Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 54973 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Tuti Handayani
"Identifikasi dini respons kemoterapi neoajuvan merupakan hal penting dalam tatalaksana kanker payudara. Penelitian bertujuan untuk mengetahui korelasi antara nilai microvessel density (MVD) prekemoterapi dengan perubahan apparent diffusion coefficient (ADC) pada magnetic resonance imaging (MRI) dan perubahan ukuran tumor pasca kemoterapi neoajuvan.
Penelitian ini menggunakan desain potong lintang terhadap 16 pasien kanker payudara yang mendapat kemoterapi neoajuvan. Analisis bivariat menggunakan korelasi Pearson dengan (α)5%.
Hasil penelitian menunjukkan tidak terdapatnya korelasi bermakna antara nilai MVD prekemoterapi dengan perubahan ADC maupun dengan perubahan ukuran pasca kemoterapi neoajuvan. Diperoleh kesimpulan bahwa MVD prekemoterapi tidak dapat memprediksi perubahan ADC maupun perubahan ukuran pasca kemoterapi neoajuvan.

Early identification in neoajuvant chemotherapy response is important in the treatment of breast cancer. The purpose of this study was to determine the correlation between microvessel density (MVD) before chemoterapy with changes in apparent diffusion coefficient (ADC) in magnetic resonance imaging (MRI) and changes in tumor size after neoajuvant chemotherapy.
This study used a cross-sectional design of 16 breast cancer patients who received neoajuvant chemotherapy. Performed bivariate analysis using Pearson correlation ( α 5%).
There was no significant correlation between MVD value with ADC changes as well as with changes in size after neoajuvant chemotherapy. It concluded that MVD value can not predict ADC changes after neoajuvant chemotherapy nor changes in size after neoajuvant chemotherapy."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ho Natalia
"Tujuan: Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui korelasi perubahan nilai ADC pada DWMRI dengan perubahan ukuran tumor pasca kemoterapi neoajuvan kanker payudara dalam menilai respons kemoterapi neoajuvan.
Metode: Penelitian studi deskriptif analitik dari data sekunder MRI pasien kanker payudara yang mendapat kemoterapi neoajuvan serta menjalankan pemeriksaan MRI. Pemeriksaan MRI dilakukan sebelum pasien mendapat kemoterapi neoajuvan, setelah pasien mendapat kemoterapi neoajuvan siklus pertama dan siklus ketiga. Pengukuran ukuran tumor dilakukan sesuai standar RECIST, sedangkan nilai ADC diperoleh pada nilai b800s/mm2.
Hasil dan diskusi: Dilakukan analisis bivariat dengan menggunakan korelasi Pearson untuk melihat korelasi perubahan nilai ADC kedua terhadap nilai ADC pertama dengan perubahan ukuran tumor pada pemeriksaan MRI ketiga terhadap pemeriksaan MRI pertama. Sebanyak 17 pasien penelitian dengan usia antara 40 tahun sampai 65 tahun dan ukuran tumor antara 5,41 cm sampai 13,41 cm. Terdapat 16 pasien yang mengalami peningkatan nilai ADC dan 1 pasien yang mengalami penurunan nilai ADC setelah pemberian kemoterapi neoajuvan siklus pertama. Sebanyak 17 pasien mengalami pengurangan ukuran tumor setelah kemoterapi neoajuvan siklus ketiga. Berdasarkan standar RECIST diperoleh sebanyak 7 pasien dengan pengurangan ukuran tumor lebih dari 30% (antara 31,55% sampai 56,25%) dan sebanyak 10 pasien dengan pengurangan ukuran tumor kurang dari 30% (antara 7,47% sampai 29,22%). Nilai korelasi yang diperoleh sebesar -0,499.
Kesimpulan: Terdapat korelasi yang bermakna antara perubahan nilai ADC pada DWMRI dengan perubahan ukuran tumor sebagai respons kemoterapi neoajuvan kanker payudara dengan kekuatan korelasi yang sedang dan arah negatif.

Objectives: To determine the correlation of changes in ADC values in DWMRI with changes in tumor size after neoadjuvant chemotherapy in breast cancer to assess neoadjuvant chemotherapy response.
