Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 183567 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Alvina
"Latar Belakang: Skizofrenia merupakan gangguan jiwa yang berpotensi berlangsung dalam jangka waktu yang panjang dengan prognosis yang tidak terlalu baik, sehingga diperlukan tata laksana yang tepat guna memperbaiki keluaran pada pasien-pasien dengan Skizofrenia. Penelitian ini berupaya untuk mencermati pola peresepan dan alasan perubahan terapi pasien-pasien dengan Skizofrenia di Indonesia khususnya di Poli Jiwa Dewasa RSCM dengan merujuk pada Konsensus Penatalaksanaan Gangguan Skizofrenia 2011.
Metodologi: Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan desain kohort retrospektif yang dilakukan dengan cara mengumpulkan data mengenai pola peresepan sejak awal pasien tersebut mendapatkan terapi farmakologi hingga waktu kunjungan yang ditentukan serta alasan perubahan terapi farmakologi bila terjadi perubahan terapi. Penelitian ini menggunakan data rekam medik pasienpasien dengan Skizofrenia di Poli Jiwa Dewasa RSCM yang melakukan kunjungan pada bulan Juli 2013 hingga jumlah sampel terpenuhi.
Hasil: Pada 53 (65,4%) rekam medik digunakan antipsikotik monoterapi pada awal terapi. Untuk pengobatan awal, 79 (97,5%) pasien mendapatkan jenis obat yang rasional dan 75 (92,6%) pasien mendapatkan dosis obat yang rasional. Pada pasien yang awalnya mendapatkan monoterapi, sebanyak 14 (43,8%) pasien kemudian mengalami switching ke antipsikotik lain dan sebanyak 18 (56,3%) pasien kemudian mendapatkan antipsikotik kombinasi. Pada pasien yang awalnya mendapatkan terapi antipsikotik kombinasi, sebanyak 7 (26,9%) pasien kemudian mengalami switching, 4 (15,4%) pasien mendapatkan penambahan jenis obat, 1 (3,8%) pasien mengalami pengurangan jenis obat dan 14 (53,8%) pasien mendapatkan antipsikotik monoterapi. Alasan perubahan terapi terbanyak sulit dianalisis karena sebanyak 441 dari 780 (56.5%) perubahan terapi tidak tercantum alasannya.
Simpulan: Penggunaan kombinasi antipsikotik pada awal pengobatan pasien dengan Skizofrenia masih didapatkan di Poli Jiwa Dewasa walaupun tidak direkomendasikan oleh panduan tata laksana yang ada. Ketidaklengkapan pencatatan rekam medik menjadikan analisis rasionalitas terapi dan alasan perubahan terapi sulit dilakukan.

Background: Schizophrenia is a mental disorder that could potentially progress to a long term disorder with a not very good prognosis, so it requires an adequate treatment in order to improve the outcome. This study aims to examine the prescribing pattern and the reason of therapy changing of patients with Schizophrenia in Indonesia especially in Poli Jiwa Dewasa RSCM regarding the Konsensus Penatalaksanaan Gangguan Skizofrenia 2011.
Methodology: This study is a descriptive study with retrospective cohort design that conducted by collecting data on prescribing pattern since the beginning of patients pharmacological treatment until the determined time of visit and the reason of therapy changing. This study uses the medical record data of patients with Schizophrenia in Poli Jiwa Dewasa RSCM who visited in July 2013 until the number of samples provided.
Result: In the beginning of Schizophrenia treatment, monotherapy was used in 53 (65,4%) medical records. For the initial treatment, 79 (97,5%) patients received the rational drug and 75 (92,6%) patients received the rational drug dosage. In patients who received monotherapy as initial treatment, 14 (43,8%) patients underwent switching to another antipsychotic and 18 (56,3%) patients received antipsychotic combination. In patients who received antipsychotic combination as initial treatment, 7 (26,9%) patients underwent switching to another antipsychotic, 4 (15,4%) patients received added number of antipsychotic,1 (3,8%) patient received reduced number of antipsychotic and 14 (53,8%) patients received monotherapy. The analysis of reason of therapy changing was difficult to conduct since there was no reason of therapy changing written in 441 of 780 (56.5%) antipsychotic treatment changing.
