Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 110070 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ade Nurkacan
"Latar belakang: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektifitas pemberian ajuvan fentanyl atau sufentanil intratekal mencegah menggigil pada wanita hamil yang menjalani seksio sesarea dengan anestesia spinal.
Metode: Uji klinis acak tersamar ganda dilakukan pada wanita hamil yang menjalani seksio sesarea dengan anestesia spinal. Pasien dibagi dalam dua kelompok. Kelompok I, diberikan ajuvan fentanyl 25 mcg pada 10 mg bupivacain hiperbarik 0,5%. Kelompok II, diberikan ajuvan sufentanil 2,5 mcg pada 10 mg bupivacain hiperbarik 0,5%. Dilakukan pengamatan derajat menggigil, pemgukuran suhu membran timpani, parameter hemodinamik setiap interval 5 menit sampai 120 menit.
Hasil: Penelitian dilakukan terhadap 188 pasien. Terdapat perbedaan bermakna secara statistik (p<0,05) dalam insiden menggigil pada kedua kelompok. Kelompok I terdapat insiden menggigil 26,6%. Kelompok II terdapat insiden menggigil 12,8%.
Kesimpulan: Penambahan sufentanil 2,5 mcg intratekal pada anestesia spinal menggunakan bupivakain hiperbarik 0,5% 10 mg lebih efektif menurunkan insiden menggigil dibandingkan dengan penambahan fentanyl 25 mcg intratekal pada wanita hamil yang menjalani seksio sesarea dengan anestesia spinal.

Background: The aim of this study is to know the effectiveness fentanyl 25 mcg or sufentanil 2,5 mcg intrathecal to prevent incidence of shivering in pregnant women who undergoing cesarean section with spinal anesthesia.
Methods: In a randomized clinical trial, pregnant women undergoing cesarean section under spinal anesthesia were enrolled. Patients were randomly assigned to two groups. In group I, 10 mg of 0,5% hyperbaric bupivacaine combined with fentanyl 25 mcg were administered. In group II, 10 mg of 0,5% hyperbaric bupivacaine combined with sufentanil 2,5 mcg were administered. The degree of shivering were observed, tympanic temperature, hemodynamic parameter were recorded at 5 minutes interval until 120 minutes.
Results: The sample consisted of 188 patients. There was significant difference (p<0,05) incidence of shivering between two groups. In group I, the incidence of shivering was 26,6% and in groups II was 12,8%.
Conclusions: The addition of 2,5 mcg sufentanil in 10 mg of 0,5% hyperbaric bupivacain intratechally was more effective reduce the incidence of shivering than 25 mcg fentanyl in 10 mg of 0,5% hyperbaric bupivacain in pregnant women who undergoing cesarean section with spinal anesthesia.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ambo Sumange
"Latar Belakang: Brakiterapi merupakan modalitas tata laksana kanker serviks dengan radiasi yang dilakukan pada tumor yang besar pada saat akhir atau bersamaan dengan kemoradioterapi. Anestesia spinal merupakan prosedur anestesi yang umum dilakukan pada prosedur rawat jalan brakiterapi intrakaviter untuk kanker serviks. Pemilihan obat yang memiliki waktu kesiapan pulang yang lebih cepat diharapkan dapat membuat pasien pulang lebih cepat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui waktu kesiapan pulang pasca anestesia spinal dengan bupivakain 2,5 mg hiperbarik + fentanil 25 mcg dan levobupivakain 5 mg hiperbarik + fentanil 25 mcg pada brakiterapi intrakaviter rawat jalan.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain uji klinis acak yang tersamar tunggal yang dilaksanakan pada unit radiologi RSCM. Pada penelitian ini, terdapat 48 orang subyek penelitian yang akan dibagi menjadi dua kelompok perlakuan yaitu kelompok bupivakain 2,5 mg hiperbarik + fentanil 25 mcg dan kelompok levobupivakain 5 mg hiperbarik + fentanil 25 mcg. Pengukuran waktu kesiapan pulang pada kedua kelompok dilakukan dengan menggunakan Modified PADSS score. Pengukuran waktu pulih dilakukan dengan menggunakan bromage score.
Hasil: Variabel usia, berat badan, tinggi badan, indeks massa tubuh (IMT), dan skor ASA tidak berbeda bermakna antara kedua kelompok. Median waktu pulih pada kelompok bupivakain 2,5 mg hiperbarik + fentanil 25 mcg dan kelompok levobupivakain 5 mg hiperbarik + fentanil 25 mcg adalah 60 (30 – 120) menit dan 90 (60-120) menit (p<0,001) sedangkan rata-rata waktu kesiapan pulang adalah 130,00 ± 22,84 menit dan 170,00 ± 22,84 menit (p<0,001). Efek samping hipotensi pasca anestesia hanya ditemukan pada 1 pasien (4,2%) yang mendapatkan bupivakain.
