Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 176942 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Muhammad Reza Zaini
"Selama ini banyak yang beranggapan bahwa Cina Benteng adalah Cina Peranakan yang menetap di daerah Tangerang Namun beberapa anggotanya di Desa Situgadung awalnya menolak hal itu dan mengidentifikasi diri mereka sebagai Orang Keturunan Melalui proses panjang mereka akhirnya mengaku bahkan bangga sebagai Cina Benteng sejak akhir tahun 1980 rsquo an Dengan menggunakan pendekatan kualitatif penelitian ini memberikan pemahaman baru tentang konsep identitas etnis dan pembedaan antara keduanya Identitas adalah sebuah proses mengidentifikasi kolektivitas yang menjadi acuan dimana individu berperan penting untuk menentukan kolektivitas mana yang merupakan alter ego nya Sementara etnisitas merupakan salah satu bentuk kolektivitas dimana kelompoklah yang menetapkan keanggotaan seorang individu.

It is generally assumed that Cina Benteng is a community of Peranakan Chinese living around Tangerang However one its communities in Situgadung Village rejected that notion in which they refer themselves as Orang Keturunan Eventually they identified themselves as Cina Benteng in the 1980s. This research gives a new understanding on ethnic identity and the differentiation between identity and ethnicity Identity is defined as a process where each individual plays a significant role to identify a collectivity in which he she feels belonged to while ethnicity is one of the manifestations of collectivities in which the society determine an individual's collectivity.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2013
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siregar, Yuanita Aprilandini
"Penelitian bertujuan untuk melihat bagaimana proses reproduksi patriarki berjalan melalui penguatan identitas perempuan peranakan Arab, interseksi identitas, gender dan etnik pada perempuan peranakan Arab menghasilkan keragaman derajat oppresi, serta strategi perempuan peranakan Arab untuk melawan derajat keragaman oppresi terhadap dirinya dengan beragam latar. Penelitian ini akan menggunakan 2 kerangka teori utama, yakni teori interseksi dan identitas. Serta, menggunakan 2 konsep tambahan yakni gender interseksi dan patriarki.
Penelitian desertasi ini menggunakan metodologi kualitatif dengan teknik pengumpulan data wawancara mendalam, observasi terlibat dan data sekunder. Informan di dalam penelitian ini berjumlah 26 orang dengan beragam karaktersitik dan kategori, yakni 17 perempuan peranakan Arab dan 9 orang laki-laki Arab. Pemilihan perempuan Arab berdasarkan keragaman umur (lintas generasi), orientasi pernikahan (endogami/eksogami), keragaman profesi, lokasi tempat tinggal (kampung Arab Condet dan Empang Bogor), serta faktor ketokohan. Kesembilan laki-laki Arab yang dijadikan informan merupakan data pelengkap sekaligus sebagai triangulasi data.
Temuan penting penelitian ini adalah semakin menguatnya identitas perempuan peranakan Arab mengakibatkan reproduksi patriarki. Peran perempuan (Ummi) menjadi sentral karena fungsi perempuan tidak hanya sebatas reproduksi biologis tetapi juga reproduksi sosio-kultural. Hal tersebut berkaitan dengan pemurnian darah leluhur (purityness) dari garis keturunan Alawiyyin. Kedua, Perbedaan narasi sejarah dan narasi keagamaan kelompok Alawiyyin dan Al-Irsyad disebabkan oleh faktor ideologi organisasi. Pergerakan dan ketokohan kaum perempuan Al-Irsyad yang beraliran Islam pembaharuan (modernis) lebih terlihat dibandingkan Rabithah.
Berdasarkan temuan ini maka penulis menggunakan teori interseksi untuk melihat irisan antara identitas, etnisitas dan gender. Penguatan identitas kaum perempuan Arab Alawiyyin dengan penikahan sekufu (endogami) melanggengkan budaya patriarki. Bentuk reproduksi patriarki tradisional masih tetap dipertahankan dan betransformasi menjadi neopatriarki berbasis media sosial digital. Interseksi etnik dan agama menjadi double oppression bagi kaum perempuan Alawiyyin namun menjadi social prestige bagi kaum laki-laki Arab Alawiyyin. Strategi yang dilakukan oleh kaum perempuan Arab di dalam mengubah kultur patriarki adalah melakukan protes secara frontal, semi frontal, dan moderat (negosiasi). Perempuan yang dapat melakukan ketiga bentuk strategi tersebut memiliki karakteristik perempuan Arab terdidik, menikah eksogami, serta berafiliasi dengan organisasi yang beraliran pembaharuan.

