Hasil Pencarian

Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 220392 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Adrieanta
"Pasien anak dengan keganasan dapat mengalami episode demam neutropenia. Etiologi bakterimia pada demam neutropenia berbeda-beda pada tiap pusat pelayan kesehatan dan berubah secara periodik. Antibiotik empiris diberikan pada pasien demam neutropenia berdasarkan klasifikasinya. Skor Rondinelli mengklasifikasikan pasien demam neutropenia menjadi risiko rendah dan risiko tinggi. Luaran dengan menggunakan skor Rondinelli belum pernah dilaporkan.
Tujuan : Mengetahui karakteristik etiologi dan perjalanan klinis demam neutropenia pada anak dengan keganasan yang dirawat inap di Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSCM.
Metode : Penelitian ini adalah deskriptif retrospektif. Sampel diambil dari data sekunder berupa rekam medis pasien anak dengan keganasan yang mengalami demam neutropenia yang menjalani rawat inap di bangsal Departemen IKA FKUI/RSCM mulai bulan Januari 2010 hingga bulan September 2013.
Hasil : Penelitian dilakukan pada 86 pasien anak yang mengalami 96 episode demam neutropenia yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Prevalensi bakterimia pada episode demam neutropenia pada anak dengan keganasan adalah 17%. Proporsi kuman penyebab terbanyak bakterimia pada demam neutropenia adalah Staphylococcus sp (25%), Pseudomonas aeruginosa (25%), Klebsiella pneumonia (19%) dan Escherichia coli (13%). Penelitian ini mendapatkan luaran episode demam neutropenia pada anak dengan keganasan adalah 40% memiliki luaran sembuh, 49% memiliki luaran tidak sembuh dan 6% meninggal dunia. Berdasarkan skor Rondinelli didapatkan 30 (61%) episode demam neutropenia risiko rendah memiliki luaran sembuh dan hanya 13 (28%) episode demam neutropenia risiko tinggi yang memiliki luaran sembuh.
Simpulan : Sebagian besar hasil kultur darah pada demam neutropenia adalah steril. Kuman gram negatif penyebab terbanyak bakterimia pada demam neutropenia. Demam neutropenia memiliki morbiditas yang tinggi. Skor Rondinelli dapat digunakan untuk mengklasifikasikan demam neutropenia pada anak dengan keganasan.

Cancer children could have febrile neutropenia (FN) episodes. The bacteremia etiology of FN from each health center was different and periodically changed. Empirical antibiotic was given to the patient according to the classification. Rondinelli’s score classify FN patient to low risk and high risk. Outcome of Rondinelli’s score is not yet reported.
Purpose: To know the clinical pathway and characteristic of etiology FN in cancer children in Department of Child Health RSCM ward.
Methods: The retrospective descriptive study. Samples were taken from secondary data in medical report of a cancer child with FN in ward in Department of Child Health FKUI/RSCM from January 2010 to September 2013.
Results: There were 86 children with 96 FN episodes that fulfill the inclusion and exclusion criteria. Bacteremia prevalence in cancer child with FN episodes was 17%. The most frequent proportion bacteria as FN etiology were Staphylococcus sp (25%), Pseudomonas aeruginosa (25%), Klebsiella pneumoniae (19%), and Escherichia coli (13%). The outcome of cancer children with FN were 40% recover, 49% not recover, and 6% pass away. Rondinelli's score outcome showed 30 (61%) episodes of low risk FN recover and only 13 (28%) episodes of high risk FN recover.
Conclusions: Most of blood culture result of FN was sterile. Gram negative bacteria were the most frequent etiology for FN. FN has high morbidity.