Methods: Analytical descriptive study using secondary data from MRI of breast cancer patients receiving neoadjuvant chemotherapy as well as running an MRI. MRI examination performed before neoadjuvant chemotherapy, after received first cycle neoadjuvant chemotherapy and third cycle. Tumor size measurements carried out according to standard RECIST, whereas the ADC values obtained in the b800s/mm2. Bivariate analysis using Pearson correlation was conducted to determine the correlation of changes in the value of the second ADC to first ADC and changes of the tumor size on the third MRI to the first MRI examination.
Result and discussion: A total of 17 study patients, 40 years to 65 years old, tumor size between 5.41 cm to 13.41 cm. 16 patients experienced an increase in ADC values while 1 patient had decreased ADC values after the first cycle of neoadjuvant chemotherapy. Tumor size in all patients decreased after three cycles of neoadjuvant chemotherapy. Based on RECIST standards, 7 patients showed tumor size reduction of more than 30% (between 31.55% to 56.25%) and tumor size in 10 patients was reduced less than 30% (between 7.47% to 29.22% ). Correlation value of -0.499 obtained.
Conclusions: There is a significant moderate and negative correlation between in ADC value changes in DWMRI with tumor size changes in response to neoadjuvant chemotherapy.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T31952
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gita Maria
"Latar belakang: Osteosarkoma merupakan tumor tulang primer ganas tersering yang ditemukan pada anak-anak dan remaja dengan prevalensi mencapai 20% dari seluruh keganasan tulang. Sejak pengenalan kemoterapi neoadjuvan, angka sintasan penderita osteosarkoma meningkat pesat menjadi 50-75%. Respons kemoterapi neoadjuvan selama ini dinilai secara histopatologik melalui operasi, dengan mengevaluasi persentase area nekrosis dibandingkan tumor. Sekuens diffusion weighted imaging (DWI) dan nilai apparent diffusion coefficient (ADC) adalah sekuens magnetic resonance imaging (MRI) untuk menilai restriksi difusi suatu jaringan secara kualitatif dan kuantitatif.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan mencari korelasi nilai ADC tumor pasca kemoterapi dengan pemeriksaan histopatologik untuk mengevaluasi respons kemoterapi neoadjuvan pada pasien osteosarkoma.
Metode: Pengukuran nilai ADC tumor pada bagian mid, proksimal, dan distal pada MRI pasca kemoterapi neoadjuvan dengan menggunakan freehand range of interest (ROI) pada sekuens DWI dan ADC dengan nilai b 800. Freehand ROI diukur dengan melibatkan jaringan tumor dan nekrotik tanpa jaringan normal. Nilai ADC tersebut dikorelasikan dengan hasil persentase nekrosis dari pemeriksaan histopatologik berdasarkan lokasi sesuai potongan MRI dan laporan hasil operasi yang berupa persentase nekrosis keseluruhan. Analisis dilakukan dengan uji Pearson pada distribusi normal dan uji Spearman pada distribusi tidak normal.
Hasil: Pada penelitian ini didapatkan 14 subyek penelitian dengan rerata nilai ADC tumor bagian proksimal sebesar 1,66±0,36x10-3 mm2/s, bagian mid 1,68±0,32x10-3 mm2/s, bagian distal 1,66±0,34x10-3 mm2/s, dan rerata ketiganya 1,67±0,32x10-3 mm2/s. Sedangkan persentase nekrosis keseluruhan sebesar 62,8±26,1%. Nilai ADC tumor bagian proksimal berkorelasi signifikan (p>0,05) dengan persentase nekrosis keseluruhan dengan nilai r sebesar 0,60. Luas penampang tumor pada bagian proksimal mempunyai ukuran yang paling kecil dibandingkan pada bagian mid dan distal.
Kesimpulan: Dari penelitian ini disimpulkan bahwa nilai ADC tumor bagian proksimal pada MRI pasca kemoterapi dan ukuran luas penampang tumor yang kecil berkorelasi dengan respons kemoterapi neoadjuvan pada pasien osteosarkoma.

