Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 99288 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Herlina
"ABSTRAK
Pada tahun 1997 Pemerintah DKI Jakarta mengeluarkan Surat Keputusan Gubernur terkait dengan penyedian tanah untuk rumah susun yaitu Surat Keputusan No. 122 tahun 1997. hal ini menjadi permasalahan, terutama warga masyarakat yang telah memiliki sertipikat yaitu Bagaimanakah kekuatan Sertipikat Hak Guna Bangunan Nomor 54/Petamburan terkait dengan adanya Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta No. 122 tahun 1997 ? Bagaimanakah perlindungan hukum yang dapat diberikan kepada pemegang bekas Hak Guna Bangunan Nomor 54/Petamburan sehubungan dengan diberlakukannya Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta No. 122 tahun 1997 ? Apakah Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta No. 122 tahun 1997 telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku ? Bentuk Penelitian dalam penulisan ini adalah yuridis normatif. Yuridis normatif adalah melakukan analisa masalah berdasarkan penelusuran kepustakaan (peraturan perundang-undangan, buku-buku, literatur dan lain-lain), yang berhubungan dengan permasalahan perpanjangan Sertipikat Hak Guna Bangunan No. 54/Petamburan dan mewawancarai narasumber yang terkait, Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder.
Dengan tidak dilanjutkannya proyek rumah susun ini dan/atau tidak dicabutnya Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta No. 122 Tahun 1997 menimbulkan Ketidak pastian hokum bekas Hak Guna Bangunan No. 54/ Petamburan, tidak adanya perlindungan hukum bagi pemilik tanah bekas Hak Guna Bangunan No. 54/petamburan yang diberikan oleh Negara dalam hal ini Pemerintah DKI Jakarta. Kekuatan hukum sertipikat Hak Guna Bangunan No. 54/Petamburan tetap kuat selama tidak ada yang dapat membuktikan sebaliknya, tetapi jika jangka waktu Hak Guna Bangunan sudah berakhir kekuatan alat bukti sudah tidak ada lagi, sehubungan dengan itu jika dikaitkan dengan Surat Keputusan Gubernur No. 122 tahun 1997 yang ditetapkan pada tanggal 23 Januari 1997, apabila Hak Guna Bangunan telah berakhir perpanjangan Hak Guna Bangunan tersebut tidak dapat dilakukan karena terkena ketentuan Surat Keputusan Gubernur No. 122 tahun 1997 tentang Penetapan penguasaan bidang tanah seluas + 23 ha untuk Pembangunan Rumah Susun Murah dan Fasilitasnya di Kelurahan Petamburan Kecamatan Tanah Abang, Kotamadya Jakarta Pusat, sehingga kekuatan hukum bagi pemilik bekas Hak Guna Bangunan No. 54/Petamburan adalah hanya secara fisik yaitu sampai saat ini rumah yang berdiri diatas tanah bekas Hak Guna Bangunan No. 54/Petamburan masih ditempati dan dikuasai oleh ahli waris Almarhumah Chadijah Seger.

ABSTRACT
In 1997 the Jakarta administration issued a decree relating to the provision of land for flats that Decree No.. 122 of 1997. it then becomes the problem, especially citizens who have a certificate about how does the force of law to Uncertainty The Right of Building Status Number 54/Petamburan with The Enactment of DKI Jakarta Governor Decree Number 122 of 1997?. How can legal protection granted to former rights holder of The Right of Building Status Number 54/Petamburan connection with the enactment of the Decree of DKI Jakarta Governor No.. 122 of 1997?. Is the Decree of the Governor of Jakarta No.. 122 of 1997 in accordance with the legislation in force?. Forms of research in this thesis is normative, that is to analyze problems based on literature searches (legislation, books, literature, etc.), which deals with issues of renewal certificate The Right of Building Status Number 54/Petamburan and followed by interviews related sources, the data used in this study is primary data and secondary data.
