."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Riva Nichrum
"ABSTRAK
Pengadaan Tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum adalah Kegiatan
menyediakan tanah dengan cara memberi ganti kerugian yang layak dan adil
kepada pihak yang berhak. Penelitian ini dianalisis secara deskriptif analitis
dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif. Dari hasil penelitian ini
Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012 tidak memberikan jaminan perlindungan
hukum bagi pemegang hak atas tanah, baik dari mekanisme pembebasan tanah,
maupun dari manipulasi makna ?kepentingan umum? telah menyebabkan
pemerintah memiliki catatan buruk dalam pengaturan pengadaan tanah. Dalam
Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012 ini sangat otoriter dan memungkinkan
Negara mengabaikan penegakan, perlindungan dan penghormatan terhadap hak
asasi warga Negara, sebagaimana dimuat dalam Pasal 28 huruf h ayat 4, bahwa
setiap orang orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut
tidak boleh diambil secara sewenang-wenang dan harus diimbangi dengan ganti
kerugian. Ganti kerugian tersebut selain pembayaran dengan nilai uang juga harus
dapat memberikan kelangsungan hidup yang lebih baik dari tingkat kehidupan
sosial ekonomi sebelum terkena pengadaan tanah, sehingga menghasilkan suatu
ganti rugi yang seimbang.

ABSTRACT
Land acquisition for the development public interest to provide land by means of
giving compensation. This study analyzed by descriptive analysis using a juridical
normative approach. From the results of this study Law Number. 2 of 2012
doesn?t give guarantee and legal protection for the title rights, both from the
mechanism of the land acquisition, and the manipulation intrensleting the cost
the government not having good record in stipulating and acquisition. This can be
concquered public interest has to voluntary and mandatory way. but the
implementation is carried out by way of intimidation, terasment, and threats and
other form. In Law No. 2 of 2012 was very authoritarian and allows the State to
ignore the enforcement, protection and respect for citizen rights, as stipulated in
Article 28 paragraph 4 letter h, that everyone has the right to private property and
property rights are not be taken arbitrarily and should be offset by compensation.
In addition to compensation payments with a value of money should also be able
to provide a better survival than the level of social and economic life before it hit
land acquisition, resulting in a balanced compensation."
2012
T31140
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Zhakirah Zatalini Irawan
"ABSTRACT
Isu hukum pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum merupakan permasalahan yang sering terjadi saat ini. Permasalahan tersebut timbul dalam UU No. 2 Tahun 2012 yang mengatur asas kesepakatan dan musyawarah. Pada praktiknya, musyawarah penetapan ganti kerugian yang diatur dalam Pasal 37 UU No. 2 Tahun 2012 seringkali tidak mencapai kesepakatan. Dalam hal pihak yang berhak atas tanah menolak atau tidak tercapainya kesepakatan mengenai bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian, maka instansi yang membutuhkan tanah mengambil langkah selanjutnya dengan menitipkan jumlah ganti rugi (konsinyasi) di pengadilan negeri setempat atas keputusan sepihak. Konsinyasi yang diatur dalam Pasal 42 UU No. 2 Tahun 2012 merupakan suatu penyimpangan karena bertentangan dengan asas kesepakatan dan esensi musyawarah sehingga bukan merupakan jalan keluar yang dapat ditempuh dalam hal pihak yang berhak menolak bentuk dan/atau besar ganti kerugian. Penelitian ini akan menguraikan permasalahan tersebut dan menjelaskan pelaksanaan pengadaan tanah yang dapat dilakukan apabila musyawarah penetapan ganti kerugian tidak mencapai kesepakatan. Metode penelitian dalam skripsi ini adalah yuridis normatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pencabutan hak atas tanah yang diatur dalam UU No. 20 Tahun 1960 adalah pelaksanaan pengadaan tanah yang dilaksanakan apabila dalam musyawarah penetapan ganti kerugian tidak mencapai kesepakatan.