Background: Osteosarcoma is the most prevalent bone malignancy in children and adolescents, approximately 20% of all bone malignancies. Since the introduction of neoadjuvant chemotherapy, prognosis of osteosarcoma have been improved drastically to 50-75%. Neoadjuvant chemotherapy response has been assessed histopathologically after tumor resection, by calculating percentage of necrotic areas compared to tumor areas. Diffusion-weighted imaging (DWI) and apparent diffusion coefficient (ADC) value are magnetic resonance imaging (MRI) sequences to evaluate diffusion restriction in a tissue qualitatively and quantitatively.
Objective: The aim of this study was to seek correlation of post-chemotherapy tumor ADC value and histopathological assessment to evaluate neoadjuvant chemotherapy response in osteosarcoma patients.
Methods: ADC measurement was done in the proximal, middle, and distal part of the tumor by drawing freehand range of interest (ROI) guided by DWI sequence with b value of 800. The freehand ROI was drawn involving the tumor and necrotic area, excluding the normal ones. ADC value was correlated with necrotic percentage in each location according to MRI slices and necrotic percentage of the whole tumor based on the official report. Statistically, the data were analyzed with Pearson’s correlation (in normal distribution data) and Spearman correlation (in abnormal distribution).
Results: There were 14 subjects in this study, with ADC value of 1,66±0,36x10-3 mm2/s (proximal), 1,68±0,32x103 mm2/s (middle), 1,66±0,34x10-3 mm2/s (distal), and mean ADC value of 1,67±0,32x10-3 mm2/s. The necrotic percentage of the whole tumor was 62,8±26,1%. ADC value of proximal part of the tumor correlates significantly (p>0,05) with the necrotic percentage of the whole tumor (r = 0,60). Tumor area in the proximal part was smallest in size than other parts of the tumor.
Conclusion: From this study, it is concluded that ADC value in the proximal part of the tumor in post-chemotherapy MRI and lesser tumor size correlate to neoadjuvant chemotherapy response in osteosarcoma patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Hendra Herizal
"Latar Belakang: Insiden kanker sel skuamosa rongga mulut (KSSRM) tercatat meningkat pada dekade terakhir, sebagian besar kasus datang dengan stadium lokal lanjut. Kemoterapi induksi merupakan rekomendasi pada sebagian besar kasus stadium lokal lanjut, dengan harapan tumor mengecil sehingga dapat dioperasi lebih baik dan dapat dilakukan preservasi organ. Namun tercatat, 40 % pasien tidak berespon baik terhadap kemoterapi induksi, sehingga berpeluang menambah morbiditas bahkan mengubah status tumor menjadi unresectable. Nilai Apparent Diffusion Coefficient (ADC) pada Diffusion Weighted - MRI (DW-MRI) merupakan parameter fungsional MRI yang berhubungan dengan densitas sel jaringan kondisi matriks ekstraseluler. Sehingga pemeriksaan ini dapat digunakan untuk memprediksi respon kemoterapi pasien.
Tujuan: mengetahui hubungan nilai ADC pra pengobatan dengan respon kemoterapi pada pasien KSSRM stadium lokal lanjut.
Metode: Desain studi ini adalah kohort retrospektif. Subjek berasal dari pasien KSSRM lokal lanjut yang menjalani kemoterapi induksi di Divisi Bedah Onkologi RSCM periode 2020- 2023). Dilakukan penilaian ADC pada MRI pra pengobatan, selanjutnya dilakukan penilaian respon kemoterapi pada pasien.
Hasil: Terdapat 43 subjek dengan nilai median ADC pra pengobatan 1172.49 mm2/s, dan 17 (40%) subjek berespon baik terhadap kemoterapi berbanding 26(60%) subjek tidak respon. Dilakukan analisis hubungan nilai ADC pra pengobatan dengan respon kemoterapi, dengan median nilai ADC pada kelompok responder dibanding non-responder, 1244.04 berbanding 1163.30, nilai p 0.172.
Kesimpulan: nilai ADC pra pengobatan tidak berhubungan dengan respon kemoterapi pada kasus KSSRM stadium lokal lanjut.