With the discontinuation of the flats project and/or revocation of Jakarta Governor Decree No.. 122 In 1997, causing uncertainty The Right of Building Status Number 54/Petamburan, the lack of legal protection for landowners former The Right of Building Status Number 54/Petamburan provided by the State, in this case the government of DKI Jakarta. legal power The Right of Building Status Number 54/Petamburan remain strong as long as no one can prove otherwise, but if the period is over the right to build the strength of evidence is not there anymore, in connection with it if it is associated with the governor's decision letter No.. 122 in 1997 which was set on January 23, 1997, when the land rights have expired rights to build the extension can not be done because of a governor's decree No. provisions. 122 of 1997 on the determination of tenure of land measuring 23 acres for the construction of cheap flats and facilities in urban districts land Petamburan brother, jakarta center, so the force of law for the former owners the The Right of Building Status Number 54/Petamburan is just physically just because until now the house that stands on the former land use rights no.54/petamburan building is still occupied by the heirs of the deceased Chadijah Seger"
2013
T34841
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yuliana
"ABSTRAK
Penelitian ini membahas pengaturan dalam tata cara pelaksanaan dan penagihan kewajiban pembangunan rumah susun sederhana/murah, baik yang timbul berdasarkan Keputusan Gubernur Kepala DKI Jakarta Nomor 540 Tahun 1990 maupun Keputusan Gubernur Kepala DKI Jakarta Nomor 640 Tahun 1992. Penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif. Hasil penelitian ini adalah bahwa penerapan metode konversi kewajiban ke dalam bentuk dana merupakan upaya paling terakhir yang dilakukan dalam pemenuhan kewajiban pembangunan rumah susun sederhana/murah dalam rangka penyediaan rumah susun sederhana/murah oleh pemegang Surat Izin Penunjukkan Penggunaan Tanah (SIPPT).. Penelitian ini juga menyarankan Pemerintah memberlakukan pemenuhan kewajiban dengan cara membuat pemenuhan kewajiban melalui pelaksanaan pembangunan fisik rumah susun sederhana/murah oleh pemegang SIPPT sebagai langkah utama dan pertama daripada pemenuhan kewajiban melalui konversi kewajiban ke dalam bentuk dana.

ABSTRACT
The focus of this study is the regulation in fulfillment and collection procedure of simple/inexpensive condominium developing obligation whether arises under The Decree of Jakarta Special Territory Province Governor Number 540 of 1990 or arises under The Decree of Jakarta Special Territory Province Governor Number 640 of 1992. This research is normative. The results of this study is that the implementation of obligation converting into fund method is the latest effort in order to utilize the holder of Land-Using Designating Permission Decree in supplying simple/inexpensive condominium. The study also suggests that the Government must impose the fulfillment of the obligation by making the development of simple/inexpensive condominium physically by the holder of permission decree as a main and first method rather than the fulfillment of the obligation by converting into fund.
"
2013
T33105
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fitriyah Husein
"Notaris selaku PPAT dalam menjalankan jabatannya mengacu kepada ketentuan hukum sesuai koridor hirarkhi perundang-undangan yang berlaku secara mengikat. Adanya perbedaan prosedur pembuatan akta jual beli secara otentik sebagai syarat permohonan pembebasan BPHTB sesuai Peraturan Gubernur Nomor 193 Tahun 2016 secara materil harus tetap mengacu kepada ketentuan yang berlaku diatasnya sebagai landasan hukum bagi Notaris selaku PPAT menandatangani Akta Jual Beli. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif, dengan mengaitkan norma-norma hukum yang berlaku yang terkait dengan permasalahan dalam penelitian ini. Seluruh data yang dikumpulkan berdasarkan studi dokumen dan wawancara dengan narasumber untuk mendukung analisa penulis diolah dan dianalisa secara kualitatif dengan melakukan sistematika terhadap penerapan peraturan perundang-undangan yang berlaku, sehingga menghasilkan data secara kualitatif. Atas dasar demikian, penulis dapat membuat kesimpulan bahwa dengan berlakunya Peraturan Gubernur Nomor 193 Tahun 2016 pelaksanaan Jabatan Notaris selaku PPAT harus mengacu kepada ketentuan peraturan perudang-undangan yang berlaku. Sebelum atau pada saat penandatangan Akta Jual Beli Notaris selaku PPAT harus memastikan bahwa BPHTB terutang sudah dipenuhi. Untuk permohonan pembebasan 100 seratus persen atas BPHTB karena Jual Beli, Notaris selaku PPAT tetap tidak dapat melampirkan akta otentik untuk memenuhi ketentuan Peraturan Gubernur Nomor 193 Tahun 2016.

Notary as Land Deed Official PPAT in performing their function refers to the applicable legal provisions in accordance with legally binding legislation hierarchical corridors. The difference procedure in authentic sale and purchase deeds inception as BPHTB exemption request requirement in pursuant with Governor Regulation Number 193 Year 2016 materially must be reffering to the applicable provision above as a legal basis for Notary as PPAT in legalized Deed of Sale and Purchase. The study uses normative juridical research methods, by associating the applicable legal norms related to the problems in the study.The data collected based on document study and interview the sources aim to support writer analysis, processed and analyzed in qualitative method by systemizing the practice of applicable law and regulation, which resulting qualitative data. Writer rsquo s conclusion based on prior explanation is the implementation of Governor Regulation Number 193 Year 2016 regarding Notary Function As PPAT must be in accordance with the applicable law and regulations. Prior or in the legalization of Deed of Sale and Purchase, Notary as PPAT must confirm that unpaid BPHTB is already settled. Request of 100 one hundred percent exemption of BPHTB due to Sale and Purchase, authentic deed legalization by Notary as PPAT cannot be accommodated even to comply Governor Rule Number 193 Year 2016."
