Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 102908 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rozinul Aqli
"Mengapa pemerintah Indonesia di bawah Presiden Megawati menandatangani ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA) pada tahun 2002? Penelitian ini berusaha untuk menjawab pertanyaan tersebut dengan melihat relasi kuasa yang terjadi antara bisnis dan negara dalam proses formulasi ACFTA. Untuk melakukan hal tersebut, penelitian ini menggunakan kerangka teoretis yang dikembangkan oleh Storm C. Thacker yang memperhitungkan kerentanan, kepentingan dan institusi, serta inisiatif negara sebagaimana leverage, strategi, dan komposisi internal bisnis. Penelitian ini menemukan bahwa meskipun di satu sisi ACFTA menguntungkan bisnis besar yang mengekspor komoditas mereka ke China, kebijakan ini membahayakan industri kecil dan menengah yang bersaing secara langsung dengan komoditas yang diimpor dari China. Distribusi pendapatan yang tidak merata ini menyebabkan bisnis terbelah menjadi dua kelompok: mereka yang mendukung dan mereka yang menolak ACFTA. Sementara itu, di sisi negara, pembelahan secara praktis tidak terjadi, karena dua kepentingan yang ada di dalam negara, kelompok teknokrat dan kepentingan bisnis, mempunyai agenda yang sama di dalam ACFTA. Adalah simpulan utama dari penelitian ini bahwa koalisi antara bisnis besar dan negara lah yang secara efektif telah menentukan sikap resmi Indonesia terhadap ACFTA.

Why did Indonesian government under Megawati’s presidency sign the ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA) in 2002? This research attempts to anwer that question by looking at the underlying power relations between the state and businesses during ACFTA formulation process. In doing so, this research employs a theoretical framework developed by Storm C. Thacker which takes into account vulnerabilities, institutions and interests, and initiatives of the state as well as businesses’ leverages, strategies, and their internal makeup. The research finds that while ACFTA benefited Indonesian big businesses which exported their commodities to China, it harmed small and medium businesses who competed directly with commodities imported from China. This uneven income distribution consequently splited businesses into two divisions; those who supported and those who opposed ACFTA. Meanwhile, on the state’s side, the division was virtually nonexistent as the two main interests within the state, the technocrats and the business interest, had a converging agenda in ACFTA. It is the main conclusion of this research that this powerful state-big businesses coalition that had effectively determined Indonesia’s formal stance toward ACFTA."
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2013
S53499
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Daniel Pambudi
Jakarta: IGJ, 2006
330.959 8 DAN i
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Ariawan
"Seiring dengan berjalannya waktu, perkembangan ekonomi dunia saat ini khususnya perdagangan internasional telah memasuki rezim perdagangan bebas (free trade) dimana sebagian negara dan kalangan menganggap perdagangan bebas sebagai bentuk penjajahan model baru. Dalam perdagangan internasional, perdagangan negara yang tanpa hambatan berpeluang memberi manfaat bagi masing-masing negara melalui spesialisasi produk komoditas yang diunggulkan oleh masing-masing negara, namun dalam kenyataan dengan semakin terbukanya suatu perekonomian hal tersebut tidak serta merta menciptakan kemakmuran bagi semua negara-negara yang terlibat di dalamnya.
Perjanjian internasional seperti perjanjian perdagangan bebas kerap digunakan oleh negara-negara sebagai instrumen politik untuk kepentingan nasional. Belum lagi perjanjian internasional kerap dimanfaatkan untuk mengintervensi kedaulatan hukum suatu negara sesudah era kolonialisme berakhir. Melalui perjanjian internasional dapat dipastikan bahwa hukum suatu negara seragam dalam derajat tertentu dengan hukum negara lain. Perjanjian internasional di bidang perdagangan pada dasarnya dimanfaatkan oleh negara yang memiliki produsen untuk menghilangkan atau mengecilkan hambatan yang terdapat dalam negara yang memiliki konsumen dan pasar.
Dalam kecenderungan ini pun peran perjanjian internasional menjadi semakin penting, contohnya adalah Perjanjian Perdagangan Bebas atau Free Trade Agreement (FTA). Hingga saat ini sangat banyak jumlah FTA yang telah ditandatangani dan berlaku serta telah dinotifikasi dengan subyek baik regional, bilateral dan multilateral. Salah satu perjanjian perdagangan bebas yang penting dan melibatkan Indonesia yang tergabung dalam ASEAN sebagai pihak, yaitu Asean-China Free Trade Agreement (ACFTA). ACFTA dalam perkembangannya banyak memberikan dampak yang cukup berarti bagi sektor-sektor strategis di Indonesia Sebagai contoh, harga tekstil dan produk tekstik (TPT) Cina lebih murah antara 15% hingga 25%, bahkan produk seperti jarum harus diimpor.