ABSTRACT
The legal issue of land acquisition for development in the public interest is a problem that often occurs today. These problems arise in Act No. 2 of 2012 which regulates the principles of agreement and deliberation. During practice, the deliberations for compensation determination stipulated in Article 37 of Act No. 2 of 2012 often does not reach an agreement. In the event that the party entitled to the land refuses or does not reach an agreement regarding the form and / or the amount of compensation, the agency that needs the land takes the next step by entrusting the amount of compensation (consignment) in the local district court for a unilateral decision. The consignment that stipulated in Article 42 of Act No. 2 of 2012 is a deviation because it is contrary to the principle of agreement and the essence of deliberation so that it is not a solution that can be taken in the case of those who have the right to reject forms and / or the amount of compensation. This study will describe these problems and explain the implementation of land acquisition that can be done if the compensation determination deliberation does not reach an agreement. The research method in this paper is normative juridical. The results of the study indicate that the revocation of land rights stipulated in Act No. 20 of 1960 is the implementation of land acquisition carried out if in the deliberation of compensation determination does not reach an agreement."
2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zhafirah Zhafarina
"Tesis ini membahas permasalahan penetapan nilai ganti kerugian pengadaan tanah dalam kasus pembangunan Tol Trans Jawa di Kabupaten Jombang, Kabupaten Mojokerto, dan Kota Malang. Pihak yang berhak tidak sepakat dengan nilai ganti kerugian yang ditawarkan oleh Panitia Pengadaan Tanah karena merasa nilai tersebut tidak layak dan adil. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan desain evaluatif.
Hasil penelitian menyarankan bahwa penetapan nilai ganti kerugian oleh Penilai dilakukan secara transparan dan seharusnya pihak yang berhak yang berkeberatan mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri atau Panitia Pengadaan Tanah menempuh cara konsinyasi sesuai jangka waktu yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan agar pengadaan tanah tidak terhambat.

This thesis discusses the problem of determination of the value of compensation for land acquisition in the case of the construction of the Trans Java toll in Jombang Regency, Mojokerto Regency and Malang City. The parties that has the right disagrees with the value of of compensation offered by Land Acquisition Committee because they feel the value is not well worth and fair. This study is a qualitative research design evaluative.
Results of the study suggest that the determination of the value of compensation by the Valuer must be transparent and should the party entitled to file a lawsuit objecting to the District Court or the Land Acquisition Committee to take on consignment in accordance period of time determined by the legislation so that the land acquisition is not obstructed.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
T46596
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gianesha Pratama
"Notaris adalah Pejabat Umum yang berwenang dalam membuat akta autentik autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik. Selain Notaris, pejabat lain yang juga mempunyai kewenangan untuk membuat akta autentik adalah Pembuat Akta Tanah yang disingkat PPAT adalah Pejabat yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta autentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas Satuan Rumah Susun. Tujuan dari penulisan tesis ini adalah untuk mengetahui penyalahgunaan jabatan yang dilakukan oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah dan menjelaskan peranan Pembina dan Pengawas PPAT yang dilakukan oleh Badan Pertanahan Nasional dalam membina dan mengawasi kinerja PPAT. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif yaitu penelitian yang dilakukan berdasarkan bahan hukum utama dengan menelaah teori-teori, konsep-konsep, asas-asas hukum serta peraturan perundangan-undangan yang berhubungan dengan penelitian ini. Pendekatan yang digunakan adalah deskriptif analitis dengan menggunakan data primer dan data sekunder. Berdasarkan hasil penelitian, bahwa Majelis Pengawas Notaris dalam kasus ini sebenarnya tidak dapat melakukan penyidikan dan mengeluarkan putusan terhadap kasus ini, dikarenakan telah melampaui kewenangan nya, namun karena PPAT ini juga merangkap sebagai Notaris, hanya moralitas nya saja yang dapat dilakukan pemeriksaan, meski demikian kasus ini lebih menitik beratkan kepada jabatan nya sebagai PPAT. Secara teoritis, PPAT tersebut memang telah terbukti melanggar sumpah jabatan nya, dan Majelis Pengawas PPAT dapat melakukan pemeriksaan terhadap PPAT tersebut, namun Majelis Pengawas PPAT tersebut dapat melakukan pemeriksaan apabila ada pengaduan dari si pelapor tersebut, tetapi sampai saat ini pula, pelapor tidak melakukan pengaduan kepada Majelis Pengawas PPAT ini, karena ketidaktahuan nya.

The notary is the Public Officials authorized to make an authentic act of authenticity in all acts, agreements, and determinations required by a general rule or by the interested parties to be specified in an authentic act. In addition to the Notary, the other official who has the authority to make an authentic act is the Land Commissioner abbreviated as PPAT is the Office authorized to make authentic acts regarding certain acts of law relating to land or property rights in a Unit of Units. The purpose of the writing of this thesis is to understand the abuse of office by the Office of Land Claims Officers and to explain the role of PPAT Builders and Supervisors played by the National Land Agency in building and monitoring PPAT performance. The method of research used is the normative jurisprudence which is the research conducted on the basis of the main law by examining the theories, concepts, principles of law and the laws and regulations relating to this research. The approach used is descriptive analytics using primary and secondary data. According to the research results, the Notary Supervisory Council in this case was actually unable to investigate and issue a verdict on this case, as it had gone beyond its authority, but as the PPAT also came under the notice of Notary, only his morality could be examined, in any case This is more of a concern for his position as PPAT. Theoretically, the PPAT has indeed been found to have violated his oath of office, and the PPAT Supervisory Council may conduct investigations into the PPAT, but the PPAT Supervisory Council may conduct investigations in the wake of the complainant, to this PPAT Supervisory Council, for his ignorance."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>