Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 86673 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Teguh Ranakusuma
"Kebijakan pajak penghasilan yang berlaku umum menganggap suatu grup perusahaan terafiliasi merupakan gabungan dari beberapa perusahaan yang masing-masing memiliki kewajiban perpajakan yang terpisah. Di lain pihak, secara ekonomi suatu grup perusahaan terafiliasi merupakan entitas ekonomi tunggal karena semua sumber daya yang dimiliki berada di bawah pengendalian perusahaan induk. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kendala dari penerapan konsep entitas terpisah di Indonesia dan kendala yang mungkin timbul dari penerapan konsep entitas tunggal bagi grup perusahaan terafiliasi untuk kepentingan pajak penghasilan serta untuk mengetahui kebijakan pajak penghasilan bagi grup yang paling mungkin diterapkan di Indonesia. Penelitian ini menggunakan pendekatan yang bersifat eksplorasi dan deskriptif. Metode penelitian yang digunakan adalah studi literatur dengan pendekatan kualitatif. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, penerapan konsep entitas terpisah pada kebijakan pajak penghasilan bagi grup perusahaan terafiliasi di Indonesia menimbulkan beberapa kendala di antaranya terkait dengan netralitas, kemudahan administrasi, biaya kepatuhan, serta pengawasan pemenuhan kewajiban perpajakan. Penerapan entitas tunggal bagi grup perusahaan terafiliasi untuk kepentingan perpajakan juga dapat menimbulkan beberapa kendala dalam menentukan taxable unit dan tax base. Indonesia dapat menerapkan kebijakan pajak penghasilan bagi grup perusahaan terafiliasi untuk kepentingan perpajakan dengan mempertimbangkan apakah kebijakan tersebut dapat mengatasi kendala yang timbul dari penerapan konsep entitas terpisah serta kebijakan tersebut tidak menimbulkan kendala baru bagi sistem perpajakan.
Income tax policy that generally applied treats a group of affiliated companies consist of several companies that have a separate tax obligations. On the other hand, a group of affiliated companies constitute a single economic entity because all its resources are under the control of the parent company. The purpose of this study was to determine the constraints of the application of separate entity doctrine in Indonesia and constraints that might arise from the application of single entity doctrine for group of affiliated companies for the purposes of taxation as well as to determine the income tax policy for the group of affiliated companies as a single entity are most likely to be applied in Indonesia. This study uses an approach that is exploratory and descriptive. The research method used is a literature study with a qualitative approach. Based on the research, the application of the separate entity doctrine on income tax policy for group of affiliated companies in Indonesia raises several problems which are related to neutrality, ease of administration, cost of compliance, and monitoring fulfillment of tax obligations. The application of single entity doctrine for group of affiliated companies for the purposes of taxation can also pose several challenges in determining its taxable unit and tax base. Indonesia can apply income tax policy for a group of affiliated companies for tax purposes by considering whether the policy can overcome the constraints arising from the application of a separate entity doctrine, and the policy does not give rise new problems for the system of."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2013
T55444
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hariyanti Prajab
"Penelitian ini membahas Pajak Penghasilan Pasal 15 yang dikenakan pada perusahaan pelayaran dalam negeri. Penerapan asas cabotage yang dimulai pada tahun 2005 membawa kemajuan bagi industri pelayaran nasional. Keberhasilan penerapan asas ini membawa dampak pada penerimaan PPh Pasal 15. PPh Pasal 15 mengatur penggunaan Norma Penghitungan Khusus bagi perusahaan pelayaran dalam menghitung PPh terutang. Perubahan tarif PPh Badan pada UU PPh terbaru (UU No. 36 Tahun 2008) pun diyakini dapat berdampak pada besaran tarif PPh pelayaran.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan teknik pengumpulan data wawancara mendalam dan studi literatur. Hasil dari penelitian ini adalah berdasarkan latar belakang penentuan tarif 1,2% pada tahun 1996, tarif PPh pelayaran sebenarnya dapat turun seiring dengan turunnya PPh Badan Pasal 17 UU PPh No. 36 Tahun 2008. Meskipun sisi keadilan kurang ditekankan, penggunaan Norma Penghitungan Khusus dan tarif final dirasakan sudah tepat bagi Wajib Pajak, terutama karena sisi kesederhanaannya. Selain itu, berlakunya asas cabotage dalam dunia pelayaran ternyata turut memengaruhi penerimaan PPh Pasal 15, sehingga fungsi budgetair (revenue productivity) berjalan dengan baik pada pasal ini. Hal ini ditunjukkan dengan terjadinya peningkatan penerimaan PPh 15 dari tahun ke tahun dari sektor industri pelayaran.

