Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 184431 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ferlyn Diana
"Tesis ini mendalami peran asas pelepasan hak (Rechtsverwerking) dibandingkan dengan kemampuan memaparkan riwayat kepemilikan tanah dalam pembuktian di pengadilan. Penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif, yang tujuannya bersifat preskriptif. Hasil penelitian menyarankan bahwa asas Rechtsverwerking yang saat ini hanya diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 sebaiknya segera dikuatkan dalam bentuk Undang-undang agar perannya dapat dirasakan oleh masyarakat yang memperoleh tanah dengan itikad baik.

This thesis explore the role of the principle of waiver (Rechtsverwerking) compared to the ability to expose a history of land ownership in evidence at court. This is a normative juridical research, whose goal prescriptive. The results suggest that principle of waiver (Rechtsverwerking) which is currently only regulated in form of a Government Regulation No. 24 of 1997, should be immediately strengthened to the form of a statute, that can be effecively perceived by the public whose getting a land by good intention."
Depok: Universitas Indonesia, 2013
T38719
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lulus Purna Malintang
"Dalam penerapan asas Rechtsverweking, hakim seharusnya tidak hanya berpatokan pada lampaunya batas waktu lima tahun untuk menggugat, tetapi juga mempertimbangkan keabsahan perolehan sertipikat tanah. Pendekatan tersebut diperlukan agar penerapan asas Rechtsverweking tidak secara otomatis menghilangkan hak gugat, terutama dalam kasus dimana penerbitan sertipikat melanggar hukum atau dilakukan tanpa itikad baik. Salah satu permasalahan dalam penerbitan sertipikat tanah oleh Kantor Pertanahan terhadap jual beli tanah dengan bukti kuitansi semata terdapat di dalam kasus yang termuat di dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 997 K/Pdt/2021. Penulisan ini mengangkat tentang keabsahan jual beli tanah dengan bukti kuitansi, perlindungan hukum terhadap pemilik tanah yang kehilangan tanahnya akibat penerapan asas Rechtsverwerking. Penelitian doktrinal yang dilakukan di sini mengumpulkan bahan-bahan hukum melalui studi kepustakaan yang selanjutnya dianalisis secara kualitatif. Sertipikat Hak Milik No. 01494 diterbitkan secara tidak sah karena hanya berasal dari jual beli yang dibuktikan dengan kuitansi semata, hal ini menimbulkan sengketa antara pemilik tanah dan pembeli beritikad baik. Perlindungan hukum bagi pemilik tanah meliputi pembatalan sertipikat dan pembeli beritikad baik dapat mengajukan gugatan ganti rugi atas perbuatan melawan hukum untuk mengembalikan keadaan seperti keadaan semula.

In the application of the principle of rechtsverwerking, judges should not solely rely on the lapse of the five-year limitation period for filing a claim but must also consider the validity of the acquisition of the land certificate. This approach is necessary to ensure that the application of the rechtsverwerking principle does not automatically extinguish the right to file a claim, particularly in cases where the issuance of the certificate violates the law or is conducted in bad faith. One of the issues in the issuance of land certificates by the Land Office, based solely on a receipt of sale and purchase, is illustrated in the Supreme Court Decision Number 997 K/Pdt/2021. This study addresses the validity of land transactions supported only by receipts, as well as the legal protection for landowners who lose their land due to the application of the rechtsverwerking principle. This doctrinal research collects legal materials through literature review, which are then analyzed qualitatively. Certificate of Ownership No. 01494 was issued unlawfully, as it stemmed solely from a sale and purchase evidenced by a receipt, resulting in a dispute between the landowner and a good faith buyer. Legal protection for landowners includes the annulment of the certificate, while good faith buyers may file a claim for damages based on unlawful acts to restore the situation to its original state."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2025
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Inka Kirana
"Sertipikat merupakan alat bukti kepemilikan hak atas tanah yang kuat bagi pemegang haknya.Sertipikat ganda adalah satu bidang tanah diuraikan dalam dua sertipikatatau lebih yang berlainan datanya.Sertipikat ganda membawa dampakketidakpastian hukum, sehingga tidak jarang terjadi sengketa diantara para pihakbahkan sampai ke Pengadilan. Salah satu contoh yaitu kasus tumpang tindih atas kepemilikan suatu bidang tanah yangdiselesaikan melalui Pengadilan adalah sebagaimana terdapat Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung RI No. 96 PK/TUN/2007yang terjadi di Desa Citeureup, Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat, dimana pada bidang-bidang tanah yang sama,dan sebelumnya telah diterbitkan Sertipikat Hak Milik, diterbitkan Sertipikat Hak Milik yang baru.