Background: The incidence of oral squamous cell carcinoma (OSCC) has been noted to increase in the last decade, most cases come with locally advanced stages. Induction chemotherapy is a recommendation treatment in most cases of this stage, with purpose that the tumor will shrink so that surgery can be performed better with favourable organ preservation. However, it was noted that 40% of patients did not respond well to induction chemotherapy, most patient would face additional morbidity, tumor progression and worse case became unresectable. The value of the Apparent Diffusion Coefficient (ADC) in Diffusion Weighted - MRI (DW-MRI) is a functional parameter of MRI related to the density of tumor cells and extracellular matrix. So that this examination can be used to predict the patient's chemotherapy response.
Aim: to find association between pretreatment ADC with chemotherapy response of advance stage OSCC patient.
Methods: this is a retrosective cohort study. The subjects are advace stage OSCC patient that undergoing induction chemothrapy at Surgical Oncology Division of Ciptomangukusumo Hospital from 2020 to 2023. Subject’s ADC value was determined at pretreatment MRI and then chemoterapy response was assesed for each subject.
Results: there were 43 subjects, with median pre treatment ADC value was 1172.49 mm2/s, 17 (40%) subjects respond well to chemotherapy and 26(60%) subject were not respond. Further analysis to find association between variables found the median ADC value was 1244.04 for responder subjects vs 1163.30 for non-responder (p 0.172).
Conclusion: pre-treatment ADC value is not associated with chemotherapy response of advance stage OSCC patient.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Laila Rose Foresta
"Penelitian ini bertujuan mencari penanda respons tumor yang lebih dini untuk kemoterapi neoajuvan pada kasus kanker payudara stadium lanjut, yaitu dengan mengkorelasikan derajat kemiringan washout fase delay kurva kinetik pada pemeriksaan DCE-MRI dengan perubahan ukuran tumor kanker payudara. Perubahan neovaskularisasi sudah dapat dinilai sejak 24 jam pertama setelah pemberian kemoterapi siklus pertama, sedangkan pengukuran tumor umumnya paling baik dinilai setelah kemoterapi neoajuvan siklus ketiga.
Penelitian ini merupakan studi deskriptif analitik dari data sekunder MRI payudara mulai Agustus 2011 hingga April 2013. Analisa korelasi perubahan derajat kemiringan washout fase delay kurva kinetik DCE-MRI dengan perubahan ukuran tumor sebelum dan sesudah pemberian kemoterapi neoajuvan awal, dilakukan dengan uji korelasi Pearson.
Hasil analisa menunjukkan tidak ada korelasi yang bermakna (r=0,151, p=0,622) antara perubahan sudut kemiringan washout fase delay kurva kinetik dengan perubahan ukuran tumor sebelum dan setelah pemberian kemoterapi neoajuvan, sehingga dapat disimpulkan bahwa parameter perubahan sudut kemiringan washout secara tunggal tidak dapat berfungsi sebagai penanda respons tumor kemoterapi neoajuvan. Hal ini dikarenakan respons tumor merupakan proses yang mutifaktorial sehingga perubahan sudut gradien washout saja secara langsung tidak dapat menunjukkan respons yang terjadi pasca kemoterapi neoajuvan.

This study assessed the possibility of a faster tumor response marker for neoadjuvant chemotherapy (NAC) by correlating the changes in kinetic curve washout gradient degree on the delayed phase of DCE-MRI after the first cycle, with changes in tumor size after the third cycle, as well as their roles in assessing tumor response for NAC. Studies show that changes in tumor size after the third NAC can be used to detect tumor response, whereas neovascularization changes with DCE-MRI can be detected as fast as 24 hours after the first cycle of chemotherapy.
This is an analytic study using breast MR data obtained between August 2011 until April 2013. Analysis of the correlation between changes in kinetic curve washout gradient with changes in tumor size before and after NAC was performed using the Pearson correlation test.