This research is about Income Tax Article 15 Law No.36/2008 of national shipping company. The implementation of cabotage principle has begun on 2005, brings such an improvement for national shipping industry. One of the effect of cabotage is related to the revenue of Article 15. Article 15 contains the use of presumptive taxation for national shipping company namely Norma Penghitungan Khusus, to calculate its corporate income tax payable. The changing rate of corporate income tax on the recent income tax law (Law No.36/2008) can have effect to the rate of shipping income tax.
This research uses qualitative approach and the method of data collection is depth interview and library research. The result of this research is based on the background of rates? adjustment of 1,2% at 1996, actually income tax rates can move decreasely along with corporate income tax Article 17 at Law 36/2008. Although it?s lack of equity, the use of presumptive taxation and Final rate can be considered as a right treatment for Taxpayer, especially because of its simplicity. Besides, the implementation of cabotage priciple on industry shipping can affect to income tax Art.15?s revenue. It shows us that revenue productivity is increased as cabotage principle is implemented.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Naura Putri Alifah
"Tax Holiday merupakan salah satu bentuk insentif pajak penghasilan yang sedang digencarkan oleh Pemerintah Indonesia untuk dapat meningkatkan investasi asing di Indonesia. Saat ini kebijkan tax holiday dituangkan dalam PMK Nomor 150/PMK.010/2018, yang mana ketentuan tersebut termasuk ke dalam kebijakan yang tercantum dalam Paket Kebijakan Ekonomi XVI. Penelitian ini akan membahas mengenai faktor apa saja yang membuat kebijakan tax holiday sebelum diterbitkannya PMK Nomor 150/PMK.010/2018 tidak optimal, dan juga membahas mengenai implementasi kebijakan tax holiday dalam PMK Nomor 150/PMK.010/2018. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif dan juga akan menggunakan teknik analisis kualitatif.
Hasil penelitian menunjukan bahwa terdapat 3 faktor yang menyebabkan kebijakan tax holiday dalam peraturan sebelumnya tidak berjalan dengan optimal antara lain adalah, faktor ketidakpastian dalam pemberian keputusan tax holiday, faktor birokrasi dan persyaratan yang menyulitkan, serta faktor lain selain pajak, berupa kepastian hukum, stabilitas ekonomi, dan juga ketersediaan infrastruktur. Selain itu, berdasarkan teori implementasi yang dikemukakan oleh Grindle (1980), implementasi kebijakan tax holiday dalam PMK Nomor 150 Tahun 2018 sudah dilakukan dengan cukup baik. Aturan yang tertuang dalam PMK Nomor 150 Tahun 2018 sudah jauh lebih baik dibandingkan dengan peraturan sebelumnya, yang ditunjukan dengan kebijakan tax holiday yang lebih mengedepankan kepastian, kemudahan, dan kepercayaan kepada Wajib Pajak. Tetapi tetap saja masih terdapat beberapa kelemahan yang terdapat dalam proses implementasi kebijakan tersebut. 

Tax Holiday is one of the income tax incentives policy that being intensified by Indonesian Government to increase foreign direct investment in Indonesia. Tax holiday policy that contained in the MoF Regulation of the Republic Indonesia Number 150/PMK.010/2018 is included in XVI Economic Policy Package. Therefore this research is intended to analyse factors that make former tax holiday policy before Mof 150/PMK.010/2018 is not optimal, and also to analyse the  implementation of tax holiday policy that contained in MoF Regulation Number 150/PMK.010/2018. This research is using qualitative approach with descriptive researh type and qualitative analysis technique.