Dari hasil analisis terhadap Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung RI No. 96 PK/TUN/2007,dapat diketahui bahwa terjadinya kasus tumpang tindihantara Hak Milik No. 526/Desa Citeureup dan Hak Milik No. 20/Desa Citeureupdengan Hak Milik No. 00825/Desa Citeureup dan Hak Milik No. 00826/Desa Citeureup, disebabkan tidak dilaksanakannya pendaftaran tanah oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Bandung sesuai dengan tata cara dan prosedur yang telah ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dan Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997. Penyelesaiansengketa dalam kasus ini dilakukan melalui jalur Peradilan (litigasi).

Certificate serves as a strong evidence for ownership of land by its owner. Double certificate is a plot of land described in two or more certificates which have different data. Double certificate might cause legal uncertainty, thus many disputes occur between the parties on this issue which even have to be settled in the Court. One of the sample of case on overlapping of ownership of a plot of land settled through the Court is as stipulated in Supreme Court Judicial Review Decision No. 96 PK/TUN/2007happened in DesaCiteureup, Regency of Bandung, West Java Province, whereby Certificates of Ownership have been previously issued for the same plots of land, and then new Certificates of Ownership were issued.
Based on the result of the analysis on the Supreme Court Judicial Review Decision No. 96 PK/TUN/2007, the overlapping between Ownership of Right No. 526/DesaCiteureupand Ownership of Right No. 20/DesaCiteureupwithOwnership of Right No. 00825/DesaCiteureupand Ownership of Right No. 00826/DesaCiteureup, is due to the fact that land registration process was not properly implemented in accordance with the procedure stipulated in Government Regulation No. 24 of 1997 regarding Land registration and Agrarian Minister/Head of National Land Agency Regulation No. 3 of 1997 regarding Implementation Regulation of Government Regulation No. 24 of 1997 by the Head of Land Office of Bandung Regency. The dispute in this case was settledthrough court (litigation)."
Depok: Universitas Indonesia, 2013
T32627
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yulisye Indriati
"Ada berbagai macam alas hak atas tanah. Dalam karya tulis ini penulis hanya akan membahas kasus yang terkait dengan alas hak yang berlaku di kalangan masyarakat di Bali yaitu Pipil. Pipil adalah Surat Tanda Pembayaran Pajak sebelum Tahun 1960 yang oleh masyarakat di Bali di kenal sebagai alat bukti kepemilikan hak atas tanah. Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung Nomor 700 PK/PDT/2011 adalah mengenai salah satu sengketa pertanahan di provinsi Bali, dimana terdapat lebih dari satu pipil pada objek tanah yang sama, dan masing masing pihak pemegang pipil mengklaim bahwa tanah adalah milik pemegang pipil tersebut.
Selain itu kantor Wilayah pertanahan Provinsi Bali pada tahun 1991 telah mengeluarkan Surat Keputusan dengan nomor SK.87/HP/BPN/1/Pd/1991 yang isinya menunjuk kantor Wilayah pertanahan Provinsi Bali sendiri sebagai pemegang hak pakai pada tanah sengketa. Adapun pokok permasalahan pada karya tulis ini adalah Bagaimanakah kekuatan pipil sebagai alas kepemilikan hak atas tanah hak milik adat di Bali dan Apakah Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung No. 700 PK/Pdt/2011 Tahun 2011 penyelesaian hukumnya telah sesuai dengan peraturan yang berlaku. Pendekatan dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif, dengan problem solution atas pokok permasalahan.