Kesimpulan: Waktu kesiapan pulang, waktu pulih pasca anestesia spinal pada kelompok bupivakain 2,5 mg hiperbarik + fentanil 25 mcg lebih cepat jika dibandingkan dengan levobupivakain 5 mg hiperbarik + fentanil 25 mcg pada brakiterapi intrakaviter rawat jalan.

Background: Brachytherapy is a treatment modality for cervical cancer in which radiation is applied to large tumors at the end or at the same time with the chemoradiotherapy. Spinal anesthesia is an anesthesia procedure commonly performed in outpatient intracavitary brachytherapy for cervical cancer. The selection of drugs with earlier time to readiness for discharge is expected to make patients go home earlier. This study measures the time to readiness for discharge of after spinal anesthesia using 2,5 mg hyperbaric bupivacaine + 25 mcg fentanyl and 5 mg hyperbaric levobupivacaine + 25 mcg fentanyl in brachytherapy outpatient clinic.
Methods: This was a single-blind randomized controlled trial study conducted at radiotherapy unit Cipto Mangunkusumo Hospital in March 2021. There were 48 patients divided into two groups: 2,5 mg hyperbaric bupivacaine + 25 mcg fentanyl and 5 mg hyperbaric levobupivacaine + 25 mcg fentanyl. Time to readiness for discharge was measured using Modified PADSS score. Recovery time was measured using Bromage score.
Results: Age, body weight, body mass index (BMI), and ASA score were not significantly different between the two groups. Median of recovery time in 2,5 mg hyperbaric bupivacaine + 25 mcg fentanyl group and 5 mg hyperbaric levobupivacaine + 25 mcg fentanyl group were 60 (30 – 120) minutes and 90 (60- 120) minutes, respectively (p<0,001) while mean of time to readiness for discharge were 130,00 ± 22,84 minutes and 170,00 ± 22,84 minutes, respectively (p<0,001). Hypotension side effect of spinal anesthesia was only found in 1 patient (4,2%) in bupivacaine group.
Conclusion: Time to readiness for discharge and recovery time after spinal anesthesia using 2,5 mg hyperbaric bupivacaine + 25 mcg fentanyl was shorter than 5 mg hyperbaric levobupivacaine+ 25 mcg fentanyl in intracavitary brachytherapy outpatient clinic.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Henry Agus
"LATAR BELAKANG : Kombinasi anestetik lokal dosis rendah dengan opioid yaitu bupivakain 0,5% hiperbarik 7,5 mg dan 5 mg ditambah fentanil 25 mcg diharapkan keefektifannya untuk memfasilitasi bedah Caesar, yaitu dengan cara menurunkan angka kejadian hipotensi dan kualitas analgesia serta blok motorik yang adekuat.
METODE : 112 pasien hamil usia 18-40 tahun yang akan menjalani bedah Caesar baik cito maupun elektif ASA I-III yang sesuai dengan kriteria inklusi. Randomisasi menjadi 2 kelompok; kelompok I mendapatkan bupivakain 0,5% hiperbarik 7,5 mg ditambah fentanil 25 mcg dan kelompok II mendapatkan bupivakain 0,5% hiperbarik 5 mg ditambah fentanil 25 mcg. Posisi pasien kedua kelompok yaitu posisi duduk dengan pungsi lumbal setinggi L3-4/L4-5.Total volume 2 cc disuntikkan dengan kecepatan 0,2 cc/detik.Kemudian telentang dengan posisi left lateral tilt. Dilakukan pencatatan tekanan darah pada menit ke-3, 6, 9, 12, 15, 20, 30, 40, 50, 60 atau sampai bayi lahir setelah disuntikkannya obat anestetik lokal ke ruang subaraknoid. Dilakukan pencatatan tercapai blok motorik dan sensorik sampai operasi selesai.
HASIL : Keefektifan pada kelompok I 89,3 % dan kelompok II 76,8 %.
KESIMPULAN : Tidak terdapat perbedaan yang bermakna mengenai keefektifan pada kedua kelompok subyek penelitian.

BACKGROUND : the combination of low doses local anesthetics with opioid is 0,5 % hyperbaric bupivacaine 7,5 and 5 mg plus fentanyl 25 mcg is expected to facilitate the effectiveness cesarean that is by way of reducing the incidence of hypotension and the quality of analgesia and motor block adequate.