Conclusion: Antipsychotic combination as initial treatment in patient with Schizophrenia is still found in Poli Jiwa Dewasa eventhough the use of antipsychotic combination is not recommended by the available guidelines. Incomplete documentation in medical record makes the treatment rationality analysis difficult.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T59160
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Owen, Albert
"Seseorang dengan penyakit skizofrenia umumnya rentan untuk terjadi ketergantungan terhadap nikotin. Hal ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik dari lingkungan, sosioekonomi, maupun dari biologis orang tersebut. Nikotin memiliki dampak negatif terhadap tubuh terutama pada pasien dengan skizofrenia. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hal yang berhubungan dengan perilaku merokok pada pasien skizofrenia sehingga dapat diberikan perhatian khusus. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan pemberian kuesioner demografik dan kuesioner Fagerstrom untuk mengumpulkan data. Desain penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah potong lintang. Data yang diperoleh akan diolah dan dianalisis hubungannya dengan uji Chi-square. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, proporsi pasien dengan skizofrenia yang merokok pada penelitian ini adalah 47,5 dan pola penggunaan nikotin pada pasien yang merokok adalah sedang dan tinggi dengan persentase sebesar 58,4. Analisis dari data yang ada didapatkan adanya hubungan yang bermakna antara jenis kelamin terhadap perilaku merokok pada pasien dengan skizofrenia p < 0,001. Hal ini disebabkan oleh tingkat stres yang lebih tinggi dan adanya stigma pada wanita yang merokok. Selain itu, terdapat hubungan yang bermakna antara jumlah rokok yang dikonsumsi terhadap tingkat ketergantungan nikotin pada pasien dengan skizofrenia p = 0,002. Hal ini disebabkan oleh kadar nikotin yang lebih tinggi menyebabkan tingkat ketergantungan yang lebih tinggi. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat pendidikan, tingkat penghasilan, dan jenis obat antipsikotik baik terhadap perilaku merokok maupun tingkat ketergantungan nikotin. Faktor lain seperti jenis rokok yang digunakan, lama riwayat merokok juga tidak memiliki hubungan yang bermakna terhadap tingkat ketergantungan nikotin.

Someone with schizophrenia is prone to be dependent of nicotine. This can be affected by a lot of factors, such as environment factors, socioeconomy factors, or biological factors of schizophrenic patient. Nicotine has negative effects on the body, especially in patients with schizophrenia. The aim of this study is to identify the factors that affect the smoking behavior of schizophrenic patients so people can give more attention for them. This study was conducted with cross sectional as the study design. Demographic questionnaire and Fagerstrom questionnaire was given to the schizophrenic patients and data was collected from those answered questionnaires. Data was analyzed using Chi square test to identify the relationship between factors and smoking. From this study, the proportion of schizophrenic patients that smoke is 47,5 and the nicotine usage pattern of those who smoke is moderate and high with percentage of 58,4. The result of this study is that there is a significant relationship between gender with smoking behavior of schizophrenic patients p 0,001. This is caused by higher stress level in men and stigma in women that smoke. There is a significant relationship between the amount of smoke with nicotine dependency level p 0,002. This is caused by higher nicotine level could cause higher dependency. There are no significant relationship between education level, income level, and the type of antipsychotic drugs used with either smoking behavior and nicotine dependency level. There are also no significant relationship between the duration of smoking and type of smoke used with nicotine dependency level.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indira Saraswati Sanjaya
"Latar belakang: Di Indonesia, merokok merupakan salah satu masalah kesehatan terbesar akibat masih tingginya tingkat penggunaan rokok. Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018, persentase perokok usia di atas 15 tahun di Indonesia adalah 33,8%, perokok laki-laki sebesar 62,9%, dan perempuan sebesar 4,8%. Nikotin dalam rokok dapat memberikan berbagai efek positif terhadap kognitif dan suasana hati, namun penggunaan nikotin secara terus menerus dapat menyebabkan desensitisasi terhadap reseptor kolinergik nikotin (nAChRs) yang kemudian dapat menyebabkan kondisi ketergantungan dan adiksi. Adiksi nikotin diketahui memiliki prevalensi yang cukup tinggi pada pasien dengan gangguan psikiatri. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi adiksi nikotin di Poli Jiwa Dewasa RSCM. Metode: Penelitian ini menggunakan desain penelitian potong lintang pada pasien di Poli Jiwa Dewasa RSCM. Penelitian dilakukan dengan cara wawancara kepada 87 pasien di Poli Jiwa Dewasa RSCM menggunakan kusioner yang telah disiapkan peneliti untuk melihat faktor-faktor yang memengaruhi adiksi nikotin, serta kuesioner Cigarette Dependance Scale (CDS) untuk mengukur tingkat ketergantungan rokok. Hasil kuesioner akan dianalisis secara bivariat untuk melihat perbedaan rerata setiap komponen faktor terhadap adiksi nikotin. Hasil: Terdapat perbedaan rerata skor total CDS yang bermakna pada jenis kelamin laki-laki (5.79 ± 5.25; p=0.000), tingkat pendidikan SMA sederajat atau lebih rendah (0.55 ± 8.34; p=0.001), usia mulai merokok ≤ 15 tahun (4.62 ± 5.29; p=0.006), dan diagnosis gangguan jiwa skizofrenia (3.92 ± 7.48; p=0.006). Tidak ditemukan perbedaan bermakna rerata skor total CDS pada kelompok usia yang berbeda (0.09 ± 7.93; p=0.471). Kesimpulan: Terdapat perbedaan bermakna pada rerata skor total CDS untuk kelompok jenis kelamin laki-laki, tingkat pendidikan SMA sederajat atau lebih rendah, usia mulai merokok ≤ 15 tahun, dan diagnosis gangguan jiwa skizofrenia pada pasien di Poli Jiwa Dewasa RSCM.