Pendekatan yuridis normatif digunakan dengan maksud untuk mengadakan pendekatan terhadap masalah dengan cara melihat dari segi peraturan perundang-undangan yang berlaku. Jenis data yang digunakan adalah data sekunder yang diperoleh dari studi dokumen di perpustakaan yang berupa bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, alas hak atas tanah hak milik adat yang termasuk adalah pipil, dapat dijadikan sebagai dasar penerbitan sertipikat atas tanah dan memiliki kekuatan pembuktian sepanjang data yang diterangkan di dalamnya mengandung kebenaran. Sehingga alas hak atas tanah merupakan salah satu dasar bagi seseorang untuk dapat memiliki hak atas tanah. Terhadap pokok permasalahan kedua, penulis berpendapat bahwa Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung No. 700 PK/Pdt/2011 Tahun 2011 penyelesaian hukumnya telah sesuai dengan peraturan yang berlaku, sehingga memberikan kepastian serta perlindungan hukum kepada Penggugat atas kepemilikan hak atas tanah hak milik.

There are different kind of Indigeneous Land Rights. The author in this study focuses on issues partaining to Indigeneous Land Rights that is common in Baliand called Pipil. Pipil is a form of Farm Produce Tax Receipt (Surat Pajak Hasil Bumi)or commonly known as "petuk pajak", prior to the year of 1960. and has been widely recognized and accepted by people in Balias proof of land ownership. Judicial review of the Supreme Court decision No. 700 PK/PDT/2011 is about one land disputes in the province of Bali, where there is more than one object pipil on the same ground, and each party pipil holders claim that the land is owned by the pipil holder.
Besides Bali provincial office of the land area in 1991 had issued a decree in which it pointed SK.87/HP/BPN/1/Pd/1991 number office land area of ​​Bali itself as the holder of the right to use the disputed land. The principal issue in this paper is How the power pipil as the base land rights of indigenous property rights in Bali and Is judicial review the Supreme Court verdict No.. 700 PK/Pdt/2011 Year 2011 legal settlement in accordance with the applicable regulations.
The approach in this study by using a normative approach, the solution to the problem at issue. Normative approach is used with the intent to hold the approach to the problem by looking at the terms of the legislation in force. Type of data used is secondary data obtained from the study of the documents in the library in the form of primary legal materials and secondary legal materials.
Based on Government Regulation No. 24 Year 1997 on Land Registration, pedestal land rights, including customary property rights is pipil, can be used as the basis for the issuance of certificates of land and has a strength of evidence throughout the data described in it contains the truth. So the title to land is one of the bases for a person to be able to have rights to the land. Subject to the second permasalaha, enulis found Reconsideration Decision Supreme Court. 700 PK/Pdt/2011 In 2011 legal settlement in accordance with applicable regulations, so as to provide certainty and legal protection to the Plaintiff on the ownership rights of land ownership.Based on Government Regulation No. 24 Year 1997 on Land Registration, Indigeneous Land Rights(Alas Hak Atas Tanah) supported by true and well founded data, could become the basis for the issuance of Land Certificate and considered strong evidence of land ownership in court.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T34814
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Faisal Iksan
"Ditetapkannya Undang-Undang Pokok Agraria pada tahun 1960 merupakan landasan bagi Pemerintah dalam memberikan kepastian hukum mengenai suatu bidang tanah, hal ini dapat kita lihat dalam Pasal 19 menjelaskan bahwa untuk menciptakan kepastian hukum pertanahan, maka Pemerintah menyelenggarakan kegiatan pendaftaran tanah, dan atas tanah yang telah didaftarkan selanjutnya diberikan tanda bukti kepemilikan tanah yang berguna sebagai alat bukti yang kuat mengenai hak atas tanah. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah merupakan dasar hukum yang menjadi pendukung atas berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria, terutama Pasal 32 mengenai kepastian dan perlindungan hukum sertipikat tanah. Dari penerapan kedua peraturan ini diharapkan dapat memberikan ketenangan bagi seseorang yang memiliki sertipikat tanah. Namun, dalam kenyataannya perolehan tanah yang telah dilakukan sesuai dengan prosedur hukum tetap dapat digugat oleh pihak lain, seperti kasus sengketa tanah antara Subadi Sastro Sudjono sebagai pemilik sertipikat hak milik dengan Suito Wijaya sebagai pemilik girik atas bidang tanah di wilayah Tangerang.