METHOD : 112 pregnant patients aged 18-40 years who underwent emergency surgery or elective cesarean both ASA I-III corresponding inclusion criteria. Randomization into 2 groups: group 1 receive hyperbaric bupivacaine 0,5 % 7,5 mg plus fentanyl 25 mcg and group 2 get hyperbaric bupivacaine 0,5 % 5 mg plus fentanyl 25 mcg. The position of the two groups are seated position with lumbar puncture as high as L3-4/L4-5. The total volume of 2 ml injected with a speed of 0,2 ml/sec. then supine with left lateral tilt position. Did recording of blood pressure in minute-3, 6, 9, 12, 15, 20, 30, 40, 50, 60 or until the baby was born after injection of local anesthetics into subarachnoid space. Did recording of motor and sensory block achieved until the operation was complete.
RESULT : The effectiveness of the group I was 89,3 % and group II was 76,8 %.
CONCLUSION : There were no significant differences between the two groups regarding the effectiveness of the study subjects.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Afina Syarah Lidvihurin
"Prevalensi penyalahguna narkoba di Indonesia masih tinggi hingga saat ini. Penyalahgunaan narkoba, khususnya penyalahgunaan lebih dari satu zat polizat , dapat berdampak buruk terhadap kemampuan kognitif. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui korelasi antara penyalahgunaan polizat, khususnya jumlah zat yang disalahgunakan, dengan defisit kelancaran verbal. Penelitian dengan desain cross-sectional ini dilakukan dengan menilai uji kelancaran verbal pada residen Balai Besar Rehabilitasi Badan Narkotika Nasional BNN, Bogor. Sebanyak 53 pasien rehabilitasi yang pernah menyalahgunakan polizat pada bulan Agustus sampai Oktober tahun 2017 dipilih dengan metode consecutive sampling. Data penyalahgunaan polizat didapat melalui wawancara dengan subjek dan data tambahan diperoleh melalui rekam medis.
Hasil pengujian kelancaran verbal menunjukkan bahwa frekuensi defisit kelancaran verbal adalah sebanyak 54,7 dari 53 orang subjek. Setelah dilakukan analisis penelitian, didapatkan bahwa tidak ada korelasi yang signifikan antara jumlah zat yang disalahgunakan dengan defisit kelancaran verbal pada subjek. Analisis data lainnya menunjukkan terdapat korelasi yang signifikan antara usia dengan kelancaran verbal p=0,044 dan korelasi antara usia penyalahgunaan pertama kali dengan kelancaran verbal p=0,004.
Tidak ditemukan hubungan yang signifikan antara penyalahgunaan ekstasi dengan kelancaran verbal dan tidak ditemukan pula korelasi yang signifikan antara durasi penyalahgunaan dengan kelancaran verbal. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa defisit kelancaran verbal tidak memiliki korelasi yang signifikan dengan jumlah zat yang disalahgunakan. Faktor lain yang memiliki korelasi yang signifikan dengan kelancaran verbal adalah usia penyalahguna dan usia penyalahgunaan pertama kali.

Prevalence of drug user in Indonesia is still high. Drug abuse, particularly polydrug abuse, can adversely affect cognitive abilities. This study aims to determine the correlation between polydrug abuse, specifically the amount of substances that are abused, with verbal fluency deficit. This study is a cross sectional study that is done by conducting phonological verbal fluency task towards resident of Balai Besar Rehabilitasi Badan Narkotika Nasional BNN Lido, Bogor. Fifty three residents who are polydrug user in August until October 2017 were chosen by consecutive sampling method. Polydrug abuse data was obtained through interviewing subjects and additional datas were obtained from medical record.
Phonological verbal fluency task's results showed that 54.7 from all subjects had a deficit of verbal fluency. Based on the study analysis, it was found that there were no significant correlation between amount of substances abused and verbal fluency deficit. Other data that we analyzed showed that there is a significant correlation between age and verbal fluency p 0,044 and correlation between onset and verbal fluency p 0,004.