Depok: Universitas Indonesia, 2017
T48525
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vina Ayu Subagta Tolinggar
"Pemberian Hak Guna Bangunan (HGB) melalui Surat Keputusan (SK) oleh Kantor Pertanahan yang diikuti dengan pendaftaran HGB untuk memperoleh sertipikat hak atas tanah dalam rangka jaminan kepastian hukum, pada kenyataannya dapat memunculkan sengketa sebagaimana kasus dalam Putusan MA No. 35/K/TUN/2021. Kasus a quo berkaitan cacat administrasi pada proses pemberian HGB beserta penerbitan sertipikatnya. Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini tentang jaminan kepastian hukum dalam pemberian HGB berikut penerbitan sertipikatnya dan upaya hukum yang dilakukan apabila terjadi pencabutan atas keduanya. Untuk menjawab permasalahan digunakan metode penelitian yuridis normatif melalui studi dokumen dari data sekunder, selanjutnya dianalisis secara kualitatif. Dari analisis yang dilakukan, dapat dinyatakan UU No.5/1960 beserta peraturan pelaksanaannya (PP 24/1997) tidak secara tegas memberikan jaminan kepastian hukum terhadap pemberian HGB yang telah terbit sertipikatnya. Begitu pula PP 40/1996 jo. Permen ATR/BPN 18/2021 jo. PP 18/2021, tidak secara jelas memberikan jaminan. Tindakan Menteri ATR/BPN mencabut pemberian HGB serta membatalkan sertipikat HGB ditemukan cacat administrasi merupakan salah satu bukti ketiadaan jaminan akan kepastian hukum. Adapun upaya hukum dengan adanya pencabutan pemberian HGB dan pembatalan sertipikat HGB dengan menaati amar putusan melalui Pengadilan Negeri untuk membuktikan hak keperdataan, selain menempuh mekanisme non-litigasi seperti mediasi, adjudikasi, negosiasi dan arbitrase.

The granting of Building Use Rights (HGB) through a Decree (SK) by the Land Office followed by the registration of HGB to obtain a certificate of land rights in the context of guaranteeing legal certainty, in fact lead to disputes as is the case in Supreme Court Decision No. 35/K/TUN/2021. The case relates to administrative defects in the process of granting HGB and the issuance of the certificate. The problems raised in this research are guarantee of legal certainty in the granting of HGB along with the issuance of the certificate and the legal remedies taken in the event of revocation of both. To answer the problem, a normative juridical research method was used through document study from secondary data, which was then analyzed qualitatively. From the analysis conducted, it can be stated that Law No. 5/1960 and its implementing regulations (PP 24/1997) do not explicitly guarantee legal certainty for the issuance of HGB certificates. Likewise PP 40/1996 jo. Permen ATR/BPN 18/2021 jo. PP 18/2021, does not clearly provide a guarantee. The actions of the Minister of ATR/BPN to revoke the grant of HGB and cancel HGB certificate found administrative defects are evidence of the absence of guarantees for legal certainty. The legal remedies include HGB revocation award and HGB cancellation certificate by complying with the decision through the District Court to prove civil rights, in addition to taking non-litigation mechanisms such as mediation, adjudication, negotiation and arbitration."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Parlindungan, Geraldi Yohanes
"

Penelitian ini membahas mengenai Tanggung Jawab Kantor Pertanahan Jakarta Selatan terhadap Perpanjangan Sertipikat Hak Guna Bangunan Nomor 170/ Kuningan Barat dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 168/Pdt.G/2017/ PN JKT SEL. Peneliti tertarik untuk meneliti dikarenakan menemukan keanehan dalam proses perpanjangan sertipikat Hak Guna Bangunan Nomor 170/ Kuningan Barat, dimana permohonan perpanjangan sertipikat Hak Guna Bangunan Nomor 170/ Kuningan Barat dapat diterima meskipun masih terdapat persoalan hukum terhadap obyek tanahnya. Sehingga permasalahan yang akan diteltiti dalam penelitian ini adalah mengenai keabsahan perpanjangan sertipikat Hak Guna Bangunan Nomor 170/ Kuningan Barat dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 168/Pdt.G/2017/ PN JKT SEL dan tanggung jawab Kantor Pertanahan Jakarta Selatan terhadap penerbitan perpanjangan sertipikat Hak Guna Bangunan Nomor 170/ Kuningan