Based on the correlation analysis results, there is no significant correlation (r=0,151, p=0.622) btween the change in the angle of the washout kinetic curve gradient with the changes in tumor size before and after NAC. This concludes that changes in the degree of the washout angle alone cannot serve as a marker of tumor response to NAC, due of the multifactorial variables that take part in the process, and the kinetic curve alone is not sufficient to directly evaluate response.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T58662
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tasha
"Latar belakang: Clinically significant prostate cancer (csPCa) merupakan kanker prostat yang mempunyai kemungkinan progresi lokal, metastasis, rekurensi, dan kematian yang sedang hingga tinggi, serta tata laksana yang lebih agresif. Penelitian ini bertujuan untuk membantu diagnosis antara csPCa dan bukan csPCa menggunakan rasio apparent diffusion coefficient (rADC) lesi prostat dengan urine. Metode: Penelitian dilakukan pada lesi prostat kategori 3-5 prostate imaging-reporting and data system yang telah dibiopsi prostat transperineal tertarget magnetic resonance imaging (MRI) dengan ultrasound/MRI fusion software di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dokter Cipto Mangunkusumo pada Juni 2019 hingga Maret 2021. rADC lesi prostat dengan urine merupakan perbandingan rerata nilai apparent diffusion coefficient (ADC) lesi prostat dan urine di vesica urinaria pada MRI prostat peta ADC potongan aksial multi-institusi. rADC lesi prostat dengan urine antara csPCa (adenokarsinoma asinar prostat dengan skor Gleason ≥7) dan bukan csPCa (jaringan prostat nonneoplastik atau adenokarsinoma asinar prostat dengan skor Gleason 6) dibandingkan dan ditentukan nilai titik potongnya menggunakan receiver operating curve. Hasil: Terdapat perbedaan rADC lesi prostat dengan urine yang bermakna antara 19 lesi prostat yang merupakan csPCa dan 35 lesi prostat yang bukan merupakan csPCa, dengan nilai tengah rADC lesi prostat dengan urine pada csPCa 0,21 (0,11-0,33), nilai tengah rADC lesi prostat dengan urine pada bukan csPCa 0,43 (0,30-0,61), dan nilai p <0,001. Nilai titik potong rADC lesi prostat dengan urine dalam membedakan csPCa dan bukan csPCa adalah 0,30 dengan sensitivitas 94,73% dan spesifisitas 100%, area under curve 0,998 (IK95% 0,994-1,000), serta nilai p <0,001. Kesimpulan: rADC lesi prostat dengan urine dapat membantu diagnosis csPCa dan bukan csPCa pada lesi prostat sebelum biopsi prostat yang tidak invasif, mudah dikerjakan, serta tidak membutuhkan persiapan dan pemeriksaan tambahan.

Background: Clinically significant prostate cancer (csPCa) is prostate cancer with moderate to high probability of local progression, metastasis, recurrence, and death, as well as more aggressive management. This study aims to aid diagnose between csPCa and non-csPCa using apparent diffusion coefficient ratio (rADC) of prostate-lesion-to-urine. Methods: This study analyze prostate lesions with prostate imaging-reporting and data system category 3-5 that underwent magnetic resonance imaging (MRI)-targeted transperineal prostate biopsy using ultrasound/MRI fusion software at Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dokter Cipto Mangunkusumo from June 2019 to March 2021. rADC of prostate-lesion-to-urine is defined as comparison between mean apparent diffusion coefficient (ADC) value of prostate lesion and urine in urinary bladder from axial section of ADC map of multi-institutional prostate MRI. rADC of prostate-lesion-to-urine between csPCa (acinar adenocarcinoma of the prostate with Gleason score ≥7) and non-csPCa (non-neoplastic prostate tissue or acinar adenocarcinoma of the prostate with Gleason score 6) is compared and the cutoff point is determined using receiver operating curve. Results: There is significance rADC of prostate-lesion-to-urine difference between 19 prostate lesions with csPCa and 35 prostate lesions with non-csPCa, with mean rADC of prostate-lesion-to-urine in csPCa is 0.21 (0.11-0.33), mean rADC of prostate-lesion-to-urine in non-csPCa is 0.43 (0.30-0.61), and p value is <0.001. The cut-off value of rADC of prostate-lesion-to-urine to differentiate between csPCa and non-csPCa is 0.30, with 94.73% sensitivity and 100% specificity, area under curve is 0.998 (CI95% 0.994-1.000), and p value is <0.001. Conclusion: rADC of prostate-lesion-to-urine may help diagnose between csPCa and non-csPCa in prostate lesions before prostate biopsy, which is non-invasive, easy to perform, does not require additional preparation and examination."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Donny Albertha
"Latar Belakang: Karsinoma endometrium adalah keganasan pada organ reproduksi wanita yang terjadi umumnya pada wanita pasca menopase. Pemeriksaan radiologi khususnya MRI merupakan penunjang penting dalam menentukan staging dan keterlibatan organ organ rongga panggulyang akan menentukan pilihan terapi. Perkembangan teknik fungsional MRI yakni diffusion weighted imaging (DWI) dan apparent diffusion coefficient (ADC)digunakan untuk membedakan lesi jinak dengan ganas, grading disertai dengan perluasannya, tetapi sayangnya teknik inimemiliki keterbatasanyakni nilai yang dihasilkan pada setiap alat MRI heterogen. Saat ini berkembang teknik baru yang membandingkan nilai ADC jaringan lesi dengan nilai ADC jaringan sehat dengan hasil nilai yang lebih homogen.