Jika banyak sektor ekonomi bergantung pada impor, sedangkan sektor-sektor vital ekonomi dalam negeri juga sudah dirambah dan dikuasai asing, maka akan berat kekuatan ekonomi Indonesia sehingga butuh kesiapan dan persiapan yang sangat matang. Untuk itu kajian ini membahas mengenai ACFTA baik perkembangan, peranan dan implikasi serta rekomendasi untuk mengoptimalkan perjanjian ini sebelum tahun 2018 dengan berlakunya highly sensitive list ACFTA. Selain itu penting bagi Indonesia untuk menyiapkan segala sesuatu sebelum mengikuti Perjanjian Perdagangan Bebas ke depan. Pemerintah perlu menyiapkan peran dan langkah kebijakan untuk ke depannya berkaitan dengan perdagangan bebas. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
D1352
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Santi Hapsari Paramitha
"Keinginan untuk meningkatkan perekonomian kawasan menjadi dasar kuat bagi negara-negara ASEAN untuk membuat kerjasama perdagangan regional dengan partner dagang yang potensial dalam perekonomian dunia. Digagasnya ACFTA dengan China merupakan institusionalisasi dari keinginan tersebut sebagai bentuk regionalisme ekonomi, di mana kepentingan negara-negara yang terlibat di dalamnya menjadi elemen yang penting dalam pembentukan ACFTA. Indonesia, sebagai negara ASEAN yang terlibat di dalamnya melihat bahwa keberadaan ACFTA mendatangkan peluang dan keuntungan yang besar terlepas dari defisit yang terjadi di Indonesia. Penelitian ini menganalisis mengapa Indonesia mempertahankan dan terlibat lebih jauh dalam ACFTA sejak tahun 2002 hingga 2012 mengingat defisit yang dialami dan tingginya tekanan domestik untuk melakukan renegosiasi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa melalui kerjasama regional, negara dapat memperoleh manfaat yang signifikan baik secara eksternal maupun internal. Walaupun mengalami defisit perdagangan, Indonesia dalam hal ini mendapatkan insentif dari keterlibatannya di ACFTA karena memutuskan untuk tidak terlibat sama sekali justru akan mendatangkan kerugian yang berupa ketertinggalan pertumbuhan ekonomi dibandingkan negara-negara lain yang terlibat di dalamnya.

The desire to grow the regional economy became the main reason for ASEAN states to create regional trade agreement with a potential trading partner in the world economy. The establishment of ACFTA, between ASEAN and China was an institutionalization of that desire as a step striving for economy regionalism, in which the interest of the states involved, being an important element in ACFTA. Indonesia as one of ASEAN states who took part in the agreement, seeing the existence of ACFTA could provide the opportunity and potential gain, though the deficit occured in Indonesia. This research is purposed to analyze why Indonesia decided to stay and expand its involvement in ACFTA since 2002 to 2012 through various agreement, remembering the deficit and the domestic pressure to do the renegotiation. The result of the research shows that through regional agreement with potential partner, states could achieve the benefits, both externally and internally. Despite the deficit, Indonesia still gained incentive from its involvement in ACFTA, as Indonesia believed that being left in regional trade agreement would only cause no gain and greater loss in economic growth than the other parties involved.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
S55500
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kamal Hamidi
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dampak penerapan ACFTA terhadap neraca perdagangan bilateral Indonesia-China dalam jangka panjang dan jangka pendek. Penelitian ini menggunakan data time series dari triwulan 1 tahun 2000 sampai dengan triwulan 4 tahun 2011 dengan menggunakan metode estimasi Error Correction Model (ECM). Perjanjian ACFTA disahkan pada 1 tahun 2005, sedangkan dampak penerapannya pada neraca perdagangan bilateral Indonesia-China secara efektif adalah sejak 1 Januari tahun 2008. Oleh karena itu, dalam penelitian ini dibuat dua model regresi untuk dua periode ACFTA. Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel ACFTA mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap neraca perdagangan bilateral Indonesia-China hanya dalam jangka panjang dan untuk periode ACFTA yang dimulai 1 Januari 2008.