Girik bukan merupakan tanda bukti hak atas tanah, tetapi girik hanya digunakan sebagai bukti pembayaran pajak-pajak atas tanah. Walaupun demikian, Petuk Pajak Bumi/Landrente, Girik, Pipil, Kekitir dan Verponding Indonesia adalah salah satu alat bukti tertulis yang dapat didaftarkan sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997. Jika selalu ada permasalahan antara sertipikat dengan girik, maka kekuatan pembuktian dari sertipikat tentu lebih kuat dibandingkan dengan girik, karena pembuktian dengan bukti girik tanpa didukung data yuridis dan data fisik dan/atau penguasaan tanah terus menerus selama 20 (dua puluh) tahun akan sangat lemah. Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif dengan cara mengkaji suatu kasus dalam suatu putusan, kemudian diterapkan dengan peraturan perundangundangan yang berlaku serta dituangkan dalam bentuk tulisan deskriptif analitis mengenai pembahasan dari suatu permasalahan yang terjadi.

The enactment of The Principal Agrarian Laws in 1960 was the foundation for the government in giving a legal certainty on a land, we can review this on article 19, its explained that to create a lands legal certainty, the government will accomodate a registrations land for the registered one. Then it will be given a proof ownership of the land, which can be use as a powerful proof of the right to the land itself. The government regulation no 24 in 1977, about A land's registration can be use as the basic law, which became the support factor of The Principal Agrarian Laws, especially on article 32, review the certainty and legal protection of a land certificate. From the implementation of both regulation, hopefully could give more security for anyone who already have their land's certificate. But in fact, ownership of a land, which claimed as the law procedure, still can be issued by other parties, such as land disputes between Mr. Subadi Sastro Sudjono, as the owner of the land certificate, against Mr. Suito Wijaya, as the owner of the girik of a land in the area of Tangerang.
Girik is not a proof that someone own the land, but girik is only use as proof that someone has doing the payment for the land taxes. Nevertheless, there are other land certificate of Petuk Pajak Bumi/Landrente, Girik, Pipil, Kekitir and Verponding Indonesia that can serve as written evidence for land registration as provided for in Government Regulation Number 24 of 1997. If there's always problems between the certificate and girik, then the proving strength of a certificate, is absolutely more powerful than girik, because the proving with girik without supported by Judicial data and physical data and/or continually Land tenure for 20 (twenty) years or more, will be very infirm. This research was using the Normative Juridical approach method, which examine a case on one decision, then implemented it with the regulation applied, then laid out in the form of a descriptive analytical writing, of a discussion on which the problems happen.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T39261
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maulida Laraati
"Pemerintah melarang badan hukum, kecuali badan hukum tertentu yang dinyatakan oleh peraturan perundang-undangan, untuk memiliki tanah dengan status hak milik yang merupakan status hak tertinggi dalam kepemilikan tanah di Indonesia . Dalam transaksi yang terkait dengan pertanahan, tidak jarang dijumpai badan hukum yang mengupayakan agar dapat memperoleh tanah dengan status Hak Milik. Mekanisme yang biasa digunakan adalah dengan cara melakukan perjanjian nominee. Perjanjian nominee ini ada kalanya menimbulkan masalah dikemudian hari.
Pada kasus yang dibahas, pihak Yayasan (Badan Hukum) bersengketa dengan individu yaitu karyawan yang namanya digunakan sebagai nominee atas pembelian tanah dan bangunan dengan pihak ketiga. Atas kasus ini Putusan Pengadilan Negeri berbeda dengan Putusan Pengadilan Tinggi.Putusan Mahkamah Agung akhirnya memenangkan Yayasan karena terdapatnya perjanjian nominee yang berkaitan/melatarbelakangi pembelian tanah dan bangunan tersebut.

Laws prohibits government agencies, unless a specifis legal entity declared by legislation to own land with the status of property which is the highest in the ownership status of land rights in Indonesia, in transaction pertaining to land, not rare entity that seeks to aquire land with the status of property rights. The mechanism commonly used is by nominee agreements. This Agreement nominee sometimes cause problems later on.