Introduction:In Indonesia, smoking is one of the biggest health problem contributors as the smoking rate in Indonesia is still high. Based on Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) in 2018, the smoker at the age of 15 and above has a percentage of 33,8% in Indonesia, with 62,9% of the smoker being men and 4,8% being women. Nicotine which is found inside the cigarette has a positive effect on cognition and mood, however continuous usage of nicotine results in desensitization of nicotine cholinergic receptors (nAChRs) which can cause nicotine dependence and addiction. Nicotine addiction is known to have a high prevalence in psychiatric patients. This study is aimed to know the factors contributing to nicotine addiction at Adult Psychiatric Ward Cipto Mangungkusumo Hospital. Method:This study uses a cross-sectional design for patients at Adult Psychiatric Ward Cipto Mangunkusumo Hospital. The study was conducted by interviewing 87 patients in the psychiatric ward. The interview uses a questionnaire that has been prepared by the researcher to find out the factors contributing to nicotine addiction, and Cigarette Dependence Scale (CDS) to measure nicotine dependency. The results will be analyzed using a bivariate study to discover the significance of each factor toward nicotine addiction. Result:There is a significant difference of total CDS score on men (5.79 ± 5.25; p= 0.000), educational level of high school or below (0.55 ± 8.34; p=0.001), age to start smoking ≤15 years old (4.62 ± 5.29; p=0.006), and psychiatric diagnosis of schizophrenia (3.92 ± 7.48; p=0.006). There is no significant difference of total CDS score between different groups of age (0.09 ± 7.93; p=0.471).Conclusion:There is significant difference of total CDS score between male sex group, educational level, the age to start smoking, and psychiatric diagnosis in patients at Adult Psychiatric Ward Cipto Mangunkusumo."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rudy Wijono
"ABSTRAK
Pendahuluan
Efek samping ekstrapiramidal (EPS) pada pengobatan pasien psikotik merupakan sumber ketidakpatuhan minum obat yang berakibat munculnya kekambuhan. Pemberian obat triheksifenidil berguna untuk mencegah dan mengatasi EPS akibat penggunaan obat antipsikotika. Prosentase pasien psikotik yang diberikan obat triheksifenidil di poliklinik jiwa dewasa RSCM (PJD RSCM) tahun 2010 mencapai 51%. Namun tidak diketahui gambaran pola penggunaan triheksifenidil pada pasien yang mendapat terapi antipsikotika di PJDRSCM.Maka penelitian gambaran dan karakteristik penggunaan triheksifenidil pada pasien yang mendapat terapi obat antipsikotika di PJD RSCM ini perlu untuk dilakukan.
Tujuan
Mengetahui gambaran dan karakteristik penggunaan triheksifenidil pada pasien yang mendapat terapi obat antipsikotika di PJD RSCM pada bulan Agustus 2010 sampai dengan bulan Juli 2011.
Metode
Penelitian ini merupakan studi potong lintang. Pengambilan sampel ditetapkan secara random sampling. Subyek adalah semua pasien yang mendapat terapi antipsikotika serta obat triheksifenidil di PJD RSCM pada bulan Agustus 2010 sampai dengan Juli 2011 sebanyak 97. Data demografi dan data sampel diperoleh dari data sekunder catatan medis pasien.
Hasil
Pola pemberian triheksifenidil pada pasien yang mendapat antipsikotika di PJD RSCM pada bulan Agustus 2010 sampai dengan bulan Juli 2011, yang terbanyak digunakan adalah pemberian obat triheksifenidil langsung bersama dengan obat antipsikotika sejak awal pengobatan atau sebelum muncul EPS yaitu sebesar 91,8%.