The purpose of this study described the process of patriarchal reproduction through peranakan Arab women, how the intersection of identity, sex and ethnicity in peranakan Arab women produced on diversified level of oppression, and how they defined strategies for negotiating their culture in different fields. This study using 2 major theoretical backgorund , the theory of intersection and identity theories, and 2 additional concepts namely gender intersection and patriarchy.
This research used qualitative research by collecting in-depth interview data, involved observation and secondary data. The informant in this study consists of 26 people with various characteristics : 17 person peranakan Arab women and 9 person Arab men. The selection of Arab women based on age diversity (across generations), marriage typology (endogamy / exogamy), professional backgorud, and residencial areas (Arabian Condet and Empang Bogor). Finally, The nine Arab men who were being interviewed also in order to get validity and triangulation datas.
The main findings of this research that strengthening identity on peranakan Arab women produced patriarchal cultures. The role of women (ummi) is central because women's functions are not only limited to biological reproduction but also socio-cultural reproduction. This is connected to the purityness issues from the Alawiyyin family. Second, the differences in historical narratives of the Alawiyyin and Al-Irshad religious groups are influenced by organizational ideology. The women movement from Al-Irsyad women are more visible than Rabithah.
Based on these findings, the authors used intersection theory to see the fields between identity, ethnicity and gender. Strengthening the identity of Alawiyyin Arab women by sekufu married (endogamy) produced patriarchal culture. Traditional patriarchy still consist but also transform into neopatriarchy on digital social media. Ethnic and religious intersection became a double oppression for Alawiyyin women but produce social prestige for Alawiyyin men. The strategy of Arab women to contesting patriarchal culture through frontal, semi-frontal protest and moderate negotiation. The Arab women who use these strategies characterized by higher educated women, married to non Arab men, and affiliated in modernist organizations.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
D2557
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tarigan, Christiani Romaito
"Disertasi ini bertujuan menggambarkan eksklusi sosial yang dialami komunitas Cina Benteng di desa Belimbing, Tangerang. Eksklusi sosial dianalisis dengan menggunakan teori strukturasi Giddens untuk melihat proses eksklusi social, siapa saja aktor yang berperan dan bagaimana peran mereka dalam eksklusi sosial dan implikasi sosial, ekonomi, dan politis dari eksklusi sosial yang dialami oleh komunitas Cina Benteng di desa Belimbing. Hasil penelitian menunjukkan bahwa komunitas Cina Benteng di desa Belimbing pernah mengalami eksklusi sosial pada masa eksklusi social sampai dengan awal masa reformasi terkait dengan kepemilikan dokumen kependudukan dan keikutsertaan dalam pembangunan. Eksklusi sosial yang mereka alami secara tidak langsung berakibat pada rendahnya tingkat pendidikan dan kemiskinan yang dialami pada masa sekarang, lebih lanjut berdampak pada terbatasnya akses mereka pada kesempatan bekerja formal dan pendapatan baik. Selain eksklusi sosial, dalam komunitas Cina Benteng juga terjadi inklusi social dengan warga non Cina Benteng. Fenomena tersebut dinamakan "dualitas eksklusi-inklusi".

This dissertation aims at describing the social exclusion experienced by the Benteng Chinese community in the village of Belimbing, Tangerang. Social exclusion is analyzed using the theory of Structuration Giddens to see the process of social exclusion, the actor who plays and their role in social exclusion as well as the implications of social exclusion in social, economic, and political aspect. The results showed that the Chinese community has experienced social exclusion during the period of Suharto governance to the early period of reform era, related to the ownership of the civic documents and the participation in development. Social exclusion indirectly result in low levels of education and poverty being experienced at present, further impacting on their limited access to the opportunity of formal work and good income. In addition to social exclusion, there has been social inclusion amongs the Benteng Chinese community and indigenous people in Belimbing village.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
D1983
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bambang Giyanto
"Istilah desa sudah dikenal jauh sebelum penjajahan Belanda dimulai, dan sebagaimana dikemukakan oleh bahwa: Tidak dapat diketahui dengan pasti kapan permulaan adanya ?Desa? (Suryaningrat,1992), Sedangkan yang dimaksud Desa adalah suatu kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai susunan asli berdasarkan hak asal usul yang bersifat istimewa (Widjaja, 2008). Desa merupakan institusi yang otonom dengan tradisi, adat istiadat dan hukumnya sendiri serta relatif mandiri (Widjaja, 2008). Sebutan Desa sangat beragam di Indonesia, pada awalnya merupakan organisasi komunitas lokal yang batas-batas wilayahnya, dihuni oleh sejumlah penduduk, dan mempunyai adat-istiadat untuk mengelola dirinya sendiri atau self-gouverning community ( Eko, 2008).
Dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia sejak jaman penjajahan hingga sekarang, keberadaan Desa diakui dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Seiring dengan perkembangan jaman dan tuntutan masyarakat desa dapat diubah statusnya menjadi kelurahan sebagaiaman diatur dalam peraturan perundang-undangan sesuai dengan usul dan prakarsa Pemerintah desa bersama Badan Permusyawaratan Desa.
Pada tahun 2005 sebagian desa di Kabupaten Tangerang diubah statusnya menjadi Kelurahan. Hal yang sama juga di Kota Serang pada tahun 2011 sebagian desa diubah menjadi Kelurahan. Desa dengan Kelurahan adalah berbeda, Desa adalah otonom yang diberi kewenangan untuk mengurus dan mengatur rumah tangganya sendiri, sedangkan kelurahan adalah SKPD Kabupaten/Kota. Dalam perubahan tersebut terjadi pro dan kontra, serta tidak sebagaimana yang diharapkan oleh masyarakat. Sehubungan dengan perubahan status tersebut dilakukan penelitian terhadap perubahan desa menjadi kelurahan suatu kajian kelembagaan.
Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan kelembagan adalah organisasi, karena istilah kelembagaan dan organisasi penggunaannya dapat dipertukarkan (Uphoff, 1986). Adapun ruang lingkup penelitian ini adalah perubahan struktur, teknologi, produk, orang budaya organisasi dan budaya masyarakat. Penelitian ini merupakan studi kasus, pendekatan yang dilakukan adalah penelitian kualitatif dengan paradigm penelitian post positivisme, Sebagai unit analisis adalah 5 (lima) kelurahan di Kecamatan Kelapa Dua Kab. Tangerang, dan 3 (tiga) kelurahan di Kecamatan Taktakan Kota Serang.
Dalam penelitian ini menghasilkan 4 (empat) temuan pokok sesuai tujuan penelitian. Pertama, proses perubahan desa menjadi kelurahan tidak didasarkan aspirasi masyarakat, melainkan lebih banyak kepentingan politis baik di Tangerang maupun Serang; kedua di Tangerang pelayanan kepada masyarakat diluar jam kerja tidak maksimal, karena hilangnya unsur wilayah dalam struktur organisasi kelurahan, sedangkan di Serang pelayanan kepada masyarakat menjadi maksimal; ketiga, baik di Tangerang maupun Serang, status perangkat desa yang menjadi perangkat kelurahan sampai saat ini belum jelas; keempat, di Tangerang dengan desa berubah menjadi kelurahan, maka terjadi perubahan nilai-nilai di masyarakat, sedangkan di Serang tidak terjadi.
Dalam perubahan desa mejadi kelurahan di masa yang akan datang maka di rekomendasikan, pertama perlu dilakukan sosialisasi terlebih dahulu, agar tidak terjadi pro dan kotra di masyarakat; kedua, perlu dipersiapkan desain organisasi kelurahan yang berasal dari desa; ketiga, perlu kejelasan status SDM dalam perubahan desa menjadi kelurahan; keempat, agar nilai-nilai budaya masyarakat desa tidak hilang maka perlu diakomodir pada kelurahan yang berasal dari desa.

Desa (village) is a term that has been used for a long time ago prior to the Dutch colonization as stated by Suryadiningrat (1992) that it is unknown when exactly it was first introduced. Desa (village) is a unit of law abiding society that has an original structure based on the privilege rights of origin (Widjaja, 2008). Desa is an autonomous institution with their own traditions, customs and laws, which is relatively independent (Widjaja, 2008). Desa is very diversified in Indonesia. In the beginning it was a local community organization whose territorial boundaries were dwelled by a number of people that had customs to self- govern or self-governing community (Eko, 2008).