In this cases discussed, the foundation (legal entity) dispute with the individual is an employee whose name is used as a nominee for the purchase of land and buildings to third parties. The decision of the Distrisct Court different from The High Court. The Foundation won in a Supreme Court decision, because there are relating in a nominee agreement of ownership of land and building.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
T21671
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Handayani Dyah Puspitasari
"Penelitian ini membahas mengenai peralihan hak atas tanah yang dilakukan oleh/di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) baik melalui hibah maupun yang lainnya harus dilakukan secara jelas. Perbuatan hukum yang melibatkan kepemilikan hak atas tanah harus dilakukan dengan akta PPAT. Dalam pembuatan akta, para pihak harus secara aktif menyatakan secara jelas hal-hal yang menjadi kesepakatan dua belah pihak yang mendasari dilakukannya kesepakatan tersebut. Hal ini guna memberikan jaminan kepastian hukum dan perlindungan kepada kedua belah pihak yang bersepakat. Adapun permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini mengenai 1) Kekuatan hukum Akta Hibah Nomor : 23/V/KOB/2005 yang akan ditarik kembali oleh pemberi hibah; 2) Peran dan tanggungjawab  PPAT terhadap akta hibah yang dikeluarkannya; 3) Upaya penerima hibah untuk mempertahankan kepemilikan hak atas tanahnya. Untuk menjawab permasalahan tersebut digunakan metode penelitian hukum normatif sehingga dalam penelitian ini digunakan logika yuridis. Adapun Analisa data yang dilakukan secara perspektif. Hasil analisis yang diperoleh menyatakan bahwa; 1) Akta Hibah Nomor : 23/V/KOB/2005 yang dikeluarkan oleh PPAT SJM termasuk kedalam akta autentik, yang mana akta tersebut dapat menjadi bukti yang kuat atas kepemilikan hak atas tanah dan menjadi dasar kuat atas perubahan terhadap kepemilikan hak atas tanah. 2) SJM sebagai PPAT yang membuat akta hibah, atas permintaan kedua belah pihak bertindak sesuai dengan peran dan tanggung jawab yang diberikan kepadanya dalam pembuatan Akta Hibah Nomor: 23/ V/KOB/2005. 3) Akta Hibah tersebut menjadi alat bukti yang kuat bagi penerima hibah untuk mempertahankan hak atas tanah yang telah diterimanya berdasarkan perbuatan hukum yang dilakukan oleh pemberi hibah dan penerima hibah terhadap Tanah Hak Milik tersebut. Penandatanganan oleh para penghadap di hadapan Pejabat berwenang dalam pembuatan akta hibah tersebut adalah mutlak dan memberikan kekuatan pembuktian yang kuat, dalam hal ini PPAT SJM.

This study discusses abaut the transition of land rights undertaken by/in front of PPAT both through grants and others must be done clearly and clearly. Legal action involving ownership of land rights must be done with a PPAT deed. In making the deed, the parties must actively state clearly the matters that are the two parties' agreement underlying the agreement. This is to provide legal certainty and protection to both parties. As for the problems raised in this study regarding 1) The legal power of the Grant Act Number: 23/V/KOB/2005 which will be withdrawn by the grantor; 2) The role and responsibility of the PPAT for the grant certificate issued; 3) The efforts of the grantee to maintain ownership of his land rights. To answer these problems, a method of normative legal research is used so that in this study juridical logic is used. The data analysis is done in perspective. The results of the analysis stated; 1) That the Grant Act Number: 23/V/KOB/2005 issued by PPAT SJM was included in the authentic deed, which can be solid evidence of ownership of land and is a strong basis for changes to the ownership of land. 2) SJM as the PPAT who created the grant certificate, at the request of both parties acted according to the role and responsibility are given to him in the creation of the Grant Certificate Number: 23/V/KOB/2005. 3) The Grant Certificate is a powerful tool of evidence for the grantee to defend the rights to the land he has received based on legal actions undertaken by the grantee and the grantee against the Land of Property. Signing by the respondents before the authorities in the form of the grant certificate is absolute and provides strong proof of power, in this case, PPAT SJM."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alvin Sahputra
"Tanah merupakan suatu hal yang sangat dibutuhkan bagi manusia. Dalam kehidupan bermasyarakat tidak jarang ditemui sengketa kepemilikan hak atas tanah. Pada penulisan ini akan dibahas mengenai perbuatan melawan hukum melalui akta jual beli, yang merupakan studi kasus putusan Mahkamah Agung. Pada penulisan ini, penulis menggunakan bentuk penelitian yuridis normatif, dengan tipe penelitian yang deskriptif dan jenis data sekunder. Sebelum masuk ke dalam pembahasan pokok permasalahan, terlebih dahulu dijabarkan tinjauan umum tentang perjanjian, pengertian dan pengaturan perjanjian, tinjauan umum tentang jual beli, pengertian jual beli, fungsi akta jual beli, serta perkembangan teori melawan hukum. Pada akhirnya penulisan ini membawa kepada kesimpulan bahwa perbuatan melawan hukum yang didasari atas keinginan memiliki suatu hak bukanlah perbuatan yang dapat diterima, adapun penyelesaian yang dapat dilakukan ialah dengan menghukum pelaku untuk melepaskan hak atas tanahnya yang diperoleh dengan perbuatan melawan hukum tersebut.