The aim of this study is to know the impact of ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA) on Indonesia?s-China Balance of Trade in the long term and in the short term. This study uses time series data from 2000 to 2011 (quarterly basis) and the estimation method used is Error Correction Model (ECM). ACFTA agreement was legally implemented starting from January 1, 2005, whereas the impact of the implementation on Indonesia?s-China Balance of Trade was effectively on January 1, 2008. Therefore, there are two regression models for two periods of ACFTA agreement. The result of this study is variable ACFTA has significant effect to Indonesia?s-China Balance of Trade only in the long term and for period of ACFTA agreement starting from January 1, 2008."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2013
T39043
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hutabarat, Sylvana Murni Deborah
"Tesis ini membahas tentang dampak berlakunya ASEAN-China Free Trade Area terhadap industri tekstil dan produk tekstil di Indonesia. Berlakunya ACFTA secara bertahap menimbulkan permasalahan baru terhadap sektor TPT di Indonesia. Kondisi tekstil Indonesia yang dari awal tidak stabil kembali terguncang dengan banyaknya pabrik tutup sehingga menimbulkan pengangguran. Produsen TPT pun beralih menjadi pedagang yang memicu gejala deindustrialisasi. Pemerintah pun dianggap perlu untuk turun tangan mengatasi permasalahan ini. Kesepakatan yang dianggap mendukung pasar bebas dan meningkatkan persaingan yang sehat nyatanya hanya menambah daftar keterpurukan sektor TPT di Indonesia. Penelitian ini menggunakan kajian hukum normatif untuk memahami penerapan norma-norma hukum terhadap fakta-fakta.

This thesis discusses the impact of entry into force of the ASEANChina Free Trade Area of the textile industry and textile products in Indonesia. Applicability ACFTA gradually raises new problems of textile sector in Indonesia. Condition of Indonesia's textile unstable from the beginning again shaken with thousands of factories closed, causing unemployment. Textile manufacturers were turning to vendors that trigger symptoms of de-industrialization. The government also considered necessary to intervene to overcome this problem. The deal is considered to support the free market and increase competition in fact only adds to the list of the downturn in the textile sector this Indonesia. This study uses normative legal analysis to understand the application of legal norms tofacts."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T28594
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Erwana Firdaous
"Perdagangan regional (RTA) menjadi fenomena umum yang menyebar luas ke seluruh dunia. Gelombang besar inisiatif perdagangan regional terus berlajut sejak awal tahun 1990-an. Banyak negara memilih membuat komitmen di tingkat regional karena lebih mudah dilakukan daripada komitmen bidang yang sama di tingkat multilateral. RTA merupakan bagian dari sistem perdagangan global (multilateral trading sistem), namun dalam kenyataanya persyaratan Pasal XXIV GATT 1994 sering kali diabaikan. Beberapa kelompok regional memiliki persetujuan perdagangan barang, persetujuan perdagangan jasa, persetujuan investasi, dan kerjasama ekonomi, diantaranya adalah ACFTA. Liberalisasi ACFTA akan meningkatkan kinerja perdagangan antara negara anggota, namun karena China jauh lebih siap dengan daya saing lebih tinggi, menyebabkan pertumbuhan kinerja ekspor China akan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan negara ASEAN. Kementerian Perindustrian pada tahun 2010 mengungkapkan bahwa liberalisasi ACFTA berdampak buruk terhadap kinerja beberapa industri nasional. Sektor elektronik merupakan salah satu sektor yang mengalami defisit neraca perdagangan paling buruk semenjak liberalisasi ACFTA. Penelitian ini mempergunakan kajian hukum normatif untuk memahami penerapan norma-norma hukum pengaturan RTA dalam kerangka WTO, sedangkan dalam kegiatan menggali dan mengkualifikasi fakta-fakta sebagai dipergunakan kajian empiris. Hasil penelitian ini adalah bahwa Pasal XXIV GATT 1994 memperbolehkan anggota WTO untuk perdagangan bebas dengan lebih cepat diantara anggota-anggota tertentu yang membentuk suatu kelompok. ACFTA bukan merupakan sistem terpisah, namun merupakan bagian dari sistem perdagangan global WTO, keduanya mengejar tujuan yang sama yaitu liberalisasi perdagangan secara substansial yang tunduk pada ketentuan-ketentuan dalam perjanjian-perjanjian WTO. Ketidakberhasilan Indonesia memanfaatkan liberalisasi ACFTA untuk meningkatkan kinerja perdagangan, khususnya sektor elektronik, mengakibatkan China akan memperoleh manfaat lebih besar dari liberalisasi ACFTA sebagai akibat daya saing industri mereka yang lebih tinggi. Dengan demikian, industri elektonik di Indonesia harus melakukan serangkaian perbaikan berupa investasi tenaga kerja, fisik dan teknologi untuk meningkatkan daya saing mereka dalam menghadapi produk dari China.