Kesimpulan
Pada penelitian ini menunjukkan pola pemberian triheksifenidil pada pasien yang mendapatkan obat antipsikotika di PJD RSCM pada bulan Agustus 2010 sampai dengan bulan Juli 2011, pasien langsung diberikan obat triheksifenidil tanpa pemeriksaan EPS terlebih dulu dan tidak dilakukan evaluasi ulang tiap tiga bulan. Sehingga pemberian obat triheksifenidil tidak sesuai dengan panduan pelayanan medis Departemen Psikiatri RSCM tahun 2007 serta dalam konsensus WHO tentang penatalaksanaan EPS.

ABSTRACT
Background
Extrapyramidal side effects (EPS) in the treatment of psychotic patients contributes to poor compliance and exacerbation of psychiatric symptoms. The use of trihexyphenidyl is beneficial in preventing and treating neuroleptic-induced EPS. In 2010, percentage of psychotic patients who were given trihexyphenidyl at Poliklinik Jiwa Dewasa RSCM (PJD RSCM) have reached up to 51%. However, the pattern of trihexyphenidyl usage in patients receiving antipsychotic therapy at PJD RSCM has not been known. Therefore, a research is needed in finding the pattern and characteristic of trihexyphenidyl usage in patients recieving antipsychotic therapy at PJD RSCM.
Aim
To find the pattern and characteristic of trihexyphenidyl usage in patients recieving antipsychotic therapy at PJD RSCM during August 2010 until July 2011.
Method
This research is a cross sectional study. Samples in this research were taken randomly. Subjects recruited were 97 patients receiving antipsychotic therapy with trihexyphenidyl at PJD RSCM during August 2010 until July 2011. Demographic and sample data were obtain from patients? medical records.
Result
The most widely used pattern of trihexyphenidyl usage in patients receiving antipsychotic therapy at PJD RSCM during August 2010 until July 2011 was simultaneous use of trihexyphenidyl together with antipychotic since the beginning of treatment or prior to appearance of EPS at approximately 91.8%.
Conclusion
Pada penelitian ini menunjukkan pola pemberian triheksifenidil pada pasien yang mendapatkan obat antipsikotika di PJD RSCM pada bulan Agustus 2010 sampai dengan bulan Juli 2011, pasien langsung diberikan obat triheksifenidil tanpa pemeriksaan EPS terlebih dulu dan tidak dilakukan evaluasi ulang tiap tiga bulan. Sehingga pemberian obat triheksifenidil tidak sesuai dengan panduan pelayanan medis Departemen Psikiatri RSCM tahun 2007 serta dalam konsensus WHO tentang penatalaksanaan EPS.
This research have shown pattern of trihexyphenidyl use which was given directly to patients without EPS examination and without evaluation every three months. In consequent, the use of trihexyphenidyl was not in accordance with 2007 medical operational standart of Psychiatric Department RSCM and WHO consensus on the management of EPS."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
T32683
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kania Aisyah Putri
"Latar Belakang Menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Tahun 2018, kanker serviks merupakan kanker kedua yang paling banyak diderita dengan insidensi 9,3% dan penyebab kematian terbanyak ketiga dengan mortalitas 8,8%. Penyebab utama terjadinya kanker serviks adalah infeksi HPV risiko tinggi. Pencegahan infeksi HPV dapat dilakukan melalui vaksinasi HPV. Dengan demikian, vaksinasi HPV berperan penting dalam pencegahan kanker serviks. Akan tetapi, terdapat beberapa hambatan terkait vaksinasi HPV yang menyebabkan tidak seluruh populasi dapat mengaksesnya. Di Indonesia, cakupan vaksinasi HPV untuk wanita berusia lebih dari sama dengan 15 tahun pada tahun 2022 hanya mencapai 6%. Oleh karena itu, penelitian ini akan membahas cakupan vaksinasi HPV pada pasien pasien di poli kebidanan dan kandungan RSCM. Metode Penelitian ini dilakukan menggunakan desain observasional dengan metode crosssectional. Besar sampel minimal yang dibutuhkan adalah 98 sampel. Data diperoleh melalui kuisioner dan rekam medis responden. Data yang diperoleh akan diolah menggunakan aplikasi SPSS 27.0. Hasil Terdapat 8 dari 127 subjek penelitian yang telah mendapatkan vaksinasi HPV (6,3%). Sebanyak 50% dari subjek yang telah mendapatkan vaksinasi baru menerima 1 dosis vaksin. Dari 127 subjek penelitian, terdapat 18 pasien kanker serviks. Cakupan vaksinasi HPV pada pasien kanker serviks adalah 5,6%. Kesimpulan Untuk mencapai kekebalan kelompok, cakupan vaksinasi HPV pada penelitian ini masih sangat rendah. Meski demikian, cakupan vaksinasi HPV pada pasien di Poli Kebidanan dan Kandungan RSCM ini tidak berbeda jauh dengan cakupan vaksinasi Indonesia pada tahun 2022 menurut WHO.