Soil is a very necessary thing for humans. In social life is not uncommon in a dispute over land ownership rights. At this writing will be discussed on an unlawful act by a deed of sale, which is a case study the Supreme Court ruling. At this writing, the author uses the form of normative juridical research, with the type of research that is descriptive and secondary data types. Before entering into a discussion point, first set out an overview of the agreement, understanding and arrangement agreement, an overview of selling, buying and selling understanding, the function of the deed of sale, as well as the development of the theory against the law. At the end of this paper led to the conclusion that an unlawful act which is based on the desire to have a right of action is not acceptable, as for the completion of which can be done is to punish the perpetrator to relinquish their land rights acquired by the unlawful act."
Depok: Universitas Indonesia, 2016
T46591
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bunga Shabrina
"Penelitian ini membahas mengenai kemajemukan kewenangan pengadilan sebagai dasar pembatalan bukti kepemilikan dalam kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 796 PK/PDT/2021. Beberapa permasalahan yang akan dijelaskan dalam penelitian ini ialah bagaimana kemajemukan kewenangan pengadilan sebagai dasar pembatalan bukti kepemilikan hak atas tanah dalam kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 796 PK/PDT/2021 dan konsekuensi hukum terkait status kepemilikan Sertipikat Hak Milik Nomor 1022/Kelurahan Wt. Soreang apabila dikaitkan dengan Putusan Tata Usaha Negara Nomor 145 PK/TUN/2013 dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 796 PK/PDT/2021. Untuk menjawab permasalahan tersebut digunakan metode penelitian hukum doktrinal dengan tipe penelitian preskriptif. Hasil analisa adalah kemajemukan kewenangan pengadilan sebagai dasar pembatalan bukti kepemilikan hak atas tanah dalam kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 796 PK/PDT/2021 menjadi pertimbangan dalam pembatalan bukti kepemilikan hak atas tanah. Peraturan ATR BPN Nomor 21 Tahun 2020 tentang penanganan dan penyelesaian menerbitkan kemajemukan kewenangan pengadilan dalam memutuskan pembatalan bukti kepemilikan hak atas tanah. Peraturan ATR BPN tersebut apabila dikaitkan dengan Putusan Mahkamah Agung Nomor 796 PK/PDT/2021 masih terdapat penyimpangan dalam pelaksanaannya karena belum memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam peraturan tersebut. Konsekuensi hukum terkait status kepemilikan sertipikat hak milik nomor 1022/Kelurahan Wt. Soreang ialah status kepemilikan atas sertipikat tersebut menjadi tidak jelas. Oleh karena itu, pihak Tergugat dapat melakukan upaya hukum dengan mengajukan peninjauan kembali kedua kepada pengadilan Tata Usaha Negara. Tujuannya adalah untuk mengatasi permasalahan hukum terkait status kepemilikan Sertipikat Hak Milik Nomor 1022/Kelurahan Wt. Soreang. Melalui peninjauan kembali kedua ini, pihak Tergugat dapat memperoleh putusan yang menguntungkan mereka dalam sengketa kepemilikan tanah tersebut.