There is no significant relation between ectasy and verbal fluency and also there is no significant correlation found between duration of drug abuse and verbal fluency. We concluded that the deficit of verbal fluency has no significant correlation with the amount of substances abused. Another factors that have significant correlation with verbal fluency are age and onset of abuse.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nabilla Sophiarany
"Penyalahgunaan NAPZA di kalangan remaja di Indonesia terus mengalami peningkatan dari tahun 2010 hingga 2012 sehingga menimbulkan berbagai masalah kesehatan, kriminalitas, maupun sosial. Penelitian ini bertujuan melihat hubungan antara faktor individu, keluarga, dan lingkungan dengan perilaku penyalahgunaan NAPZA pada remaja yang bersekolah di Provinsi DKI Jakarta, Jawa Timur, dan Sumatera Utara pada tahun 2011. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan desain studi cross sectional dengan menggunakan data sekunder Survei Nasional Perkembangan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba pada Kelompok Pelajar/Mahasiswa di Indonesia Tahun 2011. Sampel berjumlah 5999 responden, berstatus remaja yang bersekolah di Provinsi DKI Jakarta, Jawa Timur, dan Sumatera Utara yang berusia 10-24 tahun.
Hasil penelitian ini adalah ditemukannya faktor individu yang berhubungan dengan perilaku penyalahgunaan NAPZA di kalangan remaja, yaitu usia, jenis kelamin, pendidikan, status merokok, status minum alkohol, dan usia pertama minum alkohol; faktor keluarga, yaitu pekerjaan ayah, ayah melakukan penyalah guna NAPZA, dan saudara kandung penyalah guna NAPZA; faktor lingkungan lokal, yaitu teman sebaya penyalah guna NAPZA dan ketersediaan NAPZA. Penelitian ini menemukan bahwa risiko lebih tinggi untuk penyalahgunaan NAPZA ditemukan pada remaja berada pada usia 17-24 tahun, jenis kelamin lelaki, pendidikan tinggi, perokok, peminum alkohol, usia minum alkohol yang semakin dini, ayah yang tidak bekerja, ayah yang menyalahgunakan NAPZA, saudara kandung yang menyalahgunaka NAPZA, teman sebaya yang menyalahgunakan NAPZA, serta NAPZA yang tersedia di lingkungan tempat tinggal.

The increase of drug abuse among adolescents keeps getting higher from 2010 to 2011, thus creating many health, crime, and social issues. This research aims to see the relationship between individual, family, and environment factors with the drug abuse behaviors among school adolescents in the Provinces of DKI Jakarta, East Java, and North Sumatra in the year 2011. This research is a quantitative study, with a cross-sectional design and uses secondary data from Survei Nasional Perkembangan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba pada Kelompok Pelajar/Mahasiswa di Indonesia Tahun 2011. The sample amounts to 5999 respondents with the status of school adolescents in DKI Jakarta, East Java, and North Sumatra, ranging from 10-24 years of age.
The result of this research is to find individual factors that associate with the drug abuse behaviors among adolescents, which are age, gender, education, cigarettes consumptions, alcohol consumptions, and the first age of alcohol consumptions; family factors, which are occupation of father, father's drug abuse, and siblings's drug abuse; local environment factors, which is peers's drug abuse and the availability of drugs. This research found that the risk of drug abuse is higher for adolescents around the age of 17-24 years old, male, high education, smokers, consumes alcohol, early age of alcohol consumption, unemployed father, father abuses drug, siblings abuse drug, peers abuse drug, and drug is available in the local environment.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2014
S57946
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Delina Hasan
"Untuk mencapai derajat kesehatan yang optimal bagi setiap anggota masyarakat, pemerintah telah menyediakan tempat-tempat pelayanan kesehatan, antara lain puskesmas. Puskesmas sebagai ujung tombak dalam pelayanan kesehatan diharapkan dapat memberi pelayanan kesehatan yang baik kepada masyarakat. Untuk itu harus tersedia segala sumber daya, baik tenaga maupun sarana, termasuk obat-obatan.
Pengadaan obat-obatan untuk pelayanan kesehatan dasar/puskesmas berasal dari berbagai sumber, antara lain, Inpres, APBD, Askes dan lain-lain. Namun demikian belum juga dapat mencukupi kebutuhan obat untuk puskesmas. Banyak faktor penyebab ketidakcukupan obat di Puskesmas, salah satu di antaranya adalah belum terlaksananya perencanaan kebutuhan obat yang baik. Selama ini perencanaan obat sudah lama dilakukan, tetapi kualitas perencanaan tersebut belum baik. Oleh karena itu peneliti ingin mengetahui faktor-faktor apa raja yang berhubungan dengan kualitas perencanaan kebutuhan obat. Kualitas perencanaan obat dilihat dari tiga aspek, yaitu, tingkat kekosongan obat, ketepatan jadwal perencanaan, dan kesesuaian jenis dan jumlah obat.