Regional Trade Agreement (RTA) to be a common phenomenon that widespread throughout the world. A surge of regional trade initiatives has continued since the early 1990s. Many countries have chosen to make a commitment at the regional level because it is easier to do than the same field commitments at the multilateral level. RTA is part of the multilateral trading system, but in fact the requirements of Article XXIV of GATT 1994 is often times overlooked. Some regional groups have consent of trade in goods, trade in services agreements, investment agreements, and economic cooperation, including the ACFTA. ACFTA liberalization will improve the performance of trade between member states, but because China is much better prepared with higher competitiveness, led to the growth of China's export performance will be much higher than the ASEAN countries. Ministry of Industry in 2010 revealed that the liberalization ACFTA adversely affect the performance of some of the national industry. The electronics sector is one sector that suffered the worst trade deficit since the liberalization of the ACFTA. The study used a normative legal studies to understand the application of legal norms within the framework of the WTO RTA arrangements, whereas in digging activities and qualify the facts as used empirical study. The result of this is that Article XXIV of GATT 1994 allows WTO members to trade freely with faster among certain members that form a group. ACFTA is not a separate system, but is part of the multilateral trading system the WTO, both pursuing the same goal of trade liberalization substantially subject to the provisions of the WTO agreements. The failure to take advantage of the liberalization of Indonesia in ACFTA to improve trading performance, particularly the electronics sector, China will result in a greater benefit from the liberalization of the ACFTA as a result of their industrial competitiveness higher. Thus, the electronic industry in Indonesia must make a series of improvements in the form of investment of manpower, physical and technology to improve their competitiveness in the face of the product from China.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T35462
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Made Deninta Ayu Dhamayanti
"Tulisan ini membahas mengenai perkembangan gagasan proteksionisme di AS dari waktu ke waktu. Literatur-literatur yang ada akan dikelompokkan menggunakan metode kronologi ke dalam tiga periode berbeda, yaitu initial period, interwar period dan liberalization period with protectionism disjuncture. Dari perkembangan gagasan proteksionisme di dalam periode-periode tersebut, terlihat bahwa gagasan proteksionisme selalu hadir di AS, bahkan ketika AS menerapkan kebijakan liberalisasi perdagangan. Kemunculan proteksionisme tersebut juga selalu dilatarbelakangi oleh peristiwa- peristiwa besar, baik yang terjadi di dalam AS itu sendiri maupun dunia. Penulis melihat adanya preseden historis dari berlakunya proteksionisme di AS yakni wacana proteksionisme akan muncul ketika AS merasa memiliki tantangan eksternal yang dapat mengganggu kondisi dalam negeri AS. Pengelompokkan tersebut juga memperlihatkan tema-tema yang muncul di dalam pembahasan mengenai proteksionis yang memiliki kaitan erat dengan institusi, ide, kebijakan keamanan, dan kebijakan luar negeri AS. Tradisi populis AS turut berkontribusi dalam mendorong tindakan-tindakan proteksionis. Berdasarkan hal tersebut, proteksionisme menjadi gagasan yang dapat dianalisis dari berbagai faktor, mulai dari ekonomi, politik, keamanan, hingga ideologis. Akhirnya, ditemukan beberapa kesenjangan literatur yakni pertama, masih kurang dibahasnya aspek ide dan legal di dalam kajian mengenai proteksionisme dan kedua, masih belum ada literatur mengenai langkah-langkah untuk memitigasi proteksionisme selain dari sudut pandang perdagangan bebas.