The result showed that there are three factors that make tax holiday policy before MoF 150/PMK.010/2018 is not optimal which are, uncertainty of the decision making of tax holiday, bureaucracy and difficult requirements factor, and also other non-tax factors such as certainty of law, economic stability, and infrastructure availibility. Furthermore, based on implementation theory stated by Grindle (1980), the implementation of tax holiday policy in Mof Regulation Number 150/PMK.010/2018 is already quite well. The regulation  itself is better than before, indicated by the fact that the new tax holiday policy is uphold certainty, simplicity, and trust to the taxpayer. However there are still some deficiency found in the implementation process of that policy. 
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andika Dwi Sasongko
"Penelitian ini mengkaji kebijakan pemberian hak berupa insentif pajak khususnya Pajak Penghasilan bagi Rumah Sakit nirlaba. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan teknik pengumpulan data melalui studi literatur dan studi lapangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebijakan pajak yang berlaku saat ini belum memadai bagi Rumah Sakit nirlaba. Penghasilan Rumah Sakit nirlaba merupakan Objek Pajak Penghasilan sehingga belum ada dukungan Pemerintah dalam hal perpajakan Rumah Sakit nirlaba, padahal Rumah Sakit nirlaba membutuhkan insentif pajak. Hal ini merupakan salah satu dasar pertimbangan dalam memberikan hak berupa insentif pajak bagi Rumah Sakit nirlaba. Berbeda dengan Indonesia, Amerika Serikat dan Thailand telah menerapkan kebijakan insentif pajak bagi Rumah Sakit nirlaba.

This research studies the tax incentives policy, especially income tax on nonprofit hospitals. This study uses a qualitative approach to data collection techniques through the literature research and field research. Results show that current tax policy is not adequate for nonprofit hospitals. Hospital income is income tax object so there is no supporting of government on the taxation of nonprofit hospitals, whereas nonprofit hospitals need tax incentives. This is one of the considerations in granting a tax incentives for nonprofit hospitals. Unlike Indonesia, United States of America and Thailand has implemented tax incentives policy for nonprofit hospitals.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Tarisa Khairunnisa
"Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis interpretasi hukum terhadap imbalan dalam bentuk kenikmatan yang mengalami perubahan melalui Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan dalam klaster pajak penghasilan, dengan penekanan pada aspek kepastian hukum. Pendekatan penelitian yang digunakan adalah paradigma post-positivist. Teknik pengumpulan data yang digunakan meliputi studi pustaka dan wawancara mendalam. Hasil penelitian ini mengungkapkan kesimpulan berdasarkan 6 (enam) dimensi kepastian hukum, yaitu (1) dimensi materi/objek hukum belum mampu memberikan kepastian hukum yang memadai; (2) dimensi subjek hukum memberikan kepastian hukum yang memadai, (3) dimensi pendefinisian belum memberikan kepastian hukum, (4) dimensi perluasan/penyempitan juga belum memberikan kepastian hukum, (5) dimensi ruang lingkup belum memberikan kepastian hukum, dan (6) dimensi penggunaan bahasa hukum masih belum mampu memberikan kepastian hukum. Berdasarkan temuan penelitian ini, terlihat bahwa kebijakan pajak penghasilan terbaru terkait imbalan kenikmatan belum mampu memberikan kepastian hukum, sehingga berpotensi menimbulkan sengketa pajak dalam implementasinya. Oleh karena itu, disarankan agar muatan undang-undang lebih diperjelas dan disempurnakan melalui regulasi perpajakan yang berkaitan dengan imbalan kenikmatan, guna memberikan kepastian hukum yang lebih baik. Dengan meningkatkan kejelasan hukum, para pengambil kebijakan dapat menciptakan lingkungan perpajakan yang stabil dan dapat diprediksi, yang menguntungkan baik bagi para wajib pajak maupun administrasi perpajakan. Memperkuat kerangka hukum akan mengurangi potensi sengketa yang berlarut-larut dan berkontribusi pada pembangunan sistem perpajakan yang adil dan efektif.

