Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 42782 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Jakarta: Asa Mandiri, 2009
346.092 UND
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Badan Koordinsi Penanaman Modal,
346.092 IND u
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Robert Mubarrod
"Upaya pemerintah menarik modal asing maupun dalam negeri, guna percepatan pembangunan dengan diusulkannya RUU Penanaman Modal pada tanggal 21 Maret 2006 kepada DPR untuk dibahas agar menjadi UU Penanaman Modal sebagai pedoman dalam berinvestasi. Namun RUU Penanaman Modal yang diusulkan pemerintah dinilai banyak pihak terlalu berhaluan liberalis sehingga banyak mendapat penolakan dari kalangan akademisi, praktisi, politisi maupun dari masyarakat namun. Fraksi DPR menilai pembahasan RUU Penanaman Modal harus tetap pada prinsip bahwa investasi harus melahirkan multiplier investasi karena dukungan kebijakan. Di sinilah tantangan terbesar RUU Penanaman Modal.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui: (1). Pengaruh ideologi dan identitas terhadap pembuatan kebijakan khususnya dalam proses pembuatan Undang-Undang Penanaman Modal tahun 2007; (2). Pengaruh kepentingan kekuasaan dan kepentingan publik dalam proses pembuatan kebijakan Undang-Undang Penanaman Modal. Untuk mendapatkan penjelasan kedua faktor tersebut metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendalaman terhadap kontestasi ideologis dalam pembahasan RUU Penanaman Modal dengan wawancara secara mendalam terhadap pelaku pembuat kebijakan di parlemen dengan nara sumber pihak-pihak yang terlibat langsung dari pemerintah, akademisi, ketua fraksi maupun anggota fraksi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemerintah menggunakan prinsip liberal karena konteks pada saat undang-undang ini diajukan mengharuskan sebuah tatanan regulasi yang terbuka, efisien dan menyuguhkan berbagai insentif. Indonesia berada dalam posisi menarik modal asing dan bukan menolak. Banyak pasal yang diusulkan oleh pemerintah dirombak secara total di DPR karena dinilai terlalu liberal. Hal ini untuk kesinambungan bahwa tidak hanya mempromosikan hak-hak penanam modal tetapi juga fungsi, kewajiban dan tanggung jawab penanam modal juga menjadi perhatian.
Fraksi-fraksi di DPR lebih memperlihatkan upaya kontrol terhadap RUU yang diajukan pemerintah agar tidak terlalu kebablasan. Dinamika pembahasan RUU PM menjadi bahasan yang sangat menarik antara paham Nasionalis dan Liberalis meskipun di akhir bahasan liberalis menjadi pemenang. Pihak nasionalis menyatakan sudah memasukkan koridor-koridor yang dapat mengontrol jalannya penanaman modal di dalam pasal-pasal UU Penanaman Modal N0 25 Tahun 2007.

The Government aimed to attract foreign capital and domestic capital in order to accelerate the development with suggessed investment bill by the government on March 21st 2006 to the Parliament to be discussed in order of issue Investment Bill as a guide to investing. However, the proposed Bill were then assessed by parties who are not entirely liberals, with many resistance from academics, practitioners, and the public. The principle that investmens should generate investment multiplier with policy support. This is the biggest challenge of Investment Bill.
This study is written to explain : (1). The effect of ideology and identity on policy-making, especially during the deliberation process of Investment Act in 2007; (2). The effect of power motivation and public interests on the policy making process of Investment Bill. In order to do so, this study elaborates ideological contestation in the discussion of Investment Bill with depth interviews with the policy makers in parliament and the government, academia, chairman of the faction and the faction members.
The study shows that the government proposed the liberal principle because the economic context at the time requires a regulatory structure that is open, efficient and offering various incentives. Indonesia was in need of foreign capital and not to refuse. Many clauses of the proposed bill were reformed totally in the Parliament because they were considered too liberal. The Parliament emphasized that the bill should not only promote the rights of investors but also functions, duties and responsibilities of Investors.