Penelitian ini dilakukan secara observasional dengan rancangan studi cross sectional. Pengumpulan data dilakukan dengan dua cara yaitu, untuk memperoleh data primer dilakukan wawancara dengan kepala puskesmas dan pengelola obat, dan untuk memperoleh data sekunder dilakukan telaah dokumen yang ada di unit pengelolaan obat puskesmas. Kemudian data dianalisis secara univariat, bivariat dan multivariat.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel yang berhubungan secara bermakna dengan kualitas perencanaan kebutuhan obat, termasuk dalam faktor input adalah jumlah tahun pendidikan terakhir kepala puskesmas, lama bertugas diperencanaan pengelola obat dan data yang digunakan untuk menyusun perencanaan. Kondisi puskesmas di kabupaten Karawang tahun 1995/1996 sebagai berikut: 51.4% puskesmas mempunyai jadwal perencanaan yang tidak tepat, 70.3% puskesmas mengalami kekosongan obat dengan rata- rata kekosongan 2-4 bulan, 43,2% puskesmas mempunyai ketidaksesuaian dalam jenis obat dengan rata-rata tidak sesuai jenis 5%-10% dan 100% puskesmas tidak sesuai dalam hal jumlah obat antara yang direncanakan dengan yang dipakai. Dari basil penelitian tersebut, maka disarankan bahwa dalam penyusunan perencanaan, sebaiknya mengikuti langkah-langkah perhitungan yang ada di dalam buku pedoman, dengan menggunakan data LPLPO.
Supervisi yang diberikan kepada puskesmas, tidak hanya sekali dalam setahun, demikian juga dengan pelatihan, untuk meningkatkan kemampuan petugas perencana, sebaiknya supervisi dan pelatihan berkesinambungan.
Untuk menurunkan tingkat kekosongan obat, sebaiknya petugas penyusun perencanaan kebutuhan obat adalah pengelola obat yang berpengalaman dibidang tersebut. Untuk meningkatkan kesesuaian jenis dan jumlah obat, sebaiknya pemilihan kepala puskesmas dilakukan dengan lebih selektif, antara lain dengan mempertimbangkan jumlah tahun pendidikan terakhir. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut, tentang kualitas perencanaan kebutuhan obat di GFK.

Factors Related to The Quality of Drug Planning in Puskesmas (Community Health Center) in Karawang DistrictIn order to achieve an optimal degree of health status for every member of the society, the government has provided health services points for the community, among other is community heath center. Community health center is the spearhead-in health services provision and it is expected that it will provide a good health services to the community. In doing so, the required sources, personnel, equipment and medicine should be appropriately available.
Drug supply for basic health services at the community health center coming from various sources, such as Inpres ("President instruction' from central government), APBD (Local government budget), and Askes (Insurance for civil service personnel). However, this supply has not been sufficient to meet the needs of the community health center. Many factors are identified as the cause of the insufficiency and one of which is the inability of the community health center to develop annual drug plan appropriately.
Drug planning has been practiced for a long time, however the quality of planning has not been adequate yet. Therefore the researcher wishes to know what factors are related to the quality of planning for drug needs.
The quality of drug planning is viewed from three aspects i.e., the level of drug shortage, the accuracy of planning schedule, and the appropriateness of drug in kind and volumes. This research has been done applying a cross sectional design. The collection of data is done through various ways, i.e., primary data is collected through interviews (using questionnaires) to head of community health center and drug manager as the respondents, while secondary data is collected from the available documents at the drug management unit of the community health center. The univariate, bivariate and multivariate analysis were then carried out.
The results showed that, there is a significant relationship between year of education with the appropriateness of drug in the kind and volume, between the duration of service in planning unit with the level of the drug shortages, between the used data and the accuracy of planning schedule, between the organization of the planning and the appropriateness of drug in kind and volumes, and between supervision and the accuracy of planning schedule. For fiscal year 1995/1996, drug planning and supply in Karawang district showed the following picture: 51.4 % of community health center failed to meet drug planning schedule, 70.3 % of community health center experienced 2 to 4 months drug shortages 43.2 % of community health center experienced incompatibility of drug in kind 5-10 % and volumes 100 %.
It is suggested that, the planning process should follow the calculation steps described in the guidance book using LPLPO. Supervision given to the community health center should not only carried out once a year, and in order to enhance the planning ability of planning of the personal , continued training should be provided. In order to reduce the level of the drug shortages, it is advisable that organizer dealing with the drug planning, must be handled by a drug manager who has experiences in that field. In order to enhance the appropriateness of drug in kind and volumes, it is advisable that the selection of any head of community health center must be more selective, among others by taking the . years of last education. A further research is necessary to be conducted concerning the quality of drug planning in GFK ( pharmacy warehouse district).