The objective of this research is to comprehensively analyze the legal interpretation of benefits in the form of perks, which have undergone modifications as a result of the enactment of the Harmonization of Tax Regulation Act in the income tax cluster, with a specific focus on establishing the extent of legal certainty. Employing a post-positivist paradigm, the study employs a combination of literature review and in-depth interviews as data collection techniques. The research findings shed light on the six dimensions of legal certainty. Firstly, the material/legal object dimension fails to provide the required level of legal certainty. Secondly, while the legal subject dimension achieves a satisfactory level of legal certainty, shortcomings are observed in other dimensions. Thirdly, the definition dimension lacks the necessary legal certainty. Fourthly, both the expansion/narrowing dimension and the scope dimension exhibit inadequacies in ensuring legal certainty. Lastly, the utilization of legal language dimension falls short in establishing legal certainty. Based on these research outcomes, it becomes apparent that the latest income tax policy concerning perks fails to guarantee legal certainty, which in turn may lead to tax disputes during implementation. Consequently, it is strongly recommended to clarify and enhance tax regulations pertaining to perks to ensure a higher level of legal certainty. By fostering improved legal clarity, policymakers can cultivate a stable and predictable tax environment that benefits both taxpayers and tax authorities. Strengthening the legal framework will reduce the likelihood of protracted disputes and contribute to the development of an equitable and effective tax system."
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tanjung, Tio Akbar
"Skripsi ini membahas mengenai analisis kebijakan pajak penghasilan bagi pengembangan seni pertunjukan. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan teknik pengumpulan data melalui studi literatur dan studi lapangan. Hasil dari penelitian ini adalah seni budaya, termasuk seni pertunjukan, memerlukan insentif pajak yang dapat memberikan manfaat adil bagi pemangku kepentingan dalam dunia seni pertunjukan sehingga kehidupan berseni dapat berjalan dengan baik melalui pendanaan swasta yang didorong oleh kebijakan pemerintah. Penerapan kebijakan Pajak Penghasilan dalam rangka pengembangan seni pertunjukan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 93 Tahun 2010 belum efektif dalam memotivasi perusahaan untuk menyumbang dalam kegiatan seni. Kebijakan pajak penghasilan atas seni dan budaya di Negara Amerika Serikat adalah berupa insentif pajak yaitu status tax exempt bagi organisasi seni yang memenuhi syarat pada section 501(c)(3) Internal Revenue Code. Sedangkan di Filipina, diterapkan kebijakan Pengurangan Pajak Terbatas dan Pengurangan Pajak Penuh dalam menentukan besaran sumbangan yang diberikan kepada organisasi kebudayaan

This thesis study about the analysis of income tax?s policy given for development of performing arts. This study use a qualitative approach with data collection techniques through the literatur research and field research. The Results of this thesis is arts and culture, include performing arts, need a tax incentive that gives fair benefits for stakeholders in performing arts. So that, live of arts can run as well with private funding through supports of public policy. The application of income tax?s policy for development of performing arts is ineffective to encourage corporation to contibutes in the arts activities. In United States, tax incentive policies on arts and cultures are tax exempt status for qualified arts organization through section 501(c)(3) Internal Revenue Code. While in the Phillipines, the tax incentive policy is about limited deductibility and full deductibility in determine the amount of contributions which are given to cultural organizations."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2016
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rhisti Aulia