The paties behavior in the Parliament shows its control function over the bill proposed by the government so that it will not too excessively liberal and give away too much power to the market. The politics of the dliberation of the Investment bill between the Nationalists and Liberals were very interesting, even though at the end of the discussion liberals won. nationalist parties claimed that they already incorporate corridors that can control the investment in the articles of the Investment Law No. 25 of 2007.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2016
T46568
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Sembiring, Sentosa author
Bandung: Nuansa Alia, 2018
346.09 SEM h
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Sembiring, Sentosa
Bandung : Nuansa Aulia, 2010
346.09 SEM h
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Auliana Ellsya
"Tesis ini membahas mengenai tanggung jawab Notaris terhadap akta pendirian Perseroan Terbatas dengan fasilitas penanaman modal asing yang tidak diterjemahkan oleh penerjemah resmi. Pokok permasalahannya yaitu mengenai akibat hukum terhadap akta pendirian Perseroan Terbatas dengan fasilitas penanaman modal asing yang tidak diterjemahkan oleh penerjemah resmi dan tanggung jawab Notaris terhadap akta yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan tipe penelitian deskriptif analitis, jenis data yang digunakan adalah data sekunder, dengan tehnik pengumpulan data melalui studi dokumen dan selanjutnya dianalisis secara kualitatif.
Hasil penelitian menyatakan bahwa akibat hukum terhadap akta tersebut adalah akta dapat dibatalkan dan hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan, oleh karena itu Notaris beranggung jawab untuk memenuhi segala tuntutan dari para penghadap yang menderita kerugian berupa biaya, ganti rugi dan bunga yang masuk dalam kategori sanksi perdata, serta atas kelalaiannya tersebut Notaris dapat dikenakan sanksi administratif secara berjenjang dari Majelis Pengawas Notaris.
Penulis menyarankan, apabila Notaris tidak mengerti bahasa yang digunakan oleh para penghadap, hendaknya Notaris menghadirkan penerjemah resmi yang ditunjuk oleh Notaris maupun penerjemah resmi yang dibawa sendiri oleh para penghadap, untuk menghadapi perkembangan zaman, Notaris maupun calon Notaris sebaiknya selalu memperkaya diri dengan mengembangkan kemapuannya dalam menguasai bahasa universal, dan apabila proses pendirian Perseroan Terbatas Penananaman Modal Asing dilakukan di Badan Koordinasi Penanaman Modal, maka sebaiknya Badan Koordinasi Penanaman Modal menyediakan jasa atau mempekerjakan penerjemah tersumpah untuk memfasilitasi keterbatasan bahasa dalam memenuhi kebutuhan para investor asing.

This thesis discusses Notary’s responsibility of the deed of establishment as a Limited liability company with foreign investment facilities which not translated by an official translator. The main problem is the legal consequences of the deed of establishment of a Limited Liability Company with foreign investment facilities that are not translated by the official translator and the responsibility of the Notary to the deed which has the power of proof as a deed under the hand. This study uses normative juridical research methods with analytical descriptive research type, the type of data used is secondary data with data collection techniques through document studies and subsequently analyzed qualitatively.
The result of the study stated that the legal consequences of this event are the deed is voidable, and only has the power of proof as a privately made deed. Therefore the Notary is responsible for fulfilling all claims of the complainants who suffer losses in the form of costs, compensation and interest included in the category of civil sanctions, and for such negligence Notary may be subject to tiered administrative sanctions form the Notary Supervisory Board.
The author suggests, if the Notary does not understand the language used by the parties, the Notary should present an official translator appointed by the Notary or the official translator brought by the parties, to face the times, the Notary and the candidates of Notary should enrich themselves by developing their ability to master the universal language, and if the process of establishing a Foreign Investment Limited Liability Company is carried out at the Investment Coordinating Board, the Investment Coordinating Board should provide services or employ the Sworn Translators to facilitate language limitations in fulfil the needs of foreign investors.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T54773
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Ramadinan Saptara
"Article 25(4) of the ICSID Convention allows a state to notify the exclusion of certain
classes of investment disputes from ICSID jurisdiction. Pursuant to this provision, the
Indonesian government through Presidential Decree No. 31 of 2012 (“Presidential
Decree 31/2012”) made a notification to exclude investment disputes arising from
administrative decisions issued by the regency governments. Notifications of
exclusion, however, are considered inoperable unless incorporated into the investment
treaty provision expressing the notifying state’s consent to ICSID jurisdiction.
Moreover, the terms of Indonesia’s notification of exclusion have not been included in
any investment treaty that Indonesia is a party to. This research discusses, firstly, the
legal consequence of Presidential Decree 31/2012 with regards to limiting ICSID
jurisdiction. Secondly, this research discusses the methods through which the terms of
Presidential Decree 31/2012 and Indonesia’s notification of exclusion may be
incorporated into a limited consent clause of an investment treaty. Thirdly, this research
also discusses the extent to which such a limited consent clause may be invoked to
deny ICSID jurisdiction. By conducting a juridical normative legal research, it can be
concluded that the operation of Presidential Decree 31/2012 would limit the forum for
the settlement of the excluded disputes to the Indonesian Administrative Judiciary.