In the history of Indonesian nation the existence of desa has been acknowledged in various rules of laws ever since the colonization era until today. Along with the progress of the time and the demands, the status of desa community can be transformed into a village administrative unit (kelurahan) as stipulated in the rules of laws based on the proposal and ideas of the village governance along with Village Consultative Board (Badan Permusyaratan Desa).
In year 2005 the status of the majority of villages in Tangerang regency were transformed into village administrative unit. In year 2011 the same went for that of Serang city. Desa and village administrative unit are different. The former is an autonomy that is authorized to self-govern their affairs whereas the latter is Regency/City Apparatus Work Unit (SKPD). Such changes raised the case of for and against, and in fact, they are far from their expectations. In relation to that, the research of institutional studies was conducted concerning the changes from desa to village administrative unit.
In this research what is meant by institution is organization because both terms can be used interchangeably (Uphoff, 1986). The scope of the research is the changes in structure, technology, products, people, organization and society cultures. This research is a case study adopting qualitative approach with post positivism research paradigm. As the units of analysis, there are 5 (five) village administrative units in KelapaDua district of Tangerang regency, and 3 (three) village administrative units in Taktakan district of Serang city.
The research found 4 (four) main findings in line with the purposes of the research. Firstly, the changes from desa to village administrative unit did not come from the society's aspirations, in fact it was dominantly based on political interests both in Tangerang and in Serang.; secondly, in Tangerang the public services outside working hours were not optimum due to the loss of territorial element within the village administrative unit organization, but in Serang the services were optimum; thirdly, either in Tangerang or in Serang, the status of the village apparatus that had been shifted to village administrative unit apparatus was not yet clear ; fourthly, in Tangerang changing values within the society occurred, but not in Serang.
In conclusion, for future changes it is, therefore, necessary to give the following recommendations: first, it is necessary to conduct socialization first prior to the changes to avoid the case for and against within the society; second, it is also necessary to prepare organizational design of a village administrative unit that is originallya desa; third, for such changes it is also necessary to have a clear status of the human resources; fourth, in order to avoid the loss of the village communal valuesit is, therefore, necessary to accommodate them in the village administrative unit originated from a desa.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2013
D1419
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Atmasedjati
"ABSTRAK
Dalam tulisan ini, saya mencoba untuk menyajikan kehadiran orang-orang Cina Islam di Tangerang beserta ruang lingkupnya.
Di bawah ini beberapa data dari Biro Pusat Statistik, Kantor Sensus dan Statistik Pemerintah Daerah Tingkat II Tangerang, 1983, tentang keturunan Cina di Tangerang. Jum_lahnya tidak kurang dari 74.049 jiwa, 73.771di antaranya adalah warga negara Indonesia, terdiri 37.347 laki-laki dan 36.39? wanita. Mereka tersebar di 18 kecamatan dari 20 kecamatan yang ada di Tangerang. Mereka hidup berkelompok, baik dalam perkampungan khusus yang hanya terdiri dari keturunan Cina saja maupun di kampung yang penduduknya ada yang bumiputera.
Melihat adanya lembaga-lembaga Islam dan pengajian-pengajian yang didirikan orang-orang Cina di Tangerang, timbullah keinginan saya untuk menampilkan satu karya tulis...

"
1985
S13186
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Putri Nur Sarah
"Kota lama Tangerang ini memiliki identitas yang berhubungan dengan sejarah Cina Benteng. Pembahasan pada penelitian ini mengenai identitas cina benteng melalui lanskap budaya, mengidentifikasi karakteristik lanskap budaya Cina Benteng, serta menggambarkan aspek spasial dalam bentuk pola zonasi agar dapat terlihat identitas Kawasan Cina Benteng agar pelestarian kebudayaan Cina Benteng. Metode yang digunakan adalah kualitatif dengan mengumpulkan data seperti literatur, observasi, dan wawancara mendalam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bentuk lanskap di pecinan bentuk lanskap ini terlihat pada bangunan cagar budaya yang menonjol yang di kelilingi bangunan pendukung yaitu permukiman penduduk Cina Benteng dan berada pada kawasan yang dibatasi oleh gang-gang sempit. Representasi identitas yang terbentuk dalam kawasan tersebut adalah sebuah pola ruang budaya Blok Kota Lama Tangerang terbentuk dari hasil sisa peninggalan bangunan Cina Benteng yang ada hingga kini serta pola aktivitas masyarakat yang masih sangat kuat eratannya dengan peninggalan bangunan tadi. Zona inti terpusat pada area yang memiliki titik pusat yaitu Klenteng Boen Tek Bio dan museum Benteng Heritage. Zona penyangga berada di luar kawasan titik cagar budaya.