This research discusses the multiplicity of court jurisdiction in relation to the basis for invalidation of proof of ownership in the case of Supreme Court Decision Number 796 PK/PDT/2021 The issues that will be discussed in this research are the multiplicity of court jurisdiction serves as the basis for the invalidation of proof of land ownership in the case of Supreme Court Decision Number 796 PK/PDT/2021, and the legal consequences regarding the status of Certificate of Ownership Number 1022/Sub-District Wt. Soreang when associated with State Administrative Court Decision Number 145 PK/TUN/2013 and Supreme Court Decision Number 796 PK/PDT/2021. To answer the problem, legal doctrinal research with a prescriptive research type is used. The analysis results indicate that the diversity of jurisdiction serves as the basis for the invalidation of proof of land ownership in the case of Supreme Court Decision Number 796 PK/PDT/2021. Regulation of the Ministry of Agrarian Affairs and Spatial Planning/National Land Agency (ATR BPN) Number 21 of 2020 regarding the handling and settlement of jurisdictional diversity is relevant in deciding the invalidation of proof of land ownership. However, there are still deviations in the implementation of the ATR BPN regulation when associated with Supreme Court Decision Number 796 PK/PDT/2021, as it does not fully comply with the provisions outlined in the regulation. The legal consequence regarding the status of Certificate of Ownership Number 1022/Kelurahan Wt. Soreang is that the ownership status of the certificate becomes uncertain. Therefore, the Respondent can file a second judicial review to the administrative court. The purpose is to solve the legal problem related to the ownership status of Certificate of Land Ownership Rights Number 1022/subdistrict Wt. Soreang. Through this second judicial review, the Respondent can obtain a favorable decision in the land ownership dispute."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Manullang, Heidy Mutiara Ariane
"Notaris sebagai seorang pejabat umum yang diangkat oleh Negara memiliki kewajiban yang diatur secara khusus dalam undang-undang tentang jabatan notaris. Seorang notaris wajib bertindak jujur, seksama dan tidak memihak. Kejujuran merupakan hal yang penting karena jika seorang notaris bertindak dengan ketidakjujuran maka akan banyak kejadian yang merugikan masyarakat. Dalam memberikan pelayanan, notaris harus bertanggung jawab kepada diri sendiri dan kepada masyarakat. Bertanggung jawab kepada diri sendiri artinya notaris bekerja karena integritas moral, intelektual dan professional sebagai bagian dari kehidupannya. Dalam memberikan pelayanan, seorang notaris selalu mempertahankan cita-cita luhur profesi sesuai dengan tuntutan kewajiban hati nuraninya. Pembuatan akta yang dikeluarkan oleh notaris mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna yang dibuat berdasarkan keinginan para pihak dan dibuat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pembuatan akta notaris yang tidak sesuai dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lainnya akan membuat suatu akta kehilangan otentisitasnya. Seperti halnya pelanggaran yang dilakukan oleh Notaris San Smith, SH dalam Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1099 K/PID/2010 tanggal 29 Juni 2010 dalam putusan tersebut dijelaskan bahwa Notaris San Smith, SH telah menerbitkan Akta Pengikatan Diri Untuk Melakukan Jual Beli dengan sengaja memasukkan data yang berbeda dengan data yang diberikan oleh salah satu pihak penghadap. Maka mengakibatkan Akta yang dibuat tersebut menjadi batal demi hukum karena Notaris sudah melanggar kewajibannya dan tanggung jawab yang diberikan kepada Notaris San Smith, SH dalam hal ini berupa sanksi pidana. Penelitian ini disusun dengan menggunakan metode yuridis normatif, menitikberatkan penelitian pada data sekunder atas data hukum yaitu norma hukum tertulis.

The notary as a public officer appointed by the State have a duty which is set specifically in the law on Notary Office. A notary must act honestly, thoroughly and impartially. Honesty is crucial because if a notarial act by dishonesty will be lots of events to the detriment of the community. In providing services, the notary has to be responsible to themselves and to society. Responsible to yourself means that the notary public work due to moral integrity, intellectual and professional as a part of his life. In providing service, a notary public always maintain the lofty ideals of the profession in accordance with the obligations of his conscience. The making of deed issued by a notary public has the perfect proof strength based on the wishes of the parties and is made in accordance with the legislation in force. Manufacture of notary deed which is not in accordance with the laws and other regulations will create a loss of authenticity certificate. As with any violations committed by notaries San Smith, SH the Supreme Court's ruling of the Republic of Indonesia Number 1099 K/PID/2010 29 June 2010 in the ruling explained that the notary public San Smith, SH has published a Deed Binding Yourself to do the Selling with accidentally entering different data with the data provided by one of the parties. It resulted in a Deed made to be annulled by law because the notary has already breached its obligations and responsibilities provided to Notary San Smith, SH in this form of criminal sanction. This research was compiled by using the juridical normative methods, focussing research on secondary data on legal data i.e. written legal norms."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
T43333
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>