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Listyo Lindawati Julia
"LATAR BELAKANG : Hipotensi akibat anestesia spinal pada pasien yang menjalani bedah caesar berbahaya bagi ibu dan janinnya. Sehingga, kombinasi anestetik lokal dosis rendah dengan opioid yaitu bupivakain 0,5% hiperbarik 5 mg dan 6 mg ditambah fentanil 25 mcg diharapkan dapat menurunkan angka kejadian hipotensi dengan kualitas analgesia yang adekuat untuk memfasilitasi bedah caesar.
METODE : 394 pasien hamil aterm usia 20 ? 40 tahun yang akan menjalani bedah caesar, baik cito maupun elektif ASA I ? II,yang sesuai dengan kriteria inklusi.Randomisasi menjadi kelompok I yang mendapat bupivakain 0,5% hiperbarik 5 mg ditambah fentanil 25 mcg serta kelompok II (kontrol) yang mendapat bupivakain 0,5% hiperbarik 6 mg ditambah fentanil 25 mcg.Posisi pasien pada kedua kelompok sama yaitu posisi lateral dengan pungsi lumbal setinggi L3-4/L4-5.Total volume 1,7cc disun tikkan dengan kecepatan 0,2 cc/detik.Kemudian telentang dengan posisi left lateral tilt. Dilakukan pencatatan tekanan darah pada menit ke - 3,6,,9,12,15,20,30,40,50,60 setelah disuntikkannya obat anestetik lokal ke ruang subaraknoid.
HASIL : Terdapat 3 subyek penelitian yang dikeluarkan pada kelompok I, karena dikonversi menjadi anestesia umum . Terdapat 2 subyek penelitian pada kelompok II yang mendapatkan fentanil 100 mcg intravena. Angka kejadian hipotensi pada kelompok I 9,3% dan pada kelompok II adalah 12,2%.
KESIMPULAN : Tidak terdapat perbedaan yang bermakna mengenai angka kejadian hipotensi pada kedua kelompok subyek penelitian.

BACKGROUND: Hypotension due to spinal anesthesia in patients undergoing cesarean section is dangerous for both mother and fetus. So with a combination of low doses of local anesthetics 0.5% hyperbaric bupivacaine 5 mg and 6 mg plus fentanyl 25 mcg is expected to reduce the incidence of hypotension with adequate quality of analgesia to facilitate cesarean section.
METHODS: 394 pregnant patients at term age 20-40 years undergo caesarean section, either cito and elective ASA I - II, in accordance with the criteria I inclusion. Randomization into groups that received 0.5% hyperbaric bupivacaine 5 mg plus fentanyl 25 mcg and group II (controls) who received 0.5% hyperbaric bupivacaine 6 mg plus fentanyl 25 mcg.Posisi patients in both groups were the same, namely the lateral position with the highest lumbar puncture L3-4/L4-5.Total injected volume is 1.7 cc with speed of injection 0.2 ml / second. Then move patient to supine position with left lateral tilt. Do blood pressure recording in minute - 3.6,9,12,15,20,30,40,50,60 after injection of local anesthetic drugs into the subarachnoid space.
RESULTS: There were three subjects that excluded subjects in group I, because converted to general anesthesia. There are two subjects in group II who received fentanyl 100 mcg intravenously. The incidence of hypotension in group I and 9.3% in group II was 12.2%.
CONCLUSION: There was no significant difference in the incidence of hypotension in both groups."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Weking, Joseph Micheal
"Upaya mengobati diri sendiri dalam masyarakat untuk mengatasi penyakitnya salah satunya melalui pemakaian obat. Obat yang boleh dipakai adalah obat bebas dan obat bebas terbatas yang dapat diperoleh di apotik, toko obat berijin maupun warung/toko/kios yang ada di lingkungan sekitarnya. Tentu saja ada banyak pertimbangan masyarakat memilih pengobatan sendiri menggunakan obat bebas maupun obat bebas terbatas. Tujuan penelitian ini untuk mendapatkan informasi mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan pemakaian obat bebas terbatas (daftar W), dalam upaya masyarakat untuk mengobati dirinya sendiri.
Disain penelitian ini kros-seksional dengan metoda survei cepat pada 300 responden yang sakit satu bulan terakhir di Kabupaten Purwakarta. Data yang dikumpulkan meliputi jenis kelamin, umur, pendidikan, pekerjaan, pengetahuan dan pengalaman pernah menggunakan obat, penghasilan, dana khusus/asuransi, harga obat, tempat memperoleh obat, keluhan sakit dan anjuran menggunakan obat.