Introduction According to the Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) in 2018, cervical cancer is the second most common cancer with an incidence of 9.3% and the third leading cause of death with a mortality rate of 8.8%. The main cause of cervical cancer is high-risk HPV infection. Prevention of HPV infection can be done through HPV vaccination. Therefore, HPV vaccination plays an important role in the prevention of cervical cancer. However, there are several barriers related to HPV vaccination that prevent some populations from accessing it. In Indonesia, the HPV vaccination coverage for women aged 15 and older in 2022 only reached 6%. Therefore, this study will discuss the coverage of HPV vaccination among patients in departments of obstetrics and gynecology RSCM. Method This study was conducted using an observational design with a cross-sectional method. The minimum required sample size is 98 samples. Data will be obtained through questionnaires and respondent’s medical records. The data obtained will be processed using SPSS 27.0. Results There were 8 out of 127 subjects who had received HPV vaccination (6.3%). Half of the subjects who had been vaccinated only received 1 dose of the vaccine. Out of the 127 research subjects, there were 18 cervical cancer patients. The HPV vaccination coverage in cervical cancer patients was 5.6%. Conclusion To achieve herd immunity, the HPV vaccination coverage in this study is still very low. However, the HPV vaccination coverage in patients at the Department of Obstetrics and Gynecology RSCM is similar to Indonesia's vaccination coverage in 2022 according to the WHO."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Williams Harli Kianjaya
"ABSTRAK
Gangguan bipolar merupakan suatu gangguan mental yang ditandai dengan adanya fase manik dan depresif yang bergantian dan membentuk satu siklus bipolar. Dalam kepustakaan ditemukan pasien gangguan bipolar dengan penyakit komorbid ditemukan mengalami penurunan kualitas hidup, prognosis, dan angka harapan hidup dibandingkan pasien tanpa komorbiditas, dan pada dewasa ditemukan 20% mengalami bipolar dengan penyakit komorbid dan pada geriatri ditemukan 28% mengalami bipolar dengan penyakit komorbid. Didasari hal tersebut, peneliti bermaksud untuk mendapatkan hubungan antara usia dengan kejadian penyakit komorbid pada gangguan bipolar. Dilakukan studi cross-sectional dengan sampel berupa rekam medis seluruh pasien yang pernah berkunjung ke Poli Jiwa Anak dan Remaja dan Poli Jiwa Dewasa RSUPN Cipto Mangunkusumo dan mendapat diagnosis bipolar (kode ICD F31) dalam periode 2008 hingga 2018. Terdapat 122 sampel yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak termasuk dalam kriteria eksklusi. Dalam studi ditemukan 122 pasien, dengan 47 diantara 122 kasus mengalami penyakit komorbid. Dalam analisis tidak ditemukan hubungan yang signifikan antara usia dengan kejadian penyakit komorbid (p = 0,766).

ABSTRACT
Bipolar disorder is a mental disorder presenting as a cycle of manic and depressive episode. In previous studies, patients with bipolar disorder with comorbidities were found to have lowered quality of life, prognosis, and life expectancy compared to those without, and the incidence of bipolar disorder with comorbidities in adult and geriatric patients were 20 and 28 percent, respectively. Based on these studies, a study is conducted to research the possibility of age playing a role in the incidence of comorbidity in bipolar disorder. A cross-sectional study was performed on the medical record of all patients diagnosed with bipolar disorder (ICD code F31) whom visited the Children and Adolescent Psychiatric Clinic and Adult Psychiatric Clinic RSUPN Cipto Mangunkusumo in the period of 2008 to 2018. 122 samples were found after taking inclusion criteria and exclusion criteria into account. This research measured 122 cases, in which 47 out of 122 cases were presented with comorbidities. Analysis of the data shows insignificant correlation between age and the incidence of comorbid diseases in bipolar disorder (p = 0,766)."