"Pandemi Covid-19 bukan hanya mengakibatkan hilangnya nyawa dengan skala besar, tetapi juga turut berdampak besar terhadap aktivitas perekonomian. Pada kasus di Indonesia, Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) merupakan sektor yang paling terdampak akibat pandemi. Untuk itu, pemerintah menetapkan suatu regulasi kebijakan untuk membantu UMKM dalam meringankan bebannya melalui insentif Pajak Penghasilan Ditanggung Pemerintah (PPh DTP). Namun, hingga Oktober 2020, realisasi insentif pajak hanya mencapai 9,9% dari keseluruhan pihak yang ditargetkan. Karena itu, riset ini dilakukan untuk mengevaluasi kebijakan insentif PPh bagi UMKM di masa pandemi di Indonesia dengan menggunakan kriteria kebijakan publik oleh Dunn (2014) yaitu efisiensi, responsivitas, dan ketepatan dan menganalisis perbandingan konten kebijakannya di negara Thailand, Hong Kong, dan Indonesia. Data dihimpun melalui kajian literatur, studi dokumentasi, dan wawancara mendalam dengan para ahli. Dengan menggunakan teknik analisis data kualitatif, hasil riset menyimpulkan bahwa kebijakan insentif PPh UMKM di masa pandemi belum seluruhnya memenuhi kriteria Dunn. Riset menunjukkan bahwa persyaratan administratif yang ada tidak cukup efisien karena tidak memenuhi prinsip kemudahan dan kesederhanaan, sehingga menghasilkan cost of taxation tinggi bagi UMKM. Berbeda dengan Indonesia, kebijakan insentif PPh bagi UMKM yang diterapkan di Thailand dan Hong Kong menekankan prosedur pemanfaatan yang bersifat otomatis, dengan tujuan untuk memudahkan UMKM dalam memperoleh manfaat insentif. Guna optimalisasi fungsi insentif pajak dalam menanggulangi dampak pandemi Covid-19, pemerintah perlu melakukan simplifikasi prosedur pemanfaatan dan sosialisasi terkait implementasi secara tepat dan menyeluruh.

The Covid-19 pandemic is not only causing large-scale loss of life, but also severely affected the economy activity. Micro-Small and Medium-sized Enterprises (MSMEs) are among the hardest-hit sector due to the pandemic in Indonesia. Thus, the government establishes regulation to help MSMEs ease the burden towards the Income Tax Borne by Government (PPh DTP). Nevertheless, until October 2020, the realization of the tax incentives has only reached 9,9% of the total targeted entities. Hence, this research primarily aims to evaluate income tax incentives policy for MSMEs in the Covid-19 pandemic based on evaluation criterias by Dunn, which consists efficiency, responsivity, and appropriateness, and also aims to conduct the comparison analysis of policy-content of income tax incentives policy in Thailand, Hong Kong, and Indonesia. The data is gathered through literature-review, documentation-study, and in-depth interviews with experts. Using qualitative analysis technique data, the results of this study indicates that the tax incentives have not entirely fulfilled the criterias by Dunn. The research shows that existing administrative requirements are not efficient caused it is against the ease of administration and simplicity principle, which results in higher cost of taxation for the targeted entities. Different from Indonesia, the policy that implemented in Thailand and Hong Kong emphasize the automatic procedures, which provides the easy access to MSMEs to get the benefit of tax incentives. In order to occupy tax incentives to contribute in tackling the Covid-19 impacts on MSMEs, the government needs to simplificate the procedures and also socialize the implementation appropriately and thorough."
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ali Wahyu Wibisono
"Perkembangan teknologi jaringan internet berdampak kepada pesatnya pertumbuhan model bisnis over-the-top. Penelitian ini membahas mengenai penyebab yang mendasari kesulitan bagi otoritas pajak Indonesia dalam melakukan pemungutan pajak atas penghasilan yang diterima perusahaan over-the-top. Metode penelitian dilakukan dengan pendekatan kualitatif dan teknik analisis data kualitatif. Perbandingan dengan peraturan Equalisation Levy dari India digunakan untuk menentukan alternatif-alternatif kebijakan yang ditawarkan.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa hal yang mendasari kesulitan otoritas pajak Indonesia dalam memungut pajak penghasilan perusahaan over-the-top adalah cakupan pengertian Bentuk Usaha Tetap BUT yang masih berdasarkan kehadiran fisik. Alternatif yang diberikan dalam penelitian ini adalah pertama dengan melakukan perluasan pengertian BUT di dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan yang dilakukan melalui Program Legislasi Nasional Prolegnas atau dengan perluasan kriteria BUT dengan renegosiasi P3B dengan negara-negara mitra yang masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Menimbang kelebihan dan kekurangan tersebut, perluasan kriteria BUT dengan revisi Undang-Undang Pajak Penghasilan dapat dipilih untuk memaksimalkan potensi penerimaan pajak dari sektor over-the-top.