Tujuan: Tujuan penelitian ini adalah membuktikan nilai rerata rasio ADC memilikihasil lebih homogen dibandingkan dengan nilai rerata ADC.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain penelitian deskriptif potong lintang menggunakan data sekunder. Penelitian dilakukan mulai bulan Desember 2018 hingga Maret 2019, dengan jumlah sampel sebanyak 21 sampel.
Hasil: Median nilai ADC tumor endometrium, urin, dan miometrium adalah 0,58 mm2/s, 3,26 mm2/s, dan 1,52 mm2/s. Berdasarkan coefficient of variation (COV) nilai rasio ADC lebih homogen dibandingkan dengan nilai ADC tumor (nilairasio ADC tumor-urine 35,1%, tumor-miometrium 41,7%, dan ADC tumor 42,2%).
Kesimpulan: Nilai rasio ADC memiliki nilai yang lebih homogen dibandingkan dengan nilai ADC, sehingga dapat digunakan sebagai parameter non-invasif dalam mengevaluasi tumor.

Background: Endometrial carcinoma is most common gynecologic malignancy that occurs usually in postmenopausal women. Imaging examination, especially MRI, is important in determining the staging and involvement of intrapelvic organs, which will determine the therapy for the patient. Diffusion weighted imaging (DWI) and apparent diffusion coefficient (ADC) can be used to help distinguish benign or malignant lesions, grading and expansion of the lesion, but unfortunately this technique produced heterogeneous values. Currently a new technique is developing that compares the tissue ADC value of lesions with healthy tissue, resulting more homogeneous values.
Purpose: The purpose of this study is to prove the average value of the ADC ratio has more homogeneous results than the average value of the ADC.
Methods: This study uses a cross-sectional descriptive design, using secondary data. The study was conducted from December 2018 to March 2019, with a total sample of 21.
Result: The median ADC value of endometrial, urine, and myometrial tumors was 0.58 mm2 / s, 3.26 mm2 / s, and 1.52 mm2 / s. Based on coefficient of variation (COV) the ADC ratio value is more homogeneous compared to the tumor ADC value (tumor-urine ADC ratio value is 35.1%, myometrial tumor 41.7%, and tumor ADC 42.2%).
Conclusion: The ADC ratio value has a more homogeneous value than the ADC value, so it can be used as a non-invasive parameter in evaluating tumors.
"
[Jakarta, Jakarta]: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58839
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Endang Murwaningsih
"Kemoterapi merupakan salah satu modalitas terapi kanker pada pasien kanker payudara. Kemoterapi selain memiliki efek akut juga menimbulkan efek jangka panjang. Efek kemoterapi yang dirasakan menjadi gejala yang tidak hanya satu gejala tetapi memiliki berbagai gejala yang menjadi beban gejala. Spiritual sebagai koping dalam meningkatkan kesejahteraan spiritual sangat dibutuhkan dalam membantu mengatasi beban gejala. Beberapa faktor diduga berpengaruh terhadap kesejahteraan spiritual seperti usia, agama, pendidikan, pekerjaan, stadium kanker, siklus kemoterapi dan jenis kemoterapi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan beban gejala dengan kesejahteraan spiritual pasien kanker payudara yang menjalani kemoterapi di RS Kanker Dharmais. Penelitian ini menggunakan desain observasi studi cross sectional deskiritif analitik, dengan sampel 147 orang. Analisis data menggunakan uji korelasi, Chi Square dan uji Mann Whitney. Hasil penelitian ini menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan antara beban gejala dengan kesejahteraan spiritual dengan nilai p sebesar 0,000 < 0.0. Faktor yang paling mempengaruhi kesejahteraan spiritual adalah agama dan stadium kanker. Penelitian ini merekomendasikan perawat untuk melakukan pengkajian spiritual sebagai screening awal untuk menentukan intervensi keperawatan spiritual dalam membantu mengatasi beban gejala, sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup pasien kanker payudara yang menjalani kemoterapi.