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marcel Aditya Nugraha
"Osteoarthritis OA genu merupakan penyakit yang menjadi penyebab terjadinya disabilitas tertinggi di di dunia serta dapat menimbulkan beban sosial dan ekonomi. Obesitas merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi timbulnya OA genu serta menyebabkan rasa nyeri dan deformitas pada pasien. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui adanya hubungan antara obesitas dan perkembangan terapi pasien dengan OA genu. Penelitian dilakukan dengan membandingkan perubahan intensitas nyeri dari nilai visual numeric analog scale VNAS pada pasien OA genu komorbid obesitas dan pasien OA genu non-komorbid obesitas yang telah menjalani rehabilitasi di poli Rehabilitasi Medik RSCM-FKUI. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perubahan nilai VNAS lebih rendah yang bermakna pada pasien dengan faktor komorbid obesitas dibandingkan dengan pasien tanpa faktor komorbid obesitas. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa obesitas memiliki hubungan yang bermakna terhadap perubahan nilai VNAS pada pasien OA genu yang telah menjalani rehabilitasi.

Knee osteoarthritis OA is an illness which has now become one of the leading causes for disabilities in the world and may lead to increasing social and economical burdens. Obesity is one of several factors that may influence the onset of knee OA and induce pain and deformity in patients. This research aims to understand the association of obesity and progress of therapy in patients with knee OA. To accomplish that, changes in the intensity of pain determined by the value of the visual numeric analog scale VNAS are compared between knee OA patients with and without obesity who have undergone rehabilitation at Medical Rehabilitation Unit of RSCM FKUI. The result showed significantly lower change in VNAS value in knee OA patients with obesity compared to knee OA patients without obesity. From this research, a statistically significant association is found between obesity and change in VNAS values in patients with knee OA who have undergone rehabilitation."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suleiman Sutanto
"Ruang Lingkup dan Cara Penelitian: Penelitian ini dilakukan untuk mendapat kejelasan tentang ketidaksesuaian pendapat di dalam kepustakaan mengenai adanya suatupola dermatoglifi yang khas pada skizofrenia. Juga ingin diketahui apakah pola tersebut dapat dipakai sebagai alat bantu diagnosis skizofrenia maupun sebagai alat skrining untuk mengenal kasus-kasus skizofrenia yang belum manifest. Untuk ini, sebuah studi mengenai pola dermatoglifi telapak tangan telah dilakukan pada 262 pria Indonesia dewasa (70 penderita skizofrenia, 32 penderita psikosis nonskizofrenia dan 160 orang normal). Pola dermatoglifi telapak tangan dibuat dengan bantuan sebuah roler, tinta sidik jari khusus, dan dicetak pada sehelai kertas hvs putih. Hasil cetakan dianalisis dengan sebuah Lup, dan dilakukan pemeriksaan terhadap pola kualitatif dan pola kuantitatif.
Hasil dan Kesimpulan: Dari kelima pola kualitatif yang diteliti hanya datam hal pola interdigital 4 saja terdapat perbedaan bermakna. Frekuensi pola interdigital 4 pada skizofrenia dan psikosis nonskizofrenia Lebih tinggi secara bermakna dari orang normal, dan didapatkan indeks Jouden 22% dan 20% pada tangan kiri dan kanan. Dapat disimpulkan bahwa pola interdigital 4 kurang terpakai sebagai alat bantu diagnosis skizofrenia.
Dari ketujuh pola kuantitatif yang diteliti hanya didapat perbedaan bermakna datam sudut atd total. GoLongan skizofrenia mempunyai sudut atd total rata-rata lebih kecil daripada golongan psikosis nonskizofrenia. Karena perbedaan datam nilai rata-rata dan 'confidence interval' 95% sudut atd total antara ketiga golongan tidak terlalu besar, sudut atd kurang terpakai sebagai pembeda ketiga golongan. Dengan demikian d.isimpulkan bahwa pola dermatoglifi telapak tangan tidak terpakai sebagai alat bantu diagnosis skizofrenia maupun sebagai alat skrining.

Scope and Method of Study: This investigation was done in order to clear up an inconsistency in the medical Literature about the existence of a specific dermatoglyphic pattern in schizophrenic patients. We'd also Like to know whether it can be used either as a diagnostic aid for schizophrenia or as a screening tool to detect schizophrenic cases that haven't fully manifested. A study on the dermatoglyphic pattern was done on 262 adult Indonesian males (70 schizophrenics, 32 non-schizophrenic psychotics and 160 normal subjects). The palmar prints were taken with the aid of a roller and special finger printing ink on a sheet of paper. The prints were analyzed through a Loupe, andthe qualitative and quantitative patterns studied.