The development of interned has impacted the rapid growth of over the top business model. This study focuses on the underlying difficulties for Indonesian tax authorities on collection of tax on income received by over the top companies. The research method used in this study is qualitative with qualitative data analysis technique. Comparation with India rsquo s Equalisation Levy is used to determine which policy alternatives could be used.
The result of this study explains the underlying difficulties for Indonesian tax authorities on collection of tax on income received by over the top companies is the definition of Permanent Establishment PE which is still based on physical presence. Alternatives offered in this study are first, revising the PE criteria in the domestic Income Tax Law which can be done through National Legislation Program Prolegnas or by revising the PE Criteria by tax treaty renegotiation through Mutual Agreement Procedure, each has their own strengths and weaknesses. Considering the strengths and weaknesses of each alternatives, revising domestic Income Tax Law could be chosen to maximalize the tax potential from over the top sector.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Renita Ayu Putri
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana implementasi kebijakan perhitungan PPh secara proporsional bagi suami isteri yang memilih untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakan terpisah serta menganalisis faktor penghambat dalam pengimplementasiannya.  Kondisi saat ini, masih banyak WP dengan status Memilih Terpisah yang belum menjalankan perhitungan dan pelaporan PPh sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Penelitian ini dilakukan metode post-positifisme dan dengan studi pustaka dan wawancara mendalam. Hasil penelitian menunjukkan pertama, belum terpenuhinya indikator implementasi dengan kriteria evaluasi kebijakan William N. Dunn terkait efektivitas, efisiensi, perataan, kecukupan, responsivitas dan ketepatan pada kebijakan PPh atas penghasilan OP bagi suami isteri yang menjalankan hak dan kewajiban perpajakan terpisah. Hal ini dikarenakan masih terdapat gap antara teori terkait perhitungan PPh dengan kebijakan perhitungan PPh secara proporsional untuk WP suami isteri yang memiliki NPWP terpisah. Kebijakan tersebut justru membuat WP harus mengeluarkan biaya tambahan karena terdapat potensi kurang bayar pada perhitungan PPh secara proporsional. Selain itu kebijakan tersebut juga memberatkan WP untuk melakukan perhitungan PPh kembali secara proporsional meskipun setiap bulannya pemberi kerja sudah melakukan pemotongan PPh 21. Kedua, faktor penghambat yang dihadapi oleh WP dan fiskus dalam implementasi ketentuan perhitungan PPh secara proporsional untuk WP suami isteri yang menjalankan kewajiban perpajakan sendiri-sendiri yaitu terbatasnya pengetahuan WP terkait kebijakan perhitungan PPh secara proporsional, keraguan untuk mengajukan penghapusan karena adanya konsekwensi penelitian, dan adanya tambahan biaya kepatuhan untuk menjalankan ketentuan tersebut. Sementara itu, faktor penghambat dari sisi fiskus yaitu keterbatasan sistem IT untuk mengawasi dan mengintegrasikan data suami isteri, jumlah SDM yang tidak sebanding dengan jumlah WP serta penyelarasan ketentuan di setiap KPP.

This research aims to evaluate income tax calculation policy regarding maried filing separately and to analyze the obstacles in its implementation. At the present time, there are still many maried filing separately taxpayers that have not conduct their tax payment and submission based on the prevailing regulations. This research is post-positivisme method and conducted through literature review and in-depth interview. The results show that first, the indicator of implementation with evaluation criteria by William Dunn related to Effectiveness, Efficiency, Adequacy, Equity, Responsiveness, Appropriateness on tax income policy on married filing separately have not been found due to the gap between proportional tax calculation on married filing separatlely. This policy tends to cause the taxpayers to spend additional costs due to potential underpayment on the proportional income tax calculation. Furthermore, this policy will cause the taxpayers to recalculate their income tax proportionally even though their monthly income tax article 21 have been withheld by their employers. Secondly, the obstacles faced by taxpayer and tax official in the implementation of proportional income tax calculation on married filing separately are insufficient knowlegde of the taxpayers, the uncertain feeling of submitting cancellation due to the fear of being observed, and additional compliance cost to comply with the regulation. Meanwhile, the challenges found in tax official's side are the limit of IT System to control and integrate data regarding married taxpayers, insufficient number of tax personnels compared to the number of taxpayers and the harmonization of many regulations in every small tax office."