Barat dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 168/Pdt.G/2017/ PN JKT SEL. Dalam melakukan penelitian ini peneliti menggunakan bentuk penelitian Yuridis Normatif. Sedangkan untuk tipologi penelitian yang saya gunakan adalah Deskriptif Analitis. Berdasarkan hasil penelitian ini ditemukan dua buah kesimpulan yakni: keabsahan perpanjangan sertipikat Hak Guna Bangunan Nomor 170/ Kuningan Barat adalah dapat dimohonkan pembatalan sertipikat Hak Guna Bangunan 170/ Kuningan Barat dikarenakan terdapat cacat administrasi dalam proses perpanjangan sertipikat tersebut. (2) Pertanggung Jawaban Kantor Pertanahan Jakarta Selatan terhadap penerbitan perpanjangan sertipikat Hak Guna Bangunan Nomor 170/ Kuningan Barat dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 168/ Pdt.G/2017 adalah dikenakan sanksi moral berupa membuat pernyataan secara terbuka dan dikenakan sanksi perdata berupa memohonkan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara untuk membatalkan sertipikat Hak Guna Bangunan Nomor 170/ Kuningan Barat.


This study discusses about the Responsibilities of the South Jakarta Land Office for the Extension of the Building Permit Certificate Number 170 / Kuningan Barat in the Decision of the South Jakarta District Court Number 168 / Pdt.G / 2017 / PN JKT SEL. Researchers are interested to do this researc because I found an oddity in the process of the time extension of certificate of Building Use Number 170 / Kuningan Barat, where the application for the extension of certificate of Building Use Number 170 / Kuningan Barat can be accepted even though there are still legal issues with the land object. So that the problems to be examined in this study are regarding the validity of the extension of the Building Permit certificate Number 170 / Kuningan Barat in the South Jakarta District Court Decision Number 168 / Pdt.G / 2017 / PN JKT SEL and the responsibility of the South Jakarta Land Office for the issuance of the certificate extension Right to Use Building Number 170 / Kuningan Barat in South Jakarta District Court Decision Number 168 / Pdt.G / 2017 / PN JKT SEL. In conducting this research the researcher used the Normative Juridical research form. As for the research typology that I use is Analytical Descriptive. Based on the results of this study, two conclusions were found, namely: the validity of the Building Certificate No. 170 / Kuningan Barat certificate is that the cancellation of the 170 / Kuningan West Building Title Right can be applied due to administrative defects in the certificate renewal process. (2) The responsibility of the South Jakarta Land Office regarding the issuance of the certificate of extension for Building Number 170 / Kuningan Barat in the Decision of the South Jakarta District Court Number 168 / Pdt.G / 2017 is subject to moral sanctions in the form of open statements and subject to civil sanctions in the form of petitioning to the State Administrative Court to revoke the Right to Building Certificate Number 170 / Kuningan Barat.

"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Christina Octavia
"Pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara ganti kerugian kepada yang berhak atas tanah tersebut. Prosedur yang harus ditempuh dalam pengadaan tanah adalah dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah. Pengadaan tanah selain cara tersebut adalah dengan cara jual-beli, tukar-menukar, atau cara lain yang disepakati secara sukarela oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Substansi ketentuan ini bersifat keperdataan yang meliputi ketentuan pasal 1320 jo. 1338 KUH Perdata, yang berarti harus memenuhi syarat-syarat sahnya kesepakatan dan persetujuan dan dilaksanakan oleh para pihak dengan itikad baik. Pengadaan tanah ini biasanya diperuntukan bagi proyek pembangunan untuk kepentingan umum. Sedangkan pengadaan tanah diperuntukan bagi proyek pembangunan untuk kepentingan umum oleh pihak swasta dikenal dengan perolehan tanah. Perolehan tanah dapat dilakukan dengan cara pencabutan, pembebasan dan pelepasan hak-hak atas tanah. Pemerintah melaksanakan pembebasan, untuk proyek pemerintah atau proyek fasilitas umum seperti kantor pemerintah, jalan raya, pelabuhan laut/udara dan sebagainya. Sedangkan tujuan pembebasan dilakukan oleh pihak swasta dipergunakan untuk pembangunan berbagai fasilitas umum yang bersifat komersil misalnya, pembangunan perumahan/real estate, pusat-pusat perbelanjaan/shoping center, pembangunan jalan bebas hambatan dan lain-lain. Proses pelepasan atau penyerahan hak atas tanah adalah kegiatan melepaskan hubungan hukum antara pemegang hak atas tanah dengan tanah yang dikuasainya dengan memberikan ganti kerugian atas dasar musyawarah. Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam praktek pelaksanaan pelepasan atau penyerahan hak atas tanah selalu menimbulkan masalah hukum. Jika terjadi sengketa biasanya antara rakyat dan pemerintah atau rakyat dan pihak swasta adalah berkisar tentang bentuk dan besarnya ganti rugi atau terjadinya manipulasi harga tanah serta proses musyawarah yang dilakukan perubahan menjadi intimidasi baik secara fisik dan psikis terhadap pemilik tanah. Ketentuan-ketentuan mengenai pelepasan hak-hak atas tanah masyarakat harus sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah atau Rencana Pembangunan Daerah serta disinkronisasikan dengan Undang-undang Lingkungan Hidup, Undang-undang Perumahan dan Pemukiman, dan lain-lain. Proses pelepasan atau peyerahan hak atas tanah memang dirasa sulit pelaksanaannya, dan akan menjadi lebih kacau lagi apabila ditangani secara sembrono dan tidak dialasi dengan etika pertanggung-jawaban yang semestinya. Maka, diharapkan dalam hal ini semua pihak menyadari, bahwa lembaga hukum penyerahan atau pelepasan hak atas tanah adalah diciptakan untuk mendukung pemerintah dalam usahanya menyelenggarakan pembangunan Negara dan bangsa.

Procurement of land is any activity to gain ground by way compensation to those entitle to the land. Procedures to be followed in the procurement of land is by way of of release or transfer of land rights. Other than land acquisition is by way of sale, exchange, or otherwise voluntary agreed by the parties concerned. The substance of this provision is covering the civil provisions of article 1320 jo. 1338 Civil Code, which means it must meet the terms of legitimacy and consent agreement and execute by the parties in good faith. This land acquisition for development projects are usually intended for public use, while the procurement of land intended for development projects in public interest by the private parties with the acquisition of land know. Land acquisition can be done by way of revocation, redemption and release of rights to land. For government projects or public facilities project such as government offices, road, sea/airport and so on. While the goal of liberation conducted by private parties are used for for the construction of public facilities of a commercial character, for example, housing construction/real estate, shopping malls/shopping centers, highway construction and others. The process of release or transfer of land rights is an activity of releasing the legal relationship between the holders of land rights to the land under his rule, by providing indemnification on the basis of deliberation. It is inevitable that in practice the implementation of the release or transfer of land rights laws are always causing trouble. If a dispute is usually between people and their government or the people and private parties are ranged about the form and amount of indemnification or manipulation of land prices and deliberative process that was change into intimidation both physical and psychic to the landowner. The provisions regarding the release of rights of public land shall be in accordance with the Spatial Plan or Local Development Plan and is synchronized with the Environmental Law, Law of Housing and Settlements, and others. The process of release or transfer of land rights are considered difficult implementation, and will become more chaotic again when handle carelessly and not covered by ethics proper accountability. Thus, it is expected in this case all parties recognize, that the legal institutions surrender or waiver of land was created to support the government in an attempt to hold the state and nation building."