Findings and Conclusions: Of the five qualitative patterns studied, only the fourth interdigital pattern revealed a significant difference; the pattern is significantly higher in schizophrenics and nonschizophrenic psychotics, compared to normal subjects. The Jouden index are 22% and 20% for the Left and right hand, so it can be concluded that the fourth interdigital pattern can not be used as a diagnostic aid in schizophrenia.
Of the 7 quantitative patterns studied, only the total atd angle showed a significant difference. The mean total atd angle of the schizophrenic group was significantly less than that of the nonschizophrenic psychotic group. Because the difference in the mean total atd angle and the difference in 95% confidence interval of the total atd angle among the three groups was not so great, it can be concluded also that the total atd angle can not be used to differentiate the three groups.
Based on those results, the author concluded that dermatoglyphic pattern can be used neither as a diagnostic aid nor as a screening tool in detecting schizophrenia.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1989
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fadiyah Ulayya Verdianti
"Latar Belakang
Kanker serviks adalah penyakit kronis yang mudah dicegah dan dapat ditangani jika ditemukan dini. Meskipun demikian, sampai saat ini, kanker serviks masih menjadi penyakit dengan angka kejadian dan kematian yang tinggi di Indonesia dan dunia serta menimbulkan beban yang signifikan bagi penderita maupun masyarakat. Infeksi HPV merupakan penyebab utama terjadinya kanker serviks dan tindakan pencegahan lainnya tidak cukup untuk mencegah terjadinya infeksi HPV tanpa didampingi dengan vaksinasi. Oleh karena itu, penelitian untuk menelusuri pengetahuan, sikap, dan perilaku serta faktor sosial ekonomi yang dapat menjadi penghambat terjadinya vaksinasi HPV diperlukan. Metode
Dilakukan pengambilan data menggunakan kuesioner pada tanggal 20-23 November 2023 di Poli Kebidanan dan Penyakit Kandungan RSCM Kiara. Sampel yang di ambil berupa data dari sosiodemografi dan pengetahuan, sikap, dan perilaku (PSP) terkait HPV serta kanker serviks pada populasi cakupan untuk melihat hubungan diantaranya.
Hasil
Subjek penelitian ini sebagian besar sudah memiliki sikap yang positif terhadap infeksi HPV, vaksinasi HPV, dan kanker serviks (69,3%). Akan tetapi, sebagian besar masih memiliki pengetahuan dan perilaku yang buruk (72,4% dan 84,3%). Pada penelitian ini terdapat hubungan antara pengetahuan dengan sikap (p 0,001, OR 6,857, 95% CI=1,954- 24,062) dan pengetahuan dengan perilaku (p 0,003, OR 4,227, 95% CI=1,569-11,389). Akan tetapi, tidak ditemukan hubungan yang signifikan secara statistik antara sikap dengan perilaku. Pada penelitian ini tidak terdapat hubungan yang signifikan antara status pengetahuan dengan status vaksinasi HPV (p 1,000), tidak terdapat hubungan yang signifikan antara status sikap dengan status vaksinasi HPV (p 0,455), dan tidak terdapat hubungan yang signifikan antara status perilaku dengan status vaksinasi HPV (p 1,000). Kesimpulan
Ditemukan tingkat pengetahuan dan perilaku subjek yang buruk dengan sikap yang positif. Penelitian ini juga menemukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pengetahuan dengan sikap dan pengetahuan dengan perilaku, tetapi tidak antara sikap dengan perilaku. Selain itu, tidak ada hubungan antara status pengetahuan, sikap, dan perilaku denga status vaksinasi.

Introduction
Cervical cancer is a chronic disease that is easy to prevent and can be treated if found early. However, to date, cervical cancer is still a disease with a high incidence and mortality rate both in Indonesia and globally, while also causing a significant burden for sufferers and society. HPV infection is the main cause of cervical cancer and, without vaccination, other preventive measures alone are not enough to prevent HPV infection. Therefore, research to explore knowledge, attitudes, and behavior as well as socio- economic factors that can hinder HPV vaccination is needed.
Method
Data were collected using a questionnaire on 20-23 November 2023 at the Obstetrics and Gynecology Clinic, RSCM Kiara. The sample that was taken was data from sociodemographics and knowledge, attitudes, and practice (KAP) related to HPV and cervical cancer in the coverage population to see the relationship between them.