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2019
T55390
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Fahma Nurbaiti
"Tesis ini membahas mengenai evaluasi kebijakan pajak Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) Tinjauan atas PP No. 46 Tahun 2013. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Hasil dari penelitian ini adalah penetapan batasan peredaran bruto tertentu sebesar Rp 4.800.000.000,00 tidak berdasarkan kajian akademik baru, namun menggunakan kajian lama. Penetapan tarif sebesar 1% secara final dari peredaran bruto usaha, hanya berasal dari sudut pandang peredaran usaha yang dijalankan oleh wajib pajak, namun tidak melihat beban ataupun biaya yang dikeluarkan oleh wajib pajak. Implikasi perpajakan yang timbul bagi UMKM sehubungan dengan penetapan PP No. 46 Tahun 2013, di antaranya perbedaan penghitungan antara PP No. 46 Tahun 2013 dengan ketentuan sebelumnya pasal 31E. Pengenaan secara final jika dibandingkan dengan ketentuan perhitungan normal, maka dalam kondisi mengalami kerugian ataupun keuntungan wajib pajak badan tetap harus membayarkan pajak penghasilan yang terhutang yang berasal dari jumlah peredaran bruto dikalikan tarif sebesar 1%. Kedua, implikasi kewajiban pajak penghasilan untuk wajib pajak badan yakni, adanya penghitungan pajak penghasilan yang terkadang mengikuti PP No. 46 Tahun 2013 dan mengikuti Pasal 31E. Perubahan penghitungan pajak yang terhutang bagi wajib pajak badan tersebut, menyebabkan perhitungan yang tidak konsisten. Hal tersebut dapat mengakibatkan adanya potensi penghitungan kerugian yang hilang akibat digunakannya kedua penghitungan yang berbeda. Ketiga, penggunaan Surat Keterangan Bebas (SKB) sulit untuk dipenuhi. Wajib Pajak mengalami kesulitan dengan tata cara SKB secara administrasi. Selain itu, dari sisi cash flow, wajib pajak diharuskan untuk membayar terlebih dahulu pajak yang terhutang untuk mendapatkan SKB tersebut.

The focus of this study describes the evaluation of tax policy Micro, Small and Medium Enterprises ( SMEs ) Review of PP No. 46 of 2013. The approach used in this study is a qualitative approach. The results of this study are the determination of gross income specified limit of Rp 4,800,000,000.00 not based on a new academic study, but using the old study. Determination of rate of 1 % in the final of the gross turnover of business, only from the standpoint of the circulation of the business carried on by the taxpayer, but did not see the burden or expense incurred by the taxpayer. There are some implication for taxation arising for SMEs in connection with the establishment of PP No. 46 of 2013, including the calculation of the difference between PP No. 46 of 2013 and the preceding provisions of Article 31E. The final taxation when compared with the normal provisions of the calculation, in the state of loss or profit, corporate tax payers still have to pay income tax payable from the amount of the gross income multiplied by a rate of 1%. Second, the implications of income tax liability for corporate taxpayers is to calculate corporate income tax, that sometimes using PP No. 46 of 2013 regulation or Article 31E. That differences to calculate the corporate income tax, causing the inconsistency of the calculation. This is a potential loss due to the use of the two different calculation. Third, the use of Exemption Certificate is difficult to be applied. Taxpayers is having trouble with the administrative procedures of the Exemption Certificate. Moreover, in terms of cash flow, a taxpayer is required to pay the tax due in advance to get the Exemption Certificate."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>