Moreover, the terms of Presidential Decree 31/2012 would have to be incorporated into
an investment treaty by way of reproduction or amendment. Further, a consent clause
that expresses the exclusion made in Presidential Decree 31/2012 would be inconsequential in denying ICSID jurisdiction.

Pasal 25(4) Konvensi ICSID memperbolehkan suatu negara untuk melakukan
pemberitahuan mengenai golongan sengketa penanaman modal yang dikecualikan dari
yurisdiksi ICSID. Berdasarkan ketentuan ini, pemerintah Indonesia melalui Keputusan
Presiden No. 31 Tahun 2012 (“Keputusan Presiden 31/2012”) telah melakukan
pemberitahuan untuk mengecualikan sengketa penanaman modal yang timbul dari
keputusan tata usaha negara yang diterbitkan oleh pemerintah kabupaten. Namun,
pemberitahuan mengenai pengecualian sengketa dianggap tidak dapat diberlakukan
kecuali dimasukkan kedalam pasal dalam perjanjian investasi yang mengandung
persetujuan negara terkait terhadap yurisdiksi ICSID. Selanjutnya, ketentuan dalam
pemberitahuan pengecualian Indonesia belum dimasukkan dalam seluruh perjanjian
investasi yang mengikat Indonesia. Penelitian ini membahas, pertama, dampak hukum
dari Keputusan Presiden 31/2012 terhadap pembatasan yurisdiksi ICSID. Selanjutnya,
penelitian ini membahas metode untuk menginkorporasi ketentuan dalam Keputusan
Presiden 31/2012 dan pemberitahuan pengecualian Indonesia ke dalam klausul
persetujuan terbatas dalam suatu perjanjian investasi. Penelitian ini juga membahas
sejauh mana klausul persetujuan terbatas tersebut dapat digunakan untuk menolak
yurisdiksi ICSID. Dengan melakukan penelitian yuridis-normatif, dapat disimpulkan
bahwa keberlakuan Keputusan Presiden 31/2012 akan membuat penyelesaian sengketa
yang dikecualikan terbatas pada penyelesaian melalui Peradilan Tata Usaha Negara
Indonesia. Ketentuan dalam Keputusan Presiden 31/2012 harus dimasukkan dalam
perjanjian investasi melalui cara reproduksi atau perubahan klausul persetujuan
terbatas yang mengandung pengecualian dalam Keputusan Presiden 31/2012 juga tidak
akan memiliki dampak terhadap penolakan yurisdiksi ICSID.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M. Arief Setiawan
"Undang-undang (UU) Nomor 1 Tahun 1967 jo. UU Nomor 11 Tahun 1970 merupakan dasar hukum Penanaman Modal Asing (PMA) 2 (dua) jenis investasi adalah investasi portofolio (pembelian saham untuk investasi melalui Bursa Efek) dan Foreign Direct Investment (FDI). Pembahasan tesis ini ditekankan kepada pengembangan FDI di Kawasan Timur Indonesia (KTI), dengan studi kasus di daerah terpencil di Sulawesi Utara dan Sulawesi Tengah sejak tahun 1967sampai 1997. Unsur-unsur PMA atau FDI antara lain adanya ?capitaI assets or accumulated goods, possesions, and assets, used fo r productions o f profit and wealth?, berbadan hukum Indonesia (bukan perseorangan), investor menanggung sendiri terhadap resiko modal yang ditanamnya sendiri, dan telah mendapat persetujuan investasi dari pemerintah setempat. Pembangunan nasional Indonesia yang bertumpu pada paradigma pertumbuhan (pembentukan pusatpusat pertumbuhan ekonomi), bukan pada pembentukan pusat-pusat pembangunan nasional yang merata dan sedikit melibatkan bidang-bidang lainnya, maka arah investasi cenderung ditentukan oleh expected raie o f returns dari investasi dengan syarat antara lain infrastruktur (sarana dan prasarana) yang telah tersedia, kestabilan politik yang mantap, tingkat kepercayaan yang baik terhadap pemerintah, birokrasi yang tidak berbeli-belit, tersedianya sumberdaya manusia dan alam, adanya kepastian hukum yang jelas, dan (dari pemerintah setempat diharapkan) adanya transfer tehnologi dan knowledge. Karenanya, arah kebijakan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan nasional, yang menurut Regim Orde Baru dilandasi (Pasal 11) Ketetapan Nomor XXTTI/MPRS/1966, telah memperlihatkan proporsi investasi yang ditanam di Kawasan Barat Indonesia (KBI) lebih banyak dan besar dibandingkan di KTI. Tni semata-mata disebabkan posisi KBI sebagai growth generating regions lebih potensial dan posisi 'bargaining power' pihak investor asing lebih kuat dibandingkan pemerintah setempat atau mitra lokalnya.