Chemotherapy is one of the modalities of cancer therapy in breast cancer patients. Chemotherapy have an acute effect and long-term effects. Many symptoms result of the effects chemotherapy. Serious symptoms result of Chemo became a symptom burden. Spiritual as a coping in improving spiritual well-being is needed in helping to overcome the burden of symptoms. Several factors are thought to influence spiritual well-being such as age, religion, education, occupation, cancer stage, chemotherapy cycle and type of chemotherapy. This study aims to determine the relationship between symptom burden and spiritual well-being of breast cancer patients undergoing chemotherapy at Dharmais Cancer Hospital. This study used an analytical descriptive cross sectional observational study design, with a sample of 147 people. Data analysis used correlation test, Chi Square and Mann Whitney test. The results of this study indicate that there is a significant relationship between symptom burden and spiritual well-being with a p value of 0.000 < 0.05. The factors that most affect spiritual well-being are religion and the stage of cancer. This study recommends nurses to conduct a spiritual assessment as an initial screening to determine spiritual nursing interventions in overcoming the burden of symptoms, so as to improve the quality of life of breast cancer patients undergoing chemotherapy"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Restu Hidayasri
"Penilaian karakteristik asimetris dinding nasofaring pada karsinoma nasofaring KNF pasca terapi memiliki implikasi penting pada penatalaksanaan pasien, tetapi seringkali sulit untuk mendiferensiasikan antara lesi tumoral dan non tumoral menggunakan CT scan/ MRI konvensional. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui titik potong nilai ADC antara lesi tumoral dan non tumoral pada follow up MRI pasca terapi. Penelitian merupakan studi kesesuaian dengan pendekatan potong lintang antara nilai ADC dan histopatologi. Penelitian menggunakan data primer 21 pasien KNF pasca kemoradioterapi yang melakukan pemeriksaan MRI nasofaring di Departemen Radiologi RSUPN-CM pada Juni 2016-Oktober 2017. Range of interest dan pemetaan ADC nilai b 1000 s/mm2 diletakkan pada komponen solid. Rerata jarak terapi dan evaluasi MRI pasca terapi adalah 9,3 bulan. Rerata nilai ADC lesi tumoral 0,7 x 10-3 mm2/s SD 0,05 dan non tumoral 1,2 x 10-3 mm2/s SD 0,3. Pada uji independent T-test menunjukkan perbedaan bermakna secara statistik antara rerata nilai ADC tumoral dan non tumoral. Pada analisis ROC nilai ADC didapatkan titik potong 0,86 x 10-3 mm2/s AUC= 0,97; SE= 0,04 dengan nilai sensitivitas 100 dan spesifisitas 93,8. Berdasarkan uji McNemar nilai p> 0,005 menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan bermakna antara temuan ADC dan histopatologi. Terdapat kesesuaian yang sangat kuat antara nilai ADC dan histopatologi untuk membedakan lesi tumoral dan non tumoral KNF pasca terapi. Pemeriksaan MRI sekuens DWI-ADC dapat digunakan untuk memberikan informasi tambahan pada kasus follow up KNF pasca terapi.