The old city of Tangerang has an identity related to the history of the Chinese Benteng. The discussion in this research is about the identity of the Chinese Benteng through the cultural landscape, identifying the characteristics of the Chinese Benteng cultural landscape, as well as describing the spatial aspects in the form of zoning patterns so that the identity of the Benteng Chinese area can be seen in order to preserve the Benteng Chinese culture. The method used is qualitative by collecting data such as literature, observation, and in-depth interviews. The results of the study show that the shape of the landscape in Chinatown is seen in the prominent cultural heritage buildings which are surrounded by supporting buildings, namely the Chinese Benteng settlements and are located in an area bounded by narrow alleys. The identity representation formed in the area is a pattern of cultural space in the Kota Lama Tangerang Block formed from the remains of the remains of the Cina Benteng building that exist today and patterns of community activity that are still very closely related to the heritage of the building. The core zone is concentrated in an area that has a center point, namely the Boen Tek Bio Temple and the Fort Heritage museum. The buffer zone is outside the cultural heritage point area."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yudhanty Parama Sany
"ABSTRAK
Tesis ini menjelaskan proses konstruksi dan kontestasi identitas orang Cina Benteng dan
hubungannya dengan gagasan mengenai kewarganegaraan di Indonesia. Konstruksi identitas
orang Cina di Indonesia yang dibentuk berdasarkan ide-ide mengenai sejarah, asal-usul dan nasib
terus bertransformasi dan berkontestasi dalam setiap masa pemerintahan di Indonesia. Adanya
pembedaan perlakuan bersifat eksklusif terhadap orang Cina di Indonesia, yang berlangsung
sejak zaman kolonial, menimbulkan dikotomi Non-Pribumi dan Pribumi. Orang Cina sebagai
Non-Pribumi dianggap sebagai orang asing, suku pendatang, dan makhluk asing (aliens)
sehingga diragukan identitas keindonesiaannya. Akibat dari dikotomi ini ternyata memiliki
dampak negatif hingga saat ini bagi orang Cina di Indonesia untuk berintegrasi maupun
berasimilasi dengan orang Indonesia, mereka masih dianggap sebagai bukan bagian dari
Indonesia, kelompok minoritas dan masih dianggap sebagai orang asing di Indonesia. Begitupun
bagi orang-orang keturunan Cina yang sudah tinggal bergenerasi di Indonesia, khususnya orang
Cina Benteng di Tangerang.
Identitas orang Cina Benteng yang berbeda--yang dibentuk berdasarkan ide-ide mengenai
sejarah, asal-usul dan nasib itu—membuat mereka terus menghadapi berbagai kasus
diskriminasi. Kasus-kasus tersebut merupakan contoh kendala negara dalam mengelola
keberagaman identitas, baik yang berdasarkan kelompok etnis, suku bangsa, agama, maupun
kelompok lain yang ada dalam masyarakat. Konsepsi kewarganegaraan yang dianut negara
Indonesia masih belum mampu mengakomodasi secara adil keberadaan orang Cina Benteng di
Indonesia. Saat ini masih tersisakan banyak permasalahan diskriminasi rasial, antara lain dalam
hal pengakuan status kewarganegaraan Republik Indonesia mereka dan permasalahan sebagian
etnis cina yang tanpa kewarganegaraan. Sebagai konsekuensi situasi tersebut maka mereka
mengalami kesulitan mendapatkan hak politik, sosial dan budaya-nya sebagai warganegara
Indonesia.
Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif
dan menggunakan metode deskriptif-analitis untuk menganalisis data-data yang diperoleh di
lapangan. Adapun teknik Adapun teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah melalui studi
pustaka, pengumpulan dokumen serta wawancara mendalam sehingga dapat menjelaskan proses
konstruksi dan kontestasi identitas orang Cina Benteng dan hubungannya dengan isu
kewarganegaraan di Indonesia.

ABSTRACT
This thesis explains the process of identity construction and its contestation upon the
Cina Benteng community and their relationships with the concept of citizenship in Indonesia.