This paper discusses the development of protectionism idea from time to time. The literatures are classified using chronology method into three different periods, namely the initial period, interwar period and liberalization period with protectionism disjuncture. From the development of the idea of protectionism within those periods, it appears that the idea of protectionism is always present in the US, even when the US implements trade liberalization policies. The emergence of protectionism is motivated by major events, both within the US and the world. The author also sees a historical precedent regarding the emergence of protectionism in the US. Protectionist discourse also arises when US feels an external challenge that can disrupt domestic conditions in the US. The classifications also show some themes that emerge in the discussions on protectionism that are closely related to US institutions, ideas, security policies, and foreign policy. US populist tradition contributes to the promotion of protectionist measures taken by the government. Protectionism is not just a notion that can be analyzed from international political economy, but other factors, such as ideology, also matter to sustain the protectionism idea. By using contextual perspectives over time, this paper is expected to show how protectionism evolved as well as its relation to other aspects of international relations. Based on that, protectionism becomes an idea that can be analyzed from various factors, ranging from economic, political, security, to ideological. Finally, there are some literature gaps that can be found, which are firstly the lack of discussion about ideas and laws in the study of protectionism, and secondly, there is still no literature on measures to mitigate protectionism other than free trade."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2018
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Kurniawan
"ABSTRAK
Penelitian ini mempelajari faktor-faktor yang melatarbelakangi lebih besarnya ekspor Thailand ke Timur Tengah, dibandingkan dengan ekspor Indonesia. Tujuannya adalah untuk mempelajari pengalaman Thailand dalam meningkatkan pertumbuhan ekspornya ke kawasan tersebut. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif, wawancara dan riset pustaka. Dari hasil penelitian ini, disarankan agar kapabilitas teknologi di sektor industri perlu ditingkatkan; beberapa instrumen kebijakan strategis perlu digunakan demi pembangunan industri nasional; isu infrastruktur, lingkungan bisnis dan upah buruh segera diatasi untuk memperkuat daya saing ekonomi; kolaborasi pemerintah dan sektor swasta dilembagakan; perjanjian bilateral dimanfaatkan untuk memperluas akses pasar; alokasi anggaran untuk program promosi dan misi dagang ditingkatkan.

ABSTRACT
This research studied factors underlying the greater export of Thailand to Middle East than the Indonesia?s export to that region. The objective is to study Thailand?s experiences in increasing its export to the region. The research method was qualitative by library research and interviewing. The result suggests that government enhance technological capability in industrial sector; employ strategic policies to boost the development of national industries; overcome issues in infrastructure, business environment and labor cost to strengthen economic competitiveness; institutionalize collaboration between government and private sector; optimize bilateral agreement to gain market access; allocate greater budget for promotion and trade mission.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
T38737
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fatwa Yulianto
"ABSTRAK
Pada tanggal 01 Januari 2010, telah resmi diberlakukan ASEAN - China Free
Trade Agreement (ACFTA). ACFTA ini merupakan salah satu blok perdagangan
terbesar di dunia setelah Uni Eropa dan NAFTA. Enam negara anggota ASEAN,
yakni Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand
mulai menerapkan tarif nol persen untuk perdagangan ekspor impor antar negara.
Dan terhadap negara-negara yang baru menjadi pihak ASEAN, peijanjian ini bani
mulai berlaku pada tahun 2015. Terkait dengan diberlakukannya ACFTA, untuk
dapat meredam laju produk impor dan mengurangi peredaran barang palsu, serta
barang yang memiliki kualitas buruk di pasar nasional, sekaligus untuk
melindungi konsumen, salah satu langkah yang dapat dilakukan adalah dengan
melakukan standardisasi melalui pelabelan Standar Nasional Indonesia (SNI)
yang dikeluarkan oleh Badan Standardisasi Nasional. Standardisasi barang atau
jasa oleh konsumen merupakan hak jaminan minimal dari suatu barang atau jasa
kepada konsumen yang sekaligus menjadi kewajiban dan larangan dari pelaku
usaha, sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen. SNI sejatinya bersifat non-diskriminatif, yang artinya
SNI tersebut berlaku untuk semua barang yang beredar pasar nasional, baik yang
berasal dari dalam maupun luar negeri. Dengan diterapkan hal tersebut maka
akan membuat konsumen menjadi lebih aman dalam memilih dan mengkonsumsi
barang. Dan sudah saatnya konsumen Indonesia tidak lagi menjadi objek atau
target pasar produk impor yang tidak layak dan sudah saatnya konsumen menjadi
subjek atau pelaku pasar yang cerdas, kritis, pandai memilih produk yang baik,
dan mengedepankan pembelian produk buatan Indonesia atau memilih produk
yang memiliki standar.;"
2011
T37685
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>