"
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amrina Rasyada
"Latar Belakang: Infeksi sitomegalovirus (CMV) telah menjadi masalah besar secara global dengan prevalens yang tinggi. Demam neutropenia merupakan kegawatdaruratan anak di bidang onkologi karena dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas, salah satu penyebabnya yaitu infeksi CMV. Mengingat tingginya seroprevalens CMV di Indonesia yang dapat meningkatkan angka kematian pasien keganasan, maka penting untuk memahami profil klinis, laboratoris, dan tata laksana infeksi CMV pada demam neutropenia. Tujuan: Untuk mengetahui prevalens, karakteristik klinis, laboratoris dan tata laksana infeksi CMV pada pasien anak dengan demam neutropenia karena keganasan. Metode: Penelitian ini merupakan uji observasional secara prospektif. Subyek yang diteliti adalah seluruh pasien demam neutropenia usia 1 bulan-18 tahun yang dirawat di bangsal anak Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta pada bulan Januari sampai dengan Mei 2024. Hasil: Terdapat 89 episode demam neutropenia yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi, yang terjadi pada 71 pasien anak dengan median usia 6 tahun (5 bulan-16 tahun), lelaki 56,3%, dan tumor padat 53,5%. Kultur steril terbanyak yaitu darah (78,3%) dan urin (65,2%), dengan kultur positif terbanyak yaitu feses (100%), darah (21,7%), urin (34,8%), dan sputum (100%). Dari kultur yang positif, proporsi kuman terbanyak adalah Klebsiella pneumoniae (29%) dengan sensitivitas antibiotik tertinggi yaitu lini 1 gentamisin (50%), lini 2 sefoperazon sulbaktam (55,5%), dan lini 3 imipenem (72,2%). Terdapat 2 subyek dengan infeksi CMV berdasarkan PCR CMV dan peningkatan IgG 4 kali lipat dalam 4 minggu. Karekteristik klinis yang ditemukan yaitu demam neutropenia episode kedua, durasi demam 1,5 hari, suhu puncak demam 39,45oC, diare, muntah, pucat, dan perdarahan. Kedua subyek dengan status gizi baik. Karakteristik laboratoris yang ditemukan yaitu pansitopenia, peningkatan CRP, dan kultur yang negatif. Karakteristik tata laksana yang ditemukan yaitu pemberian antibiotik empiris, antijamur, dan antivirus valgansiklovir selama 14 hari. Kesimpulan: Prevalens infeksi CMV pada anak dengan demam neutropenia karena keganasan di RSCM sebesar 2,2%, dengan karakteristik klinis demam neutropenia episode kedua, durasi demam 1,5 hari, suhu puncak 39,45oC, gejala diare, muntah, pucat, dan perdarahan. Tidak terdapat karakteristik laboratoris dan tata laksana, tetapi ditemukan pansitopenia, peningkatan CRP, kultur negatif, dan pemberian valgansiklovir selama 14 hari. Hasil tambahan berupa proporsi kuman tertinggi pada pasien demam neutropenia yaitu Klebsiella pneumoniae dengan sensitivitas antibiotik tertinggi yaitu sefoperazon sulbaktam.

Background: Cytomegalovirus (CMV) infection has become a major problem globally with high prevalence. Neutropenic fever is a pediatric oncology emergency, increasing morbidity and mortality. CMV infection should be considered as a cause of neutropenic fever. Given the high CMV seroprevalence in Indonesia, which can increase cancer patient mortality, it is crucial to understand the clinical profile, laboratory findings, and management of CMV infection in neutropenic fever. Objective: To determine the prevalence, clinical, laboratory, and management characteristics of cytomegalovirus infection in pediatric patients with neutropenic fever due to malignancy. Methods: This research was an observational study prospectively. The subjects were all neutropenic fever patients aged 1 month-18 years who were hospitalized in the Cipto Mangunkusumo Hospital (CMH) pediatric wards from January to Mei 2024. Results: There were 89 episodes of neutropenic fever that met the inclusion and exclusion criteria, found in 71 pediatric patients, with median age was 6 years old (5 months-16 years old), male 56.3%, and solid tumor 53.5%. Sterile results were found in blood (78.3%) and urine (65.2%) cultures. Positive cultures were found in feces (100%), blood (21.7%), urine (34.8%), and sputum (100%). Klebsiella pneumoniae (29%) was the highest proportion of positive cultures with the highest sensitivity antibiotic in the first line was gentamicin (50%), second line cefoperazone sulbactam (55.5%), and third line imipenem (72.2%). Two subjects were CMV infection based on PCR CMV and IgG increasing 4 times in 4 weeks. Clinical characteristics were second episode of neutropenic fever, duration of fever 1.5 days, peak temperature 39.45oC, diarrhea, vomiting, pale, bleeding, and both had good nutritional status. Laboratory characteristics showed pancytopenia, increasing CRP, and negative culture. Management characteristics included empirical antibiotic, antifungal, and antiviral valganciclovir for 14 days. Conclusion: The prevalence of CMV infection in neutropenic fever at CMH was 2.2%. Clinical characteristics were second episode of neutropenic fever, duration of fever 1.5 days, peak temperature 39.45oC, diarrhea, vomiting, pale, and bleeding. There is no laboratory and management characteristics, but found pancytopenia, increased CRP, negative culture, and administering valganciclovir for 14 days. The additional result was Klebsiella pneumoniae as the highest microbe with the highest antibiotic sensitivity was cefoperazone sulbactam."