Mempertimbangkan terjadinya ketertinggalan pembangunan nasional, pertumbuhan ekonomi, dan investasi, pembangunan KTI dilakukan dengan cara antara lain melalui dikeluarkannya berbagai produk hukum (termasuk deregulasi hukum) terkait bidang investasi, pemberian fasilitas investasi (fiskal maupun non fiskal), (secara perlahan-lahan) membangun prasarana dan sarana atau infrastruktur, promosi sumberdaya alamnya, pemberdayaan sumber daya manusianya, pembentukan Dewan Pengembangan KTI (Ketuanya adalah Presiden Republik Indonesia, Soeharto), direncanakan revisi kembali dan atau menambah flingsi Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) dari birokrator dan regulator menjadi fasilitator, dan pembentukan 13 (tiga belas) Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET). Demi menjaga kelangsungan investor dalam negeri, kedaulatan negara, dan kejenuhan investasi, pemerintah Indonesia telah mengeluarkan proteksi atas penanaman modal untuk bidang-bidang tertentu yang sama atau favorit dan yang sekiranya masih dianggap vital bagi negara Indonesia melalui Keputusan Presiden Nomor 31 Tahun 1995 (sampai saat ini masih tetap berlaku). KTI (diluar propinsi di Kalimantan)9 menurut Keputusan Presiden Nomor 120 Tahun 1993 meliputi 9 propinsi yaitu Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Timor-Timur, Irian Jaya, Maluku, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tenggara. Sejak tahun 1967 sampai 15 Juli 1997, secara kumulatif ternyata KBI telah menerima proyek investasi asing sebanyak mendekati 30 (tiga puluh) kali lebih banyak dari yang diterima KTI. Sedangkan besarnya nilai investasi yang diterima 10 (sepuluh) kali lebih banyak dari yang diterima KTI Besarnya persetujuan investasi asing tidaklah selalu sama pada saat realisasinya. Kumulatif persetujuan dibagi kedalam Sektor Primer, Sektor Sekunder, dan Sektor Tersier. Sejak 1967 sampai 15 Juli 1997 untuk investasi di Sulawesi Utara (Sulut), secara kumulatif Sektor Primer memegang ranking teratas (16 proyek) dalam hal banyak proyek investasi yang disetujui dengan nilai investasi US $ 502,612,000 (lima ratus dua juta enam ratus duabelas ribu dollar Amerika Serikat). Selanjutnya diikuti oleh Sektor Tersier dan Sektor Sekunder. Dilihat perbidangnya, maka Bidang Industri Makanan (Sektor Sekunder) memegang ranking pertama (10 proyek).
Selanjutnya diikuti oleh Bidang Hotel dan Restauran, Bidang Pertambangan, dan Bidang Perikanan. Sedangkan nilai investasi Australia di Sulut menduduki ranking teratas sebesar US $ 256,024,000 (dua ratus lima puluh enam juta dua puluh empat ribu dollar Amerika Serikat). Selanjutnya diikuti oleh Singapura, Filipina, Hongkong, dan Jepang. Sedangkan dilihat dari jumlah proyeknya, rangking pertama adalah Singapura (8 proyek). Selanjutnya diikuti oleh Jepang, Australia, Filipina, dan Taiwan. Jadi total nilai investasi asing (1967-15 Juli 1997) di Sulut adalah US $ 820,701,000 (delapan ratus dua puluh juta tujuh ratus satu ribu dollar Amerika Serikat) atau 0.44 % (nol koma empat puluh empat persen) dari total persetujuan nilai investasi asing untuk seluruh wilayah di Indonesia yang berjumlah US $ 185,968.1 juta (seratus delapan puluh lima miliar sembilan ratus enam puluh delapan juta seratus ribu dollar Amerika Serikat).