The identity of Chinese people in Indonesia is constructed around the idea of history, origin and
fate, which are continuously transforming and contending in every era of Indonesian
administration. The preferential treatment applied to the Chinese-decent people in Indonesia,
which has been going on since the colonial era, has produced a dichotomy of the Non-Pribumi
(immigrant decent) and Pribumi (literally means son of the soil, the native of Indonesia). The
ethnic Chinese as the Non-Pribumi is considered as foreigners, immigrants and aliens that
brought about their identity as an Indonesian being questioned. This dichotomy resulted in
negative impacts that still affect the Chinese-Indonesian in integrating and assimilating with the
Indonesian until recently. They are still considered as a different part of Indonesia, as minority
groups and foreigners. These are what happen to the Chinese-decent population who has been
living for generations in Indonesia, especially the Cina Benteng community in Tangerang.
The distinct identity of the Cina Benteng community – that has been formed around the
idea of history, origin and fate– made them continuously facing several cases of discriminations.
Cases experienced by the Cina Benteng community are the very examples of obstacles that this
nation faces in managing the pluralism of identities, whether based on ethnic groups, races,
religions or other groups that are present in the society. The concept of citizenship being adopted
by the state of Indonesia cannot accommodate equally the existence of the Cina Benteng
community in the country, yet. Currently, there are many racial discrimination problems left,
such as the lack of legal recognition of the Cina Benteng community as Indonesian citizens, or
worse, a number of ethnic Chinese who still have no citizenship. This situation causes them to
live with difficulties in requiring political, social and cultural rights as Indonesian citizens.
The approach used in this research is a qualitative one, combined with descriptiveanalytics
methods to analyze data acquired from the fields. Data gathering technique used in this
research is through literature study, document gathering and in-depth interviews as to be able to
explain the process of identity construction and its contestation among the Cina Benteng
community and their relations with citizenship issues in Indonesia."
2013
T35616
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
cover
Sri Mastuti Purwaningsih
"ABSTRAK
Kerusuhan anti Cina banyak terjadi di Indonesia terutama di Jawa sejak masa kolonial. Tindak kekerasan itu memiliki beragam latar belakang, tetapi pada dasarnya hal itu terjadi sebagai akibat kebijakan penjajah dalam mengelola tanah jajahannya. Kerusuhan anti Cina di Tangerang periode 1913-1946 tidak terlepas dari kebijakan tersebut, disamping terjadinya perkembangan sosial, ekonomi, dan politik di Indonesia sendiri. Arti penting dari kerusuhan anti Cina di Tangerang tidak hanya bahwa kerusuhan-kerusuhan itu sering terjadi di daerah itu, tetapi juga karena karakter masyarakat dan keberadaan Tangerang sendiri bagi pemerintah penjajah. Fenomena demikian belum banyak dikaji, apalagi terekam dalam sejarah yang bersifat nasional. Studi ini berusaha mencari jawaban atas masalah mengapa muncul peristiwa Tangerang, mengapa Tangerang menjadi daerah yang memunculkan konflik rasial dan bagaimana jalannya kerusuhan Tangerang?
Kerusuhan anti Cina dapat dikategorikan sebagai bentuk aksi kolektif. Aksi kolektif ialah tindakan bersama secara spontan, relatif tidak terorganisasi dan hampir tidak dapat diduga sebelumnya.
Aktivitas penelitian disesuaikan dengan langkah-langkah yang terdapat dalam metode sejarah. Meliputi heuristik, kritik, interpretasi, dan penyajian. Sumber data berupa arsip, arsip yang diterbitkan, catatan kenangan yang tidak diterbitkan, hasil wawancara, surat kabar, majalah, artikel dan buku.
Kerusuhan anti Cina yang terjadi di Tangerang memiliki pemicu yang berlainan sesuai dengan keadaan ketika kerusuhan itu muncul. Pada dasarnya faktor dendam pribadi pelaku turut mendorong aksi kekerasan rasial itu. Yang jelas kondisi sosial masyarakat menciptakan keadaan yang kondusif untuk munculnya tindak kekerasan rasial tersebut.