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Edel Herbitya
"Latar Belakang. Demam neutropenia adalah salah satu kegawatdaruratan di bidang onkologi medis dengan angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi, menyebabkan pembiayaan kesehatan yang tinggi serta memicu luaran klinis yang buruk. Oleh karena itu, klinisi perlu mengenali faktor-faktor risiko untuk mencegah demam neutropenia. Skor FENCE merupakan model prediksi demam neutropenia pada pasien yang menjalani kemoterapi siklus pertama.
Tujuan. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan validasi skor FENCE dalam memprediksi risiko terjadinya demam neutropenia pada pasien kanker padat dan limfoma yang menjalani kemoterapi siklus pertama.
Metode. Penelitian ini memiliki desain kohort retrospektif dengan menggunakan data rekam medis pada pasien kanker padat dan limfoma yang menjalani kemoterapi siklus pertama di RS Kanker Dharmais pada tahun 2020. Identifikasi penilaian skor FENCE akan dievaluasi saat akan menjalani kemoterapi siklus pertama. Data terkumpul dianalisis uji kalibrasi dengan Hosmer-Lemeshow dan uji diskriminasi dengan Area Under the Curve(AUC) dalam memprediksi risiko terjadinya demam neutropenia.
Hasil. Diantara 700 pasien, proporsi demam neutropenia adalah 13,3% dengan mortalitas sebesar 21,5%. Mayoritas subjek adalah wanita (70,4%), usia < 65 tahun (91,6%) dengan median usia 49 tahun, kanker payudara (44%), dan stadium lanjut (54,7%). Skor FENCE memiliki performa kalibrasi yang baik (p = 0,354, koefisien korelasi r = 0,979). Performa diskriminasi skor FENCE baik dengan AUC 0,816 (IK95% 0,771 – 0,862).
Kesimpulan. Performa kalibrasi dan diskriminasi skor FENCE dalam memprediksi risiko terjadinya demam neutropenia pada pasien kanker padat dan limfoma adalah baik. 

Background. Febrile neutropenia is an emergency case in the medical oncology field with high morbidity and mortality rates, causing high health costs, and leading to poor clinical outcomes. Therefore, clinicians need to identify risk factors to prevent febrile neutropenia. The FENCE score is a prediction model of febrile neutropenia in patients undergoing the first cycle of chemotherapy.
Aim. This study aims to validate the FENCE score in predicting the risk of febrile neutropenia in solid cancer and lymphoma patients undergoing the first cycle of chemotherapy.
Methods. In this study, a retrospective cohort design was used using medical records of solid cancer and lymphoma patients who underwent the first cycle of chemotherapy at Dharmais Cancer Hospital in 2020.The identification of the FENCE score will be evaluated when undergoing the first cycle of chemotherapy. Collected data were analyzed using the Hosmer-Lemeshow test for the calibration performance and the Area Under the Curve (AUC) test for the discrimination performance in predicting the risk of febrile neutropenia.
Results. Among 700 patients, 13.3% had febrile neutropenia, with a mortality rate of 21.5%. The majority were females (70.4%), age < 65 years (91.6%) with a median age of 49 years, breast cancer (44%), and advanced stage (54.7%). The FENCE score had good calibration performance (p = 0.354, coefficient of correlation r = 0.979). The discrimination performance of FENCE score was good with AUC 0.816 (95%CI 0.771 – 0.862).