Depok: Universitas Indonesia, 2012
T29441
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Keisha Anissa Putri Salman
"Kebijakan pembebasan BPHTB merupakan kebijakan insentif pajak dengan tujuan untuk memberikan kemudahan ataupun keringanan kepada masyarakat dalam rangka melakukan pembayaran pajak serta sebagai bentuk dukungan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta terhadap kebijakan Badan Pertahanan Nasional dalam rangka percepatan sertifikasi hak atas tanah dan/atau bangunan. Namun, disisi lain karena adanya kebijakan ini, pendapatan Pemerintah Daerah selalu mengalami potential loss dan menyebabkan tidak tercapainya target realisasi penerimaan daerah. Hal ini juga disebabkan oleh beberapa hal seperti ketidakpatuhan Wajib Pajak dan pengawasan otoritas pajak yang kurang optimal. Penelitian ini dimaksudkan untuk meninjau kebijakan tersebut dari asas certainty, revenue productivity dan aspek kepatuhan serta pengawasan. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif paradigma post-positivist dengan wawancara mendalam sebagai teknik pengumpulan data. Dari penelitian ini, hasil yang didapatkan dari tinjauan asas certainty telah terpenuhi, namun permasalahan yang masih kerap terjadi adalah karena perbedaan penafsiran pada tiap kantor UPPPD terkait implementasinya mengenai objek pajak yang diperbolehkan serta penggunaan dasar pengenaan pajak mengenai penggunaan NJOP dibandingkan NPOP. Dari asas revenue productivity, kebijakan pembebasan BPHTB ini belum terpenuhi baik berdasarkan the principle of adequacy dan the principle of adaptability. Tidak terpenuhinya asas revenue productivity karena adanya threshold yang cukup besar dimana menyebabkan potensi penerimaan yang hilang bernilai sangat besar setiap tahunnya. Kemudian, berdasarkan aspek kepatuhan masih belum terpenuhi karena masih banyak perilaku Wajib Pajak yang tidak patuh secara materil, namun patuh secara formal. Ketidakpatuhan materil ini disebabkan karena lazimnya penggunaan NJOP dibandingkan nilai transaksi sebenarnya yang menyebabkan nilai transaksi yang digunakan di bawah threshold yang telah ditetapkan. Sementara itu, berdasarkan aspek pengawasan otoritas pajak masih belum cukup terpenuhi karena belum optimal dilakukan secara merata di UPPPD di DKI Jakarta serta masih banyaknya perilaku tax avoidance yang dilakukan oleh Wajib Pajak DKI Jakarta.

The BPHTB exemption policy is a tax incentive policy with the aim of providing convenience or relief to the community in order to make tax payments and as a form of support for the DKI Jakarta Provincial Government to the National Land Agency's policy in the context of accelerating land and/or building rights certification Meanwhile, due to this policy, local government revenues always experience a potential loss and cause the regional revenue realization target not to be achieved. This is also caused by several things, such as non-compliance by taxpayers and less than optimal of tax control. The purpose of this research is to observe the policy from the principle of certainty, revenue productivity and the aspect of tax compliance and also the aspect of tax control. This research used post-positivist quantitative approach with in-depth interview as data collection technique. From this research, the result from the Principle of Certainty is the tax regulation dimension has fulfilled yet, but the problem that still often occurs is due to differences in interpretation in each UPPPD office regarding its implementation regarding permitted tax objects and the use of tax bases regarding the use of NJOP compared to NPOP. From the Revenue Productivity principle, the BPHTB exemption policy has not been fulfilled, both based on the principle of adequacy and the principle of adaptability. The non-fulfillment of the revenue productivity principle is due to a fairly large threshold which causes the potential for lost revenue to be of enormous value every year. Afterwards, based on the material compliance aspect has not been fulfilled yet because there are still many taxpayers' behavior that is materially disobedient, but formally complied. This material non-compliance is due to the common use of NJOP compared to the actual transaction value, which causes the transaction value used to be below the predetermined threshold. Meanwhile, based on the aspect of tax control has not been fulfilled, because it has not been optimally carried out evenly in UPPPD in DKI Jakarta and there are still many tax avoidance behaviors carried out by DKI Jakarta Taxpayers."
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Widyasari Rina Putri
"Penelitian ini akan membahas evaluasi dari penerapan Peraturan Gubernur Nomor 75 Tahun 2005 tentang Kawasan Dilarang Merokok di Mall Kuningan City DKI Jakarta menurut persepsi perokok. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui sejauh mana evaluasi dari Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 75 Tahun 2005 tentang Kawasan Dilarang Merokok di Mall Kuningan City DKI Jakarta dilihat dari persepsi perokok. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan mix method. Peneliti menggunakan teori evaluasi kebijakan dari William N. Dunn yang terdiri dari 6 enam dimensi yaitu efektivitas, efisiensi, kecukupan, perataan, responsivitas, dan ketepatan. Peneliti menggunakan kuesioner dan wawancara untuk mengumpulkan data. Pada penelitian ini terdapat 52 lima puluh dua responden dan 4 empat narasumber. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dimensi efektivitas, dimensi efisiensi, dimensi kecukupan, dimensi perataan, dan dimensi responsivitas masih perlu ditingkatkan.