Results
Most of the subjects in this study had a positive attitude towards HPV infection, HPV vaccination, and cervical cancer (69.3%). However, the majority still have poor knowledge and behavior (72.4% and 84.3%). This research found a relationship between knowledge with attitudes (p 0.001, OR 6.857, 95% CI=1,954-24,062) and knowledge with behavior (p 0.003, OR 4.227, 95% CI=1,569-11,389). However, no statistically significant relationship was found between attitudes with behavior. This study found that there was no significant relationship between knowledge status with HPV vaccination status (p 1.000), there was no significant relationship between attitude status with HPV vaccination status (p 0.455), and there was no significant relationship between behavior status with HPV vaccination status (p 0.455).
Conclusion
It was found that the subject's level of knowledge and behavior was poor with a positive attitude. This study also found that there was a statistically significant relationship between knowledge with attitudes and knowledge with behavior, but not between attitudes with behavior. Apart from that, there is no relationship between knowledge status, attitudes, and practice with vaccination status.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lidya Heryanto
"Terapi Kelompok Suportif Ekspresif adalah salah satu modalitas psikoterapi yang menggunakan kekuatan interaksi para peserta yang difasilitasi oleh terapis. Terapi ini diberikan kepada individu yang memiliki masalah serupa untuk memperbaiki pikiran dan perilaku yang dianggap maladaptif. Penelitian ini dilakukan untuk menilai apakah dengan terapi kelompok suportif ekspresif dapat memperbaiki kepatuhan pasien dengan HIV terhadap ARV (adherence). Evaluasi juga dilakukan untuk menilai apakah terdapat perbaikan kualitas hidup, peningkatan sel imun CD4 dan turunnya viral load setelah dilakukan intervensi. Pada 52 subjek dengan random alokasi terbagi menjadi kelompok intervensi terapi kelompok suportif ekspresif (TKSE) dan kelompok treatment as usual (TAU).
Subjek mendapatkan evaluasi yang sama sebelum dan sesudah terapi. Pada evaluasi awal didapatkan seluruh subjek tidak adherence, yaitu kepatuhan terapi <95%. Subjek yang mendapat terapi kelompok datang sebanyak 5 kali pertemuan. Semua subjek tetap datang untuk mendapatkan terapi seperti biasanya di pokdisus dan mendapatkan obat ARV. Setelah intervensi dilakukan evaluasi kembali. Subjek yang mendapatkan terapi kelompok suportif ekspresif (TKSE) menunjukan perbaikan dalam adherence sebanyak 13 orang (50%) dan pada kelompok TAU sebesar 1 orang (3.85%).
Peningkatan jumlah sel CD4 juga ditemukan pada kedua kelompok yaitu pada TKSE rerata peningkatan sebesar 54.69 dan pada TAU rerata sebesar 4.81. Perbaikan viral load menjadi tidak terdeteksi ditemukan pada kedua kelompok yaitu pada TKSE menurun sebanyak 4 subjek, sedangkan TAU 2 subjek. Pada kualitas hidup didapatkan peningkatan pada domain psikologis dan lingkungan, tidak ada perubahan pada domain sosial, dan penurunan pada domain fisik.

Supportive Expressive Group Therapy is a psychotherapeutic modality that uses the strength of the interaction of the participants were facilitated by therapists. This therapy is given to individuals who have similar problems to correct thoughts and behaviors that are considered maladaptive. This study was done to assess whether the supportive expressive group therapy can improve patients' adherence with ARV. The evaluation was also conducted to assess whether there were improvements in quality of life, increase in CD4 immune cells and the decrease in viral load after the intervention. In 52 subjects with random allocation is divided into intervention group supportive expressive group therapy (TKSE) and group treatment as usual (TAU).
Subjects obtain the same evaluation before and after therapy. At the initial evaluation found the whole subject is not adherence: therapy adherence <95%. Subjects who received group therapy meetings come as much as 5 times. All subjects continued to come to get treatment as usual in Pokdisus and get antiretroviral drugs. Once the intervention is re-evaluated. Subjects who received supportive expressive group therapy (TKSE) showed improvements in adherence were 13 people (50%) and the TAU group by 1 person (3.85%).
The increase in CD4 cell count were also found in both groups, the mean increase of 54.69 TKSE and the TAU mean of 4.81. Improvements in viral load to undetectable levels were found in both groups at TKSE decreased by 4 subjects, whereas TAU 2 subjects. On quality of life associated with an increase in psychological and environmental domains, there is no change in the social domain, and a decrease in the physical domain.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T59141
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>