Conclusion. The calibration and discrimination performance of FENCE score in predicting the risk of febrile neutropenia in solid cancer and lymphoma is good. 
"
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Fannya Ayu Permatasari
"Salah satu dari komplikasi kemoterapi adalah kejadian Febrile Neutropenia (FN), yang mana ditandai dengan demam lebih dari 38o C dalam jangka waktu lebih dari 1 jam dengan hitung jenis neutrophil kurang dari 500/mm3.  Berdasarkan hasil pengkajian pada kasus anak dengan LLA, didapatkan kejadian FN post kemoterapi dengan gejala umum demam, serta ditambah dengan Pneumonia sehingga timbul sesak dan batuk berdahak. Masalah keperawatan yang ditegakkan terdiri dari ketidakefektifan bersihan jalan napas, hipertermia, dan risiko infeksi. Intervensi yang menjadi fokus dalam karya ilmiah ini yaitu kompres hangat Tepid Water Sponge (TWS). Selain itu, dilakukan intervensi untuk mengatasi masalah lainnya, seperti penerapan manajemen jalan napas dan pencegahan infeksi. Hasil evaluasi dari intervensi yang telah dilakukan adalah sesak dan batuk berkurang, demam tidak ada, dan penyebaran infeksi tidak terjadi. TWS yang dilakukan menunjukkan efektifitas pada pasien dengan LLA yang mangalami demam ketika dilakukan segera minimal 30 menit setelah pemberian antipiretik. TWS dapat menurunkan suhu dengan rata-rata penurunan 0.43o C. Hasil karya ilmiah ini menyarankan institusi kesehatan atau rumah sakit untuk menerapkan teknik kompres hangat TWS sebagai tindakan non-farmakologi yang efektif menurunkan suhu tubuh anak yang mengalami demam. 

One of the complications of chemotherapy is the occurrence of Febrile Neutropenia (FN), which is characterized by fever of more than 38o C in a period of more than 1 hour with a count of neutrophils of less than 500/mm3. Based on the results of studies in cases of children with LLA, post-chemotherapy FN was found with common symptoms of fever and added to Pneumonia resulting in tightness and coughing up sputum. The established nursing problems consist of ineffectiveness of airway clearance, hyperthermia, and risk of infection. The intervention that is the focus of this scientific work is warm compresses of Tepid Water Sponge (TWS). In addition, interventions are done to address other problems, such as the application of airway management and prevention of infection. The results of the evaluation of the interventions that have been done are reduced dipsnoe and coughing, no fever, and the spread of infection doesnt occur. TWS performed shows effectiveness in patients with ALL who experience fever when done immediately at least 30 minutes after antipyretic administration. TWS can reduce the temperature by an average temperature drop of 0.43o C. This scientific work suggests health institutions or hospitals to apply the warm TWS compress technique as a non-pharmacological action that effectively lowers the body temperature of children who have fever.

"
Lengkap +
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2019
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nusaibah Al Hima
"Demam neutropenia merupakan efek samping yang sering terjadi setelah kemoterapi. Demam neutropenia dapat menyebabkan penundaan dosis kemoterapi sehingga dapat mengurangi efektivitas terapi. Kejadian demam neutropenia paskakemoterapi dapat dicegah dengan pemberian Granulocyte-colony Stimulating Factor (G-CSF). Regimen kemoterapi yang digunakan dapat memengaruhi kejadian demam neutropenia. Selain itu, usia, stadium kanker, riwayat kemoterapi dan kadar hemoglobin sebelum kemoterapi merupakan faktor risiko demam neutropenia paskakemoterapi.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan kejadian demam neutropenia regimen TAC (dosetaksel, doksorubisin, siklofosfamid) dengan profilaksis primer G-CSF dan regimen FAC (fluorourasil, doksorubisin, siklofosfamid) pada pasien kanker payudara di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung periode Januari 2017-Juni 2019.
Desain penelitian adalah cross sectional uji dua populasi. Jumlah sampel sebanyak 61 regimen TAC dan 102 regimen FAC. Kejadian demam neutropenia dianalisis menggunakan chi-square.