This study will describe the evaluation of the Governor Regulation number 75 year 2005 regarding to Non Smoking Area in Kuningan City Mall DKI Jakarta according to the smokers perception. The purpose of this study was to determine the extent to which the evaluation of Jakarta Governor Regulation number 75 Year 2005 about Non Smoking Area in Kuningan City Mall DKI Jakarta through the smokers perception. The method of research approach used in this study was mix method approach. The theory of program implementation from William N. Dunn used as a basis to measure the implementation that consists of 6 six dimensions including effectiveness efficiency adequacy equity responsiveness and appropriateness. There were 52 fifty two respondents and 4 four interviewees in this study. The results of this study showed that several dimensions which consist of effectiveness, efficiency, adequacy, equity, and responsiveness need to be improved.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2016
S66257
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yulia Fransiska
"Penguatan manajemen kelurahan merupakan salah satu kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Kebijakan tersebut berkaitan dengan pelimpahan kewenangan dari dinas-dinas provinsi kepada kelurahan yang diwujudkan dalam tugas pokok dan fungsi kelurahan dan didukung denganpenguatan anggaran kelurahan. Penelitian ini penting mengingat kompleksitas tuntutan kebutuhan dan permasalahan masyarakat di Provinsi DKI Jakarta yang sangat dinamis dan mendesak untuk segera mendapat penyelesaian. Melalui kebijakan penguatan manajemen Kelurahan, maka sebagai unsur pelaksana lini/ pelaksana kewilayahan, kelurahan diharapkan mampu melaksanakan kinerjanya yang optimal dalam memberikan pelayanan langsung kepada masyarakat di wilayahnya. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang menghasilkan data deskriptif yang diperoleh melalui studi pustaka, observasi, dan wawancara mendalam dengan para informan dari pihak pemerintah dan masyarakat.
Hasil penelitian menunjukan bahwa outcome implementasi penguatan manajemen kelurahan di Kelurahan Cakung Barat dilihat dari fungsi manajemen yaitu perencanaan, penganggaran, pengorganisasian, pemimpinan, pengkoordinasian, pengendalian, dan pelaporan.terlihat masih lemah. Hal ini ditunjukan dengan kapasitas perangkat kelurahan baik secara kuantitas maupun kualitas belum benar-benar memadai untuk melaksanakan tugas pokok dan fungsinya khususnya dalam menyusun perencanaan kegiatan dan anggaran serta menyusun pelaporan. Selain itu pengendalian dan koordinasi baik internal maupun eksternal hanya menjadi kegiatan rutinitas tanpa ada standar dan evaluasi yang berkelanjutan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi impelementasi penguatan manajemen kelurahan di Kelurahan Cakung Barat adalah disposisi atau sikap para pelaksana yang memandang tugas pokok dan fungsinya hanya sebagai rutinitas tanpa ada kesadaran untuk upaya meningkatkan kinerjanya.Selain itu faktor sumber daya manusia yang menunjukan keterbatasan secara kuantitas dan kualitas, faktor sumber daya lainnya adalah informasi yang lambat terkait regulasi yang kerap berubah-ubah yang berdampak pada pelaksanaan kegiatan dan pelaporan pertanggungjawaban. Selanjutnya faktor elit DPRD dalam pengesahan anggaran dengan proses waktu yang lama juga turut mempengaruhi implementasi kebijakan penguatan manajemen kelurahan di Kelurahan Cakung Barat dimana kegiatan tidak dapat dilaksanakan sesuai jadwal yang telah ditentukan dalam tahap pengorganisasian kegiatan.

The urban villages management strengthening is one of the policies issued by the government of Jakarta special capital region. The policy is related to the changing authority of the province’s Department to the urban villages that is embodied in the main task and function of urban village’s reinforcement with urban villages budget strengthening. The research is important considering the complexity of the needs and demands of people in Jakarta is very dynamic and urged to get a solution immediately. Through the policy of urban villages management strengthening, then as the steering element of lines/implementing regional, the urban villages are expected to perform their optimal in providing direct services to the community in the area. This research used a qualitative method that produces descriptive data obtained through literature study, observation, and indepth interviews with informants from the government and society.
The results showed that the outcome of the implementation of urban management strengthening in the Village of Cakung Barat viewed from the management function such as planning, budgeting, organizing, leadership, coordination, control, and reporting still look weak. This is evidenced by the capacity of the village both in quantity and quality is not really adequate to carry out the duties and functions, especially in planning the activity, budgeting and reportinng. Besides, the controlling and coordination of internal and external are only routine activities without any standards and on going evaluation.
The factors affecting the implementation of urban management strengthening in the Village of Cakung Barat is disposition or the implementer’s attitude that looks the main duties and functions has only a routine without any awareness to obtain the improvement of performances. In addition, the factor of human resource has been showed the limitations in quantity and quality, the other resources factors are slowi nformation related to regulations often change which impact to the implementation and responsibilities report. Further, the elite Council factors in endorse the budget with the long time process is also influence the policy implementation of urban management strengthening in the Cakung Barat Village where the activities can not becarried out according to the schedule in the phase of organizing activities.