Keberadaan Tangerang sebagai wilayah tanah partikelir berdampak pada timbulnya pengaruh dan kekuasaan tuan tanah yang besar terhadap penduduk di wilayah tersebut. Sebaliknya penduduk pribumi selalu dalam kondisi subsisten akibat kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi sebagai realisasi kebijakan pemerintah penjajahan. Pergantian penguasa dari Belanda ke Jepang tidak membawa perubahan ekonomi yang berarti bagi masyarakat pribumi. Justru tekanan dan penderitaan semakin memperparah kehidupan masyarakat pribumi. Di pihak lain orang-orang Cina tetap memegang kendali ekonomi dan berpenghidupan lebih baik, meskipun Jepang tidak sepenuhnya mempercayai kelompok ini. Keberhasilan orang-orang Cina menghindari eksploitasi Jepang menumbuhkan perasaan tidak suka dan kecurigaan pribumi bahwa kelompok etnis ini memihak penguasa penjajah.
Hubungan yang tidak harmonis antara etnis Cina dan pribumi sebagai akibat politik rasialis penjajah menumbuhkan prasangka-prasangka terhadap etnis Cina. Perbedaan kultural etnis Cina pribumi yang disertai kurang intensnya interaksi diantara kedua etnis itu turut memperlebar jarak diantara keduanya_ Kedekatan etnis Cina dengan penjajah menumbuhkan pendapat bahwa mereka juga penjajah. Hal ini dikuatkan dengan kondisi sosial masyarakat yang terjadi selama itu yaitu bahwa etnis Cina memiliki kekuasaan dan pengaruh yang besar khususnya dalam kehidupan ekonomi masyarakat pedesaan.
Perkembangan politik yang terjadi turut mempengaruhi hubungan tersebut. Kedekatan dengan penjajah, kesejahteraan yang lebih baik dan sikap pasif etnis Cina atas perjuangan kaum pribumi menjadikan pihak pribumi menganggap bahwa etnis Cina adalah bagian dari penjajah. Sehingga ketika terjadi kegoncangan politik maka etnis Cina menjadi sasaran tindak kekerasan kolektif.

ABSTRACT
Disturbance against Chinese occurs in Indonesia especially in Java since colonial era. The cruelty have various back ground, but basically the action happen as an outcome of colonizer policy in organize its colony. Disturbance against Chinese in Tangerang for the period 1913-1946 legible slip from that policy, beside the development of social, economy and politics in Indonesia itself The important interpretation of disturbance against Chinese in Tangerang not only that riots frequently occur in that area, but also because people characteristic and position of Tangerang toward government occupation. Not much research done for this phenomenon let alone recording in national history. This study try to get an answer from the question: why the Tangerang tragedy happens, why Tangerang become the area that arising racial conflict and how Tangerang disturbance goes?
Disturbance against Chinese categorized as collective action. Collective action is actions that done at the same time spontaneously, relatively not organized and almost unpredictable before.
Research activities adjusted by history methods step, including heuristic, criticism, interpretation, and presentation. Source data are archives, published archives, annotation remembrance that not published, interview, newspaper, magazine, article and book.
Disturbance against Chinese that occur in Tangerang has different trigger that variant due by moment when riot arises. Basically personal vicious factor of performer join with the factor, which push the racial violence. People social conditions create the situation that arising racial violence action.
Tangerang existences as private land area have an impact over arising of the big influence and power of Land Lord over the indigenous person in this area. Otherwise indigenous person frequently in the subsistence condition as a result of obligation to colonialized government. Colonialized changes from Netherlands to Japan not make a meaningful differential economic for the indigenous person. On the contrary, stress and suffer abuse existence of indigenous person. On the other hand Chinese still have economic control and have a better life, although Japanese can not fully trust this group. Successful of Chinese avoid Japanese exploitation affecting dislike and suspicion from indigenous person that Chinese support colonialized.
Inharmonic relationship between Chinese and indigenous person as result of colonialized racial politics to cultivate prejudice about Chinese. Cultural differences between Chinese and indigenous person and less interaction between the two ethnics make gap between two ethnics. Proximity Chinese with colonialized to cultivate that they are also colonialized. This matter forced by people social condition that occur along this period that Chinese possess big accession and influence specially in village people economic.
Politics developments have influence to that relationship. Proximity with colonialized, better wealth and Chinese passive action over the struggle of the indigenous person make the indigenous person have the assumption that Chinese are part of colonialized. As moment of uncertain situation happen so Chinese become object of collective violence action."
2000
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>