Hasil penelitian menunjukkan kejadian demam neutropenia paskakemoterapi lebih banyak terjadi pada regimen TAC dengan profilaksis primer G-CSF dibandingkan dengan regimen FAC. Kejadian demam neutropenia 12 kali lebih banyak terjadi pada regimen TAC dengan GCSF dibanding regimen FAC. Usia, stadium kemoterapi, riwayat kemoterapi dan kadar hemoglobin sebelum kemoterapi secara statistik tidak signifikan memengaruhi kejadian demam neutropenia paskakemoterapi.

Febrile Neutropenia is a common side effect of chemotherapy. Febrile neutropenia can cause delayed chemo doses that can reduce the effectiveness of therapy. The incidence of febrile neutropenia can be prevented by administering Granulocyte-colony Stimulating Factor (G-CSF). The chemotherapy regimen can affect the incidence of febrile neutropenia. In addition, age, stage of cancer, history of chemotherapy and prechemotherapy hemoglobin level are risk factors for febrile neutropenia.
This study aimed to compare the incidence of febrile neutropenia between TAC (docetaxel, doxorubicin, cyclophosphamide) regimen with G-CSF primary prophylaxis and FAC regimen (fluorouracil, doxorubicin, cyclophosphamide) in breast cancer patients at RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung period January 2017 - June 2019.
The study design was cross sectional test of two populations. The sample consisted of 61 TAC regimen and 102 FAC regimen. The incidence of febrile neutropenia were analyzed using chi-square.
The results showed that the incidence of post-chemotherapy febrile neutropenia is more common in TAC regimen with G-CSF primary prophylaxis than FAC regimen. The incidence of neutropenia is 12 times more common in TAC regimens with G-CSF than FAC regimen. Age, stage of chemotherapy, history of chemotherapy and pre-chemotherapy hemoglobin levels did not statistically significantly influence the incidence of febrile neutropenia."
Lengkap +
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2019
T55212
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sharifah Shakinah
"Latar Belakang Demam neutropenia adalah suatu kondisi gawat darurat yang umum terjadi pada pasien dengan keganasan pasca kemoterapi dengan angka mortalitas mencapai 12.5%. Studi ini hendak menilai peran dari skor CISNE dibandingkan dengan skor MASCC sebagai metode stratifikasi risiko pada pasien demam pada neutropenia pasca kemoterapi pada tumor padat dan tumor hematologis.
Metode Penelitian ini adalah penelitian kohort retrospektif pada 95 data pasien demam neutropenia pasca kemoterapi tumor padat dan 73 data pasien demam neutropenia pasca kemoterapi tumor hematologis di RSCM selama periode Januari 2015 - Desember 2019. Dilakukan analisis dan perbandingan area under curve dengan metode DeLong.
Hasil Terdapat perbedaan yang signifikan antara AUC skor CISNE (0,893; IK 95% 0,829 - 0,95, p=0,03) dengan AUC skor MASCC (0,77 ; IK 95% 0,68 - 0,86, p=0,04) pada kelompok tumor padat dan terdapat perbedaan yang signifikan antara AUC skor CISNE (0,91; IK 95% 0,84 - 0,97, p=0,03) dan AUC skor MASCC (0,735; IK 95% 0,68 - 0,86, p=0,04) pada kelompok tumor hematologis.
Kesimpulan Skor CISNE memiliki performa yang lebih baik secara bermakna dibandingkan skor MASCC dalam memprediksi komplikasi pada pasien demam neutropenia pasca kemoterapi tumor padat dan tumor hematologis dengan nilai titik potong 2.

Background Febrile neutropenia is an oncologic emergency that is common in patients with malignancy who undergo chemotherapy with a mortality rate of 12.5%. This study assessed the role of CISNE score compared to MASCC score as a risk stratification in post-chemotherapy febrile neutropenia in solid tumors and haematological tumors.
Methods This study was a retrospective cohort study on 95 post-chemotherapy febrile neutropenia patients with solid tumor and 73 post-chemotherapy febrile neutropenia patients with hematologic tumor in RSCM on January 2015 - December 2019. We did analysis and comparison of the area under curve with DeLong method.