Sejak tahun 1967 sampai 15 Juli 1997, untuk investasi di Sulawesi Tengah (Sulteng), secara kumulatif Sektor Sekunder memegang ranking teratas (7 proyek) dalam hal banyak proyek investasi yang disetujui dengan nilai investasi US $ 88,737,000 (delapan puluh delapan juta tujuh ratus tiga puluh tujuh ribu dollar Amerika Serikat). Selanjutnya diikuti oleh Sektor Primer dan Sektor Tersier. Dilihat perbidangnya, maka Bidang Industri Kayu (Sektor Sekunder) memegang ranking pertama (5 proyek) Selanjutnya diikuti oleh Bidang Peternakan (Sektor Primer), dan Bidang Industri Makanan (Sektor Sekunder). Sedangkan nilai investasi Malaysia di Sulteng menduduki ranking teratas sebesar US $ 69,317,000 (enam puluh sembilan ju ta tiga ratus tujuh belas ribu doliar Amerika Serikat) Selanjutnya diikuti oleh Singapura, Jepang, Taiwan, dan Belanda. Sedangkan dilihat dari jumlah proyeknya, rangking pertama adalah Taiwan (6 proyek). Selanjutnya diikuti oleh Malaysia (2 proyek) dan Jepang (2 Proyek). Jadi total nilai investasi asing (1967-15 Juli 1997) di Sulteng adalah US $ 166,891,000 (seratus enam puluh enam juta delapan ratus sembilan puluh satu ribu doliar Amerika Serikat) atau 41.46 % (empat puluh satu koma empat puluh enam persen) dari total nilai investasi asing di Sulut atau 0.09 % (nol koma nol sembilan persen) dari total keseluruhan persetujuan nilai investasi asing untuk seluruh wilayah di Indonesia yang beijumlah US $ 185,968 1 juta (seratus delapan puluh lima miliar sembilan ratus enam puluh delapan juta seratus ribu doliar Amerika Serikat). Beberapa kendala minim atau kurangnya minat investasi asing di KTI antara lain faktor-faktor tingkat kesulitan di wilayah KTI, kurang memadainya prasarana dan sarana atau infrastruktur, kurangnya informasi peluang usaha di sektor potensial, terbatasnya kemampuan dunia usaha setempat memanfaatkan potensi disana, belum berkembangnya pola kemitraan usaha antara pelaku utama ekonomi dan industri dengan pemberdayaan pusat-pusat riset di Universitas setempat, hambatan birokrasi antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dengan pihak investor asing, dan kegiatan proyek investasi asing cenderung didominasi oleh Sektor Primer yang dapat menyebabkan high cost investment. Selain itu, krisis moneter berdampak pada penurunan daya saing produk Indonesia di pasaran internasional dan penurunan tingkat kepercayaan dan arus modal para investor asing yang akan menanamkan modalnya dalam bentuk FDI di Indonesia. Dari tanggal 1 Juli 1997 sampai 31 Desember 1997 tidak ada satupun persetujuan untuk investor asing yang akan menanamkan modalnya di Sulawesi Tengah Namun ada 2 (dua) persetujuan investasi asing untuk propinsi Sulawesi Utara dengan nilai US $ 347,000,000 (tiga ratus empat puluh tujuh juta doliar Amerika Serikat). Selain itu, dari tanggal 1 Januari 1998 sampai 30 April 1998, hanya ada 3 (tiga) persetujuan investasi asing di Sulawesi Tengah dengan nilai US S 2,350,000 (dua juta tiga ratus lima puluh ribu doliar Amerika Serikat). Sedangkan pada periode yang sama untuk Sulawesi Utara terdapat 6 persetujuan investasi asing dengan nilai US S 103,160,000 (seratus tiga juta seratus enam puluh ribu doliar Amerika Serikat) Kabinet Reformasi Pembangunan yang dipimpin oleh Presiden B.J. Habibie telah memprogram reformasi politik, ekonomi, dan hukum untuk mengatasi dampak krisis moneter di Indonesia. Reformasi hukum seharusnya bukan saja untuk hukum tertulis, namun merupakan reformasi budaya hukum Budaya hukum antara lain perilaku manusia, keyakinan hukum, kesadaran hukum, pendidikan hukum, penegakan hukum, pranata hukum dan lembagalembaga hukum, materi hukum, dan ?filling system? dari informasi hukum."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>