"
Jakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
T41655
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fahrul Fauzi
"Para pemegang sertipikat hak guna bangunan atas hak pengelolaan milik PT. KBN (Persero) mengajukan gugatan ke pengadilan tata usaha negara. Objek sengketa berupa surat keputusan direksi tentang tarif perpanjangan hak dan sikap diam terhadap permohonan rekomendasi perpanjangan hak yang telah diajukan. Putusan No. 171 PK/TUN/2016 yang berkekuatan hukum tetap memenangkan pihak KBN tetapi perlindungan hukum tetap harus diberikan para pemegang hak guna bangunan atas hak pengelolaan. Pokok permasalahan yang dibahas adalah mengenai implementasi pemberian dan perpanjangan hak guna bangunan serta perlindungan hukum bagi pemegang sertipikat hak guna bangunan dalam Putusan No. 171 PK/TUN/2016. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif dengan memanfaatkan data sekunder untuk membahas pokok permasalahan dari sudut pandang hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa implementasi pemberian hak guna bangunan yang dilakukan KBN pada tahun 1988 hingga 1990 telah sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku yaitu Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1977. Sedangkan, implementasi perpanjangan hak guna bangunan yang sebagian besar berakhir pada 2013 hingga 2014 menghadapi problematika yang berujung penyelesaian di pengadilan. Pengenaan tarif pemanfaatan tanah oleh KBN merupakan salah satu kewenangan yang dimiliki oleh pemegang hak pengelolaan. Oleh karena itu, pemegang sertipikat hak guna bangunan tetap harus membayar tarif yang disyaratkan untuk dapat memperpanjang haknya. Namun perlindungan hukum terhadap pemegang hak guna bangunan tetap harus diberikan berupa perlindungan terhadap hak prioritas perpanjangan hak dan perlindungan hukum terhadap operasional bisnis, bangunan, serta benda milik pemegang hak guna bangunan. Beberapa perjanjian penggunaan tanah industri terdahulu telah menjanjikan hak prioritas perpanjangan hak guna bangunan sehingga KBN terikat untuk memenuhi hak itu apabila pemegang hak guna bangunan yang telah memenuhi persyaratan. Tidak diperpanjangnya hak guna bangunan juga dapat berimbas pada terhambatnya operasional bisnis, resiko kehilangan bangunan, dan bertambahnya pengeluaran bagi pemegang hak guna bangunan. Sehingga diperlukan perlindungan hukum dan mekanisme penyelesaian yang dapat meringankan beban kerugian pemegang hak guna bangunan. Selain itu, kekosongan hukum yang terjadi pasca dicabutnya Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1977 juga kurang memberikan jaminan kepastian hukum bagi pemegang hak guna bangunan di atas tanah hak pengelolaan.

The holders of the certificate of right to build on the right of management belonging to PT KBN (Persero) filed a lawsuit to the state administrative court. There are two objects of dispute, namely director letters concerning the cost of extending the right and silence/rejection on the application for a recommendation for the extension of the right that has been submitted. Supreme Court Decision No. 171 PK/TUN/2016, which has been inkracht won KBN, must still give legal protection to the holders of the right to build on the right of management. The main issues discussed are the implementation of the granting and extension of the right to build and the legal protection for the holders of the certificate of the right to build in the Supreme Court Decision No. 171 PK/TUN/2016. The research method used is normative legal research by utilizing secondary data to discuss the subject matter from the applicable laws and regulations. This study indicates that the implementation of the granting of the right to build carried out by KBN from 1988 to 1990 was following the applicable legislation, namely the Minister of Home Affairs Regulation No. 1 of 1977. Meanwhile, the implementation of the extension of right to build, which mostly ended in 2013 to 2014, faced problems that led to a settlement in court. The imposition of fees for land use by KBN is one of the powers possessed by the holder of the right of management. Therefore, the holders of the certificate of right to build still has to pay the required fee to extend their right. However, it must still give legal protection for the holders of the right to build in the form of protection of the priority right of the extension of the right and legal protection of business operations, buildings, and objects belonging to the holders of the right to build. Several previous industrial land use agreements have promised priority rights to extend the right to build so that KBN is bound to fulfill these rights if the holders of the right to build have fulfilled the requirements. The non-extension of the right to build can also impact the delay of business operations, the risk of losing the building, and increasing expenses for the holders of the right to build. So that legal protection and settlement mechanisms are needed can ease the burden of losses for the holders of the right to build. In addition, the legal vacuum that occurred after the revocation of the Minister of Home Affairs Regulation Number 1 of 1977 also did not guarantee legal certainty for holders of the right to build on the right of management."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>