Results There was a significant difference between AUC of CISNE score (0.893; 95% CI 0.829 - 0.95, p = 0.03) and AUC of MASCC score (0.77; 95% IK 0.68 - 0,86, p = 0.04) in the solid tumor group and there was also a significant difference between the AUC CISNE score (0.91; 95% CI 0.84 - 0.97, p = 0.03) and the AUC MASCC score (0.735 ; 95% CI 0.68 - 0.86, p = 0.04) in the hematologic tumor group.
Conclusion CISNE score has significantly better performance than MASCC score in predicting complications in post-chemotherapy febrile neutropenia patients in solid tumors and hematologic tumors with a cut-off point value of 2.
"
Lengkap +
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T55553
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
R Gantira Wijayakusumah Danasasmita
"Latar Belakang. Pasien demam neutropenia yang bukan akibat efek samping kemoterapi
angka kejadiannya semakin meningkat. Kondisi neutropenia meningkatkan risiko terjadinya
infeksi, adapun penyebab neutropenia tidak hanya obat kemoterapi. Beberapa sistem
penilaian risiko komplikasi digunakan untuk dasar terapi antibiotik pada pasien demam
neutropenia pasca kemoterapi, belum ada penelitian terhadap pasien demam neutropenia
selain pasca kemoterapi. Penelitian ini bertujuan untuk validasi dan menilai performa skor
MASCC dan penambahan prokalsitonin pada populasi demam neutropenia tidak terkait
kemoterapi.
Metode. Penelitian dilakukan pada rekam medis 68 pasien demam neutropenia yang bukan
terkait kemoterapi di ruang perawatan RSUP Nasional dr. Cipto Mangunkusumo pada bulan
Januari 2018-November 2019. Dilakukan penilaian validasi kalibrasi menggunakan Hosmer-
Lameshow dan deskripsi dengan ROC.
Hasil. Terdapat variasi skor MASCC dan nilai prokalsitonin subjek penelitian. Median skor
MASCC adalah 21 (18-24) yang masuk dalam kategori low-risk. Median prokalsitonin
subjek adalah 1,99 ng/mL (0,72-10,60). Performa MASCC menghasilkan kalibrasi baik
p>0,05 dan area under curve (AUC) sebesar 0,888(IK95% 0,813-0,962, p = 0,000).
Prokalsitonin menunjukkan AUC sebesar 0,797 (IK95% 0,683-0,911, p = 0,000), titik
potong 1,67 dengan sensitifitas 78,8% dan spesifisitas 72,4%. Performa gabungan skor
MASCC dan prokalsitonin juga menghasilkan kalibrasi Hosmer-Lameshow dengan p>0,05
dan AUC sebesar 0,901 (IK95% 0,827-0,974).
Kesimpulan. Dapat disimpulkan bahwa MASCC merupakan instrumen yang baik untuk
mendeteksi komplikasi perawatan pada pasien dengan FN yang tidak terkait kemoterapi.
Gabungan antara MASCC dan PCT didapatkan hasil yang bermakna dalam prediktor
komplikasi dengan validasi baik.

Background. Neutropenia patients who are not due to side effects of chemotherapy are
increased. Neutropenia increases the risk of infection. Several complications risk assessment
systems are used for antibiotic therapy in patients with post-chemotherapy neutropenia. There
are no studies in neutropenic fever patients who are not due to chemotherapy drugs. This
study aims to validate and assess the performance of the MASCC score and the addition of
procalcitonin in the neutropenia fever population not related to chemotherapy.
Methods. The study was conducted on the medical records of 68 neutropenic fever patients
who were not chemotherapy-related in the National Hospital Dr. Cipto Mangunkusumo in
January 2018-November 2019. The calibration validation was assessed using Hosmer-
Lameshow and description with ROC.
Results. There are variations in MASCC scores and procalcitonin scores in the study subjects.