Hasil penelitian menunjukkan sebaran responden menurut pemakaian jenis obat yaitu I45 (48,3 %) dan jenis golongan QBT, selebihnya tidak menggunakan OBT. Proporsi golongan obat yang digunakan responden adalah obat keras 14 %, obat bebas terbatas (OBT) 48,3%, obat bebas 23,7%, obat tradisional/jamu 1,7% dan narkotika hanya 0,3% (1 orang) serta 12 % menggunakan obat ramuan sendiri, istirahat dan ke dukun. Penggunaan obat bebas dan obat bebas terbatas merupakan pilihan pertama (72%) dalam upaya pengobatan. Apabila penggunaan obat temyata tidak menyembuhkan maka sebanyak 92,1 % akan membeli obat yang lain atau mencari pengobatan yang lain.
Uji statistik bivariat dilakukan pada 15 variabel bebas dan hasilnya hanya 7 variabel mempunyai hubungan bermakna dengan penggunaaan OBT. Ketujuh variabel tersebut yaitu pengalaman pernah menggunakan obat sebelumnya, pengetahuan tentang obat, tempat memperoleh obat, harga obat, , persepsi sakit, anjuran dan pengaruh iklan obat dalam menggunakan OBT, sedangkan variabel lainnya tidak terbukti mempunyai hubungan.
Penggunaan OBT dalam pengobatan cukup besar termasuk pengobatan sendiri, sedangkan pengetahuan masyarakat mengenai obat masih kurang, karena itu perlu agar masyarakat diberikan penyuluhan/informasi mengenai obat, Perlu dikembangkan penelitian khusus mengenai obat bebas terbatas dari aspek lain misalnya manfaat terapi, untung rugi dan efek samping obat.

Using medicine is one choice of self-medicine in community to heal their disease. The medicine that allowed by law to use is over the counter (OTC) drug and "obat bebas terbatas" (OBT or "pharmacist only") which can be gain in apotik, dispensary, drug store and warungltoko/kios. There are many reason in using over the counter drug and obat bebas terbatas. Knowing information and factors related to use OBT drugs in self-medicine in community is the objectives of the research.
Methodology of the study was cross-sectional design and rapid survey method had been done in 300 respondents in suffering condition whom used medicine on the last month took as samples people in district of Purwakarta. Variable to collect consist of sex, age, educational, knowledge and experience in using a medicine, job, income, health insurance, cost of medicines , places to get a medicine, perceptions of an illness, advised, and advertisement.
Classification of the drugs from 300 respondents who used medicine were 145 (48,3%) OBT (Daftar W or "pharmacist only"). Another drugs consist of 14% "obat keras" (the drugs on doctor's prescription only), 23,7% OTC ("obat bebas"), 1,7 % traditional medicine/jamu and one of them (0.3%) used narcotic drug and 12 % their own traditional medicine, traditional healer and home rest. Using OTC and "obat bebas terbatas (OBT')" was the first choice (72%) of medication including self-medication, if the medicinal had no effect, 92.1% of them continued the treatment with another medicine, or another alternative.
The bivariat-statistical test had been done for 15 variables but only 7 variables had significant relation due to use 0137'. Those were: medicinal knowledge, using medicine before, cost of medicine, places to get medicine, perception of illness, suggestions, advised and advertisement.
Using OBT treatment or self-medication was the most commonly, but the community stills lack of medicinal knowledge, therefore necessary the health staff give information/education about medicine. It is necessary to design the next research especially OBT in self-medication focus in therapy, benefit-risk and side effect.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Salmi Sabirin
"Rumah sakit sebagai suatu sarana penyelenggaraan kesehatan dituntut untuk memberikan pelayanan yang baik dan bermutu. Pelayanan farmasi merupakan salah satu kegiatan yang tidak dapat dipisahkan dari pelayanan rumah sakit secara keseluruhan. Untuk dapat terselenggaranya pelayanan fannasi dengan baik, maka diperlukan pengelolaan obat dan alat kesehatan habis pakai dengan baik
Pengelolaan obat dan alat kesehatan habis pakai memegang peranan yang sangat penting dalam meningkatkan pelayanan di rumah sakit, baik dilihat dari sudut kepentingan pasien maupun kepentingan rumah sakit. Pengelolaan obat dan alat kesehatan habis pakai perlu dilaksanakan dengan baik supaya ketersediaan obat dan alat kesehatan habis pakai dalam jenis, jumlah dan waktu yang tepat dapat terlaksana dengan baik. Penelitian ini dilakukan di Instalasi Farmasi RSUP Bukittinggi yang mempunyai masalah dibidang logistik farmasi vaitu terjadinya penumpukan dan kadaluwarsa obat dan alat kesehatan habis pakai dalam jumlah yang cukup besar.