Assessment of nasopharyngeal wall asymmetric characteristics of post treatment nasopharyngeal carcinoma NPC has important implication for management of the patients, but it is often difficult to distinguish between non tumoral and tumoral lession by using CT scan conventional MRI. The objective is to assess ADC cut off values between tumoral and non tumoral lession on MRI follow up after treatment. This research is a conformity study with cross sectional approach between ADC values compared with histopathology. This study used primary data of 21 post chemoradiotherapy NPC patients, who were examined nasopharnygeal MRI at Radiology Departement of Cipto Mangunkusumo Hospital in June 2016 October 2017. Range of interest ROI and ADC mapping b value 1000 s mm2 were placed on solid components. Mean interval between therapy and post treatment MRI was 9.3 months. Mean ADC values of tumoral lesions were 0.7 x 10 3 mm2 s SD 0.05 and non tumoral lession 1.2 x 10 3 mm2 s SD 0.3 . Independent T test showed statistically significant difference between the mean ADC values in tumoral and non tumoral lesions. In ROC analysis, ADC cut off value was obtained 0,86 x 10 3 mm2 s AUC 0,97 SE 0,04 with 100 sensitivity and 93,8 specificity. Based on the McNemar test p 0,05 , there was no significant difference between ADC findings and histopathology. There is very strong suitability between ADC and histopathologic values to differentiate tumoral and non tumoral lession in post treatment NPC. DWI ADC can be used to provide additional information on follow up post treatment NPC. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Reyhan Eddy Yunus
"Astrositoma merupakan salah satu tumor otak primer terbanyak dengan mortalitas yang tinggi. Pemeriksaan MRI dan ADC dapat membantu menentukan derajat astrositoma sebelum dilakukan biopsi histopatologi sehingga edukasi mengenai tatalaksana dan prognosis pasien dapat dilakukan lebih dini.
Metode: Penelitian potong lintang ini menggunakan data sekunder MRI kepala pasien dengan histopatologi astrositoma. Penilaian astrositoma dilakukan berdasarkan gambaran MRI menggunakan kriteria Dean dkk dan pengukuran ADC untuk seluruh bagian tumor (Ab) dan bagian tumor padat yang menyangat kontras (Ap) serta beberapa sampel (Ar) pada satu potongan terbesar di ADC map. Analisis data dilakukan untuk mendapatkan nilai diagnostik gambaran MRI dan ADC untuk menentukan derajat astrositoma berdasarkan sensitivitas, spesifisitas, dan kurva receiver operating characteristic (ROC).
Hasil: Parameter gambaran astrositoma pada MRI yang bermakna untuk menentukan astrositoma derajat rendah dan tinggi adalah batas, perdarahan, dan heterogenitas. Penggunaan jumlah skoring kriteria Dean dkk pada gambaran astrositoma dengan nilai batas 7 serta penilaian gambaran astrositoma pada MRI untuk menentukan astrositoma derajat rendah dan tinggi memiliki sensitivitas 90,9% dan spesifisitas 87,5%. ADC dengan menggunakan nilai rerata, minimum, dan maksimum pada Ap serta nilai rerata dan minimum pada Ar berbeda bermakna untuk menentukan astrositoma derajat rendah dan tinggi dengan nilai sensitivitas dan spesifisitas masing-masing mencapai 90,9% dan 87,5%.
Kesimpulan: MRI dan ADC memiliki sensitivitas dan spesifisitas tinggi untuk menentukan astrositoma derajat rendah dan tinggi.

Astrocytoma is the most frequent primary brain tumor with high mortality. MRI and ADC could determine astrocytoma grading before histopathological biopsy performed, hence patient education for treatment and prognosis could be established more early.
Method: A cross-sectional research is performed using brain MRI of patients with astrocytoma as histopathological diagnosis. Astrocytoma evaluation using MRI image with Dean et al criteria and ADC measurement for all part of tumor (Ab), single (Ap) and multiple (Ar) solid part of tumor that enhance with contrast administration in one axial section of the largest part of the tumor. Data analysis is performed to obtain diagnostic value of MRI image and ADC to determine astrocytoma grade based on sensitivity, specificity, and receiver operating characteristic (ROC) curve.
Result: MRI image parameters that is significant to determine low and high grade astrocytoma are border, hemorrhage, and heterogeneity. The sum of astrocytoma image scoring of Dean et al criteria with cut-off value of 7 and the evaluation of astrocytoma image in MRI to determine low and high grade astrocytoma has 90,9% sensitivity and 87,5% specificity. ADC, for Ap and Ar, is significant to determine low and high grade astrocytoma with sensitivity up to 90,9% and specificity up to 87,5%.
Conclusion: MRI and ADC has high sensitivity and specificity to determine low and high grade astrocytoma.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
Sp-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>