The median MASCC score is 21 (18-24). The median procalcitonin subject was 1.99 ng / mL
(0.72 - 10.60). MASCC's performance resulted in a good calibration of p> 0.05 and area
under curve (AUC) of 0.888 (IK95% 0.813 - 0.962, p = 0.000). Procalcitonin showed AUC of
0.797 (IK95% 0.683 - 0.911, p = 0.000), the cut point 1.67 with a sensitivity of 78.8% and
specificity of 72.4%. The combined performance of MASCC and procalcitonin scores also
resulted in Hosmer-Lameshow calibration with p> 0.05 and AUC of 0.901 (IK95% 0.827-
0.974).
Conclusion. It can be concluded that MASCC is a good instrument for detecting treatment
complications in patients with FN that are not chemotherapy related. The combination with
PCT has significant results
"
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Prinnisa A. Jonardi
"Kejang demam, riwayat keluarga dan pencitraan merupakan faktor-faktor yang dapat memengaruhi klasifikasi epilepsi berdasarkan ILAE 1989. Penentuan jenis klasifikasi berguna untuk penatalaksanaan pasien. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data rekam medis tahun 1995-2010 Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSCM. Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan desain cross-sectional. Data diolah dengan multivariat regresi logistik. Dari hasil penelitian ini, didapat sampel sebanyak 99 orang dengan rincian laki-laki 53,4%, perempuan 46,5%. Pasien terbanyak pada kelompok umur 0-2 tahun 12 bulan (37,4%). Terdapat kebermaknaan yang signifikan pada hubungan antara pencitraan dengan klasifikasi epilepsi (p < 0,001). Tidak terdapat kebermaknaan yang signifikan terhadap hubungan antara riwayat epilepsi keluarga (p = 0,393) dan riwayat kejang demam ( p = 0,161) dengan klasifikasi epilepsi. Pencitraan merupakan faktor yang berpengaruh paling besar (OR = 16,725) terhadap penentuan jenis klasifikasi epilepsi bila dibandingkan dengan riwayat epilepsi keluarga dan riwayat kejang demam.

Febrile seizure, family history, and imaging are factors that determine the classification of epilepsy based on ILAE 1989. The classification is important to patient's treatment.This study used medical record from Pediatric Department of RSCM in 1995-2010. This study is a cross-sectional analytic. The data was proceed with multivariate logistic regression. There are 99 sample, 53.4% are male and 46.5% female. The most distribution of patient's age is in 0-3 years (37.4%). There is significant results in correlation between imaging with epilepsy classification (p<0.001) and there are less significant results between family history (p=0.393) and febrile seizure (p=0.161) with epilepsy classification. Imaging is the most powerful factor (OR = 16.725) that contribute to determine classification of epilepsy compared to family history and febrile seizure."
Lengkap +
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jemirda Sundari Y.
"Karya ilmiah akhir ini bertujuan untuk memberikan gambaran asuhan keperawatan pada anak kejang demam dengan menerapkan model konservasi Levine. Kejang demam merupakan bangkitan kejang yang terjadi karena peningkatan suhu tubuh yang disebabkan oleh adanya infeksi luar susunan saraf pusat. Pada anak kejang demam diperlukan intervensi keperawatan yang menunjukkan prognosis baik dengan penurunan suhu tubuh menjadi normal (36,5-37,5°C). Tepid sponge merupakan tindakan keperawatan yang tepat dalam penurunan suhu tubuh anak. Pemberian tepid sponge dapat memberikan sinyal ke hipotalamus dan memacu terjadinya vasodilatasi pembuluh darah perifer. Hal ini menyebabkan pembuangan panas melalui kulit meningkat sehingga terjadi penurunan suhu tubuh menjadi normal kembali. Pada kondisi demam intervensi keperawatan yang juga dilakukan adalah mempertahankan lingkungan tetap nyaman, meningkatkan istirahat, mempertahankan asupan nutrisi yang adekuat. Hasil dari penerapan intervensi yang telah dilakukan pada anak kejang demam selama 4 hari dengan diagnosa keperawatan hipertermi dapat diatasi yang dibuktikan dengan adanya penurunan suhu tubuh dari 38,8°C hingga 37,7°C.