Penelitian ini bersifat deskriptif analisis dengan metode telaah kasus dan pendekatan pemecahan masalah secara kualitatif, Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam, FGD, observasi langsung dan telaah dokumen yang berhubungan dengan siklus logistik (perencanaan, penyimpanan, pendistribusian dan pengendalian) obat dan alat kesehatan habis pakai. Validasi data dilakukan dengan cara triangulasi sumber dan metode.
Dari penelitian tersebut didapatkan hasil penelitian bahwa yang menyebabkan terjadinya penumpukan dan kadaluwarsa obat dan alat kesehatan habis pakai adalah tidak terdapatnva Formularium, metode dan prosedur perencanaan yang kurang tepat, pengendalian dan pengawasan yang lemah serta tidak adanya sistem informasi manajemen yang terpadu.
Sebagai saran untuk memperbaiki hal tersebut adalah pihak rumah sakit perlu sesegera nungkin menetapkan Formularium untuk dijadikan standar perencanaan dan pemakaian obat dan alat kesehatan habis pakai, metode perencanaan dilengkapi dengan memasukan indika[or-indikator epidemiologi prosedur perencanaan perlu bersifat bottom up dan melihatkan unit-unit yang terkait, perlu peningkatan pengendalian dan pengawasan serta pelaksanakan sistem informasi manajemen yang terpadu.

Analysis on Drug and Consumable Health Equipment Management in Pharmacy Installation of Bukittinggi General Hospital year 2004.Hospital as health service facility is demanded to provide good and high quality service. Pharmacy service is an integral part of hospital activities and services. In order to provide high quality pharmacy service, good management of drug and consumable health equipment is necessary.
Management of drug and consumable health equipment is important not only for the patient, but also for the hospital itself in order to improve the services offered. Good management is important as to maintain the availability of drug and health equipment in term of type, quantity, and appropriate timing. This study was conducted in Pharmacy Installation of Bukittinggi General Hospital which faced problems in pharmacy logistic i.e. the accumulation of and the expiration of drugs and consumable health equipments in large numbers.
This study was descriptive using case study and qualitative approach. Data was collected by in-depth interview, FGD, direct observation, and studying documents related to logistical cycle (planning, storing, distributing, and controlling) of drugs and consumable health equipment. Data was validated through source and method triangulation.
The study reveals that the causes of accumulation and expired drugs and consumable health equipment were unavailability of formula, inappropriate method and procedure, weak controlling and monitoring, and lack of integrated management information system.
To improve the situation, it is suggested to the hospital to set the formula to be used as planning and implementation standard of drug and consumable health equipment, to complement planning method with epidemiologic indicators, to make the planning in bottom up style, to involve related units, to improve controlling and monitoring system, and to conduct integrated management information system.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2004
T12791
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Semiarto Aji Purwanto
"Persoalan kontak dengan kebudayaan asing pada sebuah masyarakat selalu menarik perhatian para ahli antropologi. Dalam thesis ini saya ingin rnenggambarkan bagaimana unsurunsur sistem medis Barat masuk dan dipergunakan secara luas dalam masyarakat kota di Indonesia. Jakarta saya pilih sebagai lokasi penelitian ini karena pertimbangan penduduknya yang relatif lebih terbuka dan memiliki kesempatan lebih banyak bergaul dengan kebudayaan Barat. Unsur sistem medis Barat yang saya amati adalah obat-obatan yang tersebar, dikenal dan dipakai masyarakat luas. Saya ingin menjelaskan bagaimana masyarakat menggunakan obat-obatan Barat dan mengadopsi sistem medis Barat namun penggunaan itu dilandasi oleh ide yang berasal dari sistem medis tradisional.
Sebagai suatu produk kebudayaan asing, obat seharusnya dipahami,dalam konteks yang tepat sehingga penggunaannya bisa memberikan hasil yang maksimal. Hasil penelitian saya menunjukkan pengetahuan mengenai obat-obatan Barat yang kurang sehingga bayangan kerugian akibat efek samping suatu obat berubah menjadi ancaman. Ditambah dengan kesadaran yang rendah terhadap pranata medis (Barat) yang baru serta tanggungjawab yang kurang, ancaman tersebut bukan mustahil menjadi nyata."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>