This paper aimed to describe nursing care in children with febrile seizures by applying Levine’s conservation model. Febrile seizures is seizures that occur due to increasing of body temperature caused by extracranial infection. Children with febrile seizures need for nursing interventions to obtain good prognosis by decreasing body temperature to be normal (36,5-37,5°C). Tepid sponge is a nursing intervention to deacreasing body temperature. Giving tepid sponge can provide a signal to hypothalamus and stimulates the peripheral vasodilatation. This leads to increased heat dissipation through the skin till decreasing body temperature to be normal. Intervention of fever condition was to maintain comfortable environment, increase relaxation, and maintain adequate nutrition. The results of interventions application to children with febrile seizures during 4 days with hyperthermia can be solved and proven by decreasing of body temperature from 38,8°C to 37,7°C."
Lengkap +
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2013
PR-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rivaldo
"Latar Belakang: Kejang demam adalah jenis kejang tersering pada anak-anak. Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) merumuskan Rekomendasi Tata Laksana Kejang Demam pada tahun 2016 demi tercapainya tata laksana yang adekuat.
Tujuan:Mengevaluasi implementasi Rekomendasi Tata Laksana Kejang Demam IDAI 2016 dan variabilitas tata laksana kejang demam oleh dokter spesialis anak di Indonesia serta faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Metode: Penelitian ini merupakan studi potong lintang dengan instrumen kuesioner secara daring selama September-Oktober 2020. Responden penelitian ini adalah dokter spesialis anak anggota IDAI. Jawaban terkait kejang demam sesuai dengan rekomendasi diberikan nilai 1 dan jawaban tidak sesuai diberikan nilai 0 dengan rentang nilai yang mungkin 0-34,00.
Hasil : Didapatkan 181 responden dengan rerata skor 22,6 ± 7,12 dengan median 21,00 dan rentang 7,00-34,00. Komparatif median skor kelompok usia <60 tahun adalah 22,00 dan >60 tahun adalah 17,50 (p=0,007), kelompok yang lulus ≤10 adalah 22,00 dan >10 tahun adalah 20,00 (p=0,078), lokasi praktik RS adalah 21,00 dan klinik/praktik pribadi adalah 19,00 (p=0,250), jumlah pasien kejang demam perbulan 0-5 (20,00), 6-10 (22,00), >10 (23,00) (p=0,187), pernah kuliah/sosialisasi rekomendasi adalah 22,00 dan tidak pernah adalah 20,00 (p=0,109), dan lokasi kerja kabupaten adalah 22,00 dan kotamadya 21,00 (p=0,853).
Simpulan: Terdapat perbedaan tatalaksana yang signifikan antara responden kelompok usia <60 tahun dan >60 tahun, tetapi tidak ada perbedaan signifikan antara kelompok lainnya.

Background: Febrile seizure is the most common type of seizure in children. The Indonesian Pediatric Association (IDAI) formulated Recommendations for Fever Seizure Management in 2016 in order to achieve adequate management.
Objective: To evaluate the implementation of the 2016 IDAI Fever Seizure Management Recommendations and the variability in the management of febrile seizures by pediatricians in Indonesia and the factors that influence it.
Methods: This study was a cross-sectional study using an online questionnaire instrument during September-October 2020. The respondents of this study were IDAI member pediatricians. Answers regarding management of febrile seizsures in accordance with the recommendations are given a value of 1 and inappropriate answers are given a value of 0 with a possible value range of 0-34.00.
Results: There were 181 respondents with a mean score of 22.6 ± 7.12 with a median of 21.00 and a range of 7.00-34.00. The comparative median score for the age group <60 years was 22.00 and> 60 years was 17.50 (p = 0.007), the group passing ≤10 was 22.00 and> 10 years was 20.00 (p = 0.078), location Hospital practice is 21.00 and clinic / private practice is 19.00 (p = 0.250), the number of patients with febrile seizures per month is 0-5 (20.00), 6-10 (22.00),> 10 (23.00). ) (p = 0.187), the time to study / socialization of recommendations was 22.00 and never was 20.00 (p = 0.109), and the regency work location was 22.00 and the municipality was 21.00 (p = 0.853).
Conclusion: There are significant differences in treatment between respondents in the age group <60 years and> 60 years, but there is no significant difference between other groups.
"
Lengkap +
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>